"Citra! Di mana kamu, Cit. Citra!" Aldo berteriak memanggil Citra saat ia sampai di rumah. Sementara itu Citra tengah duduk di ruang tamu yang ada televisinya. Beruntung televisi itu sudah lcd jadi sudah cukup enak dipandang mata. Citra yang merasa terganggu dengan suara Aldo pun berdecak. "Ck! Apaan sih, Mas. Ini bukan hutan ya, Mas, nggak usah teriak-teriak kenapa sih!" Citra menyilangkan tangannya di dada. "Kamu habis apain Ibu ha?""Apaan sih, Mas. Aku ngapain Ibu coba!""Udah deh Cit, kamu ngaku aja. Tadi Ibu udah cerita kok sama aku. Jadi, kamu jangan pura-pura nggak tau ya!""Ooh, kalau udah tau kenapa masih nanya?""Aku mau minta kejelasannya aja sama kamu.""Coba katakan memangnya apa yang Ibu katakan sama kamu?""Katanya kamu ngasih makan Ibu makanan pedas? Kamu kan tau kalau Ibu nggak bisa makan pedas? Terus kenapa kamu ngasih Ibu makanan yang pedas ha?!""Duh Mas. Bisa nggak kalau nggak pakai teriak-teriak? Sakit tau telinga aku." Citra menggosok-gosok telinganya yang b
"Bu, Ibu." Aldo membuka pintu rumah Bu Miranti yang tidak terkunci. Terlihat Bu Miranti sedang bingung memikirkan bagaimana caranya ia membayar semua hutang-hutangnya pada rentenir itu. "Do, gimana ini Do? Ibu nggak mau rumah ini disita Do. Ini rumah Ibu satu-satunya.""Lagian Ibu kenapa bisa ambil hutang begitu banyak gak tanya tanya dulu sama aku sih, Bu?" Aldo mengacak kasar rambutnya. Yah, setelah kepergian Aldo menuju ke rumah sang Ibu. Bu Miranti kembali menelpon dan Aldo menanyakan memangnya Bu Miranti berhutang sberapa banyak. Bu miranti mengatakan hutangnya sih hanya lima puluh juta tapi bunganya mencapai separuhnya jadi total yang harus dibayar adalah seratus juta. "Kan Ibu udah bilang kalau adik kamu butuh biaya buat kulaihnya Do. Kalau dia nggak bayar ya nggak bisa ikut semester. Ngandelin duit gaji kamu ya entah kapan lunasnya. Gimana Do?""Gimana kalau minta tolong sama Kinanti, Bu?"Bu Miranti menatap Aldo dengan berharap Kinanti dapat membantunya. "Iya juga ya, kena
Akhirnya Citra pun melanjutkan kegiatannya dengan perasaan kesal tanpa mau membantu untuk membawakan tas besar milik ibu mertua dan adik iparnya. Ia juga harus mempersiapkan hati, otak dan juga fisik karena pastinya setelah ini akan selalu ada peperangan antara dirinya dan juga Ibu mertua dan Aldo. ***Sejak Bu Miranti kehilangan rumah, Kinanti jadi semakin sering mendatangi Bu Miranti di rumah Aldo. Ia tanpa malu untuk datang ke rumah Aldo sementara sedang ada Citra di sana. Kinanti mengajak Bu Miranti dan juga Raya untuk merayakan kepulangannya dari penjara meskipun saat ini Bu Miranti sudah kehilangan rumah satu-satunya itu. "Ck! Ngapain sih kutu kupret itu ke sini? Bikin sakit mata aja liatnya." Citra yang berada di dapur melihat kedatangan Kinanti untuk mengajak mertua dan iparnya berbelanja. Akhirnya Citra yang tidak ingin melihat Kinanti, ia masuk ke dalam kamar dan berselancar di dunia maya hingga Bu Miranti, Raya, dan juga Kinanti meninggalkan rumah itu. "Ayo Mbak Kina
"Wah, kalian habis dari mana?" tanya Aldo yang baru saja pulang bekerja sedangkan Citra sedang menonton televisi. "Ini Do, Kinanti habis ajak Ibu dan juga Adikmu belanja. Nih belanjaan kita." Bu Miranti menunjukkan paper bag yang ia tenteng. Raya pun tak mau kalah dengan sang Ibu. Ia pun menunjukkan paper bag yang ia bawa. "Nih Mbak kamu liat dong, kita habis belanja lho. Mbak Kinanti yang traktir kita. Baiknya calon Kakak ipar aku," antusias Raya sembari memperlihatkan paper bag nya pada Aldo. Citra yang sedang asyik menonton tidak mempedulikan apa yang mereka ucapkan. Citra pun beranjak dari depan televisi menuju kamarnya karena malas mendengarkan bualan keluarga toxic itu. Namun, karena ia merasa haus akhirnya Citra memutuskan untuk mengambil minum ke dapur. Merasa dicuekin, Raya memonyongkan bibirnya. "Mas, aku punya rencana sama Ibu. Gimana kalau kita nikah siri diam-diam saja tanpa tahu Mbak Citra? Nanti biar aku yang ngomong sama Papa kalau aku terlanjur hamil," ucap Kin
