Share

Bab 5

Kurogoh saku celanaku untuk melihat kemana dia pergi, aku memicingkan mata melihat jalan yang di tempuh Mas Arga, ku kira ia akan pergi ke rumah orang tuanya dan mengadu pada Ibunya seperti anak TK yang habis berantam.

Aku tidak mempermasalahkan kemana dia malam ini karena nggak mungkin aku meninggalkan anak-anakku yang sedang tidur demi suami yang tidak tahu malu itu, sudah jelas-jelas salah masih saja keras kepala.

***

Pagi hari; Aku sedang mempersiapkan Hana hendak berangkat sekolah tidak lupa denganku juga yang sudah berpakaian rapi untuk pergi melamar kerja.

Sekarang kami bertiga sudah di teras, aku sedang menunggu Hana memakai sepatunya. Tiba-tiba saja mobil Mas Arga masuk ke halaman, aku yang melihat itu hanya jutek dan pura-pura tidak peduli dari mana dia semalaman.

Kulihat ia turun dari mobil, kaki jenjangnya ia langkahkan mendekati kami bertiga. Entah kenapa Dani kembali memelukku saat Mas Arga sudah dekat.

"Hana mau berangkat sekolah, Nak?" tanyanya lembut, Hana langsung mendongak melihat Mas Arga lalu ia mengangguk.

"Iya, Ayah," jawab bibir mungil itu, aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka.

"Dani mau kemana sayang kok pagi-pagi udah rapi?" tanyanya pada Dani, tapi Dani malah menenggelamkan wajahnya di pahaku. Melihat Dani seperti itu, Mas Arga langsung melihatku.

"Kalian mau kemana, Dek?" pertanyaan itu tertuju padaku, harusnya aku yang bertanya dari mana dia semalaman? Apa yang dia lakukan di luar sana? Tapi, aku memilih bungkam pagi ini karena aku ingin melamar kerja.

"Ngelamar kerja," jawabku singkat, kulihat ada ekspresi kaget di wajahnya mungkin ia kira perkataanku semalam hanyalah pura-pura.

"Untuk apa? Terus Dani sama siapa?" ia kembali mencecarku membuatku langsung jengkel, tapi tetap ku usahakan ekspresiku datar supaya pagi yang indah ini tidak diawali dengan pertengkaran.

"Bukan 'kah pertanyaan ini sudah kujawab tadi malam, apa perlu ku ulang Mas? Untuk masalah Dani nggak usah khawatir, aku nggak bakalan minta tolong sama kamu untuk jagain dia, aku akan membawanya ikut berjuang denganku," jawabku dengan nada sebiasa mungkin.

Kulihat Mas Arga bungkam seketika mendengar jawabanku, aku tidak ingin berdebat sebenarnya pagi ini, tapi karena ia yang mulai, jadinya begini.

"Bunda … bunda, ayo berangkat ke sekolah, Kakak bisa telat," ajak Hana sambil menarik-narik tanganku membuatku langsung menunduk melihatnya.

"Yuk sayang kita pergi, salim Ayah," suruhku pada Hana dan Dani, tapi kulihat Dani tidak mau melepaskan pelukannya dariku. Sedangkan Hana, ia langsung menyalam tangan Mas Arga.

"Kakak berangkat dulu, Ayah," pamit Hana dengan polos. Hana tampak tidak takut lagi sama Mas Arga berbeda dengan Dani yang kelihatannya masih takut dengannya.

"Ayah antar ya biar cepat," sarannya yang dibalas anggukan oleh Hana. Kali ini tatapan Mas Arga beralih ke Dani yang masih memeluk pahaku.

"Dani sini, Nak," ajaknya sambil merentangkan tangannya, kurasakan Dani semakin kuat memelukku, ada apa dengan anakku? Apa dia trauma bentakan Mas Arga kemaren? Ku tarik pelan tangannya melepas pelukannya dariku.

Kuberikan tangannya pada Mas Arga, tapi Dani kelihatannya tidak mau, kali ini tatapanku berpindah pada Mas Arga. Ku lihat ia ingin sekali memeluk anaknya, sampai-sampai tatapannya sayu melihat Dani.

Karena Dani tak kunjung maju ke dekatnya, Mas Arga melangkah beberapa langkah detik kemudian ia mengangkat tubuh Dani yang masih berusia 4 tahun itu. Tapi anehnya, begitu ia mengangkat Dani lalu memeluknya, anak kecil itu malah menangis sambil memberontak seolah-olah ia sedang diangkat oleh hantu.

Kulihat raut muka Mas Arga kaget sekaligus bingung melihat Dani menangis di gendongannya, ia berusaha menenangkan Dani, bukannya Diam anak kecil malah semakin menangis.

Aku tidak tega melihat anakku menangis ketakutan seperti itu, kuletakkan tasku di kursi.

"Sini, Nak," kurentangkan kedua tangaku ke depan Dani, dengan cepat ia menyambar tanganku dan sekarang ia di gendonganku, detik kemudian ia diam, kedua tangannya memeluk leherku.

Kulihat ekspresi Mas Arga seperti belum percaya apa yang terjadi barusan, ada rasa kasihan di hatiku, tapi apa boleh buat dia sendiri yang membuat anaknya takut padanya.

"Ya sudah kalo gitu kami pamit," ucapku tidak ingin berlama-lama dengan suasana ini, kuraih kembali tasku.

