“Kamu yakin mau ke sana sekarang?”
Niko menatap Lisa yang sudah berdiri di depannya dengan ekspresi tegas. Alih-alih menjawab, wanita itu justru memicingkan mata dan menatapnya tajam. Tanpa mengubah posisi, Lisa memutar tubuh menghadap Niko sepenuhnya. “Kalau tidak sekarang, lalu kapan lagi?” suaranya dingin, menusuk langsung ke hati Niko. Niko menelan ludah. “Mungkin kita bisa periksakan dulu ke rumah sakit. Sebelum kamu—” “Aku ini lagi ngidam lho, Mas!” Lisa menyela dengan cepat, suaranya meninggi. “Apa kamu pikir aku ini cuma lagi bercanda, Mas?” Matanya menyala penuh amarah. Niko memejamkan mata sejenak. Dalam hati, ia memang sedikit ragu jika simpanannya itu hamil, tapi ia tak mungkin mengatakan itu pada Lisa. “Bukan begitu, Sayang. Hanya saja…” Niko menghentikan ucapannya saat melihat tatapan Lisa berubah. Ditambah lirikan mata orang tua wanita itu. Membuatnya merasa terpojok. “Kamu yang membuat aku hamil, Mas!” suara Lisa bergetar, bukan karena ketakutan, melainkan penuh tekanan. “Tapi kamu nggak mau menuruti ngidamku? Kebangetan banget si kamu!” “Kamu ini niat serius sama anak saya nggak sih! Kalau nggak sanggup, ya sudah biar gugurkan saja kandunganmu Lisa!” berang laki-laki yang ternyata adalah ayah kandung dari Lisa. “Kita bisa cari calon suami baru yang lebih baik dari kamu!” “Kamu pikir, anakku itu nggak laku, sampai harus mengemis perhatian padamu? Kalau bukan karena hamil, aku tidak akan pernah merestui pernikahan kalian!” geram laki-laki tua itu lagi. “Laki-laki mental pengecut sepertimu, sama sekali tak layak menjadi menantuku!” sambungnya. “Asal kamu tahu ya! Ngidam itu normal untuk wanita hamil. Kalau nggak dituruti, bisa ngeces nanti bayinya!” sambung seorang wanita, ibu kandung Lisa. Niko hanya bisa diam, tapi tubuhnya menegang. Kini dirinya merasa serba salah. Jika boleh jujur, laki-laki itu benar-benar merasa lelah, sejak tadi berada dalam posisi ini. “Kamu yang berbuat, lalu sekarang kamu berniat lari dan lepas dari tanggung jawab, begitu?!” Lisa menatapnya tajam, penuh amarah dan tuntutan. “Apa yang aku mau, itu anak kita yang mau, Mas!” Niko mendekat, mencoba mengulur tangannya untuk meraih pundak Lisa. “Aku tidak sedikitpun meragukanmu, Sayang. Hanya saja.…” “Apa?! Mau alasan apalagi kamu sekarang?” sambar Lisa, nadanya semakin ketus. Niko menghela nafas dalam. Dengan lembut, ia merangkul pundak Lisa dan menuntunnya duduk kembali di sofa. “Cafe baru itu cukup jauh, Sayang. Aku takut nanti kamu capek di mobil terus.” Niko mencoba mencari alasan lagi. Lisa masih terdiam, mendengarkan ucapan Pras dengan ekspresi tak terbaca. “Aku nggak mau kamu kecapean, Sayang,” lanjut Niko, berusaha membujuk dengan nada lembut. “Ditambah cafe itu pasti rame banget deh. Karena baru buka.” Lisa menggigit bibir bawahnya, berpikir. Ucapan Niko kali ini masuk akal, dan ia pun tahu bahwa kehamilan muda memang rentan. Wanita itu tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada janinnya. “Hmm…” Lisa bergumam, mengangguk perlahan. Jari telunjuknya menyentuh dagunya, menandakan ia sedang berpikir keras. “Tapi aku beneran pengen makan itu, Sayang,” jawab Lisa. “Baiklah, kita beli makanan yang kamu mau. Tapi sekalian mampir ke rumah sakit ya,” ujar Niko pada akhirnya. “Sekalian kita tes bagaimana kondisi kandungan kamu.” “Oke.” jawab Lisa tegas dan diiringi senyum yang mengembang. Namun, tak lama kemudian, ia kembali menatap Niko dengan sorot mata menusuk. “Dan kamu!” Jari telunjuknya kini terangkat, menuding tepat ke wajah laki-laki itu. “Jangan berpikir aku bisa berkilah ya. Pemeriksaan ini aku lakukan demi membuktikan kalau aku itu hamil. Dan setelah bukti akurat dari rumah sakit keluar, aku akan meminta Ayah dan Ibu menikahkan kita besok. Deal?” Lisa menyipitkan matanya. “Kita akan menikah saat itu juga, di depan kedua