Share

Bab 5

Author: Lakmus
Bagaimanapun juga, hubungan itu pernah ada selama bertahun-tahun. Setelah aku menyelesaikan urusan ini, maka segala hubungan kami akan berakhir. Tidak ada lagi utang perasaan yang tersisa.

Namun, begitu ibu mertua mendengar bahwa aku ingin membawanya ke rumah sakit, wajahnya langsung berubah menjadi masam.

"Pergi ke rumah sakit untuk apa? Aku ini baik-baik saja! Hanya karena aku sedikit menegurmu, kamu langsung mengutukku mati, ya?"

"Nisa, kenapa kamu kejam banget? Waktu pemeriksaan terakhir, dokter bilang aku sehat-sehat saja. Untuk apa diperiksa lagi?"

Aku berusaha menahan nada suaraku agar tetap lembut.

"Ada seorang pakar spesialis asma yang sangat terkenal, kebetulan sedang berada di dalam negeri hari ini. Aku mau mengajak Ibu sekadar memeriksakan diri, anggap saja pemeriksaan ulang …."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ibu mertua sudah meraih gelas air di meja dan melemparkannya ke arahku.

"Kedengarannya hebat sekali! Pakar spesialis katanya? Apa kamu pikir seorang pengangguran sepertimu bisa seenaknya membuat janji dengan dokter sekelas itu? Kamu cuma tahu berbohong saja, ya."

"Coba lihatlah, Erni. Dulu, dia sampai rela bergadang hanya untuk mendaftarkan aku ke dokter spesialis. Waktu itu kau di mana?"

Kata-katanya yang terus-menerus membandingkanku dengan Erni sudah cukup untuk menunjukkan sikapnya. Apa pun yang kulakukan selalu salah. Bagaimanapun usahaku, aku tetap tidak akan pernah bisa menandingi Erni di matanya.

Ketika pikiran itu muncul, aku hanya tersenyum getir.

"Kalau begitu, biarkan saja. Nggak usah pergi kalau Ibu memang nggak mau," sahut aku.

Mungkin aku memang terlalu ikut campur, terlalu bodoh hingga menjerumuskan diri sendiri.

Tak lama kemudian, tibalah hari satu bulanan bayi. Aku datang terlambat. Saat memasuki aula, ruangan itu sudah penuh sesak oleh kerabat jauh dan orang-orang yang bahkan aku tidak ingat namanya.

Sesaat aku merasa asing di tempat yang dulu seharusnya menjadi "rumah". Kemegahan pesta itu bahkan jauh melampaui pernikahanku dengan Riko.

Di pintu masuk, terpampang besar foto keluarga mereka berlima, keluarga yang sempurna di mata orang lain. Sementara aku, dari awal sampai akhir, hanyalah bahan tertawaan.

Begitu beberapa kerabat melihatku datang, mereka langsung saling berbisik. Aku tidak perlu mendengar jelas untuk tahu apa yang sedang dibicarakan.

Tak lama kemudian, Bibi Ira menarik lenganku sambil tersenyum lebar dan berkata, "Nisa, kapan kamu pulang? Kenapa nggak pernah dengar Riko mengungkitnya? Lagi pula, sejak kapan kalian punya anak?"

"Kudengar, kamu baru pulang dari studi lanjutan di luar negeri dan sekarang akan dipromosikan jadi dokter kepala di rumah sakit pusat, ya? Wah, kariermu benaran sukses, ya."

Aku hanya mengangguk sedikit untuk sekadar menunjukkan sikap yang sopan. Namun, aku bisa melihat jelas pandangan mereka penuh dengan ejekan tersembunyi.

Bagaimana tidak? Tidak ada aku di foto keluarga itu.

Sementara itu, di sepanjang pesta ini, perempuan yang berdiri di sisi Riko jelas bukan aku. Beberapa tamu yang penasaran mulai menunjuk ke arah perempuan yang sedang menyuapi Riko kue manis di kejauhan sembari berkata, "Nisa, siapa perempuan itu?"

Aku tersenyum tipis dan menjawab, "Itu istri baru Riko."

Dalam sekejap, suasana di sekitarku berubah hening. Para bibi yang sedang asyik menguping gosip langsung menatapku dengan mata terbelalak, lalu buru-buru berbisik di antara mereka sendiri lagi.

Kalau Keluarga Fosa sendiri nggak peduli dengan harga diri, kenapa aku harus menutupi kenyataan?

Saat itu, Riko naik ke panggung dan mengambil mikrofon.

"Terima kasih semuanya sudah datang ke pesta satu bulanan putraku. Sebelumnya, aku nggak pernah membayangkan aku akan menjadi seorang ayah. Aku bahkan merasa nggak akan mampu menjalankan peran itu," ucap Riko.

"Tapi ketika pertama kali mendengar tangisan bayi, aku baru benar-benar mengerti arti tanggung jawab seorang ayah," timpal Riko.

Selesai berbicara, dia menatapku sekilas dan melanjutkan dengan nada lembut, "Tentunya, semua ini nggak lepas dari kerja keras istriku."

Salah satu Bibi di dekatku langsung berseru dengan suara keras, "Kalau begitu, biar ibu dari anakmu juga naik ke atas dan bicara sebentar! Mana ibunya?"

Suasana ruang pesta mendadak membeku.

Semua mata beralih menatap bergantian antara aku dan Erni. Jawaban sebenarnya sudah jelas, tetapi bibi itu seolah sengaja menunggu Riko mengatakannya sendiri.

Besok aku akan naik pesawat, meninggalkan negeri ini untuk selamanya. Aku menatap mata Riko, lalu perlahan melangkah naik ke atas panggung. Di tengah tatapannya yang terkejut, aku meraih mikrofon dari tangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 11

    Aku tidak mengalami luka serius, tetapi Peter terkena ledakan dan satu kakinya cedera.Karena merasa bersalah, aku memutuskan untuk menebusnya dengan seluruh hidupku dan berjanji akan merawatnya seumur hidup.Awalnya, aku memang bersama Peter dengan niat untuk menemaninya dan menebus kesalahanku. Namun, seiring waktu berlalu dan kami terus berinteraksi, perlahan-lahan aku mulai memahami isi hatiku sendiri.Kelembutannya, kesabarannya, ketulusannya, dan pengertiannya yang mendalam membuat hatiku yang dulu beku perlahan menjadi hangat kembali. Aku sadar sepertinya aku kembali memiliki kemampuan untuk mencintai seseorang lagi.Dengan dorongan dan bantuan rekan-rekan kerja, aku akhirnya menerima Peter sepenuh hati.Kami menjadi sepasang kekasih dalam arti yang sesungguhnya dan berjanji untuk saling setia sampai menua.Aku pikir, mungkin Tuhan merasa iba melihat aku yang selama ini sendirian, sehingga Tuhan menghadirkan takdir baru tepat di genggamanku. Karena itu, kali ini aku bertekad unt

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 10

    Aku menatapnya dengan dingin, setiap kata keluar dari mulutku dengan penuh ketegasan."Aku nggak mungkin kembali pada cinta yang sudah berlalu, apalagi kembali cuma untuk menjadi pengasuh gratis untukmu dan anakmu. Jadi, lupakan saja," ucapku.Mata Riko memerah. Dia membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum sempat bersuara, aku sudah lebih dulu berkata, "Aku masih ada urusan. Tempat ini berbahaya, sebaiknya kau cepat pulang saja."Selesai berbicara, aku berbalik menuju perkemahan.Dari belakang, suara Riko kembali terdengar."Nisa, kalau kamu nggak mau pulang, aku juga nggak akan pergi. Aku akan tetap di sini menemanimu. Saat semua hal yang mau kau lakukan sudah selesai, aku akan ikut pulang bersamamu," teriak Riko.Aku sama sekali tidak menoleh, bahkan tidak berniat menjawab apa pun. Namun, belum sempat aku melangkah jauh, kudengar dia menerima panggilan telepon. Sepertinya dari rumah sakit di dalam negeri."Apa katamu? Erni meninggal? Aku segera pulang! Kalian har