"Citra! Jangan kurang ajar kamu! Ambil uang itu dan atur semua kebutuhan rumah! Cukup gak cukup harus cukup!" hardik Aldo sembari menatap tajam pada Citra karena ia sudah dengan beraninya menghamburkan uang yang Aldo berikan tadi ke lantai. "Kamu pikir kamu siapa bisa memaksaku? Aku tak butuh uangmu, Mas! Kamu pikir sehebat apa dirimu sampai-sampai aku seperti pengemis terhadapmu.""Benar-benar kamu ya, Cit! Sudah berani membangkang rupanya.""Kalau iya kenapa memangnya? Kamu saja berani nyakitin aku. Jelas saja aku berani membangkang. Jangan kamu pikir aku akan takut sama kamu ya!""Heh Citra, mau jadi istri durhaka kamu? Ingat Cit, surga kamu itu ada di bawah kaki Aldo. Jadi jangan pernah kamu membangkang sama Aldo!""Kalian pikir, kalian nggak dzalim sama aku? Kalian rampas hakku. Kalian pikir uang satu juta akan cukup untuk kebutuhan satu bulan? Kalau kalian merasa uang satu juta akan cukup untuk satu bulan, silahkan kalian saja yang mengaturnya. Aku mah ogah!"Citra pun meningga
Citra pun tak memperdulikan Bu Miranti dan juga Raya. Ia mengangkat bahunya pertanda ia masa bodoh dengan semua itu sembari menyunggingkan senyuman sinisnya. Bu Miranti mengambil kembali belanjaan yang ia letakkan di atas meja. Lalu membawanya ke dapur dan bergegas untuk masak. Dengan cepat Bu Miranti menyelesaikan memasaknya. Ia menaruh makanan yang sudah jadi ke maja makan dan tidak lupa menutupnya dengan tudung saji. "Ibu sudah masak?" tanya Aldo mendaratkan bokongnya di kursi makan yang berada di dapur. "Sudah, nih baru mateng." Bu Miranti menaruh piring yang berisi telur dan terong balado. Aldo dan Raya mengerutkan dahinya melihat masakan sang Ibu. "Kok Ibu cuma masak telur sama terong sih?" protes Raya kepada sang Ibu. "Iya, Bu, kok Ibu cuma masak ini saja?" Aldo pun ikut memprotes sang Ibu. "Iya, kita harus ngirit, gaji kamu kan cuma sedikit." Bu Miranti mengambil nasi dan juga lauknya ke dalam piring. "Kalo sama Citra paling nggak menunya itu ayam atau nggak ya ikan.
"Emang gue pikirin, hus hus sana pergi. Ganggu orang makan saja!" Citra mengusir Raya yang sedari tadi mengamatinya yang sedang makan. DrrrtDrrtAldo merogoh sakunya saat terasa hpnya yang bergetar dari dalam celananya. "Ya, Sayang? Tumben telpon? Biasanya kan aku yang telpon.""Emm Mas, kamu lagi ngapain?" tanya Kinanti dengan nada lembut dan sedikit manja. "Aku lagi kesel nih sama Citra. Masa dia makan makan sendiri, beli ayam bakar sama sate dimakan sendiri. Aku kasian sama Ibu yang ngeliatnya.""Ya ampun, Mas, ya sudah aku transfer ya buat beli makan. Kasian Ibu dong belum makan.""Iya, nih Ibu agak lesu karena kepingin liat Citra makan Ayam bakar tadi.""Ya sudah aku matikan telponnya ya Mas. Habis ini aku transfer terus kamu beliin apa yang Ibu mau ya.""Oke, Sayang, terima kasih ya kamu sudah baik sama Ibu.""Iya Mas nggak masalah."TutKinanti mematikan teleponnya. Lima detik kemudian Kinanti mengirim pesan ke Aldo yang berisi ia telah mentransfer ke rekening Aldo. [Mas,
Kinanti mendesah, ia khawatir ayahnya tak memberi izin untuk menikah secara siri. semakin lama kandungannya pasti akan semakin membesar. Tidak mungkin ia membiarkan anaknya tumbuh tanpa ayah. Sedangkan untuk menikah resmi Citra masih kekeh untuk meminta uang yang tidak sedikit. "Gimana ini? Kalau Papa gak kasih izin makin la makin besar perutku ini." Kinan mendesah, kepalanya mendadak terasa sakit. Ia resah dan takut kalau-kalau sang ayah tidak juga memberikannhya restu perihal rencana pernikahannya dengan sang kekasih yang masih berstatus sebagai suami orang itu. “Duh, gimana ini, Papa juga kenapa sih gak restuin aku aja? memang apa susahnya sih tinggal nikahin aku sma Mas Aldo aja. Timbang tinggal ijab kabul aja pake segala nunggu resmi segala. Kalau sekarang sudah hamil begini kan dia juga yang repot dan malu kan?” gumam Kinanti membenarkan pendapatnya sendiri saja. Sementara itu, Pak Guntur tengah memikirkan terus apa yang diakui Kinanti tadi padanya. Meskipun ia tampak diam dan