Share

Diancam mertua

WANITA YANG MEMBELI SUAMIKU

Bab 3

 Ancaman Mertua 

"Dasar istri tidak perhatian. Aldo tidur di rumah Ibu dari semalam." 

"Oh, pantes gak kedengaran suara pintu kamar dibuka. Pasti dia kunci pintu depan dari luar. Dasar suami gak ada akhlak. Pulang ke rumah orang tua gak bilang-bilang," cerocosku dengan santai. Muka ibu mertua sudah memerah bagai tomat karena tingkahku.  

"Kamu udah gila, Citra?" 

"Gila kenapa, Bu? liat aja, aku masih waras. Meskipun punya suami agak gak waras," kekehku dengan senyum sinis.  

Raut Ibu mertua semakin merah padam. Emosinya bagaikan bom yang siap meledak. Dia pasti tidak terima anaknya aku jelek-jelekan. Ibu dan anak memang memiliki karakter yang sama. Sama-sama tidak tahu diri. Merasa paling benar. Tidak mau introspeksi. Seharusnya, sejak dulu aku mau melawan. Agar tidak semakin besar kepala suami dan mertuaku.  

"Cepat mandi. Ibu mau bicara penting sama kamu." 

"Bicara apa, Bu? tumben." 

"Cepat mandi dulu. Jangan banyak tanya." 

"Iya, Bu. Kalau bisa beliin aku makan, Bu. Pasti masih ada nasi uduk. Kelamaan kalau harus masak nasi dulu." 

"Kamu nyuruh ibu?" 

"Ya, iyalah, Bu. Masa nyuruh setan. Katanya Ibu mau bicara penting? Citra gak bakal fokus ngobrol, kalau perut kosong." 

"Dasar menantu kurang ajar." 

"Ya, terserah Ibu. Kalau gak mau beliin, biar Citra beli sendiri. Ngobrol pentingnya kita pending dulu." 

"Ya sudah, biar Ibu belikan. Mana duitnya?" 

"Pake duit Ibu dulu. Mas Aldo 'kan ke rumah Ibu, terus aku gak dikasih uang." 

"Citra, kamu benar-benar bikin emosi Ibu, yah." 

"Terserah Ibu. Kalau gak mau menurutiku, ya sudah aku lebih baik tidur untuk menahan lapar." 

"Ih, dasar perempuan tidak tahu diri. Ya sudah, cepat mandi! Bau badanmu itu! Biar Ibu belikan makan." 

"Ahsiyaaapp!"

Kaki ibu dihentakkan karena kesal. Sengaja aku mengerjainya. Dia pasti mau membahas soal poligami suamiku. Aku harus memanfaatkan keadaan untuk memberi mereka pelajaran. Mulai sekarang, aku tidak akan diam saja diperlakukan semena-mena.  

Semua manusia punya hak untuk merasakan 

kedamaian hidup. Merdeka menjalani kehidupannya tanpa harus patuh seperti budak pada orang lain. 

Meskipun itu pada suami sendiri perempuan juga mempunyai kebebasan untuk merasakan kebahagian. Menikah untuk dihargai dan dicintai. Bukan untuk diperbudak suami yang tidak tahu diri. Satu istri saja tidak bisa dibahagiakan, malah bergaya ingin mempunyai dua istri.  

"Citra ... sudah belum mandinya. Sarapannya sudah Ibu beli. Cepat keluar dari kamar mandi." 

"Sebentar, Bu. Lagi sabunan!" teriakku berbohong dari dalam kamar mandi. 

Tuhan, maafkan hambamu ini. Aku sengaja melakukan ini untuk mengulur waktu. Aku baru masuk ke kamar mandi setelah ibu mertua terlihat kembali sesudah membeli sarapan.  

"Cepat! Dasar lelet! Kasihan sekali anakku punya istri tidak becus kaya kamu," gerutu ibu mertua dibalik pintu. Aku tidak peduli. Sudah kebal dengan mulut tajam mertuaku.  

"Sabar, Bu. Cepet tua kalau marah-marah terus!" teriakku lagi dari kamar mandi. Lalu menyalakan keran agar ocehan ibu mertua tidak terdengar lagi.  

Sekitar lima belas menit aku mandi. Suara ibu mertua tidak terdengar lagi. Mungkin, sudah lelah mengomel. Aku mengintip dari pintu kamar mandi tidak ada ibu mertua. Bergegas aku keluar, lalu mengunci pintu kamar untuk berganti pakaian. Setelahnya, aku langsung ke dapur untuk mencari makanan.  

