“Bagaimana caranya kamu mau nikahin dia?”
“Ya tinggal nikah! Gitu aja kok repot!” Laki-laki yang memakai jaket jeans itu langsung menoleh saat menyadari ucapannya. “Tinggal nikah? Lalu, mau kamu kasih makan apa anak orang?” Andini berdiri sambil bersedekap, menatap tajam pada laki-laki yang kini sedang bersama seorang wanita hamil, setidaknya begitu menurut pengakuannya. Meski perutnya belum terlihat menonjol. “Kamu siapa? Nggak usah ikut campur urusan orang deh!” ucap wanita hamil tersebut dengan sedikit ketus. “Ka.. Kak Andini….” Berbanding terbalik dengan wanita berambut pendek tersebut. Laki-laki yang berdiri di sebelahnya justru terperanjat, kala menyadari siapa sosok yang baru saja berbicara. “Kencing aja masih belum bener, udah berani hamilin anak orang kamu!” tekan Andini lagi. “Dia siapa sih sayang? Sok kenal banget!” sinis wanita hamil itu lagi. Pemuda itu memejamkan mata sejenak kemudian menoleh ke arah sang kekasih. “Dia kakak iparku,” bisiknya dengan nada tertahan. “Apa pelajaran tentang reproduksi di sekolah mengharuskanmu untuk praktek, sampai akhirnya menghasilkan individu baru seperti ini?” sindir Andini dengan halus. “Dan kau!” Andini menunjuk wanita itu dengan telunjuknya. “Aku rasa umurmu mungkin jauh di atas anak ini, tapi kenapa….” “Tutup mulutmu dan nggak usah ikut campur!” sentak wanita itu dengan berani. Wajahnya merah padam, sementara nafasnya mulai tak beraturan. Andini tak memberi reaksi berlebihan dari lawan bicaranya tersebut. Namun dengan cepat wanita itu menurunkan jarinya. “Temui aku di rumah!” ucap Andini singkat dan langsung memutar tubuhnya. Namun, tepat sesaat sebelum Andini mengayunkan kakinya… “Tolong jangan katakan apapun sama Ibu, Kak!” Pemuda itu kembali bersuara. Andini yang mendengar hal tersebut langsung kembali berbalik. “Lalu? Apa yang kau harapkan dariku?” tanyanya. “Aku mau periksakan dia ke dokter dulu, kalau dia memang bener hamil. Maka aku akan tanggung jawab. Dan biar kami yang langsung ngomong sama Ibu,” ucap pemuda itu lagi. “Kau yakin?” tanya Andini singkat yang langsung dibalas dengan anggukan kepala. Andini terdiam. Wanita itu berusaha menimbang, hal apa yang akan ia lakukan. Sampai akhirnya… “Berikan ponselmu!” titah Andini yang menyodorkan tangan ke arah lawan bicaranya. Tanpa berfikir lama, pemuda itu menyerahkan ponselnya. Ternyata, Andini mengambil foto dua orang di depannya dan mengirimnya langsung ke nomornya sendiri. Kemudian Andini langsung memberikan benda tersebut pada pemiliknya. “Oke, aku tunggu kabar selanjutnya,” ujar Andini singkat. “Dan ingat, kalian nggak akan bisa lari dari aku! Camkan itu!” Setelah mengatakan hal tersebut, Andini langsung pergi meninggalkan dua manusia tersebut. **** “Kak, aku mohon. Jangan katakan pada Ibu atau Mas Niko, tentang hal yang Kakak lihat di rumah sakit tadi.” Andini membeku sejenak di ambang pintu ruang tamu, masih dengan tas belanja yang belum sempat ia bongkar. Sebab, wanita itu memang baru saja sampai di rumah, tepat beberapa sesaat sebelum bel rumahnya berbunyi. Matanya bergerak dari wajah Nino yang menunduk dalam penyesalan, ke arah wanita muda di sebelahnya yang berdiri di belakang pemuda itu. Kepalanya menunduk dan meremas ujung bajunya. Panas siang hari terasa semakin menyengat, seolah menyatu dengan emosi yang mulai mendidih di dada Andini. Ia tak langsung menjawab dan memilih berbalik lalu melanjutkan langkahnya yang tertunda. Kemudian, wanita itu menurunkan tas belanja dengan kasar, lalu melangkah ke arah sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana dengan napas berat. “Apa maksud kedatanganmu ke sini hanya untuk memintaku menyembunyikan perbuatan bejat kalian, begitu?” tanyanya, dingin dan penuh tekanan. Nino, adik bungsu Niko,mengangkat wajahnya, ekspresi pemuda itu tampak memelas. “Bukan begitu, Kak. Tapi—” “Tapi apa, Nino?” sergah Andini cepat, suaranya meninggi tanpa bisa ia tahan. Nino terdiam. Napasnya memburu, sementara tangannya gemetar. Andini memandangnya tajam, tak ada lagi bayangan anak polos di mata perempuan itu. Hanya seorang lelaki muda yang telah bermain api dan sekarang terbakar dengan sendirinya. “Kau tahu kan apa efeknya jika kau sampai berhubungan badan dengan wanita?” Andini mengeraskan nada suaranya. “Ya begini ini… hamidun, tekdung alias hamil. Seharusnya kamu sadar, dan berpikir panjang sebelum melakukannya.” Nino menunduk makin dalam, sementara kekasihnya masih terdiam. “Aku... aku nggak bermaksud bikin masalah, Kak. Aku juga panik. Makanya kami datang, minta tolong, minta Kakak jangan cerita dulu…,” ujar Nino dengan nada memohon. Andini menghembuskan napas tajam. Ia mengusap keningnya yang mulai berkeringat, lalu menatap mereka secara bergantian. “Menutupi masalah bukan solusi, Nino. Ini bukanlah hal yang bisa dijadikan bahan permainan apalagi lelucon. Lama kelamaan, perut pacarmu itu akan terlihat membesar.” “Dan saat itu terjadi, bagaimana cara kalian menutupinya lagi?”Prak! “Apa kamu mau bikin kita celaka, huh?!” Suara Andini menggema di sepanjang tepi jalan yang agak sepi. Tangannya baru saja mendarat keras di atas helm yang masih menempel di kepala Nino. Pemuda itu tersentak. Tubuhnya menegang sesaat. Dia menoleh pelan, wajahnya memucat, tatapannya kosong tak berani menatap balik kakak iparnya. “Maaf, Mbak. Aku—” “Kalau kamu udah bosan hidup dan pengen buru-buru mati, ya jangan ajak-ajak orang lah!” bentak Andini, suaranya meninggi. Nada bicaranya tajam, menusuk, dengan raut wajah yang tak lagi bisa disembunyikan amarahnya. Ayu dan Gina, yang baru saja turun dari mobil, langsung mendekat. Mereka saling berpandangan, tahu benar kalau suasana tidak sedang baik-baik saja. “Tenang, Ndin … tenang. Sabar,” ucap Ayu sambil menepuk pelan bahu sahabatnya. “Nggak! Aku nggak akan bisa tenang, apalagi sabar!” seru Andini sambil mengangkat tangan. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Ia melangkah maju, menatap Nino tajam. “Oke memang, aku itu rindu
“Aku nggak tau harus ngomong apa—”“Nggak usah banyak omong. Ayo cepet. Ntar kemaleman.”Nada suara Andini terdengar dingin dan tegas, nyaris tanpa celah untuk dibantah. Ia bahkan tak menoleh ke arah Nino saat berbicara. Sorot matanya lurus menatap ke depan, penuh ketegasan.Nino hanya bisa menelan ludah, mengangguk kecil meski tubuhnya tampak ragu. Jari-jarinya menggenggam kunci motor dengan gelisah, sementara pandangannya terus melirik ke arah ketiga perempuan di hadapannya.Sore itu, langit berwarna kelabu pucat, seperti mencerminkan perasaan yang bergemuruh dalam dada keempat orang yang hendak memulai perjalanan ini.Andini berdiri di samping Nino, bersikap tenang tapi jelas-jelas tidak sepenuhnya nyaman. Di belakang mereka, dua sahabat Andini, Ayu dan Gina, berdiri berdampingan. Ayu menggigit bibir, sedangkan Gina sesekali memeriksa ponsel. Keduanya sama-sama menyadari bahwa ini bukan perjalanan biasa.Setelah memastikan semuanya
