Share

pov Lia

Pov Lia.

Datang ke Club rahasia seperti ini tentu diimpikan banyak wanita kelas atas. Dan beruntungnya aku. Paul, tamuku dari inggris datang untuk mengikuti lelang itu. 

Dia punya jaringan yang kuat, terlebih usahanya dibidang berlian, membuatnya memang sangat sering datang ke lelang rahasia seperti ini.

" kamu cantik sekali sayang"  Dia mendaratkan kecupan nakal di leherku.

"Terimakasih...." ucapku percaya diri. Dia menyebutku cantik. Tentu saja aku tau, memang tak banyak yang bisa menolak pesonaku.

Paul sudah enam bulan di Bali. Bahasa indonesianya lumayan bagus. Meski begitu, dia masih membutuhkanku disini sebagai wanitanya, untuk mewakili melakukan lelang.

Ya, begitulah peraturannya. Mereka yang ikut lelang dan berasal dari luar negeri, harus membawa penerjemah bahasa. Karena lelang ini tak pernah mau memakai bahasa asing. Jadilah Paul mengajakku menemaninya.

Lelaki ini menurutku bisa jadi tempatku bergantung selama di Bali. Setelah lepas dari mas Erlan, aku tak memiliki lagi pendapatan. Selain tabunganku selama satu tahun menjadi istri keduanya. Lagi pula untuk apa menikmati uang, namun harus mengurus lelaki limpuh sepertinya.  Tak berguna!

Lampu ruangan kulihat  mulai redup, beberapa wanita keluar membawa perhiasan yang bagus. Sejak tadi, Paul hanya bilang akan membeli blue Diamond. Jadi aku masib santai saja, hingga barang itu di tawarkan.

"Setelah ini, kau harus menamani malamku!" Bisiknya ditelingaku. Bahkan tanganya sibuk menjelajah sekarang.

Kami lupakan sejenak lelang ini dan sibuk  saling memberi kenikmatan satu sama lain.

"Aku tak sabar...." Bisiknya dengan nafas memburu.

Aku melepaskan pelukannya. " Jangan nakal sayang. Nanti kita lanjutkan di hotel ya..." Aku kini duduk dengan tenang. Paul memang memiliki nafsu yang besar.

Aku kembali terdiam, saat mendengar berlian biru itu sudah membuka harganya. Seratus dua puluh lima."

" You will make an offer?" Tanyaku pada paul.

" iya, lakukan keahlianmu sayang...." Bisiknya masih memberiku kecupan.

Aku tersenyum dan mengangkat tangan" seratus dua puluh tujuh" Ucapku membuat penawaran.

Setelahnya tangan-tangan itu tak berhenti saling bersahutan. Rupanya banyak yang menginginkan berlian itu juga.

" Dua ratus dua puluh..." Kuberikan tawaran tertinggi. Hening, tak ada lagi yang akan menawar lebih tinggi.

""Dua ratus dua puluh. Ada lagi? Masih ada yang berani lebih tinggi?"

Yaa, sepertinya akulah penawar tertinggi. Paul menepuk pantatku dan tersenyum puas. Aku tersenyum, tentu saja merasa bangga dengan diriku sendiri. Pintarnya aku.

" Baiklah, kami akan hitung. Dua ratus  dua puluh juta pertama, Dua ratus dua puluh juta kedua, Dua ratus dua puluh tiga ke...."

"Dua ratus tiga puluh...."

Hanya beberapa detik sebelum hitungan selesai. Suara seorang wanita memecah keheningan. Aku mencari sumber suara itu. Dan saat lampu tersorot padanya, aku terkejut.

Mbak wita, istri pertama mas Erlan ada disini?

 Aku membulatkan mata, bahkan mengusapnya dengan tangan. Memastikan mataku tak salah menangkap sosok itu. Bahkan kini dia melambai genit. Aku terduduk karena terkejut.

Wanita sial**, dia memanh Wita. apa yang dia lakukan disini? Bukankah harusnya dia mengurus suaminya yang lumpuh itu? Kenapa justru dia datang kemari? Dari mana dia tau tempat ini? Kurang ajar!

Kini bahkan aku menatap wajahnya yang meremehkanku. Aku menarik nafas, mengatur jengkelku sendiri.

