[Nak, bisa tolong kirimkan uang? Ibu sedang ada di supermarket dan uang yang Ibu bawa ternyata kurang.]
[Mbak, bisa tolong transfer ke nomor ini? Aku lagi di bengkel servis motor tapi duitnya kurang.] [Sayang, kamu belum transfer? Terus gimana aku bayar makan siangku nanti?] Tiga pesan beruntun masuk ke nomor Andini. Pesan tersebut masuk dari tiga nomor yang berbeda, yakni dari nomor ibu mertua, adik ipar dan suaminya. Usai membaca ketiga pesan tersebut, kemudian Andini membuka aplikasi m-banking dan mengirimkan sejumlah uang ke tiga nomor yang berbeda. "Done! Waktunya beberes lagi. Saking sibuknya beres-beres, aku sampai kelupaan," ucap wanita yang memakai daster dan celemek di tubuhnya. ********* “Haish! Nomor baru lagi! Nggak ada bosennya kali ini orang!” Sebuah pesan masuk ke ponsel Andini. Hal itu sukses membuat wanita yang sedang duduk sambil menikmati teh itu, seketika mengernyit heran. Sebab sudah sejak beberapa akhir ini, banyak sekali nomor baru yang menghubungi dirinya. [Jangan bodoh dengan terlalu bucin sama suamimu itu!] “Dasar kurang kerjaan!” ucap Andini mencoba mengabaikan pesan tersebut. [Bahkan demi laki-laki mokondo seperti itu, kamu tega memblokir akses komunikasi kami!] Andini kembali membuka pesan yang masuk. Namun rasa herannya seketika sirna saat selesai membaca pesan tersebut. [Berhenti memfitnah suamiku! Dia tidak seburuk yang kamu pikirkan!] Dengan geram, Andini membalas pesan tersebut. Ia tahu persis, siapa pengirim pesan tersebut. Tentu, pelakunya masih sama dengan beberapa nomor yang selama ini meneror dirinya. “Kalian ini, apa nggak bisa biarin hidup aku tenang sedikit! Makanya nikah, biar ada yang bantu ngabisin waktu gabut kalian!” Andini berbicara dengan ponsel yang masih menampilkan layar chat nomor misterius tersebut. Saat baru saja meletakkan ponselnya di atas meja. Derit ponsel Niko, suaminya, membuat Andini kembali menoleh. Wanita itu melirik ke arah kamar mandi, laki-laki yang sudah menjadi suaminya selama tiga tahun tersebut masih melakukan ritual mandinya. “Siapa sih?” tanya Andini pada dirinya sendiri, saat melihat ponsel sang suami kembali berderit. [Mas hari ini jadikan?] Andini menghentikan gerakan tangannya di atas meja. Ujung jarinya baru saja menyentuh ponsel Niko ketika notifikasi pesan itu muncul di layar. Jantungnya berdetak kencang. Matanya terpaku pada nama kontak yang muncul di layar: Kang Paket Darahnya berdesir. Siapa orang ini? Kenapa mengirim pesan seperti itu pada suaminya? Masa iya kurir paket sampai kirim chat seperti itu? Dengan tangan gemetar, Andini meraih ponsel tersebut dan mencoba membuka layarnya. Srek! Kukunya beradu dengan permukaan kaca. Layar tetap terkunci. “Kenapa dikunci?” bisiknya nyaris tanpa suara. Andini menarik nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Sudah tiga tahun menikah, dan selama itu Niko tidak pernah mengunci ponselnya. Keduanya selalu terbuka satu sama lain. Andini tidak pernah merasa perlu mengecek ponsel suaminya karena kepercayaan yang mereka bangun begitu kuat. Tapi sekarang? Jari wanita itu mulai kembali bergerak, menekan beberapa kombinasi angka yang mungkin menjadi kata sandi. Tapi ternyata salah. Andini menggigit bibir. Ia melirik ke arah kamar mandi yang tertutup. Suara gemericik air masih terdengar. Bisa dipastikan jika Niko masih mandi. Wanita berambut panjang tersebut mencoba berpikir kemudian coba menggunakan kombinasi lain. Salah lagi! Keringat mulai membasahi telapak tangannya. Andini mengusapnya ke pakaian, tapi tetap saja kembali basah. Tangan wanita itu bergetar. Pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk. Dan ini pertama kalinya, Andini merasa overthinking terhadap sang suami. “Biasanya kurir paket itu laki-laki atau jangan-jangan….” Andini termenung. Wanita itu larut dalam pemikirannya sendiri. Sejak kapan Niko mulai menyembunyikan sesuatu darinya? Dan… siapa Kang Paket ini? Bukankah seharusnya, Andini tak perlu berpikiran macam-macam. Tapi kini… entah apa yang membuat wanita itu merasa resah. Andini sudah dua kali mencoba membuka ponsel Niko. Dengan tanggal lahir Niko. Gagal. Tanggal lahir ibu Niko. Gagal juga. “Ya Tuhan…,” gumamnya frustasi. Jika dia tak bisa membuka ponsel ini, bagaimana Andini bisa mencari tahu lebih lanjut? Tapi tiba-tiba… Ceklek! Suara gagang pintu kamar mandi berputar. Jantung Andini mencelos. Ia buru-buru meletakkan ponsel kembali ke meja dan berusaha bersikap santai. Niko keluar, masih dengan rambut basah, air menetes dari helaiannya dan jatuh ke lantai marmer. Laki-laki itu hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggang, memperlihatkan tubuh atletis yang terbentuk akibat rutinitas gym-nya. “Kamu kenapa?” tanyanya, saat melihat Andini yang duduk diam di kursi rias. Andini tak langsung menjawab dan hanya tersenyum tipis. “Sudah selesai mandinya?” Niko mengangguk. “Kalau belum, aku masih di kamar mandi dong,” candanya. Biasanya Andini akan tertawa kecil jika mendengar candaan yang terlontar dari bibir sang suami. Tapi tidak hari ini. Mata Andini masih berusaha menilai setiap gerak-gerik suaminya. Apakah ada tanda-tanda gelisah? Atau apakah laki-laki itu terlihat menyembunyikan sesuatu? Niko berjalan ke lemari dan mengambil handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya. “Ada apa? Jangan bilang kamu lagi jatuh cinta lagi sama suamimu ini,” ujarnya dengan nada menggoda. Saat melihat sang istri tampak memperhatikan dirinya. Andini tersenyum hambar dan menimpali. “Lebih baik begitu, daripada jatuh cinta lagi ke orang lain. Itu sih namanya puber kedua.”Andini mendekat. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, tapi penuh tekanan tak kasatmata yang menggulung seperti badai kecil dalam kamar mereka. Begitu jarak cukup dekat, ia berdiri tegak di depan Niko. Kepalanya sedikit mendongak, sedangkan sorot matanya menusuk lurus ke arah mata pria itu, seperti sedang menilai seekor serigala yang menyamar jadi manusia.“Denger ya, Mas,” ucapnya datar, nyaris tanpa nada. Tapi justru itu yang membuat ucapannya menggigit.“Mbok Nah itu memang pembantu, tapi dia tahu tempatnya di mana. Dia nggak sok pamer status mentang-mentang aku baikin, dia juga nggak ngelunjak. Nggak datang tanpa diundang kayak jaelangkung, apalagi bawa koper segede gaban kayak mau ngungsi.”Andini berhenti sejenak, nafasnya naik-turun perlahan, menahan emosi yang mengendap di dada. Lalu suaranya kembali terdengar, lebih tajam.“Sementara istri barumu itu—baru juga lima menit masuk rumah ini, udah ngajak ribut hawanya. Mau minta privilege karena lagi hamil? Emang dia siapa? Karn
“Ya sudah, suruh saja dia tidur di kamar pembantu.”Suara Andini terdengar datar, tanpa jeda sedikit pun untuk sekedar setitik empati. Keputusan telah dibuat, dan nada bicaranya menutup semua peluang kompromi yang coba diusik oleh Niko. Laki-laki itu pun hanya bisa menatap punggung istrinya yang kini mulai melangkah naik ke lantai dua, meninggalkan ruang tamu dengan Lisa dan Ibu Rukmini yang masih mematung. Suasana di bawah nyaris membeku, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar.Namun rupanya, Niko belum siap menyerah.Langkahnya tegas mengayun cepat ke lantai atas, menyusul Andini yang baru saja masuk ke kamar. Ia menutup pintu perlahan, mencoba agar percakapan selanjutnya tidak terdengar orang rumah. Tapi siapa pun tahu, itu percuma saja.“Jangan gitu dong, Sayang,” bujuk Niko sambil mendekat, mencoba menyentuh bahu istrinya.Andini hanya menepis tangan itu pelan, lalu menghempaskan tubuh ke kursi rias. Ia mengambil kapas dan mulai menghapus sisa make up di wajahnya, ge
“Tolong kasih tahu kalau kamu tahu dimana Nino, Ndin.” Suara Niko terdengar pelan namun terdesak. Ada kecemasan samar di balik nada bicara laki-laki itu, tapi Andini tak menggubrisnya. Ia menyandarkan punggung ke tembok dengan santai. Alis kirinya terangkat. “Kenapa tanya aku? Aku kan cuma kakak iparnya,” jawab Andini datar. Bibirnya menyeringai kecil dan kembali melanjutkan. “Coba tanya mantan pacar, alias mantan calon istrinya, yang sekarang jadi ... kakak iparnya juga. Kali aja dia tahu.” Kata-kata Andini tak hanya tajam, tapi juga menusuk tepat ke titik malu seseorang yang masih punya harga diri. Sayangnya, wanita yang ia tuding hanya berdiri tegak, tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tak ada gerakan menunduk, apalagi rasa bersalah. Andini mendesis pelan. Matanya menatap tajam ke arah Lisa, menilai gerak-gerik yang tak berubah. ‘Benar-benar tak punya malu rupanya, cih!’ batinnya menggeram. Ia memiringkan kepala sedikit, seolah memperjelas arah serangannya berikutnya. “Lagia
“Lha kok tanya saya? Kan anak situ, bukan anak saya.”Suara Andini terdengar tenang, namun tajam. Ucapannya seperti pisau yang menusuk ke dasar harga diri sang mertua.“Jangan kurang ajar kamu, Andini!” bentak Rukmini lantang, nadanya melengking menusuk gendang telinga.Andini memejamkan mata sejenak, mengatur napas. Perlahan ia membuka kelopak mata dan melangkah maju, tubuhnya tegak. Suasana mendadak menegang. Tiap ketukan hak sandalnya di lantai membuat jantung Rukmini berdegup lebih cepat.Ia kini berdiri tak sampai dua langkah dari sang mertua.“Coba ulangi kata-kata Ibu,” ucap Andini, pelan namun penuh tekanan. “Aku nggak terlalu denger tadi.”Rukmini spontan menelan ludah. Glek! Tangan tuanya gemetar kecil, dan sorot matanya berusaha menghindar dari tatapan menantunya yang tajam. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.“Ma—mau apa kamu, Andini?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar, patah-patah, bahkan nyaris tertelan rasa gugupnya sendiri.Andini menaikkan satu alis, l
“Tolong jangan bertele-tele, Andin.”Nada suara Niko terdengar mulai kehilangan kesabaran. Ia berdiri tegak, dengan dada membusung, namun wajahnya menyimpan gelisah yang tak bisa ditutupi. Di sampingnya, Lisa berdiri kaku. Tangannya saling menggenggam erat di depan perut yang masih belum terlihat membuncit, mencoba terlihat tenang meski jelas matanya menyapu seisi ruangan dengan angkuh.Andini mengangkat wajah, menatap lurus ke arah sang suami. Tatapannya menusuk, tanpa senyum, tanpa basa-basi.“Siapa yang sebenarnya bertele-tele, Mas?” balas Andini dengan suara datar namun tegas.Ia melangkah pelan, dan mendekat. Pandangannya berpindah dari Niko ke Lisa. Tatapan tajamnya membuat Lisa menunduk tanpa sadar, seolah tengah diperiksa oleh seorang hakim.Tak ada keramahan di wajah Andini. Tak ada raut lembut yang dulu sempat menghiasi setiap interaksi mereka. Yang terlihat hanya ketegasan dan dingin yang mencekam.“Aku bawa Lisa kemari untuk tinggal bersama kita,” ucap Niko pada akhirnya
“Sayang … ini Lisa. Aku sama Lisa udah nikah tadi pagi.” Suara Niko terdengar tenang, bahkan sedikit santai, seolah yang ia ucapkan bukanlah sebuah pengkhianatan besar terhadap pernikahannya sendiri. Sementara Andini duduk di kurai teras, mengenakan daster bermotif bunga dan menyilangkan kakinya dengan santai. Di pangkuannya, sebuah ponsel menyala dengan suara film romcom dari negeri seberang yang ia tonton sambil menyeruput teh hijau. Aroma pandan dan jahe dari kue yang baru saja ia makan amat menenangkan, kontras dengan situasi yang baru saja dilemparkan ke wajahnya. Sekilas, Andini melirik ke arah dua sosok yang berdiri di sisi kirinya. Tak ada keraguan di mata Niko, dan Lisa tampak berdiri dengan percaya diri tepat di samping suami barunya, bahkan keduanya sama sekali tidak menunjukkan sedikitpun rasa bersalah. Andini hanya menatap mereka sepersekian detik sebelum akhirnya kembali memfokuskan perhatian