“Kalau Mas Niko tahu aku bisa habis dihajar sama dia, Kak.”
Suara Nino terdengar tegas namun gemetar. Wajahnya terlihat cemas. Tangannya mengepal di atas meja, sementara Andini hanya menatapnya dingin, tanpa sepatah kata. “Kamu minta aku diam… setelah semua yang aku lihat?” Andini bersandar, suaranya nyaris berbisik, tapi penuh tekanan. “Kamu tahu aku sudah hampir gila karena menahan rasa marah diri sendiri, Nino.” “Kami membiayai sekolahmu, agar kamu bisa sukses di masa depan. Tapi justru kamu sendiri yang menghancurkan masa depanmu!” ucap Andini yang mulai menaikkan nada suara. “Aku tahu,” Nino membalas cepat. “Tapi aku juga bingung, Kak. Kakak pikir aku nyaman nutupin semua ini? Aku sudah janji, aku bakal jujur ke keluarga. Tapi untuk sekarang… tolong, jangan bilang apa-apa ke Mas Niko dan Ibu dulu.” Andini mengerjapkan mata, nafasnya pendek-pendek menahan amarah yang hampir meledak. Kepalanya dipalingkan, matanya menatap kaca besar yang memantulkan siluet mereka bertiga. “Dia suami aku dan aku nggak mungkin menyembunyikan sesuatu dari dia.” “Dan dia kakak aku,” sahut Nino. “Aku mohon Kak. Sekali ini saja.” Hening menyergap selama beberapa detik. Nino menunduk, menggigit bibir bawahnya keras-keras. Sementara gadis di sampingnya hanya terdiam dan mengamati seisi rumah Andini. “Kamu tahu, selama ini aku percaya sama kamu lebih dari siapapun. Aku kira kamu adalah pemuda yang jujur dan baik,” Andini berkata pelan, nada getir mengiris setiap katanya. “Tapi setelah semua ini… kepercayaanku padamu, lenyap sudah.” Nino memejamkan mata. “Aku akan bicara pada Ibu dan Mas Niko. Aku janji. Tapi bukan hari ini.” “Baiklah. Terserah kalian saja!” — Sore harinya… Bunyi langkah kaki terdengar dari arah pintu. Andini langsung menoleh dari dapur, melihat sosok suaminya yang baru saja pulang. Raut wajah Niko tampak letih. Kancing bajunya sudah terbuka dua, dasi tergantung longgar di leher. Di tangannya, sebuah kotak dengan pembungkus khas jasa ekspedisi ia bawa dengan hati-hati. “Ini paket yang aku bicarakan tadi pagi,” katanya seraya tersenyum kecil. “Semoga kamu suka.” Andini diam sejenak, lalu berjalan mendekat. Tangannya menerima kotak itu, mata wanita itu masih menatap Niko yang kini mencoba tersenyum lebih lebar. “Bukalah, sayang,” ucap Niko, mendorong pelan kotak di tangan Andini. “Aku tahu kamu pasti suka.” Dengan perlahan, Andini membuka bungkus paket yang diberikan sang suami. Di dalamnya, sebuah tas bermerk yang sudah lama ia incar terpampang elegan di atas lapisan kain pelindung. Warna hitamnya mengkilap, elegan, sesuai dengan seleranya. “Makasih, Mas…” ucapnya lirih, tapi cukup terdengar. “Sama-sama, sayang.” Niko mendekat, mengecup kening Andini. “Aku yakin kamu pasti suka. Warnanya sangat cocok sama kamu.” Andini tersenyum tipis. Tapi matanya… tidak memancarkan kebahagiaan seperti biasanya. “Mas… belakangan ini capek banget, ya?” tanyanya pelan, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Niko tertawa kecil, lalu duduk di sofa. “Iya, kerjaan numpuk. Tapi ya… ngeliat kamu bahagia, capeknya langsung hilang.” Kalimat itu terasa manis, terlalu manis bagi Andini. Wanita berambut panjang tersebut menunduk, menatap tas di pangkuannya. Hadiah itu seperti perban yang menutupi luka yang belum dijahit. Namun, Andini tak bisa lagi menahan semuanya. “Mas… tadi siang aku sempat liat kamu… sama seorang perempuan…” Andini akhirnya berucap, pelan, nyaris seperti angin yang berlalu begitu saja. Niko menegang. Matanya langsung menatap Andini, alisnya naik sedikit. Tapi cepat-cepat ia