 Baiklah, ayo kita bermain. Aku tak akan mungkin kalah darimu wanita mandul!

Kutatap wajahnya dengan tajam. Lalu aku mengangkat tangan dan berdiri. " Dua ratus lima puluh juta" Aku menatapnya sinis. Kulihat dia juga tersenyum.

"Dua ratus lima puluh dua setengah" 

Hah, apa ini, hanya naik dua setengah juta. Habiskan uangmu disini kakak maduku. Mari aku bantu menghabiskan hartamu!

"Dua ratus tujuh puluh" Aku naikkan lebih tinggi. Kita lihat, seberapa besar nyalinya dengan uang dan jabatan itu.

"Dua ratus tujuh puluh lima" Ucapnya terlihat tenang. Padahal aku tau mbak, kau sedang bernafsu mengalahkanku kan? Aku yang akan menang disini mbak. Uangmu yang akan habis.

Akan aku naikkan lagi. Seberapa hebat kamu mampu bersaing mbak. Kamu yang kudengar kini termasuk wanita kayaraya. Seberapa kaya seorang pemilik butik sepertimu bersaing?

" Tiga ratus juta..." Ucapku penuh kemenangan. Yah, kali ini ambisiku hanya untuk mengalahkanmu mbak. Tak lebih!

"Tiga ratus sepuluh juta." Ucapnya, Dia masih bisa tersenyum sinis.

Hanya berani menaikkan sepuluh juta saja bangga. Hah lucu sekali, kau akan habis mbak. Jadi gelandangan di Pulau ini. Atau bahkan mengemis tiket pulang dariku.

"Tiga ratus enam puluh" ucapku menantangnya. 

Aku menunggumu mbak...

"Tiga ratus enam puluh lima ratus..."

Ingin aku tertawa. Yang dia lakukan hanya bermain-main. Kaya raya apanya. Menaikkan penawaran saja dia tak berani besar.

"Tiga ratus delapan puluh" Ucapku. 

Tepukan riuh kudengar. Aku tertawa sambil membungkukkan badan.  Tentu saja memberikan ucapan terimakasih pada para tamu, yang memberi tepukan indahnya untukku.

Tak akan pernah bisa kamu menggalahkanku mbak. Tak akan. Baik di hati mas Erlan atau di lelang ini. Habiskan uangmu disini mbak, habiskan!

" Tiga ratus delapan puluh satu" Ucap mbak Wita.

Paul menarikku duduk. "Stop... Enough  Lea!" Ucapnya.

" Why? She will lose, Paul" Ucapku tak mau berhenti. Permainan ini ada di tanganku. Dan nominal ini masih sangat kecil untuknya. " Empat ratus juta!" Aku berdiri dan menantangnya.

Riuhnya terdengar saat aku menambah penawaran. Mbak Wita masih bisa tersenyum? Manusia sombong! Aku benci senyum itu. Senyum yang sangat aku benci sejak pertama bertemu. Memuakkan!

"Tujuh ratus juta!"

Kena kamu mbak. Dia naik tiga ratus juta. Banyak juga uangmu mbak. Tapi aku tak mau kalah, uang itu masih terlalu sedikit untukmu mbak. 

"Bagaimana. Tujuh ratus juta. Apa ini penawaran terakhir?"

Paul kembali menarikku duduk. "Cukup Lea. Dia hanya mempermainkanmu!"

"What? No! Aku yang mempermainkan dia, Paul"

"Trust me Lea... She is smart. Dia mencari lengahmu" Paul masih mencoba mencegahku.

Memuakkan. Suara riuh ini seolah memintaku mengangkat tangan. Bahkan wajah mbak Wita terlihat begitu sombong. Ingin sekali kucakar wajah wanita licik itu. Dia belum kebahisan uang. Aku masih ingin membuatnya bangkrut.

Sekali lagi, aku akan bermain satu kali lagi!

 Aku berdiri dan merebut mic di tangan Paul "Sembilan ratus juta!" Ucapku lantang.

Mbak Wita pasti akan menaikkan menaikkan tawaranya. Tapi....

