Gosip
Semua makanan yang tadi sempat kami persiapkan, sudah dibagikan ke tetangga. Karena tamu, keburu pergi padahal belum sempat menikmati hidangan yang kami sediakan. Mungkin mereka terlanjur kenyang mendengar mahar, yang kukatakan. Hingga tak sempat lagi mengisi perutnya.
Tidak apa, semua masih bisa kusedekahkan pada tetangga. Meskipun tak jadi syukuran tujuh hari tujuh malamnya.
"Wes, gagal mangan degeng kita! (udah,gagal makan daging kita)" celetuk Bi Parni sambil membungkus jajanan ke dalam plastik untuk ia bawa pulang.
"Halah, ora popo. Seng penting, dino iki kita intok panganan gratis. Mangan dageng pun, yo harus eneng salam tempel. (Halah, nggak papa. Yang penting hari ini kita dapat makanan gratis. Makan Daging pun, ya harus ada salam tempel)." sahut Bude Yati, mencomot kue bolu dan melahapnya.
"Iyo, juga yo!"
**
Para tetangga sudah pada pulang ke rumah masing-masing. Saatnya aku meluruskan pinggang, yang sedikit bengkok karena kebanyakan duduk.
Ibu juga sudah masuk ke dalam kamarnya. Tak ada raut sedih di wajahnya, melihat anak perempuannya gagal menikah.
Aku hanya dua bersaudara. Kakak laki-lakiku telah berumah tangga, dan tinggal di kota. Mereka jarang sekali pulang kampung. Mungkin terkendala ekonomi, atau karena terlalu sibuk.
Meskipun laki-laki, ibu membebaskan dia untuk tinggal di mana pun yang ia dan istri inginkan. Tak pernah memaksakan kehendak, agar anak lelakinya itu tinggal didekatnya. Bagi ibu, kebahagian dan ketenangan anak mantunya adalah yang utama. Ibu tidak mau menantunya tertekan bila dipaksa tinggal bersama ataupun berdekatan. Karena ibu tau, sebaik-baiknya orang, pasti akan ada saja masalahnya.
Setiap menelpon kakakku, Ibu hanya menanyakan kabar mereka. Tak pernah sekalipun mendesak untuk pulang. Bukan karena tak peduli. Tapi, ibu takut mereka tak punya uang dan kepikiran untuk berhutang agar bisa pulang kampung.
Jika dikatakan rindu, sudah pastilah sangat rindu. Apalagi dengan anak sendiri. Tapi apa hendak dikata, jika rezeki belum ada.
Ibu selalu mengatakan, video call saja sudah bisa mengobati rasa rindunya.
Saat kakak menawarkan untuk mengirim uang pada ibu, beliau selalu menolaknya. Takut jika kehidupan anaknya masih kekurangan.
(Tunggu pembalasanku, Rani! Aku tau kamu mau mempermainkan dan mempermalukanku di depan umum!) pesan dari Bang Jali, baru saja masuk ke ponselku. Sepertinya dia belum terima dengan apa yang baru saja terjadi.
Pasti dia merasa harga dirinya sebagai laki-laki dan seorang PNS, terinjak-injak. Apalagi permintaannya untuk aku mengganti cincin tunangan dua kali lipat tak kesampaian, dan malah diejek oleh tetanggaku. Sangat yakin, jika dia merasa sangat marah. Dan jika bisa meledak, maka dapat dipastikan dia sudah hangus menjadi arang.
Tidak perlu dibalas, biarkan saja dia dengan pikirannya sendiri.
(Akan kubuktikan padamu, jika aku bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik, dan lebih baik darimu. Sedangkan kamu, tak akan pernah mendapat suami PNS sepertiku. Uang maharmu, juga paling mentok satu juta. Wanita sepertimu, tak pantas untuk dihargai lebih dari segitu!) pesan kembali masuk, setelah beberapa saat.
Mungkin dia sedang memancing emosiku karena pesannya tak kunjung kubalas.
Berapapun maharnya, aku tak peduli. Yang terpenting, suamiku menyayangi ibu, seperti ibunya sendiri. Meskipun tak akan pernah sama, setidaknya suamiku nanti bisa berusaha adil. Bukan malah seperti ingin memisahkan dan menelantarkan seperti ucapan Bang Jali tempo hari.
(Ya, carilah Bang. Semoga beruntung. Semangat berjuang. Tak apa jodohku, hanya sanggup memberi mahar satu juta. Bahkan 10ribu pun, tak masalah. Yang penting dia waras dan tidak gila, seperti anda!) balasku agar dia tak lagi mengganggu.
(Dasar wanita sombong! Aku sumpahi, tak akan pernah kamu mendapatkan jodoh!) balasnya lagi semakin emosi.
Aku langsung memblokir nomornya. Malas berurusan dengannya lagi. Yang ada bikin sakit kepala sebelah, dan mata berkunang-kunang, kaki kesemutan, bibir pecah-pecah.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seperti biasa, setelah sholat subuh pergi ke warung untuk membeli sayur.
Sudah banyak para ibu yang berkumpul mencari sayuran, serta bergosip ria.
"Iya, nggak tahu diri banget. Memang siapa dia minta mahar lima Milyar? Rumah hampir roboh, tanah tak punya kebun tak punya, tapi gayanya itu loh selangit!" celetuk Bi Badriah dengan semangat. Dari suaranya yang cempreng, aku sudah bisa menebak kalau itu dia. Meskipun belum melihat wajahnya.
Jika sudah menyangkut mahar lima Milyar, pasti mereka sedang membicarakanku. Aku menghentikan langkah, dan terus saja mendengarkan obrolan para ibu tersebut dari bawah pohon mangga yang kebetulan berjarak lima meter.
Yang namanya hidup di kampung, pasti ada saja orang yang tak suka pada kita. Dan akan selalu mencari keburukan kita untuk dijadikan bahan gossip. Tidak hanya di kampung sih, di kota pun sama. Tapi biasanya lebih parah di kampung. Karena banyak ibu-ibunya tak ada kegiatan. Jadi, nggosiplah kerjanya.
"Ayu, yo ora! Tapi kok kemayu. (Cantik, ya enggak! Tapi kok sok cantik)" Bi Atun menimpali.
"Dibandingkan anakku yang bidan, jauh lebih cantik anakku. Udah cantik, berpendidikan pula!" Kini Bu Samini yang ikutan bicara, sekalian membanggakan anaknya.
"Aturnya Si Rani itu bersyukur. Dapat suami PNS, bukannya malah minta mahar selangit. Emang dia pikir, dia bidadari. Bisa minta mahar sesuka hati. Masih untung ada yang mau." sambungnya sambil mengunyah kacang panjang mentah, seperti embek!
"Udah sampean kenalkan aja Mas PNS itu sama anakmu yang bidan. Siapa tahu jodoh," usul Bi Atun.
"Iya, Bude Samini, kan lumayan dapat mantu PNS. Lagian, anakmu dan Mas PNS itu, cocok. Sama-sama berpendidikan, ganteng dan cantik pula," ucap Bi Badriah mendukung.
Perlahan tapi pasti, aku berjalan menghampiri mereka. Kacang panjang yang sempat dikunyah Bu Samini pangkalnya, aku langsung ambil ujungnya. Kebetulan ia biarkan menjunjtai ke bawah, dan tak dipegangi. Lalu kumasukkan kedalam mulut, dan ikut duduk di sampingnya sambil ikut mengunyah.
"Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya," ucapku nimbrung percakapan mereka.
Mendengar suaraku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep.
Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu.