"Aku yang antar," Mas Arga kembali mencegah langkahku.

"Tidak usah, aku bisa sendiri, kalo kamu mau anterin Hana aja ke sekolah, itupun kalo kamu mau," jawabku datar membuatnya tidak bisa menjawab apa-apa.

"Kakak mau berangkat sama Bunda, aja," rengek Hana menarik tanganku membuatku langsung tersenyum padanya.

"Ya sudah kalo gitu kami berangkat, Mas," pamitku sekali lagi.

"Aku antar kalian aja, kasian Hana nanti dia bisa terlambat," cegahnya kembali membuatku langsung memejamkan mata sejenak.

"Ya sudah," jawabku mengalah, Mas Arga langsung berjalan terlebih dahulu membukakan pintu depan mobil. Tapi, aku tidak mau duduk di depan.

"Hana masuk di kursi depan, Nak," suruhku pada Hana lalu tanganku dengan susah payah membuka pintu belakang karena Dani masih di gendonganku.

Hana sudah masuk di kursi depan dibantu Mas Arga, tapi aku yang baru saja masuk tanganku masih belum bisa meraih pintu mobil. Tiba-tiba saja Mas Arga menutupkannya, aku hanya diam sambil membenarkan posisi Dani di pangkuanku.

Dalam perjalanan menuju sekolah Hana hanya ada keheningan, sesekali kulihat Mas Arga melihatku dari kaca spion. Kuperhatikan wajah Dani masih ada sisa air matanya, kuhapus air mata itu lalu ku cium pipi gembul putraku tersebut.

"Bunda," panggil Dani pelan sambil memainkan manik jilbabku.

"Kenapa, sayang?" tanyaku lembut sambil kuciumi pipinya membuat tampak kesusahan bergerak.

"Minta es klim," rengeknya manja, bibirku mendengar permintaannya, kulihat Hana menoleh ke belakang.

"Kakak juga mau, Bunda," tambah Hana, aku mengangguk lalu tersenyum, kulihat keduanya tampak senang.

Sekitar 10 menit dalam perjalanan akhirnya sampai di sekolah Hana, Hana langsung turun di ikuti Mas Arga dan aku tetap di dalam.

Disisi lain Mas Arga langsung mengantar Hana ke gerbang sekolah.

"Hana pulang jam berapa Nak biasanya?" tanya Mas Arga.

"Jam 11, Ayah," jawab Hana polos.

"Nanti Ayah jemput kesini, ya," ujarnya membuat Hana langsung tersenyum riang.

"Ya udah, Hana masuk ya, Ayah mau anterin Bunda dulu," lanjutnya. 

Beberapa menit kemudian, Mas Arga kembali lagi ke mobil, sebelum menjalankan mobil ia menoleh ke belakang melihatku.

"Kamu mau kemana?" tanyanya sambil menatapku lekat.

"Ke tempat Sinta ngajar, SMP Nusa," jawabku tapi mataku tidak mau melihatnya.

"Dani?" tanyanya lagi, mungkin ia takut aku tidak bisa mengurus Dani.

"Dia akan ku titip di rumah Sinta sekalian sama Mbok Ijah yang merawat Fandi anak Sinta," terangku panjang lebar, kulihat ia tampak gelisah dengan jawabanku.

"Apa Dani nyaman?" tanyanya, ah pria ini benar-benar membuat emosiku naik saja.

"Mau kamu apa sih, Mas? Kamu mau Dani aku tinggal di rumah, tapi dia nggak mau sama kamu, cuma kamu gendong aja dia nangis seperti di kejar setan," omelku dengan nada sebisa mungkin tidak marah, aku takut Dani gemetaran.

"Nggak gitu ta-" ucapannya langsung ku potong.

"Apa? Kamu nggak mau nganterin? Aku juga nggak minta anter tadi, kamu sendiri yang maksa," kesalku lalu tanganku berusaha membuka pintu mobil.

"Oke-oke, aku antar, jangan turun disini, nanti Dani kepanasannya," ucapnya mengalah. Untuk apa sekarang mikirin putramu, dia saat anak kecil sudah takut untuk kamu sentuh, disini pula kamu mulai peduli, telat!

Sekitar 15 menit kemudian kami sampai di depan rumah Sinta, aku langsung bergegas turun, namun aku malah sedikit kesusahan karena Dani sudah tidur di pangkuanku.

"Sini aku gendong Dani dulu," tawarnya lalu mengambil alih Dani dari gendonganku. Kulihat ia mencium pipi Dani karena anak kecil itu sudah tertidur pulas jadi ia tidak tahu kalo ia digendong ayahnya. Setelah aku turun, aku langsung mengambil alih Dani lagi.

"Kalo gitu aku ke dalam dulu, " pamitku datar, kulihat Mas Arga seperti orang gelisah, terlihat jelas di wajahnya banyak yang ingin dia katakan.

"Em … nanti aku yang jemput Hana," ucapnya tiba-tiba membuatku menyergit.

"Bukannya kamu kerja?" tanyaku kembali, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu melihatku kembali.

"Aku izin dulu nanti," lanjutnya, kenapa baru sekarang kamu mulai perhatian, disaat kepercayaanku sudah hilang.

"Terserah," ucapku datar lalu aku melangkah masuk ke dalam rumah Sinta meninggalkan Mas Arga yang masih berdiri mematung sambil memperhatikanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status