"Udah, mandi sama makannya?" tanya ibu mertua tiba-tiba muncul begitu saja. Entah dari mana datangnya. Tahu saja kalau aku sudah selesai makan.  

"Langsung saja, Ibu mau bicara." 

"Iya, Bu. Bicara apa? kaya penting banget." 

"Tentu ini penting sekali. Ibu harap kamu menyetujui ide Aldo. Ikuti saja kemauannya. Toh, kamu masih bisa jadi istrinya. Walaupun Ibu lebih setuju kalian bercerai." 

"Sama, Bu. Aku juga mau bercerai saja. Siapa juga yang mau dipoligami. Tanya sama Raya anak perempuan ibu. Pasti ogah dipoligami." 

"Tidak usah bawa anak saya. Silahkan kalau kamu mau bercerai. Tapi, jangan minta uang sepeser pun pada calon menantu baruku." 

"Hahaha, tentu tidak bisa begitu, Bu. Enak saja kalian doang yang untung." 

"Jadi, kamu tetap mau menjual suamimu?"  

"Ibu juga sudah menjual anak Ibu 'kan? jadi, apa bedanya kita ini. Yang penting sama-sama untung." 

"Dasar menantu gila. Lihat saja, aku akan suruh Aldo menceraikanmu, dan kamu tidak akan mendapatkan seperak pun harta anakku dan calon istrinya." 

Ibu berdiri dengan raut tak suka. Dia memilih pergi dibandingkan melanjutkan perdebatan di antara kami. Aku pikir, mulutnya akan mengoceh terus bagaikan burung beo. Nyatanya, baru dilawan begitu saja sudah menyerah. 

Ini belum seberapa, ibu mertua. Perlahan aku akan membuatmu dan anakmu sadar. Tenang saja, hanya menunggu waktu, aku akan bercerai dengan anakmu. Siapa yang mau terus hidup bersama dengan pria yang tak punya tanggung jawab seperti Mas Aldo? Semua perempuan pasti muak dengan sikapnya yang merasa berkuasa sebagai kepala keluarga sampai mengabaikan perasaan istrinya.  

"Ya Tuhan, semoga pikiranku tetap waras menghadapi keluarga aneh ini," ujarku bicara sendiri sambil mengelus dada. 

Tak mau membuang waktu dengan hal yang tidak penting, aku memilih ke kamar untuk mengambil ponsel. Lalu, duduk di ruang depan sambil membuka pintu. Supaya udara pagi hari masuk ke rongga paru-paruku. Kemudian, membuka aplikasi word untuk menulis.  

Menulis adalah cara paling jitu untuk mencurahkan segala keluh kesah yang ada di hati. Melalui tulisan, aku bisa berekspresi dengan bebas. Seringnya, aku menceritakan kisah hidupku melalui para tokoh yang ditulis. Dari situ, aku merasa lega dan puas.  

Bagiku, menulis bukan cuman soal uang. Ada kenyamanan dan ketentraman ketika melakukannya. Hatiku seakan menemukan tempat yang pas untuk mengeluarkan sebagian beban. Menggoreskan pena, mengabadikan kekesalanku. Untuk dikenang dan mengambil hikmah dari setiap kejadian.  

Menjelang siang hari, mataku mendadak berat. Kadang efek terlalu banyak menulis membuatku ngantuk. Berjam-jam menulis, aku luangkan waktu untuk tidur dulu. Tak baik memforsir tenaga. Sebelum ke kamar, aku tutup dulu pintu. Masuk ke kamar. Merebahkan tubuh. Selain menulis, tidur juga bisa membuatku sedikit melupakan kecewa yang sedang menyerang hati.  

***** 

"Citra, bangun ... Mas mau bicara!" 

Mas Aldo tiba-tiba membangunkanku. Dalam posisi baru bangun tidur dia langsung menyeretku ke ruang tengah. Aku yang masih setengah sadar, tak bisa melawan. Pasrah diperlakukan seenaknya oleh suamiku.  

"Duduk, Citra. Kamu sudah keterlaluan. Aku harus menegurmu dengan tegas!" ujar Mas Aldo menatap tajam ke arahku. 

"Apa sih, maksud kamu, Mas? Aku mau cuci muka dulu." 

"Duduk, aku tidak akan membiarkanmu menghindar," cegah Mas Aldo menarikku untuk duduk dengan kasar.  

Aku duduk berhadapan dengan suamiku, Kinanti, dan ibu mertua. Mereka semua menatapku dengan sorot kebencian kecuali, Kinanti. Perempuan itu hanya tersenyum puas memandangiku. Meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan melipat tangan di dada bergaya bagaikan ratu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status