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 9

    Jadi, sekarang, untuk apa Riko bersusah payah datang mencariku lagi?Memikirkan hal itu, aku sedikit gugup dan tidak nyaman. Aku mendorongnya menjauh dengan wajah datar."Riko, kita sudah bercerai," ujarku.Mendengar itu, mata Riko memerah makin berat, suaranya serak dan bergetar."Nisa, jangan dorong aku, kumohon. Aku sudah menyusuri semua bandara, bertanya ke setiap petugas, baru akhirnya bisa menemukanmu di sini …. ""Kamu tahu nggak, selama satu bulan kamu pergi, banyak hal yang terjadi. Ibuku … dia sudah meninggal," pungkas Riko.Aku tertegun. Aku tidak pernah terpikir kalau ibu Riko sudah tiada.Selagi aku masih diam membeku, Riko terus berbicara dengan suara penuh penyesalan."Nisa, maaf … dulu kami semua nggak percaya padamu, kami pikir kamu berbohong. Tapi yang berbohong sebenarnya adalah Erni!""Dia pembohong! Dia sama sekali nggak mencari dokter ahli yang kamu sebut. Penyakit ibuku justru makin parah. Andai saja waktu itu kami mendengarkanmu dan menemui dokter yang tepat, mu

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 8

    Riko menunduk dan diam tanpa berbicara sepatah kata, tampak seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan. Namun, suara marah ayahnya membuat bayi di pelukannya terkejut dan menangis keras.Tangisan bayi itu membuat ayah mertua makin kesal. Dengan wajah murka, dia menaruh bayi itu di kursi plastik di sampingnya sambil berseru, "Menangis apa lagi! Siang malam kerjanya cuma nangis! Orang bisa mengira kita melahirkan seorang tuan besar kalau begini!""Riko, itu anakmu, kamu yang tenangkan sendiri!" ucap ayah mertua ketus.Namun, Riko sudah tidak sanggup lagi memperhatikan apa pun. Dia perlahan mengeluarkan ponsel, berusaha meneleponku. Mungkin hanya aku yang bisa menghubungi dokter ahli tersebut untuk melakukan operasi.Akan tetapi, panggilannya tidak pernah tersambung karena saat itu aku sudah berada di pesawat yang menuju luar negeri. Di dalam pesawat, aku bersandar di jendela, memandangi pemandangan di luar yang perlahan menjauh, hingga dorongan kuat membawa pesawat menembus la

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 7

    Akhirnya, Riko hanya bisa menatap punggungku yang menjauh meninggalkan mereka dengan tegap. Dia berpikir bahwa dirinya masih ada waktu untuk berbicara baik-baik lagi setelah semua ini reda. Lagi pula, selama dia menolak menandatangani surat cerai, hubungan kami tidak akan benar-benar putus.Dengan berpikir seperti itu, Riko pun merasa sedikit tenang. Namun, dia tidak tahu. Sejak dia dan Erni memiliki anak, sejak dia mengkhianati perasaan kami, kami tidak mungkin bisa bersama lagi.Setelah aku pergi, Riko dan rombongannya yang panik langsung membawa Erni ke rumah sakit. Namun, di perjalanan, ibu mertua justru mengalami sesak akibat gejolak emosi dan asmanya kambuh lagi. Wajah ibu mertua memucat, bibirnya kebiruan, dia mencengkeram tangan Riko sambil tersengal meminta pertolongan."Riko … tolong … Ibu sangat sesak …." pinta ibu mertua.Di sisi lain, Erni juga menutup dahi, memegangi pakaiannya dengan napas yang tersengal sambil berseru, "Riko … aku kesulitan bernapas … sepertinya aku ngg

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 6

    "Kamu mau apa? Aku peringatkan, jangan asal bicara atau aku nggak akan melepaskanmu!" ancam Riko kepadaku.Wajah Riko tampak panik. Dia menarik ujung lenganku dan memperingatkanku dengan suara rendah, tetapi aku menepis tangannya tanpa menoleh sedikit pun.Kalau memang tidak melakukan hal memalukan, kenapa harus takut saat kebenaran terpampang di depan mata?Aku menarik napas perlahan, lalu berbicara dengan tenang di hadapan semua orang, "Pertama-tama, aku ingin berterima kasih kepada semua kerabat yang sudah datang jauh-jauh untuk menghadiri pesta satu bulanan hari ini.""Sebagian besar dari kalian juga menjadi saksi saat aku dan Riko melangkah ke pelaminan beberapa tahun lalu. Selama ini, aku selalu mengingat doa dan restu dari kalian. Tapi, tadi saat kalian masuk, seharusnya juga sempat melihat foto keluarga yang terpajang di pintu."Begitu aku mengucapkan itu, wajah Riko sontak berubah. Dia bergegas menghampiriku dengan wajah yang masam, lalu mencoba merebut mikrofon dari tanganku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status