Blurb: Setelah bertahun-tahun mengorbankan segalanya demi suaminya, Rania terpaksa menerima kenyataan pahit: hasil tes pack yang negatif membawa tekanan besar dari keluarga suaminya, dan lebih dari itu, pengkhianatan Danu, suami yang selama ini ia percayai. Hatinya hancur saat ia melihat Danu dengan wanita lain, membuatnya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa. Di tengah kebingungannya, Rania bertemu kembali dengan Adrian, teman lama dari masa kuliahnya, yang kini seorang ayah tunggal. Adrian yang pernah mencintainya menawarkan tempat tinggal sementara, memberi Rania kesempatan untuk pulih dari rasa sakitnya. Namun, bukan hanya kenangan masa lalu yang kembali mengganggu. Saat Rania mulai bangkit dan menunjukkan kekuatannya di dunia kerja, dia mendapati dirinya harus bersaing dengan Danu, suami yang telah mengkhianatinya. Di sisi lain, mantan istri Adrian muncul kembali, membawa ancaman baru bagi hidupnya. Di tengah berbagai konflik, Rania harus menghadapi dilema: apakah dia berani membuka hati pada cinta yang baru bersama Adrian, atau kembali terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya? Terlebih lagi, ketika penyesalan menghampiri Danu dan keluarganya setelah mengetahui kebenaran yang selama ini mereka abaikan. Mampukah Rania bertahan dan meraih kebahagiaan yang selama ini ia cari?
Lihat lebih banyakBab 1: Hasil yang Dinanti
Alat tes kehamilan di tanganku masih belum menunjukkan hasilnya. Meski begitu, aku sudah tahu. Hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang. Di luar kamar, aku bisa mendengar percakapan lirih dari ruang tamu. Suara ibu mertuaku, tegas dan penuh harap, berdengung seperti suara lebah yang terus mengitari pikiranku. Suara itu juga yang mendesakku untuk melakukan tes kehamilan secara berkala, sekaligus dengan bebas mengutarakan keinginannya agar aku bisa memberikan keturunan laki-laki untuk keluarga ini. Aku duduk di tepi tempat tidur, menggenggam alat kecil itu dengan tangan gemetar. Mengamati testpack di tanganku hingga hasilnya muncul dengan debar yang makin tak karuan, makin membuat dadaku sesak. Perlahan, sebuah garis muncul di alat tersebut. Negatif. Sudah kuduga. Tiba-tiba. pintu kamar terbuka sedikit. Wajah ibu mertuaku muncul di celah pintu. Tatapannya tajam, nyaris tak sabar. "Sudah?" tanyanya, tak sabar. Aku mengangguk perlahan, bibirku kelu untuk berkata apa-apa. "Bagaimana hasilnya?" Sebelum aku bisa menjawab, ibu mertuaku sudah melangkah masuk. Tanpa diminta, dia merebut alat itu dari tanganku dan memandangnya dengan tatapan kecewa. Detik berikutnya, dia mendesah panjang—suara yang menusuk ke telingaku. "Negatif lagi?" bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepadaku. "Ck." Aku tak mampu menjawab. "Keluar. Semuanya sedang menunggu," kata ibu mertuaku kemudian dengan nada dingin. Wanita paruh baya itu menggenggam lenganku dan menarikku keluar dari kamar tanpa menunggu balasanku.. Sama sekali tidak ada kata-kata penghiburan, tidak ada simpati. Jika saja hasilnya positif, pasti ibu mertuaku tidak akan bersikap sedingin ini. Di ruang tamu, seluruh keluarga sudah berkumpul. Mas Danu duduk di sofa, terlihat resah, diapit kedua kakak perempuan Mas Danu tengah berdiam diri dengan tangan bersilang di dada. Wajah suamiku yang tadinya penuh harap langsung tampak kecewa saat melihatku keluar dengan lesu. “Nih. Negatif lagi.” Ibu mertuaku membuang testpack yang kugunakan lagi, mengonfirmasi dugaan anggota keluarga yang lain. “Ck. Rania, jujur saja pada Ibu. Kamu sebenarnya mandul, kan?” Buru-buru aku menggeleng. “Bu, kami sudah mencoba–” "Tapi belum ada hasilnya." Ibu mertuaku memotong, suaranya terdengar