Share

Bab 7

Author: Mami ice bear
last update Huling Na-update: 2025-04-19 18:03:25

“Ya sudah, Mas mandi dulu ya sayang….”

Cup!

Niko mengecup pucuk kepala Andini sebelum akhirnya berlalu ke kamar mereka yang berada di lantai atas.

‘Hufttt… setidaknya Andini percaya karena paket fiktif itu,’ batin Niko seraya melangkah.

Sementara Andini hanya memandang ke arah kepergian sang suami kemudian beralih pada paket yang diberikan oleh Niko beberapa saat lalu.

“Heh! Kau menganggapku senaif itu rupanya.”

****

Kini, Niko sudah selesai mandi, namun laki-laki itu masih betah berlama-lama di kamarnya.

Pria berbadan cukup kekar itu masih duduk termenung di atas tempat tidurnya sambil memikirkan sesuatu.

“Apa aku ikuti saja masukan dari Ibu ya?” gumam Niko lirih.

(Flashback On)

Beberapa jam sebelumnya…

Niko menjatuhkan sebagian tubuh di atas meja kerjanya yang penuh berkas. Dengan tangan terlipat, ia meletakkan kepalanya di antara kedua lengan, berharap bisa mengistirahatkan pikirannya yang sudah terlalu penat.

Drrtt…

Drrtt…

Namun tiba-tiba ponselnya bergetar. Lagi.

Niko menggeram pelan. “Sial!” umpatnya. “Apa dia tidak puas menerorku sejak semalam?”

Dengan kesal, Niko meraih ponsel yang baru saja ia aktifkan beberapa menit lalu. Layar menunjukkan serangkaian pesan dari kontak yang tidak memiliki nama. Namun laki-laki itu sudah hafal di luar kepala, semua deretan angka tersebut.

Tanpa pikir panjang, laki-laki itu menekan ikon panggilan. “Ada apa, Lisa?” suaranya terdengar lelah, dan tidak ingin berlama-lama.

“Kamu mau ke sini sekarang, atau aku susul kamu ke kantor?” suara wanita bernama Lisa itu terdengar mendesak.

Niko menghela napas. Kepalanya terasa berat, tapi laki-laki itu tahu wanita ini tak akan berhenti jika keinginannya tidak dituruti.

“Baiklah, tiga puluh menit lagi aku sampai.”

“Lama banget?” tanya Lisa di seberang sana yang lebih terdengar seperti sebuah rutukan.

“Masih ada hal yang harus aku kerjakan,” jawab Niko singkat.

Tanpa menunggu jawaban, laki-laki itu memutus panggilan telepon, dan kembali merapikan berkas-berkasnya.

Tiga puluh menit kemudian…

Setelah memastikan semuanya selesai, Niko meraih kunci mobil. Namun laki-laki berkemeja biru itu kembali memastikan semuanya beres sebelum pergi, agar tidak perlu bolak-balik ke kantor.

Beberapa menit kemudian, Niko sudah berada di depan kost-kostan Lisa. Begitu pintu terbuka, wajah wanita itu langsung muncul, bibirnya mengerucut dengan tatapan tidak senang.

“Lama banget sih?!” keluhnya.

“Jalanan macet,” jawab Niko singkat, matanya melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang melihat mereka.

“Halah, alasan! Pasti sengaja ya?” tuduh Lisa begitu saja. Dan langsung dijawab oleh Niko. “Aku serius, Lisa.”

Lisa mendengus. “Baiklah, anggap aku percaya.”

“Tapi, kenapa kamu matiin ponselmu?” tanya Lisa lagi.

Niko menutup mata sejenak, mencoba menahan diri. Ia tahu wanita di depannya itu memang mudah sekali marah, dan ia tidak ingin masalah ini menjadi lebih besar.

Tapi kemudian, kalimat berikutnya menghantam Niko seperti pukulan keras.

“Kamu sengaja mau melarikan diri, iya?! Aku ini lagi hamil anak kamu, tau gak! Harusnya kamu itu prioritaskan aku, bukan malah cuekin aku kayak gini!”

Jantung Niko mencelos. Ia menatap Lisa yang kini menyilangkan tangan di depan dada.

“Aku nggak peduli dengan istrimu yang mandul itu! Mau kamu ceraikan atau tidak, aku nggak peduli! Tapi yang jelas, aku mau kita nikah! Aku nggak mau sampai orang tahu aku hamil padahal belum menikah!”

Niko semakin merasa waspada. Matanya bergerak cepat memeriksa sekitar kost-kostan elit yang sudah setahun ini dihuni oleh Lisa, kekasihnya. Jika ada orang yang mendengar ini, reputasinya bisa saja hancur.

“Sudah selesai ngomelnya?” tanya Niko pelan.

Lisa mengernyit, tidak percaya dengan reaksi Niko yang begitu tenang.

“Ayo kita masuk. Jangan bicara di sini. Kalau ada yang lewat, bisa berabe urusannya.”

Tanpa menunggu persetujuan, Niko meletakkan tangannya di pundak Lisa dan membawanya masuk ke dalam kamar kost.

