Share

Bab 5 Jadi Bahan Gosip

Gosip

Semua makanan yang tadi sempat kami persiapkan, sudah dibagikan ke tetangga. Karena tamu, keburu pergi padahal belum sempat menikmati hidangan yang kami sediakan. Mungkin mereka terlanjur kenyang mendengar mahar, yang kukatakan. Hingga tak sempat lagi mengisi perutnya.

Tidak apa, semua masih bisa kusedekahkan pada tetangga. Meskipun tak jadi syukuran tujuh hari tujuh malamnya.

"Wes, gagal mangan degeng kita! (udah,gagal makan daging kita)" celetuk Bi Parni sambil membungkus jajanan ke dalam plastik untuk ia bawa pulang.

"Halah, ora popo. Seng penting, dino iki kita intok panganan gratis. Mangan dageng pun, yo harus eneng salam tempel. (Halah, nggak papa. Yang penting hari ini kita dapat makanan gratis. Makan Daging pun, ya harus ada salam tempel)." sahut Bude Yati, mencomot kue bolu dan melahapnya.

"Iyo, juga yo!"

**

Para tetangga sudah pada pulang ke rumah masing-masing. Saatnya aku meluruskan pinggang, yang sedikit bengkok karena kebanyakan duduk.

Ibu juga sudah masuk ke dalam kamarnya. Tak ada raut sedih di wajahnya, melihat anak perempuannya gagal menikah.

Aku hanya dua bersaudara. Kakak laki-lakiku telah berumah tangga, dan tinggal di kota. Mereka jarang sekali pulang kampung. Mungkin terkendala ekonomi, atau karena terlalu sibuk.

Meskipun laki-laki, ibu membebaskan dia untuk tinggal di mana pun yang ia dan istri inginkan. Tak pernah memaksakan kehendak, agar anak lelakinya itu tinggal didekatnya. Bagi ibu, kebahagian dan ketenangan anak mantunya adalah yang utama. Ibu tidak mau menantunya tertekan bila dipaksa tinggal bersama ataupun berdekatan. Karena ibu tau, sebaik-baiknya orang, pasti akan ada saja masalahnya.

Setiap menelpon kakakku, Ibu hanya menanyakan kabar mereka. Tak pernah sekalipun mendesak untuk pulang. Bukan karena tak peduli. Tapi, ibu takut mereka tak punya uang dan kepikiran untuk berhutang agar bisa pulang kampung.

Jika dikatakan rindu, sudah pastilah sangat rindu. Apalagi dengan anak sendiri. Tapi apa hendak dikata, jika rezeki belum ada.

Ibu selalu mengatakan, video call saja sudah bisa mengobati rasa rindunya.

 Saat kakak menawarkan untuk mengirim uang pada ibu, beliau selalu menolaknya. Takut jika kehidupan anaknya masih kekurangan. 

(Tunggu pembalasanku, Rani! Aku tau kamu mau mempermainkan dan mempermalukanku di depan umum!) pesan dari Bang Jali, baru saja masuk ke ponselku. Sepertinya dia belum terima dengan apa yang baru saja terjadi.

Pasti dia merasa harga dirinya sebagai laki-laki dan seorang PNS, terinjak-injak. Apalagi permintaannya untuk aku mengganti cincin tunangan dua kali lipat tak kesampaian, dan malah diejek oleh tetanggaku. Sangat yakin, jika dia merasa sangat marah. Dan jika bisa meledak, maka dapat dipastikan dia sudah hangus menjadi arang.

Tidak perlu dibalas, biarkan saja dia dengan pikirannya sendiri.

(Akan kubuktikan padamu, jika aku bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik, dan lebih baik darimu. Sedangkan kamu, tak akan pernah mendapat suami PNS sepertiku. Uang maharmu, juga paling mentok satu juta. Wanita sepertimu, tak pantas untuk dihargai lebih dari segitu!) pesan kembali masuk, setelah beberapa saat.

Mungkin dia sedang memancing emosiku karena pesannya tak kunjung kubalas.

Berapapun maharnya, aku tak peduli. Yang terpenting, suamiku menyayangi ibu, seperti ibunya sendiri. Meskipun tak akan pernah sama, setidaknya suamiku nanti bisa berusaha adil. Bukan malah seperti ingin memisahkan dan menelantarkan seperti ucapan Bang Jali tempo hari.

(Ya, carilah Bang. Semoga beruntung. Semangat berjuang. Tak apa jodohku, hanya sanggup memberi mahar satu juta. Bahkan 10ribu pun, tak masalah. Yang penting dia waras dan tidak gila, seperti anda!) balasku agar dia tak lagi mengganggu.

(Dasar wanita sombong! Aku sumpahi, tak akan pernah kamu mendapatkan jodoh!) balasnya lagi semakin emosi.

Aku langsung memblokir nomornya. Malas berurusan dengannya lagi. Yang ada bikin sakit kepala sebelah, dan mata berkunang-kunang, kaki kesemutan, bibir pecah-pecah.

***

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seperti biasa, setelah sholat subuh pergi ke warung untuk membeli sayur.

Sudah banyak para ibu yang berkumpul mencari sayuran, serta bergosip ria. 

"Iya, nggak tahu diri banget. Memang siapa dia minta mahar lima Milyar? Rumah hampir roboh, tanah tak punya kebun tak punya, tapi gayanya itu loh selangit!" celetuk Bi Badriah dengan semangat. Dari suaranya yang cempreng, aku sudah bisa menebak kalau itu dia. Meskipun belum melihat wajahnya.

Jika sudah menyangkut mahar lima Milyar, pasti mereka sedang membicarakanku. Aku menghentikan langkah, dan terus saja mendengarkan obrolan para ibu tersebut dari bawah pohon mangga yang kebetulan berjarak lima meter.

Yang namanya hidup di kampung, pasti ada saja orang yang tak suka pada kita. Dan akan selalu mencari keburukan kita untuk dijadikan bahan gossip. Tidak hanya di kampung sih, di kota pun sama. Tapi biasanya lebih parah di kampung. Karena banyak ibu-ibunya tak ada kegiatan. Jadi, nggosiplah kerjanya.

"Ayu, yo ora! Tapi kok kemayu. (Cantik, ya enggak! Tapi kok sok cantik)" Bi Atun menimpali.

"Dibandingkan anakku yang bidan, jauh lebih cantik anakku. Udah cantik, berpendidikan pula!" Kini Bu Samini yang ikutan bicara, sekalian membanggakan anaknya.

"Aturnya Si Rani itu bersyukur. Dapat suami PNS, bukannya malah minta mahar selangit. Emang dia pikir, dia bidadari. Bisa minta mahar sesuka hati. Masih untung ada yang mau." sambungnya sambil mengunyah kacang panjang mentah, seperti embek!

"Udah sampean kenalkan aja Mas PNS itu sama anakmu yang bidan. Siapa tahu jodoh," usul Bi Atun.

"Iya, Bude Samini, kan lumayan dapat mantu PNS. Lagian, anakmu dan Mas PNS itu, cocok. Sama-sama berpendidikan, ganteng dan cantik pula," ucap Bi Badriah mendukung.

Perlahan tapi pasti, aku berjalan menghampiri mereka. Kacang panjang yang sempat dikunyah Bu Samini pangkalnya, aku langsung ambil ujungnya. Kebetulan ia biarkan menjunjtai ke bawah, dan tak dipegangi. Lalu kumasukkan kedalam mulut, dan ikut duduk di sampingnya sambil ikut mengunyah.

"Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya," ucapku nimbrung percakapan mereka.

Mendengar suaraku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep.

Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status