Share

Bab 3

Author: Lakmus
Awalnya, aku pikir setelah mendengar perkataanku tadi, Erni akan sedikit menahan diri.

Namun, ternyata tidak. Dia justru bersikap seolah-olah dialah nyonya rumah yang sah, bahkan dengan angkuhnya mengundangku masuk ke dalam "rumahku sendiri".

Saat kami berpapasan di ambang pintu, dia berbisik dengan suara pelan yang hanya bisa didengar oleh kami berdua.

"Kudengar kamu sudah menikah dengan Riko selama tiga tahun? Bagaimanapun juga, pengganti tetaplah pengganti. Nggak akan pernah bisa menandingi aku yang asli!"

"Sekarang aku sudah kembali, kamu pun harus tahu diri dan menyerahkan tempatmu padaku," timpalnya lagi.

Amarah yang kutahan selama ini langsung memuncak. Aku tidak lagi bisa mengendalikannya.

Tanpa pikir panjang, aku mengangkat tangan dan menampar wajahnya sekuat tenaga. Seluruh kerinduan selama sepuluh bulan berpisah dengan Riko seolah-olah meledak menjadi kemarahan yang membara.

Tetangga yang mendengar keributan pun segera melapor ke polisi. Kami berdua dibawa ke kantor polisi, tetapi karena ini dianggap urusan rumah tangga, pihak berwenang tidak bisa ikut campur dan akhirnya hanya meminta kami pulang.

Begitu tiba di rumah, ayah dan ibu mertua yang sudah menunggu langsung memarahiku habis-habisan. Mereka menuduhku membuat keributan begitu besar sampai menjadi bahan tertawaan para tetangga.

Mereka juga mencibir bahwa semua pendidikan tinggi yang kutempuh sia-sia saja karena ternyata aku tidak bisa menahan diri hingga harus bertindak kasar. Mereka bahkan memperingatkan, kalau sampai terjadi hal yang lebih buruk, mereka tidak akan segan untuk menuntutku.

Saat ini, aku baru sadar bahwa mereka semua sejak lama sudah mengetahui hubungan Riko dengan Erni. Bahkan, mereka mendukungnya sepenuhnya.

Dalam waktu hanya setahun, Erni telah berubah menjadi menantu idaman di mata mereka. Sementara itu, hanya aku yang terus dibohongi.

Aku seketika menjadi tidak bisa berkata-kata.

Riko melangkah mendekatiku dengan mata yang memerah. Dia mencoba menggenggam tanganku dan berusaha menenangkan.

"Nisa, aku nggak bermaksud mengkhianatimu. Tapi, Erni … dokter bilang hidupnya tinggal enam bulan. Satu-satunya keinginannya hanyalah menjadi seorang ibu, memiliki anak sendiri."

"Dia adalah penyelamat hidupku. Aku nggak tega membiarkannya pergi dengan penyesalan. Sebenarnya aku mau membicarakan ini denganmu, tapi waktu itu kamu sedang di luar negeri. Aku khawatir hal ini akan mengganggu fokus studimu, jadi aku berencana menunggu sampai kamu kembali."

"Kalau kamu bersedia, mari kita besarkan anak ini bersama-sama, ya?" ucap Riko.

Hal sebesar itu diucapkan oleh Riko dengan nada ringan seolah tidak berarti apa-apa. Aku menyimpan pakaian terakhir ke dalam koper. Saat itu, ibu mertua masuk ke kamar tanpa mengetuk.

Melihat koper di kakiku, dia menatapku dengan ekspresi puas, seolah-olah aku akhirnya tahu diri.

"Waktu kamu belum pulang, aku sudah menyuruh Erni tidur di kamarmu. Ruang kerja juga sudah diubah menjadi kamar bayi. Jadi, malam ini kamu tidur di ruang tamu saja. Kalau nggak suka, cari hotel sendiri," pungkas ibu mertua.

Aku sungguh lelah, tidak punya tenaga untuk berdebat atau mencari penginapan lain. Aku hanya mengangguk pelan dan bersiap tidur di sofa malam itu.

Namun, tengah malam, suara tangisan bayi dari kamar terdengar tanpa henti. Aku membalikkan badan, berniat memakai penutup telinga, tetapi kemudian terdengar suara manja Erni.

"Riko, tolong gendong bayi ini sebentar, dia terus menangis," pinta Erni.

Lalu, terdengar suara tawa Riko yang lembut sembari berkata, "Anak nakal, biarkan saja. Menangis sedikit bisa melatih paru-parunya."

Aku menutup kepala dengan selimut, berusaha keras menahan diri agar tidak mendengar suara mereka. Namun, begitu memejamkan mata, yang muncul di benakku justru bayangan Riko saat pertama kali menyatakan cinta padaku.

Senyumnya cerah, tatapannya lembut, seluruh dunia seolah hanya ada aku di dalamnya.

Namun, kini, lelaki itu bukan lagi milikku.

Aku tertidur dalam keadaan linglung, dan begitu fajar tiba, aku sudah membawa koper keluar dari rumah itu. Aku pergi ke kantor administrasi untuk membatalkan status kependudukanku sekaligus mengurus berkas keberangkatan ke luar negeri. Lantaran semua dokumenku lengkap, prosesnya berjalan lancar dan para petugas tidak banyak bertanya.

Saat hendak pergi, salah satu petugas perempuan tiba-tiba memanggilku. Dia memberiku sebutir permen buah warna-warni sambil berseru, "Semoga semua keinginanmu akan terwujud suatu hari nanti."

Aku membalasnya dengan senyuman yang tulus, lalu keluar dari gedung itu. Kemudian, aku mencari hotel terdekat dan menaruh koper di kamar. Ketika hendak keluar mencari makan, aku tanpa sengaja berpapasan dengan Riko dan Erni, bersama kedua mertuaku.

Erni mengenakan gelang Patek Philippe berkilau di pergelangan tangannya sambil menunjukkan ekspresi wajah penuh kepuasan. Dia sama sekali tidak tampak seperti seseorang yang sudah sekarat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 11

    Aku tidak mengalami luka serius, tetapi Peter terkena ledakan dan satu kakinya cedera.Karena merasa bersalah, aku memutuskan untuk menebusnya dengan seluruh hidupku dan berjanji akan merawatnya seumur hidup.Awalnya, aku memang bersama Peter dengan niat untuk menemaninya dan menebus kesalahanku. Namun, seiring waktu berlalu dan kami terus berinteraksi, perlahan-lahan aku mulai memahami isi hatiku sendiri.Kelembutannya, kesabarannya, ketulusannya, dan pengertiannya yang mendalam membuat hatiku yang dulu beku perlahan menjadi hangat kembali. Aku sadar sepertinya aku kembali memiliki kemampuan untuk mencintai seseorang lagi.Dengan dorongan dan bantuan rekan-rekan kerja, aku akhirnya menerima Peter sepenuh hati.Kami menjadi sepasang kekasih dalam arti yang sesungguhnya dan berjanji untuk saling setia sampai menua.Aku pikir, mungkin Tuhan merasa iba melihat aku yang selama ini sendirian, sehingga Tuhan menghadirkan takdir baru tepat di genggamanku. Karena itu, kali ini aku bertekad unt

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 10

    Aku menatapnya dengan dingin, setiap kata keluar dari mulutku dengan penuh ketegasan."Aku nggak mungkin kembali pada cinta yang sudah berlalu, apalagi kembali cuma untuk menjadi pengasuh gratis untukmu dan anakmu. Jadi, lupakan saja," ucapku.Mata Riko memerah. Dia membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, sebelum sempat bersuara, aku sudah lebih dulu berkata, "Aku masih ada urusan. Tempat ini berbahaya, sebaiknya kau cepat pulang saja."Selesai berbicara, aku berbalik menuju perkemahan.Dari belakang, suara Riko kembali terdengar."Nisa, kalau kamu nggak mau pulang, aku juga nggak akan pergi. Aku akan tetap di sini menemanimu. Saat semua hal yang mau kau lakukan sudah selesai, aku akan ikut pulang bersamamu," teriak Riko.Aku sama sekali tidak menoleh, bahkan tidak berniat menjawab apa pun. Namun, belum sempat aku melangkah jauh, kudengar dia menerima panggilan telepon. Sepertinya dari rumah sakit di dalam negeri."Apa katamu? Erni meninggal? Aku segera pulang! Kalian har

