Share

Pembalasan ku dimulai

Aku keluar dari pintu Lift Paradise dengan tenang, bayang wajah panik Lia membuat mood booster untuk hariku malam ini. Aku tersenyum melihat Jeni dan Suci masih menunggu di loby depan. Saat melihatku mereka berdiri dan saling melihat, aku tau siapa yang mereka cari.

"Dimana Nyonya sombong itu bu?" Suci bertanya tanpa basa-basi.

"Di dalam. Dia sedang beli berlian sembilan ratus juta" Bisikku membuat mata lugu Suci membelalak.

"Sem...sembilan ratus juta bu?" Dia mengulang kalimatku. Ekspresinya lucu sekali.  "Kok kaya sekali itu orang bu. Jual ginjal mungkin ya..." Suci memang selalu berkata sesuka hatinya. Tapi justru itu yang membuatku selalu tertawa.

"Hahaha..." Tawaku meledak." Iya memang, Kaya raya sekali ya nyonya mudamu itu. Aku saja kalah saing" Ucapku lalu berjalan keluar Club.

"Idih nyonya mudaku. Amit-amit..." Katanya ikut berjalan mengikutiku dari belakang.

Dibelakangku suara ramai terdengar. Mereka yang baru saja mengikuti lelang ternyata keluar juga dari pintu yang sama. Bahkan lelaki yang bersama Lia tadi juga keluar. Wajahnya menegang dan sempat kudengar makian dan umpatan. 

Sekilas dia melirikku tajam, laku menjambak rambutnya sendiri karena jengkel. Tapi....

Dimana wanita kaya raya itu? Apa dia yang akan membayarnya sendiri?

Kutunggu beberapa saat, tak kulihat juga dia keluar. Aku berjalan saja keluar club. Dan Jeni sudah bersiap membuka pintu. 

" Saya sudah pesankan tempat makan malam bu." Seperti biasa, Jeni akan selalu memikirkan segalanya sebelum kuminta.

"Dimana?"

"Direstoran seafood"

"Boleh. Kita kesana." Aku masuk kedalam mobil. Dan sempat terkejut melihat adik maduku itu sudah berlari di trotoar jalan. Kubuka kaca jendela untuk memastikan.

Dari mana dia datang? 

Aku memperhatikan lagi. Dari mana dia muncul. Lalu dua pengawal lain turun dari lantai atas.

"Kejar dia. Wanita itu melarikan diri dari kamar mandi atas!" Teriak seorang lelaki tambun.

Apa dia keluar dari kamar mandi di lantai atas?

Pantas saja. Gaun indah yang tadinya menjuntai itu, kini sudah tergulung menjadi rok pendek. Bahkan tasnya terkalung di leher. Lebih besar dari berlian yang di belinya malah.

"Bu... itu nyonya sombong bu!" Suci menunjuk kearah Lia.

"Iya, biar saja. Dia sedang olah raga malam" Bisikku.

"Ibu tak ingin menyeretnya pulang? Jika ibu meminta, sekarang pun saya seret dia kemari." Sucii bertanya padaku.

"Tak perlu Suci, biarkan dia bebas dulu. Nanti dia yang akan mencari kita?

"Ibu yakin?"

"Tentu saja. Sangat yakin." Aku menutup kaca mobil. "Jalan!" Ucapku membuat mobil yang kunaiki berjalan. Melewati Lia yang tengah berlari malam, diikuti empat lelaki bertubuh besar di belakangnya.  

"Indah sekali pemandangan malam ini" Ucapku lalu memejamkan mata sebentar. Teringat satu kejadian yang masih sangat membekas dalam benakku.

***

(Flash Back) 

"Mas, bisa tidak acara kantor tahun ini, aku yang mendampingimu?" Wanita itu merayu mas Erlan kembali saat kami sedang bersantai di ruang tenggah.

Dia subuk menyandarkan kepalanya di bahu mas Erlan dan menaikkan semua kakinya di pangkuan suamiku.

"Kakimu!" Aku lempar Vas bunga kearahnya. Membuat wajah manja itu berdecak kesal dan menurunkan kakinya dengan jengkel.

"Kenapa sih mbak, tak bisa lihat orang bahagia. Cemburu? Aku kan juga istrinya mas Erlan"

Kutatap wanita yang sama sekali tak menarik dimataku itu. "Jika kamu ingin bebas, bahagia, tanpa gangguanku, minta lakimu belikan rumah sendiri. Sudah numpang, tak tau diri!"

Dia berdecak kesal."Ini sudah aku turunkan. Aku mau bicara dengan suamiku!" Dia lalu kembali menyandarkan kepalanya di bahu mas Erlan.

Apa aku cemburu? Tidak sama sekali. Rasa cintaku pada mas Erlan sudah MATI! Aku hanya sedang mempertahankan hakku sebagai istri dan pemilik usahaku yang sedang kurintis.

Ya, kala itu aku sedang merintis butik dan Salon. Jika aku mengamuk dengan semua ketololan mas Erlan dan ibunya, maka aku akan tersingkir tanpa mendapatkan hakku. Dan siapa yang akan beruntung? Wanita murahan itu tentunya. Dan aku tak akan sudi berbagi harta. Cukup mas Erlan saja yang dia kuasai.

"Mas, dengar tidak. Aku ingin menemanimu"

"Kemana?"

"Keacara tahunan perusahaanmu."

Mas Erlan yang sejak tadi sibuk menonton film, kini beralih melihat kearahku. Aku hanya terdiam, menunggi jawaban apa yang akan dia berikan.

Dia menggeser duduknya. "Lia sayang, mas tak bisa. Kolega mas dari Singapura,Thailand dan beberapa negara lain sangat dekat dengan Wita. Jika mas membawamu, mungkin saja dia jadi tak suka."

Aku tersenyum mendengar penolakan itu. Ya, dari situ sudah bisa terlihat. Derajatku dan dirinya tetaplah berbeda.

Hingga malam acara tahunan tiba. Aku sudah berdandan dengan sangat mempesona. Gaun terbaik dari butikku dengan warna biru tua yang elegant. Aku turun dari lantai atas.

Mas Erlan menatapku tanpa berkedip. Di bandingkan wanita silumannya itu, aku jelas lebih terlihat mempesona. Tapi entahlah, apa yang membuatnya memilih wanita itu.

"Mas... jangan melamun" Lia menghentakkan kakinya marah. Yaa dia tak suka mas Erlan melihatku juga.

"Kenapa? Cemburu? Aku ini kan istri pertama dan kau hanya simpanannya." Balasku akan kalimatnya bebetapa hari lalu. Membuat matanya memutar dan menatapku tak suka. 

Aku pergi bersama mas Erlan dan Lia tinggal dia dirumah. 

Ada alasan mengapa mas Erlan tak mengajaknya ke acara. Pertama karena akulah pengendali di acara ini. Semua istri kolega perusahaan mas Erlan adalah sahabat dekatku. Mereka bahkan tak tau bahwa suamiku menikah lagi. Jika mereka tau, bayangkan saja apa yang akan terjadi dengan kerajaan bisnis Mas Erlan.

Kami masuk, aku berkumpul dengan para istri penguasa, menikmati pesta dan saling memuji satu sama lain. Hingga aku pamit ke kamar mandi. Kalian tau apa yang di lakukan Lia? Diam-diam dia menyusul kami keacara dan mengunciku di dalam kamar mandi.

Berteriak? Percuma. Tak akan ada yang dengar, dan aku keluar dari celah kamar angin di kamar mandi. Seperti yang barusaja Lia lakukan. Saat itu aku benar-benar marah. Kembali masuk dalam pesta dan melihat Lia sudah berusaha mendekati para nyonya besar. Meski tak kulihat ada yang memperhatikannya, dan Lia terkejut saat melihatku datang...

Aku berjalan menghampirinya, namun mas Erlan segera menarikku keluar. "Aku rasa Lia bisa menempatkan diri. Kau lihat, dia pintar mengambil hati wanita-wanita itu." Ucapnya menarikku kearah Lift.

"Apa maksudmu? Aku punya hak disini!" 

"Lia juga. Dia lebih berhak sekarang. Karena dialah ibu dari penerus segala usahaku. Pulanglah! Pikirkan saja bagaimana agar kau bisa segera hamil. Tunjukkan padaku kau tak mandul" Ucapnya padaku. Dan saat pintu lift terbuka, mas Erlan mendorongku masuk dan menutup pintunya.

Kubiarkan dia menang saat itu. Sebab tujuanku bertahan belum tercapai. Apakah aku sedih? Tidak. Sudah kubilang, rada cintaku pada lelaki itu sudah mati, jadi untuk apa aku bersedih. Yang ada hanyalah amarahku yang semakin menumpuk pada dua manusia tak berotak itu.

Yaa... hari itu aku memang memilih diam, tapi sekarang, akan aku perhitungkan lebih kejam kesakitan yang aku rasakan. Satu incipun, aku pastikan kalian membayarnya

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status