Salah sangka "Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya." Mendengar ucapanku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep. Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu. "Ka-kamu! Sejak kapan di situ?" tanya Bu Samini tergagap "Sudah dari tadi, Bu. Ayo, lanjutkan gosipnya. Aku kan juga pengen nggosip. Biar pun masih muda, jiwa tuaku meronta, saat ada yang bergosip. Pengen ikut nimbrung gitu," jawabku, terus memperhatikan mereka dengan serius. Sengaja ingin membuat mereka jantungan. Biar mereka kapok, dan tak lagi menceritakan orang lain di belakangnya. Ya, meskipun itu mustahil. Sudah p
"Heh, Rani! Kamu beneran batal nikah sama Bang Jali?" tanya Sinta, tetangga Bang Jali sekaligus teman satu kerjaan denganku. Dari main ke rumahnya, juga lah yang membuatku mengenal lelaki itu. Kami sedang makan siang di kantin. Kebetulan sudah jam istirahat. Tadi pagi, sebelum masuk kerja, kami tidak bertemu. Jadi mungkin Sinta memendam pertanyaannya ini. Dan begitu ada kesempatan, dia langsung bertanya. "He'eh ... " jawabku mengangguk sambil melahap lontong sayur. Perut udah keroncongan, kalau nggak cepat diisi, bisa demo cacingnya. "Denger-denger, kamu minta mahar 10M ya?" tanyanya lagi semakin serius. Sampai lupa untuk makan. Padahal makanan yang dipesannya sudah ada di depan mata.u "He'eh ... " jawabku lagi, singkat. Menurutku, ini adalah bahasan yang tak penting. Jadi malas untuk bicara panjang lebar. Apalagi dalam kondisi perut minta diisi. "Hmmm, emang dasar nggak tau diri banget kamu! Pantas aja batal. Permintaanmu nggak masuk akal!" gerutunya, memukul lenganku. Belum t
Sudah jam lima sore, para pekerja pabrik Mabel, mulai membubarkan diri. Termasuk aku. "Memang kamu tega, Ran! Masa aku lagi makan, main tinggal aja!" gerutu Sinta saat kami bertemu di jalan menuju parkiran. "Habis, kalau deket kamu, kewarasanku ikut menghilang! Pengennya itu, ngania-ya orang aja!" sahutku terus melangkahkan kaki cepat. "Ck! Kayak baru kenal aku aja kamu ini!" "Karena udah kenal lama, makanya aku was-was kalau udah dekat kamu. Takut ketularan!" "Hissh! Emang kamu pikir, aku virus apa? Eh, ngomong-ngomong, aku nebeng ya! sepeda motorku tadi pagi mogok. Jadi, nggak bisa dibawa. Perginya aja tadi aku diantar sama bapak, naik sepeda ontel," rayunya sambil mengedipkan mata. "Iya, ya udah ayo!" Aku menaiki sepeda motor dan diikuti olehnya yang duduk di jog belakang. "Tapi, antar sampe rumah ya. Jangan diturunin di jalan." "Iya! Gampang. Jangan lupa uang bensinnya!" selorohku, sambil melajukan sepeda motor. Hanya dia harta satu-satunya yang kupunya. Motor butut hasi
Saat sudah berada di persimpangan jalan. Entah dari mana datangnya. Mantan calon ibu mertua sudah berdiri seperti tugu selamat datang di situ. Mau tak mau, aku harus tetap melewatinya karena tak ada jalan lain. Mau terbang, nggak mungkin. Sayap pesawat mahal. Mana dandannya sangat cetar lagi. Sama persis seperti yang dibilang Sinta. Kayak toko emas berjalan. Kepalanya memang ditutupi hijab. Tapi hijab tersebut ia ikat ke leher sampai mencekik. Mungkin tujuannya agar semua orang tau kalau dia memakai emas sebesar rantai kapal. Bukannya iri. Tapi itu kelihatan norak. Banyak, kok orang yang lebih kaya, tapi pakai perhiasan tidak terlalu mencolok seperti itu. "Gimana, udah dapat lelaki yang mau kasih mahar lima Milyar belum?" tanyanya sewot. Ternyata Ibu Bang Jali, pendendam juga. Untung di sini hanya ada tiga orang. Jadi, tidak terlalu malu saat jadi pusat perhatian. Dengan sangat terpaksa kuda besiku ini kuhentikan. Kalau nggak dijawab, nanti katanya nggak sopan. Diajak ngomong oran
Sudah dua minggu, semenjak kejadian aku gagal menikah karena mahar. Para tetangga sudah sedikit meredup mulutnya menceritakan tentangku. Suasana desa hampir sembuh dari virus mahar Lima Milyar.Terkadang, memang ada yang masih membahasnya. Tapi hanya beberapa orang saja. Itu pun, mereka yang tak menyukaiku. Seperti Bu Samini, Bi Atun, dan Bi Badriah.Kalau Bu Samini tidak menyukaiku, karena dulu pernah ada lelaki yang dikejar oleh anaknya. Tapi lelaki itu malah, balik mengejarku. Meskipun Si Putri anak Bu Samini adalah calon bidan. Lelaki itu tetap tak menyukainya. Alasannya karena ia pernah melihat si Putri, kayak perangko. Nempel sana, nempel sini.Sedangkan Bi Atun, dia tidak menyukaiku karena cemburu pada ibu saat masih muda dulu. Ibu yang pada masanya menjadi kembang desa, membuat Bi Atun merasa marah karena tak pernah dilirik oleh pria. Setiap ada lelaki yang mendekati Bi Atun, ternyata tujuannya hanya demi bisa mengenal. ibu. Karena rumah mereka berdekatan, jadi Bi Atun selalu
Pov Bang Jali.Gara-gara mahar lima milyar, yang diajukan oleh Rani, aku jadi gagal menikah. Bukan hanya gagal saja. Tapi malunya luar biasa.Setiap ada yang bertanya, kapan pernikahannya digelar, maka aku akan mengatakannya gagal. Mereka semua yang mendengar hanya tertawa. Tak ada yang simpati satu orang pun padaku. Aku sangat dendam pada Rani. Pokoknya, harus bisa mencari pengganti yang lebih dari dia. Emang dia pikir, dia siapa. Menolak secara halus Jali Si guru PNS, yang sudah terjamin masa depannya. Hanya buruh pabrik aja sombongnya luar biasa.Apa susahnya, sih menuruti apa kata suami jika sudah menikah nanti? Kan dia juga yang bakal untung karena nantinya akan masuk surga.Sekarang ini, banyak sekali wanita durhaka pada suaminya. Selalu aja membangkang dengan yang diperintahkan oleh suami."Memangnya, apa alasan Rani minta mahar sebesar itu?" tanya Pak Tanto, guru olahraga. Hari ini, jam istirahat sekolah. Dan kami sedang duduk santai di dalam kantor.Guru satu ini, juga sudah
Acara lamaran Putri pun tiba. Aku sudah dandan secetar mungkin. Biar nggak dikatain pucat karena menghadiri lamaran mantan. Maklum, di sana isinya banyak orang-orang julid. Jadi harus bisa terlihat wah. Biar mereka nggak bisa menghina. "Ayo kita berangkat, Ti," ajakku, pada Murti yang juga sudah siap. Semua gadis di desa ini diundang oleh Putri dan Bu Samini. Alasannya agar ada yang mendampingi Putri. Padahal kami tau, jika tujuan mereka hanya untuk pamer mantu."Walah, cantik banget toh, Ran! Nanti Bang PNS, malah gagal move on, dan pokusnya sama kamu lagi! Nggak fokus sama calonnya," goda Murti yang juga udah berdandan kayak bintang pantura."Ck! Biar mereka semua tau. Kalau aku itu, udah move on. Nanti kalau pucet, apa kata dunia? Udah yukk, jalan. Keburu ketinggalan."***Aku dan Murti duduk berdampingan dengan calon pengantin wanita. Ini semua adalah ide Bi Atun. Katanya, biar semakin tegar menghadapi kenyataan. Begini kalau ada manusia julid. Maunya menyiksa. Padahal aku biasa
"Makanya, udah tua jangan ngeyel. Itu lah suka mengambil hak orang. Jadi kena batunya kan! Pilih-pilih, akhirnya kepilih!" celetuk Murti masih tertawa.Semua orang yang melihat kami juga tertawa. Apalagi saat melihat, gigi ompong ibu Bang Jali."Kamu itu, ada orang tua kena musibah malah diketawain. Kuwalat, baru tahu rasa!" omel Ibu Bang Jali sambil memakai gigi palsunya kembali.Padahal, Putri juga ikut menertawakannya. Tapi hanya Murti yang kena tegur, karena psti dia tak menyukai kami."Makanya, Bu. Udah tua itu tobat! Jangan maunya menang sendiri. Ini loh, bukti kalau sampean langsung ditegur Tuhan karena udah semena-mena sama yang lebih muda. Nggak anak muda aja yang bisa kuwalat, wong tuo juga bisa," ucap Murti mengingatkan. Namanya juga orang tua, pasti nggak pernah mau mengalah dan merasa salah. Ya, orang tua selalu benar dan anak muda selalu salah. itu lah yang selalu terjadi."Nggak usah ceramah, anak kecil! Ini semua gara-gara kamu yang mau ngerjain aku, kan!" tuduhnya.U