Aku mendengar suara klakson pelan mengagetkanku. Dengan cepat, aku berbalik, menatap mobil lain yang baru parkir di halaman masjid ini. Aku menahan napas. Seharusnya tidak ada orang yang mengenalku di sini, apalagi di tempat yang seharusnya menjadi pelarian sejenak dari hiruk-pikuk hidupku.
Aku diam, hanya bisa mengamati saat pemilik mobil itu keluar. Dan ketika sosok itu muncul dari balik pintu, napasku terhenti sejenak. Adrian…
“Katakan padaku, apa yang terjadi denganmu sekarang!” tanya Adrian, suaranya mengandung nada cemas saat ia langsung menarik lenganku dan membawaku ke mobilnya. Aku tak berdaya melawan.
“Adrian, kenapa menyusulku?” tanyaku sedikit syok, tak dapat menyembunyikan kegugupan yang menyusup ke dalam suaraku.
Dia menatapku dengan mata yang dalam. “Aku tidak bisa hanya membiarkanmu pergi begitu saja. Aku merasa ada yang tidak beres, dan aku tidak bisa hanya duduk diam tanpa mencari tahu.”
Mendengar kata-katanya, hatiku bergetar. Dia tidak hanya mencemaskan keadaanku; dia juga peduli.
“Adrian, itu tidak sesederhana yang kau pikirkan. Hidupku sekarang… aku harus menghadapi segalanya sendiri,” jawabku, berusaha menahan emosiku yang menggelegak.
Dia menghela napas panjang, tampak berjuang untuk mengumpulkan kata-kata. “Aku mengerti. Tapi aku ada di sini sekarang. Biarkan aku membantumu. Mari kita bicarakan ini. Jangan menyimpannya sendirian.”
Aku menggeleng, pelan aku melepaskan tangannya yang masih mencengkeram lenganku.
“Aku tidak mau menimbulkkan fitnah.”
Adrian mendesah.
“Tengok ke dalam mobil, di sana ada Liana, ini tidak akan menimbulkan fitnah, Rania.”
Aku terdiam.
“Kenapa? kamu takut suamimu memergoki?” tanya Ardian.
Aku menggeleng.
“Sudah, ayo ikut kami, enggak enak bicara di sini!” ucapnya dengan membukakan pintu mobiln untukku.
“Kak, ayo masuk,” ajak Liana dari dalam mobil.
Aku menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan, semoga saja, ini tidak membuat keretakan rumah tangganya Adrian, aku harus tahu diri.
Aku mengangguk, melangkah pelan, dan kemudian masuk ke mobil.
“Kamu ngapain sendirian ke masjid? Bukannya pulang ke rumah?” tanya Adrian begitu mobil sudah melaju, suaranya berusaha terdengar santai.
“Aku sudah tidak punya rumah,” jawabku dengan nada datar.
Ciiit! Mobil mendadak direm, hingga membuat kami terjengkang maju. Tubuhku terhimpit oleh sabuk pengaman, sementara Adrian berusaha mengontrol kemudi. Sekilas aku melihat tatapan khawatirnya. “Maaf,” katanya cepat, berusaha mengembalikan fokusnya. “Apa maksudmu tidak punya rumah?”
Aku menghela napas dalam-dalam, merasakan perasaan yang campur aduk. “Aku tidak punya tempat untuk kembali. Setelah… semua yang terjadi, suamiku hendak menikah lagi, dan aku tidak menerimanya, dan mereka membiarkan pergi dan melarangku untuk memabwa apapun dari rumah itu.”
Reaksi Adrian seketika berubah. Wajahnya terlihat syok, dengan mata yang melebar. “Jadi, kamu sudah… janda?” tanyanya, mencoba mencerna kata-kataku.
“Ya, aku janda,” jawabku, menahan rasa sakit saat mengucapkannya.
Dia terdiam untuk beberapa saat. Setelah beberapa detik, dia berkata, “Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku sangat menyesal mendengar ini.”
Melihat ekspresi campur aduk di wajahnya, aku merasa ada yang aneh. Di satu sisi, dia tampak khawatir, tetapi di sisi lain, ada sorot kebahagiaan yang sulit disembunyikan. “Kau berhak mendapatkan yang lebih baik,” katanya, jujur dan tulus.
“Aku tahu,” jawabku, meskipun keraguan menyelinap ke dalam hatiku. “Tapi butuh waktu untuk sembuh dari semua ini.”
Adrian mengangguk, memahami kesedihanku. “Kalau kamu mau, aku di sini untuk membantumu,” ujarnya dengan serius, matanya penuh ketulusan.
“Iya, aku juga mau membantu, Kakak, biar tidak kesepian,” ucap Liana, adik Adrian yang duduk di kursi belakang, ikut menimpali. Suaranya yang ceria memberikan sedikit kehangatan di tengah suasana yang mendung.