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 9

    Jadi, sekarang, untuk apa Riko bersusah payah datang mencariku lagi?Memikirkan hal itu, aku sedikit gugup dan tidak nyaman. Aku mendorongnya menjauh dengan wajah datar."Riko, kita sudah bercerai," ujarku.Mendengar itu, mata Riko memerah makin berat, suaranya serak dan bergetar."Nisa, jangan dorong aku, kumohon. Aku sudah menyusuri semua bandara, bertanya ke setiap petugas, baru akhirnya bisa menemukanmu di sini …. ""Kamu tahu nggak, selama satu bulan kamu pergi, banyak hal yang terjadi. Ibuku … dia sudah meninggal," pungkas Riko.Aku tertegun. Aku tidak pernah terpikir kalau ibu Riko sudah tiada.Selagi aku masih diam membeku, Riko terus berbicara dengan suara penuh penyesalan."Nisa, maaf … dulu kami semua nggak percaya padamu, kami pikir kamu berbohong. Tapi yang berbohong sebenarnya adalah Erni!""Dia pembohong! Dia sama sekali nggak mencari dokter ahli yang kamu sebut. Penyakit ibuku justru makin parah. Andai saja waktu itu kami mendengarkanmu dan menemui dokter yang tepat, mu

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 8

    Riko menunduk dan diam tanpa berbicara sepatah kata, tampak seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan. Namun, suara marah ayahnya membuat bayi di pelukannya terkejut dan menangis keras.Tangisan bayi itu membuat ayah mertua makin kesal. Dengan wajah murka, dia menaruh bayi itu di kursi plastik di sampingnya sambil berseru, "Menangis apa lagi! Siang malam kerjanya cuma nangis! Orang bisa mengira kita melahirkan seorang tuan besar kalau begini!""Riko, itu anakmu, kamu yang tenangkan sendiri!" ucap ayah mertua ketus.Namun, Riko sudah tidak sanggup lagi memperhatikan apa pun. Dia perlahan mengeluarkan ponsel, berusaha meneleponku. Mungkin hanya aku yang bisa menghubungi dokter ahli tersebut untuk melakukan operasi.Akan tetapi, panggilannya tidak pernah tersambung karena saat itu aku sudah berada di pesawat yang menuju luar negeri. Di dalam pesawat, aku bersandar di jendela, memandangi pemandangan di luar yang perlahan menjauh, hingga dorongan kuat membawa pesawat menembus la

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 7

    Akhirnya, Riko hanya bisa menatap punggungku yang menjauh meninggalkan mereka dengan tegap. Dia berpikir bahwa dirinya masih ada waktu untuk berbicara baik-baik lagi setelah semua ini reda. Lagi pula, selama dia menolak menandatangani surat cerai, hubungan kami tidak akan benar-benar putus.Dengan berpikir seperti itu, Riko pun merasa sedikit tenang. Namun, dia tidak tahu. Sejak dia dan Erni memiliki anak, sejak dia mengkhianati perasaan kami, kami tidak mungkin bisa bersama lagi.Setelah aku pergi, Riko dan rombongannya yang panik langsung membawa Erni ke rumah sakit. Namun, di perjalanan, ibu mertua justru mengalami sesak akibat gejolak emosi dan asmanya kambuh lagi. Wajah ibu mertua memucat, bibirnya kebiruan, dia mencengkeram tangan Riko sambil tersengal meminta pertolongan."Riko … tolong … Ibu sangat sesak …." pinta ibu mertua.Di sisi lain, Erni juga menutup dahi, memegangi pakaiannya dengan napas yang tersengal sambil berseru, "Riko … aku kesulitan bernapas … sepertinya aku ngg

  • Kukira Dia Cinta, Ternyata Pemberi Luka   Bab 6

    "Kamu mau apa? Aku peringatkan, jangan asal bicara atau aku nggak akan melepaskanmu!" ancam Riko kepadaku.Wajah Riko tampak panik. Dia menarik ujung lenganku dan memperingatkanku dengan suara rendah, tetapi aku menepis tangannya tanpa menoleh sedikit pun.Kalau memang tidak melakukan hal memalukan, kenapa harus takut saat kebenaran terpampang di depan mata?Aku menarik napas perlahan, lalu berbicara dengan tenang di hadapan semua orang, "Pertama-tama, aku ingin berterima kasih kepada semua kerabat yang sudah datang jauh-jauh untuk menghadiri pesta satu bulanan hari ini.""Sebagian besar dari kalian juga menjadi saksi saat aku dan Riko melangkah ke pelaminan beberapa tahun lalu. Selama ini, aku selalu mengingat doa dan restu dari kalian. Tapi, tadi saat kalian masuk, seharusnya juga sempat melihat foto keluarga yang terpajang di pintu."Begitu aku mengucapkan itu, wajah Riko sontak berubah. Dia bergegas menghampiriku dengan wajah yang masam, lalu mencoba merebut mikrofon dari tanganku.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status