Mobil melaju dengan cepat, terkadang melambatsaat menemui jalanan yang ramai atau tikungan tajam. Sepanjang perjalanan, percakapan kami terhenti, masing-masing tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aku masih terbayang pada kata-kata Adrian dan Liana, perasaan campur aduk antara harapan dan keraguan menguasai pikiranku. Tak lama kemudian, mobil memasuki halaman hotel yang cukup mewah, tempat yang tampaknya sudah disiapkan Adrian untukku agar bisa tinggal sementara.
Adrian memarkir mobil dan menoleh ke arahku. “Coba istirahat dulu di sini, Rania. Kamu butuh tempat yang nyaman sebelum menentukan apa langkah selanjutnya.”
Aku mengangguk, merasa ragu untuk menerima kebaikan ini, tapi terlalu lelah untuk menolak. “Terima kasih, Adrian,” gumamku dengan suara rendah.
“Liana, kamu temani dan iku ttidur di sini ya,” cetus Adrian.
“Ah, tidak! Tidak! Saya enggak papa di sini sendiri, Adrian, biarkan Liana istirahat di rumah, dia juga butuh menenangkan diri,” sanggahku langsung.
“Kamu yakin enggak papa sendiri di sini?” tanya Adrian memastikan.
Aku mengangguk.
“Baiklah, besok aku akan datang ke sini.”
“Tidak perlu, sepertinya besok aku harus pulang kampung, keluargaku wajib mengetahui drngan kondisiku sekarang.”
Adrian terlihat ragu saat aku mengatakan bahwa aku akan pulang kampung Dia menatapku, seakan berusaha memahami beban yang sedang kupikul. "Kalau kamu perlu bantuan untuk pulang, aku bisa mengantarmu," ucapnya.
Aku langsung menggeleng. “Tidak, Adrian. Terima kasih banyak, tapi aku bisa sendiri. Kalau kamu ikut mengantar, aku takut malah muncul fitnah atau gosip yang nggak diinginkan.”
Adrian menghela napas, terlihat agak kecewa, tapi dia paham. “Baiklah, kalau kamu memang merasa lebih nyaman begitu. Tapi, paling nggak, terima ini.” Dia membuka dompetnya dan memberikan sejumlah uang untuk ongkos pulang.
“Adrian, ini... terlalu banyak. Aku nggak bisa terima,” tolakku pelan, menatap uang di tanganku.
“Rania, anggap ini bantuanku untuk memastikan kamu bisa sampai ke kampung dengan nyaman. Kamu udah banyak menghadapi hal berat. Tolong, jangan pikir ini sebagai beban,” katanya, nadanya terdengar lembut namun tegas.
Aku menatapnya sejenak, merasa bersyukur namun juga sedikit segan. "Terima kasih, Adrian. Aku janji akan segera menggantinya begitu bisa."
Dia hanya tersenyum tipis. “Dan lagi, aku akan sewakan kamar di hotel ini untuk beberapa hari ke depan. Kalau kamu harus balik ke kota nanti, kamu nggak perlu bingung tempat tinggal.”
Aku terkesiap. "Adrian, kamu nggak perlu repot-repot sampai segitunya..."
“Tolong terima saja,” potongnya, tetap dengan nada lembut. "Kamu butuh tempat yang aman, Rania. Itu yang paling penting saat ini."
Aku mengangguk, merasa terharu. “Terima kasih.”
“Ayo, aku antar sampai ke dalam.
Aku mengangguk, lalu kami melangkah menuju meja resepsionis. Begitu selesai memesan kamer dan juga mendapatkan nomor kamar,
“Sebentar, aku catatkan nomorku dan juga Liana, nanti kalau butuh apa- apa, jangan sungkan untuk menghubungi kami,” ujar Adrian.
Aku mengangguk, mengamati gerakannya yang tengah meminta selembar kertas dengan petugas tadi.
Liana menarik tanganku pelan, “ Kak, jangan lupakan kami ya,” pintanya dengan mengulaskan senyum.
Aku mengangguk.
“Percayalah, Kak Adrian itu baik orangnya.”
Aku mengangguk lagi, meskipun baiknya gimana, aku harus sadar diri dan tak ingin merepotnya terlalu jauh.
“Simpan ini!” pinta Adrian dengan menyodorkan kertas yang sudah terlulis dengan nomor telepon mereka.
“Terima kasih.”