[Mbak... Kita jadi kan malam ini?]Sebuah pesan masuk ke ponsel Andini, membuat matanya langsung terfokus pada layar. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik balasan sambil mengerutkan dahi. Wajahnya tampak serius, tanpa senyum, seolah beban yang ia tanggung makin bertambah berat.[Jadi. Kita ketemu di tempat yang sudah aku tentukan.]Tak lama setelah ia mengirim pesan itu, suara serak dan pelan terdengar dari arah dapur. "Siapa, Neng? Kok serius banget mukanya?"Andini mengangkat kepala pelan. Mbok Ratmi berdiri di ambang pintu, mengeringkan tangannya dengan celemek. Wajah keriputnya tampak khawatir, seperti mencoba membaca pikiran Andini dari ekspresi wajah yang dingin dan tak biasa."Nino, Mbok," jawab Andini singkat, matanya kembali menatap layar ponsel meski tak ada pesan baru yang masuk.Kening Mbok Ratmi berkerut, matanya menyipit mencoba mengingat-ingat. "Nino? Adik bungsu Mas Niko, itu ya?"Andini mengangguk pelan
"Lho, kamu cepet banget udah balik lagi, Nik?"Rukmini mengangkat alis saat melihat anak laki-lakinya masuk ke rumah dengan langkah tergesa. Wajahnya kusut, rautnya penuh amarah yang jelas tak disembunyikan. Tanpa menyapa atau melepas sepatu, Niko langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa, membuang napas keras sambil menelungkupkan kepala ke sandaran."Kamu belum sampai rumah?" tanya Rukmini, nadanya lebih tajam kali ini."Udah, Bu. Tapi langsung pergi lagi aja. Sengaja," jawab Niko pendek, matanya tak menoleh sedikit pun.Rukmini berdiri di ambang pintu ruang tamu, kedua tangannya bertumpu di pinggang. Ia menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi putranya yang terlihat jengkel."Sengaja? Maksudmu apa, Niko?"“Kamu udah nggak sabar ngelamar Lisa?”Niko mendongak, raut wajahnya semakin gelap. "Tadi mobilkusempat bocor bannya. Untungnya udah deket rumah, jadi bisa tinggalin di bengkel deket pintu kompleks." Ia me
“Aku merasa… Mas Niko mulai mengkhianati janji suci kami, Mbok…”Suaranya lirih, namun menghujam tajam. Ruang makan yang tadinya hanya dihuni suara detak jam dinding, kini mendadak dipenuhi keheningan yang berat. Mbok Ratmi, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menghentikan gerakannya. Cangkir itu nyaris tergelincir dari tangannya jika wanita tua itu tak segera menggenggamnya erat.Perlahan, ia menoleh. Wajah tuanya tampak menegang, dan mata yang biasa teduh kini memandang Andini dengan sorot cemas.“Maksudnya, Neng?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Ia tidak ingin langsung menarik kesimpulan. Tapi dari nada suara Andini, dari sorot matanya yang sayu, dari jemarinya yang terus bermain dengan ujung baju, Mbok Ratmi tahu bahwa yang hendak disampaikan bukanlah hal kecil.Andini duduk membungkuk di kursinya, kedua tangannya saling bertaut erat di pangkuan. Wajahnya tertunduk, dan nafasnya tertahan di kerongkongan. Ia tak segera menjawab, seakan sedang memilih kata yang paling ti
“Aku hanya kembali mempekerjakan Mbok Ratmi. Apa itu salah?” ujar Andini, tenang tapi tajam.Niko menatapnya lama. Tatapannya kosong, tapi ada yang berkecamuk di dalamnya, bukan sekadar marah. Sorot mata itu memancarkan kebingungan, frustasi, dan rasa kehilangan kendali yang mulai merayap diam-diam.“Kita itu suami istri, Andin,” ucap Niko akhirnya, suaranya sedikit menurun, seolah ingin menarik kembali tensi yang sempat melonjak. “Kita harusnya bisa membicarakan semua ini baik-baik.”Ia berjalan mendekat, berdiri beberapa langkah di hadapan sang istri yang masih duduk di tepi ranjang. “Bukan malah membicarakannya di tempat umum seperti tadi.”Andini tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena getir. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Niko, tatapannya tajam namun lelah.“Kita?” ia mengulang dengan nada sinis. “Kapan terakhir kali kamu benar-benar mau mendengar pendapatku, Mas?”Niko bungkam. Hanya bibirnya yang sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Bahunya m