Share

Bab 4

Author: Lakmus
"Kak Nisa, tadi dari jauh aku melihat seseorang mirip sekali denganmu. Tapi, Riko malah bersikeras bilang kamu nggak mungkin ada di sini," ucap Erni.

Tatapannya kemudian jatuh pada lembaran brosur lowongan kerja yang ada di tanganku. Dia tersenyum seolah-olah mengerti segalanya.

"Ternyata kamu sedang mencari pekerjaan, ya? Tapi kenapa sampai terpikir untuk jadi pelayan?"

"Sekalipun kamu sedang kesal sama Kak Riko, nggak perlu sampai menyakiti dirimu sendiri seperti ini …. "

Aku diam saja. Brosur itu sebenarnya baru saja diselipkan oleh seorang gadis muda di pinggir jalan. Melihat dia berdiri membagikan selebaran di tengah cuaca yang dingin, aku pun hanya sekadar menerimanya.

Lantaran aku tidak berkata apa pun dan hanya menggenggam selebaran itu erat-erat, sorot mata Erni tampak menyiratkan rasa puas, sementara senyumnya menjadi makin congkak.

"Kalau dari awal kamu bilang sedang mencari pekerjaan, mungkin aku bisa bantu sesuatu. Bagaimanapun juga, kita ini satu keluarga. Kalau kamu hidup dengan baik, Riko dan anaknya juga akan punya sandaran di masa depan, aku pun bisa tenang," timpal Erni.

Bagi orang lain, kesunyianku saat itu mungkin tampak seperti pengakuan diam-diam.

Ekspresi Riko yang semula hanya tampak bingung, seketika berubah kelam. Alisnya mengernyit, wajahnya tampak emosi, dan tatapan yang diarahkan padaku penuh dengan penghinaan.

"Apa yang mau dikenalkan? Dia sendiri yang bersikeras berhenti dari pekerjaan dokter yang bagus itu. Sekarang meski sampai kelaparan di jalan pun, nggak ada yang patut dikasihani."

"Nisa, nggak kusangka demi memaksaku melepaskan anak ini, kamu bisa bertindak begitu keji. Aku benar-benar kecewa padamu!" pungkas Riko dengan ketus.

Aku menatap wajahnya yang dulu begitu kukenal, tetapi kini terasa sangat asing. Masih kuingat, di awal pernikahan kami, ketika aku ingin berhenti kerja karena persaingan tidak sehat di rumah sakit, Riko memelukku dan menepuk lembut punggungku, lalu menenangkan dengan suara hangat, "Kita ini suami-istri, satu kesatuan. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukungnya. Berhenti kerja bukan masalah besar. Sayang, aku akan selalu bersamamu."

Namun, sekarang, dia justru membiarkan perempuan lain menghina dan merendahkanku di depan umum. Dia telah melupakan janji yang dulu diucapkannya, seolah juga melupakan cinta mendalam yang pernah kami miliki. Bahkan kedua mertuaku hanya menggeleng dengan wajah sangat jijik.

"Nisa, kau ini wanita mandul, cuma tahu kerja dan jarang di rumah. Apa yang bisa kamu bandingkan dengan Erni?"

"Dengan sifatmu seperti ini, wajar kalau Riko mencari wanita lain. Ini salah siapa? Salahmu sendiri karena nggak punya daya tarik!"

Kata-kata mereka makin menjadi-jadi, hingga orang-orang yang lewat mulai menatap kami dengan penasaran. Tanganku yang terkulai di sisi tubuh mengepal dengan erat hingga kuku menancap ke dalam daging.

Saat aku hendak berbicara, Erni tiba-tiba mendekatiku dan berkata, "Kami sedang bersiap untuk memotret foto keluarga. Kak Nisa, ayo ikut juga. Lagi pula, nanti di sisa hidupku, aku juga akan menitipkan Riko dan anak ini kepadamu."

Aku menatapnya sekilas, tanpa berkata apa-apa. Riko yang berada di sampingku tampak tidak senang. Dia segera merangkul Erni, melindunginya, lalu menatapku dengan tatapan penuh penghinaan.

"Erni, aku tahu kamu berhati baik, tapi orang seperti dia belum tentu tahu berterima kasih."

"Nisa, untuk siapa kamu menunjukkan ekspresi seperti itu? Kamu ikut atau nggak ikut, terserah padamu. Tapi, kalau kamu ikut foto, yang ada hanya merusak citra keluarga kami."

Selesai berbicara, Riko langsung menggandeng Erni pergi menuju studio foto.

"Kalau begitu, kami duluan ya, Kak Nisa. Aku nggak ganggu kamu cari kerja lagi," ujar Erni.

Sebelum pergi, Erni sempat melirikku dengan pandangan sarat makna.

Melihat punggung mereka yang makin menjauh, hatiku sudah tidak bergolak lagi. Di mata orang lain, mereka tampak seperti keluarga yang harmonis dan bahagia. Jika itu kehidupan yang diinginkan Riko, biarlah aku melepaskannya dengan lapang.

Beberapa hari sebelum aku pergi, tepat tiga hari menjelang keberangkatan, aku menerima pesan dari direktur rumah sakit.

Dia mengatakan bahwa dokter ahli yang pernah membantuku kebetulan sedang berada di dalam negeri untuk menghadiri forum medis. Dokter ahli ini juga bisa menyempatkan waktu untuk memeriksa asma ibu mertuaku.

Ibu mertuaku memang sudah lama mengidap asma. Meski kini kondisinya terkendali, penyakit itu kerap kambuh sewaktu-waktu. Beberapa tahun lalu bahkan sempat dilarikan ke rumah sakit untuk pertolongan darurat.

Selama ini, akulah yang terus merawat dan menyesuaikan pola hidupnya. Bahkan ketika aku melanjutkan pendidikan di luar negeri, aku masih meminta bantuan rekan-rekan dokter di sana untuk mengumpulkan kasus serupa agar bisa kupelajari lebih dalam.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 11

    Aku tidak mengalami luka serius, tetapi Peter terkena ledakan dan satu kakinya cedera.Karena merasa bersalah, aku memutuskan untuk menebusnya dengan seluruh hidupku dan berjanji akan merawatnya seumur hidup.Awalnya, aku memang bersama Peter dengan niat untuk menemaninya dan menebus kesalahanku. Namun, seiring waktu berlalu dan kami terus berinteraksi, perlahan-lahan aku mulai memahami isi hatiku sendiri.Kelembutannya, kesabarannya, ketulusannya, dan pengertiannya yang mendalam membuat hatiku yang dulu beku perlahan menjadi hangat kembali. Aku sadar sepertinya aku kembali memiliki kemampuan untuk mencintai seseorang lagi.Dengan dorongan dan bantuan rekan-rekan kerja, aku akhirnya menerima Peter sepenuh hati.Kami menjadi sepasang kekasih dalam arti yang sesungguhnya dan berjanji untuk saling setia sampai menua.Aku pikir, mungkin Tuhan merasa iba melihat aku yang selama ini sendirian, sehingga Tuhan menghadirkan takdir baru tepat di genggamanku. Karena itu, kali ini aku bertekad unt

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 10

    Aku menatapnya dengan dingin, setiap kata keluar dari mulutku dengan penuh ketegasan."Aku nggak mungkin kembali pada cinta yang sudah berlalu, apalagi kembali cuma untuk menjadi pengasuh gratis untukmu dan anakmu. Jadi, lupakan saja," ucapku.Mata Riko memerah. Dia membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum sempat bersuara, aku sudah lebih dulu berkata, "Aku masih ada urusan. Tempat ini berbahaya, sebaiknya kau cepat pulang saja."Selesai berbicara, aku berbalik menuju perkemahan.Dari belakang, suara Riko kembali terdengar."Nisa, kalau kamu nggak mau pulang, aku juga nggak akan pergi. Aku akan tetap di sini menemanimu. Saat semua hal yang mau kau lakukan sudah selesai, aku akan ikut pulang bersamamu," teriak Riko.Aku sama sekali tidak menoleh, bahkan tidak berniat menjawab apa pun. Namun, belum sempat aku melangkah jauh, kudengar dia menerima panggilan telepon. Sepertinya dari rumah sakit di dalam negeri."Apa katamu? Erni meninggal? Aku segera pulang! Kalian har

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 9

    Jadi, sekarang, untuk apa Riko bersusah payah datang mencariku lagi?Memikirkan hal itu, aku sedikit gugup dan tidak nyaman. Aku mendorongnya menjauh dengan wajah datar."Riko, kita sudah bercerai," ujarku.Mendengar itu, mata Riko memerah makin berat, suaranya serak dan bergetar."Nisa, jangan dorong aku, kumohon. Aku sudah menyusuri semua bandara, bertanya ke setiap petugas, baru akhirnya bisa menemukanmu di sini …. ""Kamu tahu nggak, selama satu bulan kamu pergi, banyak hal yang terjadi. Ibuku … dia sudah meninggal," pungkas Riko.Aku tertegun. Aku tidak pernah terpikir kalau ibu Riko sudah tiada.Selagi aku masih diam membeku, Riko terus berbicara dengan suara penuh penyesalan."Nisa, maaf … dulu kami semua nggak percaya padamu, kami pikir kamu berbohong. Tapi yang berbohong sebenarnya adalah Erni!""Dia pembohong! Dia sama sekali nggak mencari dokter ahli yang kamu sebut. Penyakit ibuku justru makin parah. Andai saja waktu itu kami mendengarkanmu dan menemui dokter yang tepat, mu

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 8

    Riko menunduk dan diam tanpa berbicara sepatah kata, tampak seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan. Namun, suara marah ayahnya membuat bayi di pelukannya terkejut dan menangis keras.Tangisan bayi itu membuat ayah mertua makin kesal. Dengan wajah murka, dia menaruh bayi itu di kursi plastik di sampingnya sambil berseru, "Menangis apa lagi! Siang malam kerjanya cuma nangis! Orang bisa mengira kita melahirkan seorang tuan besar kalau begini!""Riko, itu anakmu, kamu yang tenangkan sendiri!" ucap ayah mertua ketus.Namun, Riko sudah tidak sanggup lagi memperhatikan apa pun. Dia perlahan mengeluarkan ponsel, berusaha meneleponku. Mungkin hanya aku yang bisa menghubungi dokter ahli tersebut untuk melakukan operasi.Akan tetapi, panggilannya tidak pernah tersambung karena saat itu aku sudah berada di pesawat yang menuju luar negeri. Di dalam pesawat, aku bersandar di jendela, memandangi pemandangan di luar yang perlahan menjauh, hingga dorongan kuat membawa pesawat menembus la

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 7

    Akhirnya, Riko hanya bisa menatap punggungku yang menjauh meninggalkan mereka dengan tegap. Dia berpikir bahwa dirinya masih ada waktu untuk berbicara baik-baik lagi setelah semua ini reda. Lagi pula, selama dia menolak menandatangani surat cerai, hubungan kami tidak akan benar-benar putus.Dengan berpikir seperti itu, Riko pun merasa sedikit tenang. Namun, dia tidak tahu. Sejak dia dan Erni memiliki anak, sejak dia mengkhianati perasaan kami, kami tidak mungkin bisa bersama lagi.Setelah aku pergi, Riko dan rombongannya yang panik langsung membawa Erni ke rumah sakit. Namun, di perjalanan, ibu mertua justru mengalami sesak akibat gejolak emosi dan asmanya kambuh lagi. Wajah ibu mertua memucat, bibirnya kebiruan, dia mencengkeram tangan Riko sambil tersengal meminta pertolongan."Riko … tolong … Ibu sangat sesak …." pinta ibu mertua.Di sisi lain, Erni juga menutup dahi, memegangi pakaiannya dengan napas yang tersengal sambil berseru, "Riko … aku kesulitan bernapas … sepertinya aku ngg

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 6

    "Kamu mau apa? Aku peringatkan, jangan asal bicara atau aku nggak akan melepaskanmu!" ancam Riko kepadaku.Wajah Riko tampak panik. Dia menarik ujung lenganku dan memperingatkanku dengan suara rendah, tetapi aku menepis tangannya tanpa menoleh sedikit pun.Kalau memang tidak melakukan hal memalukan, kenapa harus takut saat kebenaran terpampang di depan mata?Aku menarik napas perlahan, lalu berbicara dengan tenang di hadapan semua orang, "Pertama-tama, aku ingin berterima kasih kepada semua kerabat yang sudah datang jauh-jauh untuk menghadiri pesta satu bulanan hari ini.""Sebagian besar dari kalian juga menjadi saksi saat aku dan Riko melangkah ke pelaminan beberapa tahun lalu. Selama ini, aku selalu mengingat doa dan restu dari kalian. Tapi, tadi saat kalian masuk, seharusnya juga sempat melihat foto keluarga yang terpajang di pintu."Begitu aku mengucapkan itu, wajah Riko sontak berubah. Dia bergegas menghampiriku dengan wajah yang masam, lalu mencoba merebut mikrofon dari tanganku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status