orang tuaku. Jangan harap kamu bisa lari dari tanggung jawabmu, Mas!” “Aku pastika sekali lagi, kalau aku memang benar hamil!” ucap Lisa dengan lantang. Ya! Niko sebenarnya berencana akan melakukan tes DNA pada kandungan Lisa yang berusia 10 minggu. Sebab laki-laki itu sebenarnya juga masih merasa ragu tentang kehamilan sang kekasih. Mendengar ucapan Lisa, Niko tak bisa berkata-kata. Ia hanya mengangguk, meski dalam kepalanya, ia masih berusaha mencari celah untuk keluar dari situasi ini. Lisa bangkit berdiri. “Aku akan bersiap. Tunggu lima belas menit lagi.” “Jika sampai kau berani menyakiti anakku, kau akan berurusan dengan kami!” tukas ayah Lisa yang kemudian berlalu masuk ke kamar bersama sang istri. “Haish! Bagaimana kalau Lisa benar-benar hamil dan anak itu benar-benar anakku?!” keluh Niko. Usai mengatakan hal itu, entah angin apa yang membuat Niko bangkit dari posisinya saat ini. “Tapi, meski Lisa sedang hamil pun, aku rasa anak itu tetap membutuhkan kehangatan dari ayahnya bukan.” Ya. Laki-laki itu tidak ingin menunggu sendirian. Ia memilih mengikuti Lisa, dan berjalan masuk ke kamar wanita itu dengan langkah santai. Lisa yang sedang berdiri membelakangi pintu, menatap pantulan dirinya di cermin besar yang menempel di lemari pakaian, segera menyadari kehadiran Niko. “Mau apa kamu, Mas?” tanyanya, alisnya sedikit mengernyit. Tanpa menjawab, Niko mendekat dan tiba-tiba melingkarkan kedua tangannya di pinggang Lisa. Wajahnya dibenamkan di ceruk leher wanita itu, menghirup aroma khas tubuhnya. “Aku merindukanmu…” bisiknya lirih. Lisa tak mengatakan apapun, namun tubuhnya tak menolak. Dalam sekejap, suasana berubah panas, hasrat menguasai keduanya. “Aarghhh lakukan lagi Mas… teruskaan….”Prak! “Apa kamu mau bikin kita celaka, huh?!” Suara Andini menggema di sepanjang tepi jalan yang agak sepi. Tangannya baru saja mendarat keras di atas helm yang masih menempel di kepala Nino. Pemuda itu tersentak. Tubuhnya menegang sesaat. Dia menoleh pelan, wajahnya memucat, tatapannya kosong tak berani menatap balik kakak iparnya. “Maaf, Mbak. Aku—” “Kalau kamu udah bosan hidup dan pengen buru-buru mati, ya jangan ajak-ajak orang lah!” bentak Andini, suaranya meninggi. Nada bicaranya tajam, menusuk, dengan raut wajah yang tak lagi bisa disembunyikan amarahnya. Ayu dan Gina, yang baru saja turun dari mobil, langsung mendekat. Mereka saling berpandangan, tahu benar kalau suasana tidak sedang baik-baik saja. “Tenang, Ndin … tenang. Sabar,” ucap Ayu sambil menepuk pelan bahu sahabatnya. “Nggak! Aku nggak akan bisa tenang, apalagi sabar!” seru Andini sambil mengangkat tangan. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Ia melangkah maju, menatap Nino tajam. “Oke memang, aku itu rindu
“Aku nggak tau harus ngomong apa—”“Nggak usah banyak omong. Ayo cepet. Ntar kemaleman.”Nada suara Andini terdengar dingin dan tegas, nyaris tanpa celah untuk dibantah. Ia bahkan tak menoleh ke arah Nino saat berbicara. Sorot matanya lurus menatap ke depan, penuh ketegasan.Nino hanya bisa menelan ludah, mengangguk kecil meski tubuhnya tampak ragu. Jari-jarinya menggenggam kunci motor dengan gelisah, sementara pandangannya terus melirik ke arah ketiga perempuan di hadapannya.Sore itu, langit berwarna kelabu pucat, seperti mencerminkan perasaan yang bergemuruh dalam dada keempat orang yang hendak memulai perjalanan ini.Andini berdiri di samping Nino, bersikap tenang tapi jelas-jelas tidak sepenuhnya nyaman. Di belakang mereka, dua sahabat Andini, Ayu dan Gina, berdiri berdampingan. Ayu menggigit bibir, sedangkan Gina sesekali memeriksa ponsel. Keduanya sama-sama menyadari bahwa ini bukan perjalanan biasa.Setelah memastikan semuanya
[Mbak... Kita jadi kan malam ini?]Sebuah pesan masuk ke ponsel Andini, membuat matanya langsung terfokus pada layar. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik balasan sambil mengerutkan dahi. Wajahnya tampak serius, tanpa senyum, seolah beban yang ia tanggung makin bertambah berat.[Jadi. Kita ketemu di tempat yang sudah aku tentukan.]Tak lama setelah ia mengirim pesan itu, suara serak dan pelan terdengar dari arah dapur. "Siapa, Neng? Kok serius banget mukanya?"Andini mengangkat kepala pelan. Mbok Ratmi berdiri di ambang pintu, mengeringkan tangannya dengan celemek. Wajah keriputnya tampak khawatir, seperti mencoba membaca pikiran Andini dari ekspresi wajah yang dingin dan tak biasa."Nino, Mbok," jawab Andini singkat, matanya kembali menatap layar ponsel meski tak ada pesan baru yang masuk.Kening Mbok Ratmi berkerut, matanya menyipit mencoba mengingat-ingat. "Nino? Adik bungsu Mas Niko, itu ya?"Andini mengangguk pelan
"Lho, kamu cepet banget udah balik lagi, Nik?"Rukmini mengangkat alis saat melihat anak laki-lakinya masuk ke rumah dengan langkah tergesa. Wajahnya kusut, rautnya penuh amarah yang jelas tak disembunyikan. Tanpa menyapa atau melepas sepatu, Niko langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa, membuang napas keras sambil menelungkupkan kepala ke sandaran."Kamu belum sampai rumah?" tanya Rukmini, nadanya lebih tajam kali ini."Udah, Bu. Tapi langsung pergi lagi aja. Sengaja," jawab Niko pendek, matanya tak menoleh sedikit pun.Rukmini berdiri di ambang pintu ruang tamu, kedua tangannya bertumpu di pinggang. Ia menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi putranya yang terlihat jengkel."Sengaja? Maksudmu apa, Niko?"“Kamu udah nggak sabar ngelamar Lisa?”Niko mendongak, raut wajahnya semakin gelap. "Tadi mobilkusempat bocor bannya. Untungnya udah deket rumah, jadi bisa tinggalin di bengkel deket pintu kompleks." Ia me
“Aku merasa… Mas Niko mulai mengkhianati janji suci kami, Mbok…”Suaranya lirih, namun menghujam tajam. Ruang makan yang tadinya hanya dihuni suara detak jam dinding, kini mendadak dipenuhi keheningan yang berat. Mbok Ratmi, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menghentikan gerakannya. Cangkir itu nyaris tergelincir dari tangannya jika wanita tua itu tak segera menggenggamnya erat.Perlahan, ia menoleh. Wajah tuanya tampak menegang, dan mata yang biasa teduh kini memandang Andini dengan sorot cemas.“Maksudnya, Neng?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Ia tidak ingin langsung menarik kesimpulan. Tapi dari nada suara Andini, dari sorot matanya yang sayu, dari jemarinya yang terus bermain dengan ujung baju, Mbok Ratmi tahu bahwa yang hendak disampaikan bukanlah hal kecil.Andini duduk membungkuk di kursinya, kedua tangannya saling bertaut erat di pangkuan. Wajahnya tertunduk, dan nafasnya tertahan di kerongkongan. Ia tak segera menjawab, seakan sedang memilih kata yang paling ti
“Aku hanya kembali mempekerjakan Mbok Ratmi. Apa itu salah?” ujar Andini, tenang tapi tajam.Niko menatapnya lama. Tatapannya kosong, tapi ada yang berkecamuk di dalamnya, bukan sekadar marah. Sorot mata itu memancarkan kebingungan, frustasi, dan rasa kehilangan kendali yang mulai merayap diam-diam.“Kita itu suami istri, Andin,” ucap Niko akhirnya, suaranya sedikit menurun, seolah ingin menarik kembali tensi yang sempat melonjak. “Kita harusnya bisa membicarakan semua ini baik-baik.”Ia berjalan mendekat, berdiri beberapa langkah di hadapan sang istri yang masih duduk di tepi ranjang. “Bukan malah membicarakannya di tempat umum seperti tadi.”Andini tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena getir. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Niko, tatapannya tajam namun lelah.“Kita?” ia mengulang dengan nada sinis. “Kapan terakhir kali kamu benar-benar mau mendengar pendapatku, Mas?”Niko bungkam. Hanya bibirnya yang sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Bahunya m