Share

Bab 5 Jadi Bahan Gosip

Penulis: Reg Eryn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-18 20:55:39

Gosip

Semua makanan yang tadi sempat kami persiapkan, sudah dibagikan ke tetangga. Karena tamu, keburu pergi padahal belum sempat menikmati hidangan yang kami sediakan. Mungkin mereka terlanjur kenyang mendengar mahar, yang kukatakan. Hingga tak sempat lagi mengisi perutnya.

Tidak apa, semua masih bisa kusedekahkan pada tetangga. Meskipun tak jadi syukuran tujuh hari tujuh malamnya.

"Wes, gagal mangan degeng kita! (udah,gagal makan daging kita)" celetuk Bi Parni sambil membungkus jajanan ke dalam plastik untuk ia bawa pulang.

"Halah, ora popo. Seng penting, dino iki kita intok panganan gratis. Mangan dageng pun, yo harus eneng salam tempel. (Halah, nggak papa. Yang penting hari ini kita dapat makanan gratis. Makan Daging pun, ya harus ada salam tempel)." sahut Bude Yati, mencomot kue bolu dan melahapnya.

"Iyo, juga yo!"

**

Para tetangga sudah pada pulang ke rumah masing-masing. Saatnya aku meluruskan pinggang, yang sedikit bengkok karena kebanyakan duduk.

Ibu juga sudah masuk ke dalam kamarnya. Tak ada raut sedih di wajahnya, melihat anak perempuannya gagal menikah.

Aku hanya dua bersaudara. Kakak laki-lakiku telah berumah tangga, dan tinggal di kota. Mereka jarang sekali pulang kampung. Mungkin terkendala ekonomi, atau karena terlalu sibuk.

Meskipun laki-laki, ibu membebaskan dia untuk tinggal di mana pun yang ia dan istri inginkan. Tak pernah memaksakan kehendak, agar anak lelakinya itu tinggal didekatnya. Bagi ibu, kebahagian dan ketenangan anak mantunya adalah yang utama. Ibu tidak mau menantunya tertekan bila dipaksa tinggal bersama ataupun berdekatan. Karena ibu tau, sebaik-baiknya orang, pasti akan ada saja masalahnya.

Setiap menelpon kakakku, Ibu hanya menanyakan kabar mereka. Tak pernah sekalipun mendesak untuk pulang. Bukan karena tak peduli. Tapi, ibu takut mereka tak punya uang dan kepikiran untuk berhutang agar bisa pulang kampung.

Jika dikatakan rindu, sudah pastilah sangat rindu. Apalagi dengan anak sendiri. Tapi apa hendak dikata, jika rezeki belum ada.

Ibu selalu mengatakan, video call saja sudah bisa mengobati rasa rindunya.

 Saat kakak menawarkan untuk mengirim uang pada ibu, beliau selalu menolaknya. Takut jika kehidupan anaknya masih kekurangan. 

(Tunggu pembalasanku, Rani! Aku tau kamu mau mempermainkan dan mempermalukanku di depan umum!) pesan dari Bang Jali, baru saja masuk ke ponselku. Sepertinya dia belum terima dengan apa yang baru saja terjadi.

Pasti dia merasa harga dirinya sebagai laki-laki dan seorang PNS, terinjak-injak. Apalagi permintaannya untuk aku mengganti cincin tunangan dua kali lipat tak kesampaian, dan malah diejek oleh tetanggaku. Sangat yakin, jika dia merasa sangat marah. Dan jika bisa meledak, maka dapat dipastikan dia sudah hangus menjadi arang.

Tidak perlu dibalas, biarkan saja dia dengan pikirannya sendiri.

(Akan kubuktikan padamu, jika aku bisa mendapatkan wanita yang lebih cantik, dan lebih baik darimu. Sedangkan kamu, tak akan pernah mendapat suami PNS sepertiku. Uang maharmu, juga paling mentok satu juta. Wanita sepertimu, tak pantas untuk dihargai lebih dari segitu!) pesan kembali masuk, setelah beberapa saat.

Mungkin dia sedang memancing emosiku karena pesannya tak kunjung kubalas.

Berapapun maharnya, aku tak peduli. Yang terpenting, suamiku menyayangi ibu, seperti ibunya sendiri. Meskipun tak akan pernah sama, setidaknya suamiku nanti bisa berusaha adil. Bukan malah seperti ingin memisahkan dan menelantarkan seperti ucapan Bang Jali tempo hari.

(Ya, carilah Bang. Semoga beruntung. Semangat berjuang. Tak apa jodohku, hanya sanggup memberi mahar satu juta. Bahkan 10ribu pun, tak masalah. Yang penting dia waras dan tidak gila, seperti anda!) balasku agar dia tak lagi mengganggu.

(Dasar wanita sombong! Aku sumpahi, tak akan pernah kamu mendapatkan jodoh!) balasnya lagi semakin emosi.

Aku langsung memblokir nomornya. Malas berurusan dengannya lagi. Yang ada bikin sakit kepala sebelah, dan mata berkunang-kunang, kaki kesemutan, bibir pecah-pecah.

***

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Seperti biasa, setelah sholat subuh pergi ke warung untuk membeli sayur.

Sudah banyak para ibu yang berkumpul mencari sayuran, serta bergosip ria. 

"Iya, nggak tahu diri banget. Memang siapa dia minta mahar lima Milyar? Rumah hampir roboh, tanah tak punya kebun tak punya, tapi gayanya itu loh selangit!" celetuk Bi Badriah dengan semangat. Dari suaranya yang cempreng, aku sudah bisa menebak kalau itu dia. Meskipun belum melihat wajahnya.

Jika sudah menyangkut mahar lima Milyar, pasti mereka sedang membicarakanku. Aku menghentikan langkah, dan terus saja mendengarkan obrolan para ibu tersebut dari bawah pohon mangga yang kebetulan berjarak lima meter.

Yang namanya hidup di kampung, pasti ada saja orang yang tak suka pada kita. Dan akan selalu mencari keburukan kita untuk dijadikan bahan gossip. Tidak hanya di kampung sih, di kota pun sama. Tapi biasanya lebih parah di kampung. Karena banyak ibu-ibunya tak ada kegiatan. Jadi, nggosiplah kerjanya.

"Ayu, yo ora! Tapi kok kemayu. (Cantik, ya enggak! Tapi kok sok cantik)" Bi Atun menimpali.

"Dibandingkan anakku yang bidan, jauh lebih cantik anakku. Udah cantik, berpendidikan pula!" Kini Bu Samini yang ikutan bicara, sekalian membanggakan anaknya.

"Aturnya Si Rani itu bersyukur. Dapat suami PNS, bukannya malah minta mahar selangit. Emang dia pikir, dia bidadari. Bisa minta mahar sesuka hati. Masih untung ada yang mau." sambungnya sambil mengunyah kacang panjang mentah, seperti embek!

"Udah sampean kenalkan aja Mas PNS itu sama anakmu yang bidan. Siapa tahu jodoh," usul Bi Atun.

"Iya, Bude Samini, kan lumayan dapat mantu PNS. Lagian, anakmu dan Mas PNS itu, cocok. Sama-sama berpendidikan, ganteng dan cantik pula," ucap Bi Badriah mendukung.

Perlahan tapi pasti, aku berjalan menghampiri mereka. Kacang panjang yang sempat dikunyah Bu Samini pangkalnya, aku langsung ambil ujungnya. Kebetulan ia biarkan menjunjtai ke bawah, dan tak dipegangi. Lalu kumasukkan kedalam mulut, dan ikut duduk di sampingnya sambil ikut mengunyah.

"Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya," ucapku nimbrung percakapan mereka.

Mendengar suaraku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep.

Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 71

    Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 70

    Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 69

    "Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 68

    Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 67

    Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 66

    Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status