begitu keras di telingaku. "Sudah berapa tahun, Rania? Lima tahun? Sampai kapan kami harus menunggu?" Mataku menatap ke Mas Danu, berharap dia akan berkata sesuatu, memberikan dukungan. Tapi dia hanya diam. Menunduk, seolah menghindari tatapan dariku. “Kamu tahu kan kalau Danu itu anak laki-laki satu-satunya di keluarga ini?” ucap ibu mertuaku lagi. “Kalau dua kakak Danu melahirkan anak pun, kemungkinan besar mereka ikut keluarga ayah mereka. Danu ini yang akan memimpin keluarga ini nantinya. Karenanya dia butuh penerus!” Hening sejenak. “Dan jika kamu tidak bisa memberikannya,” lanjut ibu mertuaku, membuat dasar perutku seperti diaduk-aduk. “Lebih baik Danu menikah lagi.” Aku menggigit bibir, mencoba menahan gelombang emosi yang siap meluap. Kata-katanya menusuk jantungku, menghancurkan setiap keyakinan yang pernah kubangun dalam hubungan ini. “Bu, kami saling mencintai,” kataku dengan suara gemetar. “Saya dan Mas Danu–” Ibu mertuaku tertawa, otomatis memotong ucapanku. Membuatku bingung. Apakah … ada yang lucu dari ucapanku? “Cinta saja tidak cukup Rania. Memang cinta bisa membuatku dapat cucu, padahal dirimu tidak mampu?” Ibu mertuaku kemudian berkata, membuat hatiku seperti sedang diiris-iris. “Bu, saya–kami juga ingin memiliki anak,” kataku lagi, masih berusaha memberanikan diri. “Namun, mungkin memang jalannya belum diberi oleh Tuhan. Kami tidak akan menyerah, tapi tolong, Bu.” Aku menatap ibu mertuaku. “Tolong jangan paksa Mas Danu untuk mengkhianati pernikahan ini.” “Memangnya aku terlihat memaksa?” balas ibu mertuaku. “Sejak tadi aku tidak mendengar penolakan dari Danu. Kalau seperti ini, bukankah justru kamu yang terkesan memaksa putraku untuk setia padamu, padahal kamu tidak bisa hamil?” “Bu,” aku hampir menangis, “tolong jangan seperti ini….” Kualihkan pandanganku ke suamiku, melihat responsnya akan ucapan ibu mertua dan memohon bantuannya. Namun, harapan bahwa Mas Danu masih di pihakku langsung musnah seketika ketika dia hanya menatapku dengan pandangan datar. Seperti tidak keberatan dengan ucapan ibu mertua. "Mas Danu, katakan sesuatu," bisikku, suaraku hampir tidak terdengar. Tidak percaya pria itu … tega. Tapi Danu masih diam, seolah kata-kataku tidak lebih dari angin lalu. Tanganku mengepal, berusaha menyembunyikan gemetar di sana, sementara kakiku terasa lemas. Ibu mertuaku mendengus. “Sudahlah, terima saja nasibmu,” kata wanita paruh baya itu. “Terima saja untuk dimadu.” Aku menarik napas dalam-dalam, meski tersendat karena sesak dalam dada yang kutahan. “Mas, kamu benar-benar tidak berniat menyampaikan pendapatmu dalam hal ini?” tanyaku untuk yang terakhir kalinya. “Apakah kebersamaan kita selama ini tidak ada apa-apanya untukmu?” “Ran, aku juga tidak ingin seperti ini.” Akhirnya, Mas Danu berucap. “Tapi sebagai anak laki-laki, aku harus mengutamakan keinginan Ibu.” Aku kembali menghela napas. Saat itu, seluruh harapanku mulai sirna. Aku sudah memberikan segalanya—uang, dukungan, cinta—dan kini, semua itu seolah tidak berarti. “Kalau kamu berpikir mencari orang lain untuk memberikan keturunan adalah solusi,” kataku, berusaha menjaga suaraku tetap tenang meskipun hatiku berontak. “Maka mungkin kita perlu berpikir ulang tentang hubungan ini.” Mas Danu langsung berdiri. “Aku tidak akan menceraikanmu, Rania,” katanya. ”Aku mungkin akan menikah lagi, ya. Tapi aku tidak akan menceraikanmu.”Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me
“Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b
Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se
Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me
Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen