Share

Bab 2. Ceraikan Aku

Author: Turiyah
last update Last Updated: 2024-10-08 02:33:41

Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.”

Aku menggeleng. “Untuk apa aku tetap ada di sini? Bukankah aku tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu?”

“Sudahlah, Rania jangan sok berlagak menjadi korban begitu. Seakan-akan kamu yang paling berjuang,” tukas ibu mertuaku. “Padahal di sini kamu yang tidak becus memberikan kami keturunan Danu.”

Hatiku bergetar mendengar kata-kata itu. Aku menggeleng, menatap tidak percaya ke arah ibu mertua yang selama ini aku hormati. 

“Bu, saya tidak mandul,” ucapku. Meski masih terdengar gemetar, tapi aku berusaha terdengar tegas.

“Tidak ada yang bermasalah dari saya. Hanya saja–”

Ibu mertuaku mendengus. “Kalau tidak mandul, tidak mungkin kamu belum hamil sampai sekarang. Sudahlah!”

Aku diam menatap wanita paruh baya itu. “Apakah memang fungsiku di sini hanya sebagai pencetak anak, Bu?” tanyaku lirih kemudian. “Apakah … semua yang keluarga ini lalui bersama saya … tidak ada artinya?”

Dulu, saat aku pertama bertemu Mas Danu, kondisi keluarga ini tidak sedang baik-baik saja. Ibu mertuaku kecelakaan, tertabrak hingga lumpuh. Semua biaya lari ke pengobatan ibu hingga kebutuhan semuanya terbengkalai.

Akulah yang merawat ibu mertuaku hingga Ibu bisa berjalan kembali. Di saat semua anaknya enggan dekat-dekat karena beliau bau pesing, bahkan enggan membantu Ibu bersih-bersih lantaran merasa jijik, akulah yang melakukan peran itu.

Sebagai baktiku. Sebagai istri Mas Danu, sekaligus menantu Ibu.

Namun, apakah semua itu … tidak ada artinya sekarang?

“Kamu ini ngomong apa sih? Mau makin berlagak, bahwa kamu satu–satunya yang suci di sini? Sementara kami semua orang jahat?” sergah ibu mertuaku kasar. “Tidak mempan!”

Ah, rupanya beliau sudah sejauh ini.

“Ran.” Mas Danu berdiri. “Duduk dulu. Ayo kita diskusi–”

“Mas. Keputusannya bukankah sudah ada? Untuk apa diskusi?” balasku. “Mas akan tetap menikah lagi, bukan? Kalau begitu, ceraikan saja aku.”

“Ran–”

“Aduh, drama sekali.” Ibu mertuaku tampak marah. “Ya sudahlah, Danu! Ceraikan saja dia.”

“Ibu!”

“Tapi, Rania. Kalau kamu pergi, kamu tidak akan mendapatkan apa pun, termasuk baju ganti!” Ibu mertuaku melanjutkan. “Semuanya dibeli oleh uang anakku. Kamu tidak berhak membawa apa pun.”

Aku terperangah. Sekali lagi dibuat tidak percaya dengan kata yang dilontarkan itu.

Sementara itu, ibu mertuaku tampak tersenyum penuh kemenangan.

“Kalau kamu tidak mau begitu, tetap di sini. Terima nasibmu dimadu, kerjakan tugasmu sebagai istri seperti biasanya.”

Ah. Rupanya begitu.

“Ibu memintaku tinggal agar aku bisa disuruh-suruh seperti biasa?” tanyaku pelan. “Apakah ini berarti, Ibu sebenarnya ingat apa saja yang telah keluarga ini lalui bersama saya?”

“Ck. Maksudmu itu apa? Saat aku lumpuh? Saat Danu tidak bisa melanjutkan kuliah karena masalah uang?” balas ibu mertuaku kasar. “Atau saat kamu tidak jadi lanjut studi magister? Kamu mau pamrih, hah? Itu semua keputusanmu sendiri! Jangan membebankannya pada kami, Rania!”

Ucapan wanita paruh baya itu kembali menohokku. Selain karena tuduhan bahwa aku pamrih, padahal aku hanya ingin mereka semua mengingat bagaimana kita semua bersama-sama menghadapi kesulitan itu semua, juga karena sebuah fakta.

Itu semua adalah keputusanku. Akulah yang patut disalahkahkan karena hal itu.

Dan aku tidak ingin melakukan kesalahan lainnya dengan mengedepankan keinginan mereka semua, dibanding keinginanku sendiri.

“Saya akan pergi.” Aku memutuskan.

“Ran, jangan gegabah.” Mas Danu menggenggam tanganku. “Pikirkan baik-baik.”

Aku menatap Mas Danu, lalu menarik tanganku dari genggamannya.

“Kamu pada keputusanmu, Mas,” kataku. “Dan aku dengan keputusanku.”Lalu aku melangkah pergi, meninggalkan semuanya.

Barang-barangku. Kenanganku.

Keluarga suamiku.

Baru sampai di luar pintu, langkahku terhenti. Mataku tertuju pada seorang gadis yang baru saja turun dari mobil tepat di depanku. 

Dia mengenakan gaun cantik, dan senyumnya tampak menawan. Siapa dia?

“Permisi. Apakah kamu Rania?” Gadis cantik itu bertanya, membuatku mengernyit. 

“Siapa–”

“Perkenalkan,” ucapnya lagi. “Aku calon istri Danu. Dia sering bercerita tentang kamu, sampai aku langsung mengenalimu begitu melihat kamu.” Ia tersenyum. “Tapi rasanya, dia tidak menceritakan aku padamu ya?”

Sepasang mataku membeliak sesaat. “Apakah Mas Danu sudah melamarmu?” tanyaku.

“Benar. Kami akan segera menikah. Tolong jangan dihalangi ya.” Wanita itu kembali berkata. “Soalnya aku sedang hamil anaknya.”

“Ah, jadi begitu.” Aku tersenyum tipis.

Danu. Rupanya kamu sudah bermain di belakangku selama ini? Itu sebabnya kamu diam saja sejak tadi, ya?

“Semoga bahagia,” ucapku kemudian, lalu berjalan pergi setenang mungkin sekalipun air mata sudah kembali mengancam turun.

Beruntung, aku sudah cukup jauh dari rumah ketika pada akhirnya, tangisku meledak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 22. ke acara keluarga Suami

    Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 21. Diajak bertemu keluarganya

    “Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 20. Salah paham

    Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 19. Cemas

    Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 18. Ajakan makan malam

    Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan

  • Kuminta Cerai Saat Sudah Tidak Dihargai   Bab 17. perhatian Adrian

    Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status