menyamarkan ekspresi itu dengan senyum canggung. “Perempuan mana maksud kamu?” “Yang kamu ajak makan. Di kafe dekat supermarket tadi siang,” jawab Andini. Ya! Sepulang berbelanja, Andini tidak sengaja melihat sang suami tengah duduk berdua di sebuah cafe bersama seorang wanita. Hal itu pulalah yang mengganggu pikiran Andini sejak tadi siang. Beberapa detik hening. Lalu Niko mengangguk, dan berusaha menjawab dengan santai. “Oh, itu… klien dari kantor. Lagi bantuin kita urus izin. Makanya aku ajak ngobrol, biar lebih akrab.” Andini menatap wajah suaminya. Wajah itu masih sama. Tampan. Tenang. Tapi tak lagi seterang dulu di matanya. “Kamu nggak lagi bohong kan Mas?” selidik Andini. “Masalah beginian kenapa harus bohong?” Niko terkekeh pelan. “Kamu bisa tanya ke siapa aja di kantor. Proyek apa yang sedang aku tangani.” Andini mengangguk. “Baiklah, aku percaya padamu.”“Ya sudah, Mas mandi dulu ya sayang….” Cup! Niko mengecup pucuk kepala Andini sebelum akhirnya berlalu ke kamar mereka yang berada di lantai atas. ‘Hufttt… setidaknya Andini percaya karena paket fiktif itu,’ batin Niko seraya melangkah. Sementara Andini hanya memandang ke arah kepergian sang suami kemudian beralih pada paket yang diberikan oleh Niko beberapa saat lalu. “Heh! Kau menganggapku senaif itu rupanya.” **** Kini, Niko sudah selesai mandi, namun laki-laki itu masih betah berlama-lama di kamarnya. Pria berbadan cukup kekar itu masih duduk termenung di atas tempat tidurnya sambil memikirkan sesuatu. “Apa aku ikuti saja masukan dari Ibu ya?” gumam Niko lirih. (Flashback On) Beberapa jam sebelumnya… Niko menjatuhkan sebagian tubuh di atas meja kerjanya yang penuh berkas. Dengan tangan terlipat, ia meletakkan kepalanya di antara kedua lengan, berharap bisa mengistirahatkan pikirannya yang sudah terlalu penat. Drrtt… Drrtt… Namun tiba-tiba ponselnya bergetar.
“Kamu yakin mau ke sana sekarang?” Niko menatap Lisa yang sudah berdiri di depannya dengan ekspresi tegas. Alih-alih menjawab, wanita itu justru memicingkan mata dan menatapnya tajam. Tanpa mengubah posisi, Lisa memutar tubuh menghadap Niko sepenuhnya. “Kalau tidak sekarang, lalu kapan lagi?” suaranya dingin, menusuk langsung ke hati Niko. Niko menelan ludah. “Mungkin kita bisa periksakan dulu ke rumah sakit. Sebelum kamu—” “Aku ini lagi ngidam lho, Mas!” Lisa menyela dengan cepat, suaranya meninggi. “Apa kamu pikir aku ini cuma lagi bercanda, Mas?” Matanya menyala penuh amarah. Niko memejamkan mata sejenak. Dalam hati, ia memang sedikit ragu jika simpanannya itu hamil, tapi ia tak mungkin mengatakan itu pada Lisa. “Bukan begitu, Sayang. Hanya saja…” Niko menghentikan ucapannya saat melihat tatapan Lisa berubah. Ditambah lirikan mata orang tua wanita itu. Membuatnya merasa terpojok. “Kamu yang membuat aku hamil, Mas!” suara Lisa bergetar, bukan karena ketakutan, melain
Di dalam mobil, Niko tampak gelisah. “Jadi, kita ke cafe mana?” tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin. “Lalu rumah sakit mana?” Lisa yang duduk di sebelahnya melipat tangan di dada. “Ke Rumah Sakit Keluarga Terpadu. Itu rumah sakit terdekat.” Mendengar jawaban itu, ekspresi Niko berubah drastis. “Rumah Sakit Keluarga Terpadu? Tapi… Andini juga periksa di sana,” suaranya sedikit panik. Lisa menoleh dengan ekspresi sinis. “Lalu apa masalahnya?” “Rumah sakit itu bukan punya istrimu sendiri, kan? Sampai orang lain nggak boleh periksa di sana?” lanjutnya ketus. Niko menghela napas. “Bukan begitu, Sayang. Aku hanya terkejut, itu saja.” “Lagian, wanita mandul itu ngapain sih pake capek-capek periksa ke rumah sakit segala. Udah mandul mah, ya mandul aja! Nggak usah banyak bertingkah!” papar Lisa yang terlihat jelas sangat tidak menyukai Andini, istri sah Niko. Pras diam. Tangannya semakin erat menggenggam kemudi. Saat ini, pikirannya penuh dengan berbagai skenario bu
Keesokan harinya... ‘Ini mimpi buruk, bukan? Tolong yakinkan aku kalau ini tidak nyata…,’ batin wanita yang kini melihat Niko dan Lisa berjalan santai keluar dari rumah sakit. “Aku nggak pernah menyangka kalau ini yang kau lakukan di belakangku, Mas…” Suara Andini tercekat. Hatinya terasa perih. Ia berdiri terpaku, berusaha mencerna kenyataan pahit yang sedang terjadi di depan matanya. ‘Tapi sejak kapan mereka…?’ Andai saja ia membatalkan jadwal mengambil vitamin hari ini. Sudah pasti Andini tidak akan mendapat fakta yang cukup membuatnya tercengang. Atau mungkin … Tuhan sedang berada di pihaknya. “Aarrgghhh! Dasar brengsek!” umpat Andini keras. “Bu Andini?” Hingga sebuah suara mengejutkan Andini yang masih duduk di lantai. “Dokter…,” lirih Andini. Wanita berjas putih tersebut langsung membantu Andini berdiri. Lalu merangkul tubuh wanita itu dan membawanya ke sebuah ruangan. “Ada apa Bu Andini? Kenapa Ibu ada di-” ******* “Apa kesabaran saya tidak ada
[Nak, bisa tolong kirimkan uang? Ibu sedang ada di supermarket dan uang yang Ibu bawa ternyata kurang.] [Mbak, bisa tolong transfer ke nomor ini? Aku lagi di bengkel servis motor tapi duitnya kurang.] [Sayang, kamu belum transfer? Terus gimana aku bayar makan siangku nanti?] Tiga pesan beruntun masuk ke nomor Andini. Pesan tersebut masuk dari tiga nomor yang berbeda, yakni dari nomor ibu mertua, adik ipar dan suaminya. Usai membaca ketiga pesan tersebut, kemudian Andini membuka aplikasi m-banking dan mengirimkan sejumlah uang ke tiga nomor yang berbeda. "Done! Waktunya beberes lagi. Saking sibuknya beres-beres, aku sampai kelupaan," ucap wanita yang memakai daster dan celemek di tubuhnya. ********* “Haish! Nomor baru lagi! Nggak ada bosennya kali ini orang!” Sebuah pesan masuk ke ponsel Andini. Hal itu sukses membuat wanita yang sedang duduk sambil menikmati teh itu, seketika mengernyit heran. Sebab sudah sejak beberapa akhir ini, banyak sekali nomor baru yang menghubungi
“Maksud kamu apa?”Niko menghentikan gerakan tangannya. Laki-laki itu menoleh, menatap istrinya dengan alis bertaut. “Enggak, cuma jawab ucapan kamu, kok.”Andini berdiri sambil mengendik acuh, kemudian wanita berambut panjang tersebut bangkit dan mengambil kemeja yang sudah disiapkan. Lalu meletakkannya di tempat tidur. “Ini baju kerja kamu.”Niko tersenyum, tapi saat mengambil ponselnya dari meja, ekspresinya tiba-tiba berubah.Jantung Andini kembali mencelos. Wanita itu penasaran, apakah suaminya sedang melihat notifikasi yang ia lihat tadi?Niko buru-buru mengunci layar, lalu berjalan mendekati Andini, tangannya terulur mencubit pipi sang istri pelan lalu mengusap pucuk kepalanya. “Jangan manyun gitu ah, jelek tau.”“Coba katakan ada apa?” tanya Niko dengan nada lembut. Andini mengangkat alis. “Hmm.. Ya ya ya istrinya dikata jelek, karena kamu biasa melihat wanita di luar sana yang lebih cantik dan seksi. Iya kan?”Niko tampak terkejut sesaat. Tapi dengan cepat, laki-laki itu me
