“Ya sudah, Mas mandi dulu ya sayang….”
Cup! Niko mengecup pucuk kepala Andini sebelum akhirnya berlalu ke kamar mereka yang berada di lantai atas. ‘Hufttt… setidaknya Andini percaya karena paket fiktif itu,’ batin Niko seraya melangkah. Sementara Andini hanya memandang ke arah kepergian sang suami kemudian beralih pada paket yang diberikan oleh Niko beberapa saat lalu. “Heh! Kau menganggapku senaif itu rupanya.” **** Kini, Niko sudah selesai mandi, namun laki-laki itu masih betah berlama-lama di kamarnya. Pria berbadan cukup kekar itu masih duduk termenung di atas tempat tidurnya sambil memikirkan sesuatu. “Apa aku ikuti saja masukan dari Ibu ya?” gumam Niko lirih. (Flashback On) Beberapa jam sebelumnya… Niko menjatuhkan sebagian tubuh di atas meja kerjanya yang penuh berkas. Dengan tangan terlipat, ia meletakkan kepalanya di antara kedua lengan, berharap bisa mengistirahatkan pikirannya yang sudah terlalu penat. Drrtt… Drrtt… Namun tiba-tiba ponselnya bergetar. Lagi. Niko menggeram pelan. “Sial!” umpatnya. “Apa dia tidak puas menerorku sejak semalam?” Dengan kesal, Niko meraih ponsel yang baru saja ia aktifkan beberapa menit lalu. Layar menunjukkan serangkaian pesan dari kontak yang tidak memiliki nama. Namun laki-laki itu sudah hafal di luar kepala, semua deretan angka tersebut. Tanpa pikir panjang, laki-laki itu menekan ikon panggilan. “Ada apa, Lisa?” suaranya terdengar lelah, dan tidak ingin berlama-lama. “Kamu mau ke sini sekarang, atau aku susul kamu ke kantor?” suara wanita bernama Lisa itu terdengar mendesak. Niko menghela napas. Kepalanya terasa berat, tapi laki-laki itu tahu wanita ini tak akan berhenti jika keinginannya tidak dituruti. “Baiklah, tiga puluh menit lagi aku sampai.” “Lama banget?” tanya Lisa di seberang sana yang lebih terdengar seperti sebuah rutukan. “Masih ada hal yang harus aku kerjakan,” jawab Niko singkat. Tanpa menunggu jawaban, laki-laki itu memutus panggilan telepon, dan kembali merapikan berkas-berkasnya. Tiga puluh menit kemudian… Setelah memastikan semuanya selesai, Niko meraih kunci mobil. Namun laki-laki berkemeja biru itu kembali memastikan semuanya beres sebelum pergi, agar tidak perlu bolak-balik ke kantor. Beberapa menit kemudian, Niko sudah berada di depan kost-kostan Lisa. Begitu pintu terbuka, wajah wanita itu langsung muncul, bibirnya mengerucut dengan tatapan tidak senang. “Lama banget sih?!” keluhnya. “Jalanan macet,” jawab Niko singkat, matanya melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang melihat mereka. “Halah, alasan! Pasti sengaja ya?” tuduh Lisa begitu saja. Dan langsung dijawab oleh Niko. “Aku serius, Lisa.” Lisa mendengus. “Baiklah, anggap aku percaya.” “Tapi, kenapa kamu matiin ponselmu?” tanya Lisa lagi. Niko menutup mata sejenak, mencoba menahan diri. Ia tahu wanita di depannya itu memang mudah sekali marah, dan ia tidak ingin masalah ini menjadi lebih besar. Tapi kemudian, kalimat berikutnya menghantam Niko seperti pukulan keras. “Kamu sengaja mau melarikan diri, iya?! Aku ini lagi hamil anak kamu, tau gak! Harusnya kamu itu prioritaskan aku, bukan malah cuekin aku kayak gini!” Jantung Niko mencelos. Ia menatap Lisa yang kini menyilangkan tangan di depan dada. “Aku nggak peduli dengan istrimu yang mandul itu! Mau kamu ceraikan atau tidak, aku nggak peduli! Tapi yang jelas, aku mau kita nikah! Aku nggak mau sampai orang tahu aku hamil padahal belum menikah!” Niko semakin merasa waspada. Matanya bergerak cepat memeriksa sekitar kost-kostan elit yang sudah setahun ini dihuni oleh Lisa, kekasihnya. Jika ada orang yang mendengar ini, reputasinya bisa saja hancur. “Sudah selesai ngomelnya?” tanya Niko pelan. Lisa mengernyit, tidak percaya dengan reaksi Niko yang begitu tenang. “Ayo kita masuk. Jangan bicara di sini. Kalau ada yang lewat, bisa berabe urusannya.” Tanpa menunggu persetujuan, Niko meletakkan tangannya di pundak Lisa dan membawanya masuk ke dalam kamar kost. Begitu sampai di dalam, Lisa langsung menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, meraih toples camilan, lalu mulai mengunyah camilan tersebut dengan ekspresi kesal. “Kamu ini gimana sih? Kamu