Adrian mengangguk, lalu kami melangkah menuju kamar. Dia berhenti di depan pintu, memastikan semuanya baik-baik saja sebelum benar-benar meninggalkanku. Ada kerisauan di wajahnya yang tak bisa dia sembunyikan.
“Kamu jaga diri ya,” pesannya lembut namun tegas. “Pastikan pintu ini selalu terkunci rapat, dan besok, kalau ada waktu, belilah ponsel dengan uang tadi. Biar kamu bisa tetap terhubung. Kalau butuh apa-apa, langsung hubungi aku atau Liana.”
Aku mengangguk, menyadari bahwa pesan itu lebih dari sekadar perhatian biasa. “Terima kasih, Adrian. Benar-benar… Aku berutang banyak padamu.”
Dia hanya tersenyum tipis, lalu menepuk bahuku dengan penuh pengertian. “Kamu nggak berutang apa pun, Rania. Istirahatlah yang cukup, dan jangan pikirkan hal-hal yang berat dulu. Fokus pada apa yang perlu kamu lakukan besok.”
Aku mengangguk lagi, mencoba menyembunyikan keharuan yang tiba-tiba meluap. Adrian menghela napas panjang, seakan enggan meninggalkanku di sini. Dia lalu menoleh ke Liana yang sudah menunggunya di lorong.
“Ayo pulang sekarang,” ajaknya sambil memberikan tatapan penuh makna pada Liana, seakan menyuruhnya untuk pamit baik-baik.
Liana menatapku dengan senyum lembut. “Kak, kami pulang dulu ya. Kamu harus jaga diri, istirahat yang cukup. Aku dan Adrian akan selalu di sini kalau kamu butuh.”
Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Liana dan Adrian lalu berjalan perlahan meninggalkan lorong, dan aku menyaksikan mereka hingga akhirnya mereka menghilang di balik pintu lift. Setelah itu, aku kembali ke kamar, menutup pintu rapat, dan memastikan kuncinya benar-benar terkunci.
Aku duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan pikiranku yang melayang ke segala arah. Ada ponsel baru yang harus kubeli besok, dan juga keputusan besar yang harus kuambil begitu sampai di kampung nanti. Namun, setidaknya, malam ini aku masih bisa beristirahat dengan tenang, aku bersyukur, setidaknya tidak perlu tidur di teras masjid.
….
Keesokan harinya, aku berdiri di depan cermin hotel, menatap bayangan diriku dengan perasaan campur aduk. Dulu, aku adalah gadis yang penuh energi, banyak prestasi, dan dikelilingi oleh teman-teman yang mendukung. Banyak juga yang mengagumiku, tak sedikit lelaki yang mencoba mendekat. Namun, kini, aku bahkan nyaris tak mengenali wajahku sendiri—mataku tampak lelah, dan senyum cerah yang dulu begitu sering menghiasi wajahku seakan lenyap.
Aku merindukan hari-hari itu, saat pujian teman-temanku memberikan semangat, dan aku yakin pada setiap langkah yang kuambil. Tapi sekarang, semua itu seakan hanyalah kenangan yang jauh. Aku tersadar, betapa besar kesalahanku karena salah memilih pasangan.
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan, mencoba menenangkan hati. Ini bukan waktunya untuk menyesali apa yang sudah berlalu. Sekarang, aku harus kuat dan melangkah ke depan. Semua ini sudah masa lalu dan aku juga harus segera bangkit.
Akhirnya aku melangkah keluar, memesan ojek menuju terminal tidak lupa kau mencari konter penjualan ponsel yang terdekat dengan terminal lalu mencari bus yang sesuai dengan arah kampungku.
Setelah berjam-jam di perjalanan, bus akhirnya memasuki area desa. Jantungku berdebar saat aku melihat pemandangan yang sudah sangat akrab namun terasa asing setelah semua kejadian yang kualami. Saat bus berhenti di dekat jalan utama, aku turun dengan hati-hati, dengan tangan kuat- kuat menggenggam tas ponsel dan juga sisa uangku yang sudah kujadikan satu.
Langkahku perlahan menyusuri jalan menuju rumah keluarga. Udara pedesaan yang sejuk dan semilir angin menyapa, seakan mencoba memberiku ketenangan. Tapi semakin dekat ke rumah, perasaan tidak nyaman semakin kuat.
Begitu sampai di depan halaman rumah, aku tertegun. Mata ini langsung tertuju pada sebuah mobil hitam yang terparkir di depan rumah. Napasku tersengal, hampir tak percaya pada penglihatan ini. Itu mobil Danu!
Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me
“Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b
Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se
Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me
Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas