“Maksud kamu apa?”
Niko menghentikan gerakan tangannya. Laki-laki itu menoleh, menatap istrinya dengan alis bertaut. “Enggak, cuma jawab ucapan kamu, kok.” Andini berdiri sambil mengendik acuh, kemudian wanita berambut panjang tersebut bangkit dan mengambil kemeja yang sudah disiapkan. Lalu meletakkannya di tempat tidur. “Ini baju kerja kamu.” Niko tersenyum, tapi saat mengambil ponselnya dari meja, ekspresinya tiba-tiba berubah. Jantung Andini kembali mencelos. Wanita itu penasaran, apakah suaminya sedang melihat notifikasi yang ia lihat tadi? Niko buru-buru mengunci layar, lalu berjalan mendekati Andini, tangannya terulur mencubit pipi sang istri pelan lalu mengusap pucuk kepalanya. “Jangan manyun gitu ah, jelek tau.” “Coba katakan ada apa?” tanya Niko dengan nada lembut. Andini mengangkat alis. “Hmm.. Ya ya ya istrinya dikata jelek, karena kamu biasa melihat wanita di luar sana yang lebih cantik dan seksi. Iya kan?” Niko tampak terkejut sesaat. Tapi dengan cepat, laki-laki itu mengontrol ekspresinya. “Kamu ini lagi PMS atau gimana sih? Kok dari tadi ketus banget.” “Lagian, siapa coba yang bisa lebih cantik dari bidadari Mas ini? Aneh-aneh aja kamu itu!” bantah Niko yang kemudian mengecup pipi Andini. “Tuh, di hape kamu. Ada chat dari Kang Paket yang ngajak ketemuan. Kang Paket atau Kang Paket? Kok pake acara janjian segala.” Andini memilih mengabaikan ucapan Niko dan mengalihkan pembicaraan. Niko mengangkat tangannya yang masih memegang ponsel. “Di sini?” “Pikir aja sendiri!” ketus Andini seraya berlalu. Niko tersenyum, ia segera menarik tangan sang istri sebelum wanita itu benar-benar pergi. “Duduk sini!” “Apa ini yang kamu lihat tadi?” tanya Niko sambil menunjukkan layar ponselnya. Layar tersebut menunjukkan sebuah pesan chat, dimana kontak atas nama Kang Paket baru saja mengirim pesan. “Dia itu kurir paket. Aku beli sesuatu buat kamu, tapi aku lupa malah kasih alamat rumah ini. Kan jadi nggak surprise kalau paketnya kamu yang nerima. Jadi, aku ngajak dia ketemuan. Eh malah suruh ambil sendiri ke drop point,” terang Niko dengan nada lembut. “Yakin?” tanya Andini yang masih tampak ragu. “Yakinlah! Udah ya, jangan manyun lagi,” rayu Niko sambil mencubit hidung sang istri. Andini tidak menjawab. Ia hanya bangkit dan berbalik, kemudian melangkah ke luar kamar. Tapi baru beberapa langkah, suara Niko tiba-tiba menghentikan ayunan langkahnya. “Sayang…. Nanti… kamu bisa pergi sendiri ke rumah sakit, kan?” Langkah Andini terhenti di depan pintu. Wanita itu menghela nafas panjang lalu menoleh perlahan. “Apa maksudmu?” “Aku mau ke kantor ekspedisi ambil paket. Terus mau ketemu klien tapi ambil berkas dulu di kantor. Ada pekerjaan mendadak yang harus aku selesaikan. Soal project tempo hari yang aku pernah ceritakan itu,” jawab Niko. Alasan. Alasan yang terlalu mendadak. Begitu pikir Andini. Andini menatap suaminya lekat-lekat. “Biasanya kamu bisa izin, kenapa sekarang tidak? Dan kenapa harus saat seperti ini?” “Aku itu mau periksa ke dokter kandungan. Dan kamu juga harus ikut periksa. Setidaknya agar aku nggak terus-terusan dikatakan mandul, Mas!” imbuh Andini yang mulai menaikkan nada suaranya. “Ada hal yang harus segera Mas selesaikan, Sayang. Tolong mengertilah. Deadline-nya juga nggak lama lagi,” jawab Niko buru-buru. Andini menutup mata sejenak, kemudian kembali menghela nafas demi membuang beban tak kasat mata, yang menekan dadanya hingga terasa sesak. Entahlah, Andini sendiri tak tahu apa Niko sedang berbohong atau tidak. Tapi seperti biasa, wanita itu selalu mengiyakan ucapan sang suami. Meski sebelumnya, laki-laki itu tidak akan semendadak ini membatalkan janji, kecuali memang ada sesuatu yang benar-benar urgent. Tapi sejak beberapa saat lalu, entah mengapa pemikiran Andini menjadi amat buruk pada suaminya sendiri. “Terserah,” ucapnya dingin. Wanita itu sudah benar-benar marah kali ini. Ia merasa jika sang suami tak peduli tentang kondisinya. “Lagipula, aku bisa pergi sendiri.” “Atau, kita ubah jadwalnya jadi lusa saja? Biar Mas bisa ambil cuti lagi.” Baru saja Andini mengatupkan bibirnya, Niko dengan cepat menyambar. Andini langsung menggeleng. “Nggak perlu. Lagian, membuat janji dengan dokter tidak segampang itu.” “Mereka juga punya jadwal dan deadline yang tak bisa diganggu gugat!” sambung Andini sembari menekan kata ‘deadline’. Niko terlihat sedikit panik. Melihat ekspresi sang istri, laki-laki 28 tahun tersebut mulai menyadari sikap ketus Andini. “Atau aku panggil Mbak Rara? Biar Ibu atau Mbak Rara yang nemenin kamu.” “Ibu baru sembuh, tensinya cukup tinggi kemarin. Itu sebabnya beliau sampai harus dirawat. Ibu masih harus istirahat di rumah. Mbak Rara juga lagi kerja. Aku nggak mau merepotkan mereka,” tolak Andini dengan tegas. “Apa maksud kamu dengan kata ‘merepotkan’ itu?” Namun, jawaban yang diberikan oleh Andini, membuat Niko menatapnya tajam. Andini tersenyum miring dna menjawab. “Selama Ibu di rumah sakit, siapa yang mengurus beliau? Kamu? Adikmu? Atau kakakmu itu? Bukan, kan Mas?” “Aku yang mengurus Ibu, lalu dimana semua saudara perempuanmu itu? Bahkan adik laki-lakimu saja nggak bisa diandalkan,” imbuh Andini dengan nada cukup tinggi. “Kalau urus dan nemenin ibu sendiri aja nggak bisa. Apalagi nemenin aku yang notabene hanya saudara ipar?” Niko terdiam. Tak bisa menjawab. “Sudahlah, aku masih bisa pergi sendiri.” Andini melanjutkan, sebab matanya bisa melihat dengan jelas kebisuan sang suami. Lelaki yang sudah memakai pakaian lengkap tersebut menghela nafas panjang. “Ya sudah, terserah kamu. Yang jelas Mas sudah menawarkan. Maaf karena Mas nggak bisa anter kamu.” Detik berikutnya, ia mendekat, kemudian mengecup kening Andini. “Kabari Mas kalau ada apa-apa. Jangan ngebut! Jangan sampai kamu pergi dengan posisi kesal terus nyetirnya ugal-ugalan.” Tanpa menunggu jawaban, Niko melangkah keluar kamar. Andini mengikuti arah kepergian sang suami dengan tatapan kosong, perasaan sesak makin menekan dadanya. “Entah kenapa, aku seperti tidak mengenalmu hari ini, Mas….”“Nino masih belum ketemu juga, Nik?”Suara Rukmini terdengar serak namun penuh tekanan. Tatapannya menusuk ke arah putra sulungnya, Niko, yang duduk di sofa dengan wajah gelisah. Sudah satu minggu Nino menghilang tanpa jejak, tepat sejak hari pernikahan Niko dengan Lisa—wanita yang dulunya juga adalah kekasih Nino sendiri.Pertanyaan itu seakan menambah beban yang sudah bertumpuk di pundak Niko. Ia menghela napas berat, menunduk sambil memijit pelipis. Namun sebelum sempat menjawab, suara lain terdengar.“Andini, kamu beneran nggak tau dimana Nino?” Rukmini langsung mengalihkan fokusnya pada sang menantu, tatapannya tajam penuh curiga.Andini yang sejak tadi duduk tenang, hanya mengangkat wajahnya sekilas. Ekspresinya datar, tak ada sedikitpun rasa terintimidasi.“Nggak,” jawabnya singkat, tanpa basa-basi.Jawaban itu membuat dahi Rukmini berkerut. “Kamu itu, Ndin, mertua ngajak ngomong serius malah jawabannya sengak.” Suaranya meninggi, penuh kekesalan yang sudah lama dipendam.Andi
“Neng yakin mau tampung mereka di sini?”Suara Mbok Nah terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Pertanyaan itu meluncur setelah langkah kaki Lisa dan Niko lenyap dari ruang makan. Suasana mendadak lengang, menyisakan aroma nasi goreng yang sudah dingin.Andini masih duduk di kursinya, menyentuh cangkir teh hijau yang uapnya mulai menipis. Wajahnya tampak tenang, nyaris datar, meski jelas ada sisa ketegangan di ruangan itu.“Memang kenapa, Mbok?” tanyanya lembut, berbeda jauh dari nada bicara keras dan menusuk yang ditujukan pada Lisa beberapa menit lalu.Mbok Nah mengalihkan pandangannya sejenak, lalu menatap kembali. Ada keraguan di sorot matanya, seperti orang yang menyimpan kalimat tetapi enggan mengucapkannya.“Em … gapapa sih, Neng.”Andini tersenyum tipis, senyum yang lebih seperti menahan lelah ketimbang ramah.“Ngomong aja, Mbok. Gapapa kok. Lagian, pesanku cuma satu. Mbok Nah jangan pernah ikutin kemauan mereka. Ini bukan soal siapa yang bayar Mbok Nah. Tapi orang-orang mac
“Mas! Kamu belain dia?”Lisa mencebik, bibirnya menekuk penuh kekesalan. Matanya menyipit, menatap suaminya dengan tajam seakan mencari pengakuan. Ketidakpuasan jelas menguasai wajahnya.Beberapa saat sebelumnya, Lisa masih saja meributkan hal kecil, tentang sarapan yang tak sesuai dengan seleranya. Hingga suasana ruang makan menjadi riuh. Sementara Andini tetap duduk dengan tenang, tak tergoyahkan oleh keributan yang dibuat oleh adik madunya. Sedangkan Niko datang terlambat. Laki-laki itu mencoba menengahi. Namun, di mata Lisa, jelas sekali sikap Niko lebih berpihak pada Andini.“Aku nggak belain siapa-siapa, Lisa,” ucap Niko pelan, suaranya nyaris tenggelam.Kalimat itu bukannya menenangkan, justru terdengar ragu. Bahunya menurun, sorot matanya tak berani menatap lama pada istrinya yang sedang meledak-ledak.Andini masih bersikap cuek. Ia sibuk dengan piring berisi nasi gorengnya, menyendok perlahan seolah suara keras Lisa hanyalah dengungan lalat di telinga. Bahkan saat Lisa melot
“Mbok! Mana sarapannya?!”Suara melengking Lisa menggema, menghantam dinding-dinding rumah besar itu. Nada tinggi yang terdengar kasar membuat pagi yang seharusnya tenang berubah gaduh.Andini yang baru saja menutup pintu kamarnya tersentak kecil. Keningnya berkerut.‘Berulah apalagi orang itu?’ batinnya. Dengan langkah santai namun penuh rasa waspada, ia berbalik arah dan menuruni tangga.Di ruang makan, Mbok Nah terlihat tergopoh, terburu-buru mendekat. Usianya sudah senja, namun ia tetap berusaha sigap. Sementara di ujung meja makan, Lisa berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya memerah menahan emosi.“Itu sarapan, Non,” ucap Mbok Nah sambil menunjuk nasi goreng hangat yang sudah tersaji, lengkap dengan telur mata sapi yang masih mengepul di piring kecil.Lisa mendengus keras. Ia mengangkat telunjuknya, menunjuk ke arah hidangan tersebut dengan tatapan penuh rasa muak.“Ini kamu bilang sarapan?”Mbok Nah menelan ludah, suaranya ragu tapi tetap sopan.“Memang … mau sarapan
Andini mendekat. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, tapi penuh tekanan tak kasatmata yang menggulung seperti badai kecil dalam kamar mereka. Begitu jarak cukup dekat, ia berdiri tegak di depan Niko. Kepalanya sedikit mendongak, sedangkan sorot matanya menusuk lurus ke arah mata pria itu, seperti sedang menilai seekor serigala yang menyamar jadi manusia.“Denger ya, Mas,” ucapnya datar, nyaris tanpa nada. Tapi justru itu yang membuat ucapannya menggigit.“Mbok Nah itu memang pembantu, tapi dia tahu tempatnya di mana. Dia nggak sok pamer status mentang-mentang aku baikin, dia juga nggak ngelunjak. Nggak datang tanpa diundang kayak jaelangkung, apalagi bawa koper segede gaban kayak mau ngungsi.”Andini berhenti sejenak, nafasnya naik-turun perlahan, menahan emosi yang mengendap di dada. Lalu suaranya kembali terdengar, lebih tajam.“Sementara istri barumu itu—baru juga lima menit masuk rumah ini, udah ngajak ribut hawanya. Mau minta privilege karena lagi hamil? Emang dia siapa? Karn
“Ya sudah, suruh saja dia tidur di kamar pembantu.”Suara Andini terdengar datar, tanpa jeda sedikit pun untuk sekedar setitik empati. Keputusan telah dibuat, dan nada bicaranya menutup semua peluang kompromi yang coba diusik oleh Niko. Laki-laki itu pun hanya bisa menatap punggung istrinya yang kini mulai melangkah naik ke lantai dua, meninggalkan ruang tamu dengan Lisa dan Ibu Rukmini yang masih mematung. Suasana di bawah nyaris membeku, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar.Namun rupanya, Niko belum siap menyerah.Langkahnya tegas mengayun cepat ke lantai atas, menyusul Andini yang baru saja masuk ke kamar. Ia menutup pintu perlahan, mencoba agar percakapan selanjutnya tidak terdengar orang rumah. Tapi siapa pun tahu, itu percuma saja.“Jangan gitu dong, Sayang,” bujuk Niko sambil mendekat, mencoba menyentuh bahu istrinya.Andini hanya menepis tangan itu pelan, lalu menghempaskan tubuh ke kursi rias. Ia mengambil kapas dan mulai menghapus sisa make up di wajahnya, ge