Akhirnya, aku mendapatkan suami yang bisa menjamin kebutuhan hidup, sementara pria bernama Azka dan istrinya pun akan terhindar dari fitnah? batinku yang lelah berperang akhirnya memilih berdamai.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Elva Ivara binti Marwansyah dengan mas kawin seperangkat alat sholat ,10 gram logam mulia dan uang sebesar sepuluh juta rupiah, dibayar tunai." "Bagaimana para saksi, sah?" tanya pak penghulu seraya menoleh ke kanan dan kiri. "Sah!" "Sah!" "Sah" Aku terpejam menyimpan bulir bening dipelupuk mata, manakala seorang pria yang sudah beristri tiga baru saja menyebut namaku lengkap dengan waliku dengan satu tarikan napas, disusul gumaman para lelaki diluar sana mengucap rangkaian tiga kata keramat itu secara berurutan. Pernikahanku telah sah dimata agama, lelaki tampan yang menjabat tangan ayahku sudah SAH menjadi suamiku. ALHAMDULILLAHnya lagi, mulai hari ini aku resmi menjadi istri ke empat dari seorang pria muda dan tampan dengan bulu-bulu tipis di sekitar rahangnya. Akupun menengadahkan tangan, disaat para tokoh agama dalam acara itu menyampaikan serangkaian doa untuk kami semua. Ya... Nyatanya doa tersebut bukanlah ditujukan untukku dan Mas Azka semata sebagai mempelai. Namun, doa tersebut mencakup kemakmuran tiga istri Mas Azka sebelumnya yang kini duduk dibelakangku saling bersisian, dan dengan kompaknya mengenakan kebaya berwarna senada. Agak lain memang, karena sejujurnya akupun merasa risih dengan pernikahan semacam ini, yang pastinya akan mendapat beragam komentar dari berbagai macam pola pikir. Namun, apa boleh buat. Demi ayahku, sekali lagi aku tekankan, pernikahan ini kulakukan demi ayahku. Andai saja tak beralasan, akupun tak mau berada di posisi menjadi istri ke empat, seakan stok lelaki perjaka didunia ini sudah punah. "Ini kamar kamu, untuk sementara!" ujar mbak Lena singkat, bos yang kini menjadi maduku itu berbaik hati mengantarkanku menuju kamar pengantin setelah acara selesai. "Terimakasih!" kuucapkan dengan tulus kata tersebut karena memandang kebesaran hatinya. Kulihat, mbak Lena hanya mendengkus dan berlalu begitu saja, wajahnya memang terlihat ketus tapi dia cukup baik jika diajak bicara. Apalagi untuk sekarang, hanya mbak Lena yang lumayan sering berinteraksi denganku. Akupun memasuki kamar itu, wangi semerbak bunga yang menghiasi kamar membuat hatiku bergetar. Betapa tidak, wanginya sangatlah tajam dan begitu mengundang sesuatu, hatiku langsung bergelora ketika menyentuh wewangian itu. Sambil berjalan sendu, akupun membayangkan bagaimana reaksi suamiku saat memasuki kamar ini, apakah ia juga akan langsung merasakan sensasi sama sepertiku? Karena penat dengan pakaian pengantin serta riasan tebal yang jarang sekali kukenakan, akupun perlahan menanggalkannya satu persatu dari tubuh. Duduk sendiri di meja rias, dengan status sebagai istri, kini aku ratapi pantulan itu disana. Ya sudahlah, untuk apalagi disesali, akan lebih baik jika aku berdamai saja dengan keadaan, toh suamiku bukanlah seorang juragan tua yang jelek dengan perut buncit yang menjijikan, seperti yang ada di cerita-cerita novel. Meski telah memiliki tiga istri, suamiku itu masih tetap berpotensi menjadi incaran para pelakor. Tidak hanya karena ketampanannya, tapi juga dari segi material, dia cukup mapan untuk dikategorikan sebagai suami idaman. Cekrek "Astagfirullah!" aku terjengkit kaget dengan suara pintu kamar yang terbuka. Dikala aku sedang duduk melamun, dengan kedua tangan bekerja membenahi diri untuk kembali menjadi Elva yang sebenarnya. Akupun reflek menoleh, rupanya, mas Azka yang baru saja masuk ke kamar kami, pria itu menutup kembali pintunya dari dalam dan menatapku dingin. "Maaf mas!" ucapku tertunduk canggung, sambil memegangi dadaku yang jantungnya hampir lepas, jujur saja aku belum siap bertemu dengannya. "Pintunya tidak dikunci!" ucapnya singkat seraya berjalan elegan kearahku, pakaian kami yang masih kompak membuat keindahan terbingkai di cermin. Sudut bibirku tertarik kesamping saat melirik pantulan kami berdua. "Tidak apa-apa mas!" sahutku pelan, tak berani mendongak. Aku tidak yakin bisa berlama-lama melihat wajah dan ketampanan paripurna itu, sungguh suamiku ini membuat dadaku berdebar kencang sekali, bahkan jika menurut keegoisan hati, rasanya aku tidak rela membaginya dengan ketiga istri mas Azka yang lain. Tapi bukankah aku tidak tahu diri jika memikirkan hal demikian? Aku menghela napas lega ketika mas Azka berlalu dan pergi ke kamar mandi, karena tadinya aku sudah terlalu percaya diri jika pria itu akan mendekat dan membelai atau mencium keningku. Tuiing Setelah mas Azka berlalu, aku mendorong sisi kepalaku sendiri, bisa bisanya aku punya pemikiran sebodoh itu. Akupun kembali melanjutkan kegiatan melepas riasan yang tadi sempat terjeda. "Akkhh, susah sekali!" Dalam kesendirian, akupun dibuat kesal karena kesulitan membuka resleting gaun pengantin berwarna putih yang kukenakan. Tubuhku sampai melentik kebelakang saking inginya membuka resleting tersebut. Akan tetapi, kedua tanganku begitu sulit untuk meraih ujung resleting dibelakangku. "Jangan bergerak, rambutmu terlilit!" tubuh tegap dan berotot seorang pria tiba-tiba menghampiriku disertai suara bariton yang cukup keras. Tidak hanya itu, kedua tangannya pun kini sudah lancang berada bagian belakangku itu. Astagfirullah! Sejak kapan Mas Azka ada disitu? Aku sempat terbelalak mendengar suaranya yang menggelegar dan mengejutkan. Namun, aku tidak bisa menolak niat baiknya ingin membantu. Toh dia juga bukan orang asing, dia suami sahku. Dengan percaya diri, akupun memasrahkan punggung ini dihadapan Mas Azka sambil memejamkan mata demi menyembunyikan rasa kikuk karena malu. Sukses menurunkan kembali rambut panjangku yang tadi menganggu, iapun memutar tubuhku untuk menghadapnya. "Lain kali, buka resletingnya dulu, baru lepas ikatan rambut, daripada nanti nyusahin dan buang-buang waktu saya!" omelnya didepan wajahku seolah memberikan tutorial, setelah dengan manis membenarkan rambutku yang sempat terlilit pada resleting. Pria berwajah datar itupun berlalu setelahnya, tanpa peduli atau menatapku sedikitpun. "Elva!" panggilnya selang beberapa waktu berlalu. "Elva!" Mas Azka kemudian menyentakku setelah panggilan yang kedua kali, karena aku masih tak menyahut. "Eh, iya Mas!" sahutku ikut tersentak. "Nama kamu Elva, kan?" ulangnya bersantai mengerutkan kening dengan wajah dingin. "Terserah mas saja, enaknya dipanggil apa!" aku menjawab seraya melirik keatas ragu-ragu. "Saya bertanya, bukan meminta pendapat!" ujarnya ketus tanpa terasa sebelah tangannya menyeka keringat yang ada dipelipis. "I-iya mas, maaf!" tak ada lagi lain yang bisa kulakukan selain tertunduk dan meminta maaf padanya semenyedihkan itu. Desahan lelahku mengiringi langkahnya, aku mematung memperhatikan pria itu berjalan mengambil setelan piyamanya. "Malah melamun, kamu belum sholat kan?" tanya mas Azka tiba-tiba bersuara, walau niatnya mengingatkan itu cukup baik, tapi ... entahlah, aku masih belum mengerti tentang suamiku sendiri. Apakah gaya bicaranya