Begitu sampai di dalam, Lisa langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, meraih toples camilan, lalu mulai mengunyah camilan tersebut dengan ekspresi kesal.

“Kamu ini gimana sih? Kamu nggak peduli sama aku dan bayi kita? Atau… Kamu memang sengaja? Nggak berniat untuk tanggung jawab sama kehamilanku, iya?”

Niko menghela nafas panjang sebelum duduk di samping sang kekasih. Ia menatap wajah Lisa dengan seksama.

“Dengar, mungkin hasil pemeriksaanmu salah, Lisa…” katanya hati-hati.

Lisa yang mendengar itu langsung menoleh, ekspresinya berubah tajam.

“Tunggu! Apa maksudmu?!” suaranya meninggi. “Apa kamu sedang menuduhku berbohong?!”

“Bukan begitu, tapi…”

“Dengar ya!” Siska menekankan suaranya. “Tidak ada wanita yang ingin hamil di luar nikah! Coba pikir, apa kata orang tuaku? Kakakku? Kalau mereka tahu aku hamil sebelum menikah?”

Niko menelan ludah. “Tapi coba kamu ingat, selama ini kita melakukannya aku selalu keluar di—”

“Persetan mau keluar dimana, bisa saja ternyata udah netes di dalam. Mana kita tahu?”

Niko terdiam. Tak bisa menjawab, sebab kemungkinan yang Lisa sebutkan memang bisa saja ada.

“Aku sudah tes pakai alat pendeteksi kehamilan, dari yang paling murah sampai yang paling mahal!” lanjut Lisa, matanya berkaca-kaca. “Dan semua hasilnya positif, asal kamu tahu itu!”

Niko mencoba mengatur pikirannya. “Tapi tetap saja, bagaimana mungkin bisa secepat ini?”

Lisa mendengus kesal. “Kamu ini kenapa sih? Sekali aja cukup! Jangankan tiga kali empat kali bahkan sepuluh kali, karena aku itu subur gak mandul kayak istrimu itu. Jadi sekali saja kalau memang waktunya pas, ya langsung jadi!”

Niko memijat pelipisnya. Otaknya berusaha keras mencari jawaban logis. Jika benar Lisa hamil, maka hidupnya pasti akan berubah selamanya.

Hidupnya yang sepi dan merindukan suara tangisan anak kecil. Serta tawa anak kecil sambil memanggilnya ‘ayah’. Sungguh, Niko sudah amat merindukan hal tersebut.

Lisa berdiri, kemudian menatap kekasihnya itu dengan ekspresi tegas.

“Ayo cepat bersiap! Kita periksakan kandunganku ke dokter biar kamu percaya!”

Niko menatap wajah Lisa, hatinya semakin berat. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara ketukan di pintu kost-kostan wanita itu membuat mereka berdua menoleh.

Dan di saat itu, Niko merasa dadanya semakin sesak. Lisa segera bangkit dan membuka pintu kostnya.

Setelah pintu terbuka sempurna, barulah terlihat tiga orang berdiri di depan sana. Seorang wanita dan dua orang pria.

“Ayah, Ibu, Abang….”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 49

    Prak! “Apa kamu mau bikin kita celaka, huh?!” Suara Andini menggema di sepanjang tepi jalan yang agak sepi. Tangannya baru saja mendarat keras di atas helm yang masih menempel di kepala Nino. Pemuda itu tersentak. Tubuhnya menegang sesaat. Dia menoleh pelan, wajahnya memucat, tatapannya kosong tak berani menatap balik kakak iparnya. “Maaf, Mbak. Aku—” “Kalau kamu udah bosan hidup dan pengen buru-buru mati, ya jangan ajak-ajak orang lah!” bentak Andini, suaranya meninggi. Nada bicaranya tajam, menusuk, dengan raut wajah yang tak lagi bisa disembunyikan amarahnya. Ayu dan Gina, yang baru saja turun dari mobil, langsung mendekat. Mereka saling berpandangan, tahu benar kalau suasana tidak sedang baik-baik saja. “Tenang, Ndin … tenang. Sabar,” ucap Ayu sambil menepuk pelan bahu sahabatnya. “Nggak! Aku nggak akan bisa tenang, apalagi sabar!” seru Andini sambil mengangkat tangan. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Ia melangkah maju, menatap Nino tajam. “Oke memang, aku itu rindu

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 48

    “Aku nggak tau harus ngomong apa—”“Nggak usah banyak omong. Ayo cepet. Ntar kemaleman.”Nada suara Andini terdengar dingin dan tegas, nyaris tanpa celah untuk dibantah. Ia bahkan tak menoleh ke arah Nino saat berbicara. Sorot matanya lurus menatap ke depan, penuh ketegasan.Nino hanya bisa menelan ludah, mengangguk kecil meski tubuhnya tampak ragu. Jari-jarinya menggenggam kunci motor dengan gelisah, sementara pandangannya terus melirik ke arah ketiga perempuan di hadapannya.Sore itu, langit berwarna kelabu pucat, seperti mencerminkan perasaan yang bergemuruh dalam dada keempat orang yang hendak memulai perjalanan ini.Andini berdiri di samping Nino, bersikap tenang tapi jelas-jelas tidak sepenuhnya nyaman. Di belakang mereka, dua sahabat Andini, Ayu dan Gina, berdiri berdampingan. Ayu menggigit bibir, sedangkan Gina sesekali memeriksa ponsel. Keduanya sama-sama menyadari bahwa ini bukan perjalanan biasa.Setelah memastikan semuanya