nggak peduli sama aku dan bayi kita? Atau… Kamu memang sengaja? Nggak berniat untuk tanggung jawab sama kehamilanku, iya?” Niko menghela nafas panjang sebelum duduk di samping sang kekasih. Ia menatap wajah Lisa dengan seksama. “Dengar, mungkin hasil pemeriksaanmu salah, Lisa…” katanya hati-hati. Lisa yang mendengar itu langsung menoleh, ekspresinya berubah tajam. “Tunggu! Apa maksudmu?!” suaranya meninggi. “Apa kamu sedang menuduhku berbohong?!” “Bukan begitu, tapi…” “Dengar ya!” Siska menekankan suaranya. “Tidak ada wanita yang ingin hamil di luar nikah! Coba pikir, apa kata orang tuaku? Kakakku? Kalau mereka tahu aku hamil sebelum menikah?” Niko menelan ludah. “Tapi coba kamu ingat, selama ini kita melakukannya aku selalu keluar di—” “Persetan mau keluar dimana, bisa saja ternyata udah netes di dalam. Mana kita tahu?” Niko terdiam. Tak bisa menjawab, sebab kemungkinan yang Lisa sebutkan memang bisa saja ada. “Aku sudah tes pakai alat pendeteksi kehamilan, dari yang paling murah sampai yang paling mahal!” lanjut Lisa, matanya berkaca-kaca. “Dan semua hasilnya positif, asal kamu tahu itu!” Niko mencoba mengatur pikirannya. “Tapi tetap saja, bagaimana mungkin bisa secepat ini?” Lisa mendengus kesal. “Kamu ini kenapa sih? Sekali aja cukup! Jangankan tiga kali empat kali bahkan sepuluh kali, karena aku itu subur gak mandul kayak istrimu itu. Jadi sekali saja kalau memang waktunya pas, ya langsung jadi!” Niko memijat pelipisnya. Otaknya berusaha keras mencari jawaban logis. Jika benar Lisa hamil, maka hidupnya pasti akan berubah selamanya. Hidupnya yang sepi dan merindukan suara tangisan anak kecil. Serta tawa anak kecil sambil memanggilnya ‘ayah’. Sungguh, Niko sudah amat merindukan hal tersebut. Lisa berdiri, kemudian menatap kekasihnya itu dengan ekspresi tegas. “Ayo cepat bersiap! Kita periksakan kandunganku ke dokter biar kamu percaya!” Niko menatap wajah Lisa, hatinya semakin berat. Tapi sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, suara ketukan di pintu kost-kostan wanita itu membuat mereka berdua menoleh. Dan di saat itu, Niko merasa dadanya semakin sesak. Lisa segera bangkit dan membuka pintu kostnya. Setelah pintu terbuka sempurna, barulah terlihat tiga orang berdiri di depan sana. Seorang wanita dan dua orang pria. “Ayah, Ibu, Abang….”Andini mendekat. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, tapi penuh tekanan tak kasatmata yang menggulung seperti badai kecil dalam kamar mereka. Begitu jarak cukup dekat, ia berdiri tegak di depan Niko. Kepalanya sedikit mendongak, sedangkan sorot matanya menusuk lurus ke arah mata pria itu, seperti sedang menilai seekor serigala yang menyamar jadi manusia.“Denger ya, Mas,” ucapnya datar, nyaris tanpa nada. Tapi justru itu yang membuat ucapannya menggigit.“Mbok Nah itu memang pembantu, tapi dia tahu tempatnya di mana. Dia nggak sok pamer status mentang-mentang aku baikin, dia juga nggak ngelunjak. Nggak datang tanpa diundang kayak jaelangkung, apalagi bawa koper segede gaban kayak mau ngungsi.”Andini berhenti sejenak, nafasnya naik-turun perlahan, menahan emosi yang mengendap di dada. Lalu suaranya kembali terdengar, lebih tajam.“Sementara istri barumu itu—baru juga lima menit masuk rumah ini, udah ngajak ribut hawanya. Mau minta privilege karena lagi hamil? Emang dia siapa? Karn
“Ya sudah, suruh saja dia tidur di kamar pembantu.”Suara Andini terdengar datar, tanpa jeda sedikit pun untuk sekedar setitik empati. Keputusan telah dibuat, dan nada bicaranya menutup semua peluang kompromi yang coba diusik oleh Niko. Laki-laki itu pun hanya bisa menatap punggung istrinya yang kini mulai melangkah naik ke lantai dua, meninggalkan ruang tamu dengan Lisa dan Ibu Rukmini yang masih mematung. Suasana di bawah nyaris membeku, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar.Namun rupanya, Niko belum siap menyerah.Langkahnya tegas mengayun cepat ke lantai atas, menyusul Andini yang baru saja masuk ke kamar. Ia menutup pintu perlahan, mencoba agar percakapan selanjutnya tidak terdengar orang rumah. Tapi siapa pun tahu, itu percuma saja.“Jangan gitu dong, Sayang,” bujuk Niko sambil mendekat, mencoba menyentuh bahu istrinya.Andini hanya menepis tangan itu pelan, lalu menghempaskan tubuh ke kursi rias. Ia mengambil kapas dan mulai menghapus sisa make up di wajahnya, ge