Tunggu! Kenapa dia justru tertawa. Dia berdiri dan pergi. Apa dia tak mau bermain? Si*l! Apa yang sudah aku lakukan!

Aku memegang kepalaku yang mulai berdenyut. Bahkan Paul sudah meremas rambutnya sendiri. Sembilan ratus juta. Jika paul tak bisa membayarnya, matilah aku.

"Stupid! I told you, stop, enough. Perempuan bodoh!" Ucapnya memakiku.

Kakiku mendadak lemas. Bagaimana jika Paul benar-benar marah. Aku bisa habis dibuatnya di Bali. 

"Maaf Paul. Kufikir dia akan menawar lebih tinggi. Tapi ternyata..."

Paul berdiri, mengumpat, meremas rambutnya, bahkan mendendang kursi. Aku hanya bisa menelan ludah karena kebodohanku. 

Kurang ajar kau Wita. Ternyata kau hanya ingin aku kebahisan uang. " Aarrkkkkk!" Ku tendang kursi didepanku dengan kesal. Membuat beberapa mata menatapku tajam.

" Dengar!" Paul mencengkeram wajahku dengan kasar. Bahkan tubuh ini ikut berdiri mengikuti tangannya. "Kau yang membuat kekacauan ini. Kau... Selesaikan sendiri!" 

Dia membuang wajahku kasar. Aku merasakan nyeri di rahangku. Paul mengambil kasar jas nya di kursi dan berjalan keluar tanpa memperdulikanku.

Aku terdiam. Sembilan ratus juta. Dari mana aku akan dapatkan uang itu. Aku berdiri dan menyusul Paul keluar. Namun dua penjaga sudah mencegahku.

"Pembayaran disana nyonya." Mereka menuntunku kesebuah kursi. "Duduk lah dulu, nanti akan kamu panggil." Seorang lelaki memintaku duduk dan mereka kini menunggu di pintu.

Bagaimana ini. Aku akan mati jika terus disini. Mereka yang mengadakan lelang bukanlah orang-orang sembarangan. Dan jika aku tak bisa bayar, mereka pasti menganggapku sudah mempermainkan pasar mereka.

Aku berfikir keras, bagaimana bisa keluar dari tempat ini. Aku berdiri sebentar dan seorang penjaga sudah berjalan mendekat.

"Ada yang bisa saya bantu?" 

"Em.. aku ingin ke kamar mandi. Bisa kalian tunjukkam dimana?"

Penjaga berkacamata itu tersenyum. Lalu mempersilahkan aku ke kamar mandi. Dia mengantarku tepat di depannya. "Disini. Silahkan" ucapnya lalu menunggu didepan pintu.

Aku menutup pintu dengan segera. Menatao wajahku di depan kaca. Wita sudah benar-benar menghancurkan hidupku. Bagaimana aku bisa keluar dari sini!

Aku menyalakan kran air. Berjalan kesegala arah. Meremas rambutku sendiri. Membayar sembilan ratus juta. Dari mana uang sebanyak itu!

Aku melihat etalase di atas wastafel. Mungkin aku bisa pergi dari sana. Kulepas  high heels ku. Aku naik ke atas wastafel. 

Arrkkhh gaun ini membuatku tak bisa bergerak bebas! Aku mengikat gaun bawah itu keatas perut. Lalu mengalungkan tasku ke leher. "Ini semua karenamu Wita"

Aku lepas kaca pembatas jendela itu. Dan mencoba naik hingga kepalaku keluar lebih dulu. Suara ketukan sudah kudengar. Membuatku merasa semakin berdebar. 

"Ayolaah..." Aku berusaha keluar. Kakiku sudah berhasil naik. Dan pintu itu kulihat mulai di dobrak. Aku turunkan segera tubuhku. Seluruh badan ini sudah berhasil keluar. Kini aku ada di luar lantai dua. 

Aku berlari menuruni tangga darurat. Menuju kedepan club dan melihat mbak Wita sudah pergi dengan mobilnya. 

"Hayy!" Suara teriakan membuatku panik. Aku berbalik melihat lelaki berkemeja bunga sudah melihatku. 

"Sial...!" Aku berlari dengan cepat. Mereka terus mengejarku. "Kemana aku akan 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status