memang seperti itu sejak dahulu atau hanya padaku saja. Tidak bisakah dia berkata lebih lembut lagi? "I-iya mas belum!" jawabku bergegas berbalik dan melangkah ke kamar mandi "Cepat, saya tunggu!" teriak mas Azka yang sukses membuat langkahku terhenti. Apa tadi? Tu-tunggu! Tanpa terasa, akupun membeo dengan kening berkerut dalam, seraya melangkah gontai menuju kamar mandi. Maksudnya apa? Apakah secepat itu ia ingin menunaikan haknya dan segera membuatku segera hamil? Ti-tidak bisakah ia menunggu sampai aku siap? Langkahku makin lemah dan tak bersemangat, entah bagaimana aku harus menghadapinya nanti, apalagi jantungku semakin berdebar-debar mengetahui mas Azka yang bersedia menunggu. Haruskah semuanya terjadi malam ini. Setelah beberapa menit membersihkan diri di kamar mandi, akupun keluar dari sana dengan takut-takut. Jleb "Astagfirullah." tak ayal, kepalaku mendongak secara reflek, saat tubuh tegap itu tiba-tiba berdiri didepanku sambil melipat kedua tangan didada. Demi apa, baru hitungan menit berada satu ruangan namun ia sudah berkali-kali membuat jantungku hampir lepas."Kamu kalau tidak tahu apa-apa, gausah ikut campur!" tegas mas Azka dengan angkuh."Kalau aku tidak tahu tentang kalian, tidak kubiarkan Elva menangisi bajingan sepertimu!" balas kak Abi menyindir.Suasana semakin memanas ketika mas Azka beralih menatapku, entah apa yang ada didalam benaknya."Jadi si tukang bengkel ini tahu semua tentang kita?" lirihnya menanyaiku seperti tak terima."Elva, kamu membeberkan keadaan rumah tangga kita pada orang lain?" tanya mas Azka lagi, sebab tak kunjung mendapat jawaban dariku.Karena bingung harus menjawab apa, akupun hanya diam mematung sambil melirik pada kak Abizar seolah meminta dukungan darinya.Jujur saja, aku masih sangat kesal pada sikap suamiku."Jawab Elva!" kesabaran mas Azka sudah berada pada puncaknya, karena itulah dia makin menuntut dengan nada suara lebih tinggi."Setidaknya, kak Abi bisa memberikan bahunya untuk dijadikan sandaran disaat suamiku sendiri memilih menyingkirkan aku!" sahutku reflek, didasari kekecewaan akhirnya aku
"Please Elva, jujur sama saya!" desak kak Abi saat kami berjalan keluar dari kantor polisi menuju parkiran."Jujur apa lagi sih kak?" tegasku sembari terus menghindari tatapan matanya yang penuh tanda tanya."Kamu jangan bohongin saya, mana mungkin kamu mau menikah dengan pria yang sudah beristri lebih dari satu!" Rupanya kak Abi masih belum memercayai keteranganku dan bapak saat didalam tadi."Untuk apa El sama bapak bohongin kakak, untungnya apa?" terangku lagi."El!"Langkahku terhenti saat kak Abi mencekal lenganku, ia muak dan malas bermain kejarmungkin-kejaran denganku."Jadi selama ini, kamu menjalani rumah tangga secara poligami? dan dua wanita yang mau kamu temui kemarin adalah istri-istri tua suamimu?" tuntutnya lagi, ia sangat tidak berharap aku mengiyakan dugaan itu. Tapi, mau bagaimana lagi, yang dia katakan adalah kenyataan sebenarnya."Iya kak!" jawabku pasrah dan lemah.Kak Abi langsung menjatuhkan kedua bahunya lelah, seperti menolak percaya, kecewa, dan prihatin ter
Salahkan jika aku merindukan suamiku, salahkah jika aku menginginkan kehangatan pelukannya.Rasanya kacau sekali setelah mengetahui mereka telah serumah tanpa memberitahuku."Sadar Elva, sadar!""Yang mbak Sonia lakukan sama halnya seperti yang kau lakukan sendiri bersama Azka di Australia kemarin!" batinku terus memperingati kegundahan hati yang terus mengaduk perasaanku."Aku sendiri juga pernah berduaan dengan suaminya, kan?" kembali, aku berusaha menguatkan diri ini dan terus menyeka air mata yang tak telah menjebol bendungannya."Astagfirullah, apa yang terjadi padaku?"Hampir semalaman aku malah menangisi mas Azka, bukankah harusnya aku lebih memikirkan ayahku yang tengah kedinginan didalam jeruji besi daripada si pembohong itu.Meskipun tubuhku sangat lemas, namun aku berusaha untuk bangkit, selain bangkit dari keterpakuan diatas sofa hampir semalaman, aku juga harus bangkit dari keterpurukan dan rasa cemburu, jangan sampai perasaanku pada mas Azka berhasil menumbangkan pertaha
"Kamu kenapa sih El, emang suami kamu gak bisa ditelpon?" Kak Abi langsung menodongku dengan pertanyaan saat aku baru saja membuka mata dan tersadar, Meskipun nadanya ketus tapi aku tahu dia peduli."Minta minum kak!" ucapku lebih dulu menjeda dengan suara serak yang hampir tak terdengar.Sambil bersabar menunggu jawabanku, kang bengkel itu segera membangunkan tubuhku yang masih lemas untuk bersandar di sandaran sofa lalu diberikan segelas air.Tercium bau menyengat khas minyak kayu putih dari sekeliling tempatku berbaring setelah aku mengembalikan gelas kosong itu padanya."Ukkhh, kalau bisa dihubungi, untuk apa aku menunggu semalaman, El sampai gak bisa tidur kak!" keluhku pada akhirnya penuh kepasrahan.Aku bersandar dikursi dengan kaki yang diluruskan, jujur saja kepala ini masih pusing dan terasa berputar-putar. Hingga kemudian kak Abi menunjukkan keningku yang agak merah dan benjol.Aku baru sadar jika kepalaku juga sakit dan berdenyut, entah apa yang terjadi tadi pagi setelah
"Sudahlah Elva, ayo kita pulang!" tak henti-henti kak Abi dan bapak mengatakan kalimat memuakkan itu.Bukankah sudah kukatakan, aku ingin bermalam disini menemaninya."El, kamu gak bisa disini, ini bukan tempatmu!" kak Abizar kembali membujukku, begitu pula dengan beberapa petugas disana."Aku tahu ini bukan tempatku, dan seharusnya ini juga bukan tempat yang pantas untuk bapak!" Kutepis semua nasihat itu, karena yang kukatakan adalah kebenaran, aku harus berjuang untuk itu."Kita selesaikan ini besok, El!" Astaga, kak Abizar tak bosan-bosan mengajakku untuk pulang.Tentu saja, itu membuatku mengeratkan pelukan pada bapak, sekalipun sudah terbatas oleh besi."Kamu istirahat dirumah ya nak, datanglah besok, bapak gak mau kamu tinggal disini." sejak tadi setelah makan dengan lauk tumis kangkung buatannya, dengan penuh kelembutan dan kesabaran bapak memang terus mengatakan hal yang sama, yaitu menyuruhku segera pulang. Tapi bukankah itu sangat kejam? Sebagai anak, aku tidak mungkin be
"Pak, tolong jangan bawa orangtua saya, dia tidak bersalah!" mohonku segera berlutut menarik kaki seorang Polisi yang sudah memegang kedua tangan orang yang aku sayangi."Ini perintah, mbak tidak boleh menghalang-halangi kami!" dengan tegas, pak polisi berkumis tebal itu menjawabku. Ia juga memperlihatkan surat itu lagi, surat yang tadi kuabaikan karena merasa ketentuannya tidaklah adil dan mendasar."Mana mungkin bapak saya mencelakai orang, dia sudah berhenti bekerja sebagai supir truck sejak empat bulan yang lalu." Sebagai bukti, akupun menunjukkan kebun sayuran organik yang dikelola bapak dibelakang rumah, pun dengan menunjukkan tidak adanya mobil truck yang terparkir didepan rumah. Hanya saja, untuk sementara ini aku memang tidak bisa memperlihatkan surat pemberhentian kontrak atas pekerjaan bapak, karena ia memang hanya sebagai sopir lepas. Entahlah... setahuku bapak memang tidak menerima jaminan apa-apa di perusahaan tempatnya bekerja, sekalipun pekerjaan itu cukup beresiko.