“Tolong kasih tahu kalau kamu tahu dimana Nino, Ndin.” Suara Niko terdengar pelan namun terdesak. Ada kecemasan samar di balik nada bicara laki-laki itu, tapi Andini tak menggubrisnya. Ia menyandarkan punggung ke tembok dengan santai. Alis kirinya terangkat. “Kenapa tanya aku? Aku kan cuma kakak iparnya,” jawab Andini datar. Bibirnya menyeringai kecil dan kembali melanjutkan. “Coba tanya mantan pacar, alias mantan calon istrinya, yang sekarang jadi ... kakak iparnya juga. Kali aja dia tahu.” Kata-kata Andini tak hanya tajam, tapi juga menusuk tepat ke titik malu seseorang yang masih punya harga diri. Sayangnya, wanita yang ia tuding hanya berdiri tegak, tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tak ada gerakan menunduk, apalagi rasa bersalah. Andini mendesis pelan. Matanya menatap tajam ke arah Lisa, menilai gerak-gerik yang tak berubah. ‘Benar-benar tak punya malu rupanya, cih!’ batinnya menggeram. Ia memiringkan kepala sedikit, seolah memperjelas arah serangannya berikutnya. “Lagia
“Lha kok tanya saya? Kan anak situ, bukan anak saya.”Suara Andini terdengar tenang, namun tajam. Ucapannya seperti pisau yang menusuk ke dasar harga diri sang mertua.“Jangan kurang ajar kamu, Andini!” bentak Rukmini lantang, nadanya melengking menusuk gendang telinga.Andini memejamkan mata sejenak, mengatur napas. Perlahan ia membuka kelopak mata dan melangkah maju, tubuhnya tegak. Suasana mendadak menegang. Tiap ketukan hak sandalnya di lantai membuat jantung Rukmini berdegup lebih cepat.Ia kini berdiri tak sampai dua langkah dari sang mertua.“Coba ulangi kata-kata Ibu,” ucap Andini, pelan namun penuh tekanan. “Aku nggak terlalu denger tadi.”Rukmini spontan menelan ludah. Glek! Tangan tuanya gemetar kecil, dan sorot matanya berusaha menghindar dari tatapan menantunya yang tajam. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.“Ma—mau apa kamu, Andini?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar, patah-patah, bahkan nyaris tertelan rasa gugupnya sendiri.Andini menaikkan satu alis, l
“Tolong jangan bertele-tele, Andin.”Nada suara Niko terdengar mulai kehilangan kesabaran. Ia berdiri tegak, dengan dada membusung, namun wajahnya menyimpan gelisah yang tak bisa ditutupi. Di sampingnya, Lisa berdiri kaku. Tangannya saling menggenggam erat di depan perut yang masih belum terlihat membuncit, mencoba terlihat tenang meski jelas matanya menyapu seisi ruangan dengan angkuh.Andini mengangkat wajah, menatap lurus ke arah sang suami. Tatapannya menusuk, tanpa senyum, tanpa basa-basi.“Siapa yang sebenarnya bertele-tele, Mas?” balas Andini dengan suara datar namun tegas.Ia melangkah pelan, dan mendekat. Pandangannya berpindah dari Niko ke Lisa. Tatapan tajamnya membuat Lisa menunduk tanpa sadar, seolah tengah diperiksa oleh seorang hakim.Tak ada keramahan di wajah Andini. Tak ada raut lembut yang dulu sempat menghiasi setiap interaksi mereka. Yang terlihat hanya ketegasan dan dingin yang mencekam.“Aku bawa Lisa kemari untuk tinggal bersama kita,” ucap Niko pada akhirnya
“Sayang … ini Lisa. Aku sama Lisa udah nikah tadi pagi.” Suara Niko terdengar tenang, bahkan sedikit santai, seolah yang ia ucapkan bukanlah sebuah pengkhianatan besar terhadap pernikahannya sendiri. Sementara Andini duduk di kurai teras, mengenakan daster bermotif bunga dan menyilangkan kakinya dengan santai. Di pangkuannya, sebuah ponsel menyala dengan suara film romcom dari negeri seberang yang ia tonton sambil menyeruput teh hijau. Aroma pandan dan jahe dari kue yang baru saja ia makan amat menenangkan, kontras dengan situasi yang baru saja dilemparkan ke wajahnya. Sekilas, Andini melirik ke arah dua sosok yang berdiri di sisi kirinya. Tak ada keraguan di mata Niko, dan Lisa tampak berdiri dengan percaya diri tepat di samping suami barunya, bahkan keduanya sama sekali tidak menunjukkan sedikitpun rasa bersalah. Andini hanya menatap mereka sepersekian detik sebelum akhirnya kembali memfokuskan perhatian