Mendengar tawaran mereka, rasa hangat menjalar di dadaku. Meskipun banyak luka yang harus disembuhkan, setidaknya kini aku tidak sendirian. Terasa seperti sinar harapan mulai menembus kegelapan yang membelenggu hatiku.
“Terima kasih, Adrian. Aku menghargainya,” kataku, menatap wajahnya dengan penuh rasa syukur. “Dan terima kasih, Liana.”
“Pasti, Kak Rania! Kita akan bantu satu sama lain,” balas Liana, penuh semangat. Rasa optimisnya mengingatkanku bahwa di tengah kesulitan, ada selalu ruang untuk kebahagiaan.
Suasana mobil mulai terasa lebih hangat. Adrian melanjutkan, “Kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Mungkin cari tempat tinggal yang nyaman untukmu?”
Aku mengangguk. “Itu ide yang bagus, tapi sepertinya tidak bisa. Aku tidak memiliki uang,” jawabku, merasa seberat batu menekan di dadaku.
Adrian mengerutkan kening, tampak berpikir sejenak. “Rania, kamu tidak perlu khawatir soal itu. Aku bisa membantu. Mungkin aku bisa pinjamkan sedikit untuk sementara,” katanya dengan nada meyakinkan.
“Adrian, aku tidak ingin merepotkanmu. Ini semua sudah cukup sulit,” ujarku, menolak tawarannya. Kemandirian dan rasa harga diri masih mengganggu pikiranku.
“Bukan merepotkan, ini hanya membantu seorang teman,” dia bersikeras. “Kamu sudah mengalami banyak hal, dan tidak ada salahnya menerima bantuan saat kamu membutuhkannya.”
Liana di kursi belakang ikut menyahut. “Kak Rania, kita semua di sini untukmu. Ini bukan tentang hutang atau balas budi. Kami hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Mendengar kata-kata mereka, aku merasakan campuran rasa terima kasih dan kesedihan. “Terima kasih, kalian baik sekali. Tapi aku tidak mau membuat kalian merasa terbebani,” kataku, suaraku bergetar.
“Ini bukan beban, Rania. Kami mau kamu merasa nyaman,” Adrian menjelaskan, menyetir dengan lebih hati-hati. “Mungkin kita bisa cari apartemen kecil yang terjangkau? Aku bisa bantu mencarikan.”
Aku memandang ke luar jendela, berpikir sejenak. Rasa harapan mulai muncul di dalam diriku, meski masih ada keraguan. “Baiklah, mungkin kita bisa coba. Tapi aku janji untuk segera membayar semua ini.”
Aku mencoba menegakkan wajah, sadar akan satu hal, aku di sini cuma akting, tidak perlu dibawa perasaan. “Sepertinya Kak Danar lebih tertarik kepadaku ya, terlihat dari rasa penasarannya,” ujarku dengan senyum lebar, mencoba memasang wajah percaya diri meskipun di dalam hati aku masih goyah.Danar—yang tadi begitu lantang mengkritik—terlihat sedikit terkejut dengan responsku. Alisnya terangkat, tapi dia cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya dengan mendengus pelan.“Menarik? Hah, jangan salah paham. Aku hanya memastikan Adrian tidak salah langkah,” balasnya dengan nada dingin, meskipun aku bisa melihat sorot matanya sedikit berubah.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas perhatian Kakak. Saya pastikan, Adrian tidak salah memilih.”Suasana sejenak terasa kaku. Adrian menatapku, matanya berbinar, seolah kagum dengan keberanianku menjawab balik.“Rania, kamu bisa atasi ini?” bisiknya pelan, hanya cukup untuk kudengar.Aku mengangguk sedikit, me
“Ini Rania, Bu,” potong Adrian cepat. “Pacarku.”Aku mencoba tersenyum sopan, dan mencoba menyesuaikan diri. “Oh, jadi ini Rania,” ujar wanita itu sambil mengamati penampilanku dari atas ke bawah. “Masuklah, semuanya sudah menunggu.”Aku melirik Adrian dengan perasaan campur aduk. Dia membalas tatapanku dengan senyum meyakinkan, seolah-olah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, malam ini baru saja dimulai, dan rasanya ini akan jadi malam yang panjang.Langkahku memelan begitu sampai ke ruang utama, terlihat begitu banyak orang yang sudah duduk di sana dan saling bercengkrama, aku, aku mendadak merasa semakin kerdil rasanya. Aku mencengkeram lengan Adrian semakin kuat, nyaris membuatnya meringis kecil. Tapi dia hanya membalas dengan menyentuh tanganku, menyalurkan kehangatan dan ketenangan yang berusaha dia tawarkan.“Tenang saja, ini hanya pura-pura, oke?” bisiknya pelan, hampir seperti janji.Aku mengangguk kecil, meskipun hatiku masih terasa seperti b