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 47

    [Mbak... Kita jadi kan malam ini?]Sebuah pesan masuk ke ponsel Andini, membuat matanya langsung terfokus pada layar. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik balasan sambil mengerutkan dahi. Wajahnya tampak serius, tanpa senyum, seolah beban yang ia tanggung makin bertambah berat.[Jadi. Kita ketemu di tempat yang sudah aku tentukan.]Tak lama setelah ia mengirim pesan itu, suara serak dan pelan terdengar dari arah dapur. "Siapa, Neng? Kok serius banget mukanya?"Andini mengangkat kepala pelan. Mbok Ratmi berdiri di ambang pintu, mengeringkan tangannya dengan celemek. Wajah keriputnya tampak khawatir, seperti mencoba membaca pikiran Andini dari ekspresi wajah yang dingin dan tak biasa."Nino, Mbok," jawab Andini singkat, matanya kembali menatap layar ponsel meski tak ada pesan baru yang masuk.Kening Mbok Ratmi berkerut, matanya menyipit mencoba mengingat-ingat. "Nino? Adik bungsu Mas Niko, itu ya?"Andini mengangguk pelan

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 46

    "Lho, kamu cepet banget udah balik lagi, Nik?"Rukmini mengangkat alis saat melihat anak laki-lakinya masuk ke rumah dengan langkah tergesa. Wajahnya kusut, rautnya penuh amarah yang jelas tak disembunyikan. Tanpa menyapa atau melepas sepatu, Niko langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa, membuang napas keras sambil menelungkupkan kepala ke sandaran."Kamu belum sampai rumah?" tanya Rukmini, nadanya lebih tajam kali ini."Udah, Bu. Tapi langsung pergi lagi aja. Sengaja," jawab Niko pendek, matanya tak menoleh sedikit pun.Rukmini berdiri di ambang pintu ruang tamu, kedua tangannya bertumpu di pinggang. Ia menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi putranya yang terlihat jengkel."Sengaja? Maksudmu apa, Niko?"“Kamu udah nggak sabar ngelamar Lisa?”Niko mendongak, raut wajahnya semakin gelap. "Tadi mobilkusempat bocor bannya. Untungnya udah deket rumah, jadi bisa tinggalin di bengkel deket pintu kompleks." Ia me

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 45

    “Aku merasa… Mas Niko mulai mengkhianati janji suci kami, Mbok…”Suaranya lirih, namun menghujam tajam. Ruang makan yang tadinya hanya dihuni suara detak jam dinding, kini mendadak dipenuhi keheningan yang berat. Mbok Ratmi, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menghentikan gerakannya. Cangkir itu nyaris tergelincir dari tangannya jika wanita tua itu tak segera menggenggamnya erat.Perlahan, ia menoleh. Wajah tuanya tampak menegang, dan mata yang biasa teduh kini memandang Andini dengan sorot cemas.“Maksudnya, Neng?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Ia tidak ingin langsung menarik kesimpulan. Tapi dari nada suara Andini, dari sorot matanya yang sayu, dari jemarinya yang terus bermain dengan ujung baju, Mbok Ratmi tahu bahwa yang hendak disampaikan bukanlah hal kecil.Andini duduk membungkuk di kursinya, kedua tangannya saling bertaut erat di pangkuan. Wajahnya tertunduk, dan nafasnya tertahan di kerongkongan. Ia tak segera menjawab, seakan sedang memilih kata yang paling ti

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 44

    “Aku hanya kembali mempekerjakan Mbok Ratmi. Apa itu salah?” ujar Andini, tenang tapi tajam.Niko menatapnya lama. Tatapannya kosong, tapi ada yang berkecamuk di dalamnya, bukan sekadar marah. Sorot mata itu memancarkan kebingungan, frustasi, dan rasa kehilangan kendali yang mulai merayap diam-diam.“Kita itu suami istri, Andin,” ucap Niko akhirnya, suaranya sedikit menurun, seolah ingin menarik kembali tensi yang sempat melonjak. “Kita harusnya bisa membicarakan semua ini baik-baik.”Ia berjalan mendekat, berdiri beberapa langkah di hadapan sang istri yang masih duduk di tepi ranjang. “Bukan malah membicarakannya di tempat umum seperti tadi.”Andini tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena getir. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Niko, tatapannya tajam namun lelah.“Kita?” ia mengulang dengan nada sinis. “Kapan terakhir kali kamu benar-benar mau mendengar pendapatku, Mas?”Niko bungkam. Hanya bibirnya yang sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Bahunya m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status