Seketika, ide melintas di kepala Andini. Ia buru-buru berlari ke kamar, mengambil ponselnya sendiri, lalu mengetik sesuatu.Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Dan balasan pun datang.[Dia nggak ada jadwal masuk kantor hari ini. Entah kalau ketemu klien. Aku juga tak paham.]Jantung Andini berdetak kencang.Kali ini, Ia semakin yakin jika Niko sedang berbohong! Tangannya mencengkeram ponsel dengan erat. Dadanya bergemuruh sedangkan nafasnya memburu. “Kamu berani main-main sama aku, Mas?” geram Andini. Ia menatap keluar jendela, melihat mobil sang suami yang perlahan keluar dari gerbang.Kemarahan Andini seketika meledak.Tanpa pikir panjang, wanita itu meraih kunci mobil dan bergegas keluar.“Aku harus mengikuti Mas Niko! Apapun yang terjadi.”“Kita akan lihat, Mas. Kau benar pergi ke kantor ekspedisi, atau ke tempat lain!”Andini menggumam lirih, matanya menatap tajam ke arah mobil hitam yang baru saja melaju meninggalkan halaman rumah. Dengan gerakan cepat, ia meraih kun
Setelah tiba di rumah sakit, Andini segera menuju lantai tempat dokter kandungan langganannya berada. Ini adalah kunjungan keenamnya dalam satu tahun terakhir, dan setiap kali datang ke sini, hatinya selalu dipenuhi harapan sekaligus ketakutan.Di dalam ruang periksa, ia duduk dengan tangan dan jari yang saling bertaut, berusaha meredam kegugupannya. Dokter yang mengenakan jas putih bersih itu tersenyum lembut sebelum menatapnya dengan penuh perhatian.“Bagaimana, Dok?” tanya Andini dengan suara pelan, namun penuh harap.Sang dokter menatap layar monitor hasil pemeriksaan sejenak, sebelum beralih menatap Andini. “Semuanya bagus, tidak ada masalah serius. Mungkin—”“Mungkin kenapa, Dok?” Andini langsung menyela, suaranya sedikit meninggi karena panik.Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter kandungan tersebut tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya dengan gerakan menenangkan. “Sabar, Bu Andini. Coba tenangkan diri dulu, rileks, dan pikirkan hal-hal baik. Itu bisa membantu meng
Keesokan harinya... ‘Ini mimpi buruk, bukan? Tolong yakinkan aku kalau ini tidak nyata…,’ batin wanita yang kini melihat Niko dan Lisa berjalan santai keluar dari rumah sakit. “Aku nggak pernah menyangka kalau ini yang kau lakukan di belakangku, Mas…” Suara Andini tercekat. Hatinya terasa perih. Ia berdiri terpaku, berusaha mencerna kenyataan pahit yang sedang terjadi di depan matanya. ‘Tapi sejak kapan mereka…?’ Andai saja ia membatalkan jadwal mengambil vitamin hari ini. Sudah pasti Andini tidak akan mendapat fakta yang cukup membuatnya tercengang. Atau mungkin … Tuhan sedang berada di pihaknya. “Aarrgghhh! Dasar brengsek!” umpat Andini keras. “Bu Andini?” Hingga sebuah suara mengejutkan Andini yang masih duduk di lantai. “Dokter…,” lirih Andini. Wanita berjas putih tersebut langsung membantu Andini berdiri. Lalu merangkul tubuh wanita itu dan membawanya ke sebuah ruangan. “Ada apa Bu Andini? Kenapa Ibu ada di-” ******* “Apa kesabaran saya tidak ada
Di dalam mobil, Niko tampak gelisah. “Jadi, kita ke cafe mana?” tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin. “Lalu rumah sakit mana?” Lisa yang duduk di sebelahnya melipat tangan di dada. “Ke Rumah Sakit Keluarga Terpadu. Itu rumah sakit terdekat.” Mendengar jawaban itu, ekspresi Niko berubah drastis. “Rumah Sakit Keluarga Terpadu? Tapi… Andini juga periksa di sana,” suaranya sedikit panik. Lisa menoleh dengan ekspresi sinis. “Lalu apa masalahnya?” “Rumah sakit itu bukan punya istrimu sendiri, kan? Sampai orang lain nggak boleh periksa di sana?” lanjutnya ketus. Niko menghela napas. “Bukan begitu, Sayang. Aku hanya terkejut, itu saja.” “Lagian, wanita mandul itu ngapain sih pake capek-capek periksa ke rumah sakit segala. Udah mandul mah, ya mandul aja! Nggak usah banyak bertingkah!” papar Lisa yang terlihat jelas sangat tidak menyukai Andini, istri sah Niko. Pras diam. Tangannya semakin erat menggenggam kemudi. Saat ini, pikirannya penuh dengan berbagai skenario bu
“Kamu yakin mau ke sana sekarang?” Niko menatap Lisa yang sudah berdiri di depannya dengan ekspresi tegas. Alih-alih menjawab, wanita itu justru memicingkan mata dan menatapnya tajam. Tanpa mengubah posisi, Lisa memutar tubuh menghadap Niko sepenuhnya. “Kalau tidak sekarang, lalu kapan lagi?” suaranya dingin, menusuk langsung ke hati Niko. Niko menelan ludah. “Mungkin kita bisa periksakan dulu ke rumah sakit. Sebelum kamu—” “Aku ini lagi ngidam lho, Mas!” Lisa menyela dengan cepat, suaranya meninggi. “Apa kamu pikir aku ini cuma lagi bercanda, Mas?” Matanya menyala penuh amarah. Niko memejamkan mata sejenak. Dalam hati, ia memang sedikit ragu jika simpanannya itu hamil, tapi ia tak mungkin mengatakan itu pada Lisa. “Bukan begitu, Sayang. Hanya saja…” Niko menghentikan ucapannya saat melihat tatapan Lisa berubah. Ditambah lirikan mata orang tua wanita itu. Membuatnya merasa terpojok. “Kamu yang membuat aku hamil, Mas!” suara Lisa bergetar, bukan karena ketakutan, melain
“Ya sudah, Mas mandi dulu ya sayang….” Cup! Niko mengecup pucuk kepala Andini sebelum akhirnya berlalu ke kamar mereka yang berada di lantai atas. ‘Hufttt… setidaknya Andini percaya karena paket fiktif itu,’ batin Niko seraya melangkah. Sementara Andini hanya memandang ke arah kepergian sang suami kemudian beralih pada paket yang diberikan oleh Niko beberapa saat lalu. “Heh! Kau menganggapku senaif itu rupanya.” **** Kini, Niko sudah selesai mandi, namun laki-laki itu masih betah berlama-lama di kamarnya. Pria berbadan cukup kekar itu masih duduk termenung di atas tempat tidurnya sambil memikirkan sesuatu. “Apa aku ikuti saja masukan dari Ibu ya?” gumam Niko lirih. (Flashback On) Beberapa jam sebelumnya… Niko menjatuhkan sebagian tubuh di atas meja kerjanya yang penuh berkas. Dengan tangan terlipat, ia meletakkan kepalanya di antara kedua lengan, berharap bisa mengistirahatkan pikirannya yang sudah terlalu penat. Drrtt… Drrtt… Namun tiba-tiba ponselnya bergetar.
“Kalau Mas Niko tahu aku bisa habis dihajar sama dia, Kak.”Suara Nino terdengar tegas namun gemetar. Wajahnya terlihat cemas. Tangannya mengepal di atas meja, sementara Andini hanya menatapnya dingin, tanpa sepatah kata.“Kamu minta aku diam… setelah semua yang aku lihat?” Andini bersandar, suaranya nyaris berbisik, tapi penuh tekanan. “Kamu tahu aku sudah hampir gila karena menahan rasa marah diri sendiri, Nino.”“Kami membiayai sekolahmu, agar kamu bisa sukses di masa depan. Tapi justru kamu sendiri yang menghancurkan masa depanmu!” ucap Andini yang mulai menaikkan nada suara. “Aku tahu,” Nino membalas cepat. “Tapi aku juga bingung, Kak. Kakak pikir aku nyaman nutupin semua ini? Aku sudah janji, aku bakal jujur ke keluarga. Tapi untuk sekarang… tolong, jangan bilang apa-apa ke Mas Niko dan Ibu dulu.”Andini mengerjapkan mata, nafasnya pendek-pendek menahan amarah yang hampir meledak. Kepalanya dipalingkan, matanya menatap kaca besar yang memantulkan siluet mereka bertiga.“Dia sua
“Bagaimana caranya kamu mau nikahin dia?” “Ya tinggal nikah! Gitu aja kok repot!” Laki-laki yang memakai jaket jeans itu langsung menoleh saat menyadari ucapannya. “Tinggal nikah? Lalu, mau kamu kasih makan apa anak orang?” Andini berdiri sambil bersedekap, menatap tajam pada laki-laki yang kini sedang bersama seorang wanita hamil, setidaknya begitu menurut pengakuannya. Meski perutnya belum terlihat menonjol. “Kamu siapa? Nggak usah ikut campur urusan orang deh!” ucap wanita hamil tersebut dengan sedikit ketus. “Ka.. Kak Andini….” Berbanding terbalik dengan wanita berambut pendek tersebut. Laki-laki yang berdiri di sebelahnya justru terperanjat, kala menyadari siapa sosok yang baru saja berbicara. “Kencing aja masih belum bener, udah berani hamilin anak orang kamu!” tekan Andini lagi. “Dia siapa sih sayang? Sok kenal banget!” sinis wanita hamil itu lagi. Pemuda itu memejamkan mata sejenak kemudian menoleh ke arah sang kekasih. “Dia kakak iparku,” bisiknya dengan nada t
Setelah tiba di rumah sakit, Andini segera menuju lantai tempat dokter kandungan langganannya berada. Ini adalah kunjungan keenamnya dalam satu tahun terakhir, dan setiap kali datang ke sini, hatinya selalu dipenuhi harapan sekaligus ketakutan.Di dalam ruang periksa, ia duduk dengan tangan dan jari yang saling bertaut, berusaha meredam kegugupannya. Dokter yang mengenakan jas putih bersih itu tersenyum lembut sebelum menatapnya dengan penuh perhatian.“Bagaimana, Dok?” tanya Andini dengan suara pelan, namun penuh harap.Sang dokter menatap layar monitor hasil pemeriksaan sejenak, sebelum beralih menatap Andini. “Semuanya bagus, tidak ada masalah serius. Mungkin—”“Mungkin kenapa, Dok?” Andini langsung menyela, suaranya sedikit meninggi karena panik.Wanita cantik yang berprofesi sebagai dokter kandungan tersebut tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya dengan gerakan menenangkan. “Sabar, Bu Andini. Coba tenangkan diri dulu, rileks, dan pikirkan hal-hal baik. Itu bisa membantu meng
Seketika, ide melintas di kepala Andini. Ia buru-buru berlari ke kamar, mengambil ponselnya sendiri, lalu mengetik sesuatu.Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar. Dan balasan pun datang.[Dia nggak ada jadwal masuk kantor hari ini. Entah kalau ketemu klien. Aku juga tak paham.]Jantung Andini berdetak kencang.Kali ini, Ia semakin yakin jika Niko sedang berbohong! Tangannya mencengkeram ponsel dengan erat. Dadanya bergemuruh sedangkan nafasnya memburu. “Kamu berani main-main sama aku, Mas?” geram Andini. Ia menatap keluar jendela, melihat mobil sang suami yang perlahan keluar dari gerbang.Kemarahan Andini seketika meledak.Tanpa pikir panjang, wanita itu meraih kunci mobil dan bergegas keluar.“Aku harus mengikuti Mas Niko! Apapun yang terjadi.”“Kita akan lihat, Mas. Kau benar pergi ke kantor ekspedisi, atau ke tempat lain!”Andini menggumam lirih, matanya menatap tajam ke arah mobil hitam yang baru saja melaju meninggalkan halaman rumah. Dengan gerakan cepat, ia meraih kun
“Maksud kamu apa?”Niko menghentikan gerakan tangannya. Laki-laki itu menoleh, menatap istrinya dengan alis bertaut. “Enggak, cuma jawab ucapan kamu, kok.”Andini berdiri sambil mengendik acuh, kemudian wanita berambut panjang tersebut bangkit dan mengambil kemeja yang sudah disiapkan. Lalu meletakkannya di tempat tidur. “Ini baju kerja kamu.”Niko tersenyum, tapi saat mengambil ponselnya dari meja, ekspresinya tiba-tiba berubah.Jantung Andini kembali mencelos. Wanita itu penasaran, apakah suaminya sedang melihat notifikasi yang ia lihat tadi?Niko buru-buru mengunci layar, lalu berjalan mendekati Andini, tangannya terulur mencubit pipi sang istri pelan lalu mengusap pucuk kepalanya. “Jangan manyun gitu ah, jelek tau.”“Coba katakan ada apa?” tanya Niko dengan nada lembut. Andini mengangkat alis. “Hmm.. Ya ya ya istrinya dikata jelek, karena kamu biasa melihat wanita di luar sana yang lebih cantik dan seksi. Iya kan?”Niko tampak terkejut sesaat. Tapi dengan cepat, laki-laki itu me