Malam pun tiba, dan Sabrina tidak main-main dengan kata-katanya. Di kamarnya yang kecil tapi rapi, dia mengatur segala perlengkapan make-up di meja. Aku hanya bisa duduk di kursi kecil, sementara Sabrina sibuk merias wajahku dengan telaten.“Rania, kamu harus ingat satu hal,” katanya sambil memulas pipiku dengan blush on. “Percaya diri. Kamu itu cantik, kok, cuma selama ini kamu terlalu menyembunyikan diri di balik kaos dan celana biasa.”Aku tertawa kecil, meski jujur, jantungku berdegup kencang. “Sab, aku cuma takut ini terlalu berlebihan. Lagian, Adrian itu atasan, aku nggak mau ini jadi bahan omongan.”Sabrina meletakkan kuasnya, menatapku serius. “Denger, ya, Rania. Adrian itu ngajak kamu makan malam bukan karena sekadar basa-basi. Percaya deh, dia lihat sesuatu yang spesial dari kamu. Jadi tolong, berhenti merendahkan diri sendiri.”Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menghela napas panjang, mencoba meredakan kegugupan yang membuncah.Setelah hampir satu jam, Sabrina akhirnya se
Pagi itu aku terbangun lebih awal dari biasanya, mataku menatap sekeliling kamar yang sepi dan hampir tanpa barang. Rasanya aku sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini. Mungkin seminggu lagi terasa terlalu lama. Aku Aku berbaring sejenak, merenung. Sepertinya aku harus memberitahu Sabrina nanti, aku akan pindah ke kostnya besok pagi. Mungkin itu solusi terbaik untuk sementara waktu. Aku akhirnya bangkit dari ranjang, mengusap wajahku. Pagi ini, aku merasa sedikit lebih bersemangat untuk memulai hari. Ada pekerjaan yang menunggu, dan aku perlu memastikan segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Setelah membersihkan diri, aku cepat-cepat bersiap, berharap bisa tiba lebih awal di kantor. Ada beberapa hal yang harus aku lakukan, dan aku ingin meluangkan waktu untuk mencari sarapan di sekitar kantor, aku juga sudah mulai terbiasa dengan rutinitas ini—hidup mandiri, jauh dari keluarga, dan mencoba bertahan hidup dengan cara yang paling realistis.Aku mengambil dompet dari meja, me
Besoknya, Sabrina menepati janjinya untuk menemaniku mencari kost. Meskipun sepanjang perjalanan dia terus bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang seru, pikiranku masih melayang pada tawarannya untuk berbagi kamar.Kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang tampak nyaman. Sabrina menunjuk ke salah satu jendela di lantai dua.“Itu kamar kostku, Rania. Lihat? Enggak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Kalau kita sekamar, aku yakin bakal lebih hidup.”Aku tersenyum kecil. “Sepertinya memang nyaman, Sabrina.”Setelah selesai melihat-lihat, Sabrina mengantarku ke depan bangunan. “Oke, Rania, aku enggak mau maksa, tapi tolong dipikirkan, ya. Aku serius banget mau kamu jadi roommate-ku.”Aku mengangguk, merasa bersyukur memiliki Sabrina sebagai teman. “Aku pasti pikirkan, Sabrina. Terima kasih sudah menawarkan.”Malam itu, aku duduk di hotel yang masih disewakan Adrian. Ponselku berbunyi, menampilkan pesan baru dari Adrian.[Bagaimana harimu? Semoga semuanya berjalan lancar. Jan
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari warung makan dulu sebelum mencari kost- kostan. Di tempat makan, Sabrina langsung memilih tempat di sudut yang cukup tenang, seolah tahu bahwa percakapan ini butuh ruang khusus. Dia menatapku penuh harap, sambil memindahkan gelas air mineralnya ke sisi meja.“Jadi, siapa dia? Mantan pacar? Atau mantan suami?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Aku terdiam sejenak, meresapi pertanyaannya. Sabrina memang terlalu blak-blakan, tapi kejujuran yang ia tawarkan membuatku merasa cukup nyaman untuk bicara. “Danu... dia mantan suamiku,” akhirnya aku mengakui, menatap langsung ke arah Sabrina.Mata Sabrina membelalak kaget. “Mantan suami? Jadi kamu sudah menikah sebelumnya?”Aku mengangguk pelan. “Ya, aku pernah menikah dengannya. Tapi semuanya berakhir... tidak baik.”Sabrina menghela napas panjang, seolah mencoba mencerna informasi itu. “Dan Denada? Dia yang sekarang bersamanya?”“Iya,” jawabku sambil tersenyum getir. “Bisa dibilang, dia salah satu alas