Share

Bab 6 Salah Sangka

Penulis: Reg Eryn
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-18 20:56:27

Salah sangka

"Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya."

Mendengar ucapanku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep.

Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu.

"Ka-kamu! Sejak kapan di situ?" tanya Bu Samini tergagap

"Sudah dari tadi, Bu. Ayo, lanjutkan gosipnya. Aku kan juga pengen nggosip. Biar pun masih muda, jiwa tuaku meronta, saat ada yang bergosip. Pengen ikut nimbrung gitu," jawabku, terus memperhatikan mereka dengan serius.

Sengaja ingin membuat mereka jantungan. Biar mereka kapok, dan tak lagi menceritakan orang lain di belakangnya. Ya, meskipun itu mustahil. Sudah pasti, kalau ada orang di hadapannya, mereka akan membicarakan yang baik.

"Gosip apa?" tanya Bi Badriah lupa ingatan. Ia sudah berdiri, meskipun pinggangnya encok akibat terjatuh. 

"Ya, gosip yang kalian bicarakan tadi."

"Mbak Juni, total belanjaanku berapa?" tanya Bi Atun pada pemilik warung Ia mencoba melarikan diri. 

Seperti pencuri yang ketahuan warga, para ibu-ibunya julid tersebut menjadi salah tingkah dan mencoba lari dari kenyataan.

"Mau kemana, Bi Atun? Belum siap ini loh gosipnya. Ini loh, wong seng ora ayu tapi kemayu, sudah ada di depan mata. Yuk, kita ngerumpi bersama."

"Heheh, Bibi lagi sibuk, Ran! Mau masak untuk bekal Lek Tuhi ke ladang. Pamit dulu ya!"

Bi Badriah dan Bu Samini, juga mengikuti langkah seribu Bi Atun. Tanpa permisi, mereka lari terbirit-birit. Emang kalian pikir, aku Jin Iprit!

"Kasihan kamu, Ran! Jadi bahan gosipan satu kampung, gara-gara mahar."

"Ya, biarkan saja Bude. Mereka kan nggak tahu alasan sebenarnya kenapa aku minta mahar segede itu."

"Lah, opo toh alasannya?" tanya Bude Juni kepo.

"Panjang kalau diceritakan, Bude. Biarlah hanya waktu yang dapat menjawabnya."

"Hmmm. Senengane kok nggawe penasaran toh, Ran! (Senangnya kok bikin penasaran toh, Ran!). Jadi, kalian resmi batal nikah?"

"Iya, Bude. Mungkin memang belum jodoh. Aku ra popo."

"Mudah-mudahan lah, Ran. Jodohmu nggak akan susah. Karena biasanya, kalau sekali gagal tunangan, pasti susah dapat jodoh. Tu kayak Mas Paino, dulu waktu mudanya banyak yang antre. Tapi cuma satu wanita yang berhasil mendapatkan hatinya, Yaitu Sulastri. Pas udah tunangan, Mas Paino tertarik lagi dengan wanita lain bernama Asri, terus dia  memutuskan pertunangnnya. Si Sulastri sakit hati, terus pergi dari kampung ini. Akhirnya, Mas Paino dan Asri juga nggak jadi menikah gara-gara Asri ketahuan selingkuh dengan lelaki lain. Akhirnya, sampai saat ini Mas Paino tidak mendapatkan jodoh. Padahal usianya sudah 50tahun."

"Itu berarti, Pak Paino kuwalat sama Bu Sulastri. Makanya nggak dapat jodoh. Kalau aku, kan beda ceritanya Bude."

"Tapi sama aja, Ran. Sama-sama gagal!"

"Percaya sama yang maha Kuasa aja lah, Bude."

"Sak karepmu lah! Yang penting Bude udah ingatkan."

"Nggeh, Bude."

Hari gini, mitos kok dipercaya. Biar sajalah, mereka dengan kepercayaannya dan aku dengan kepercayaanku.

"Berapa semuanya, Bude?" tanyaku pada semua belanjaan yang sudah kukumpulkan.

"30 ribu." Aku menyerahkan uang pas, lalu berjalan kembali pulang. 

Saat berpapasan dengan para tetangga, pandangan mereka jadi agak aneh padaku. Apa karena gosip mahar 5 Milyar sudah menyebar luas di kampung ini? 

Padahal baru tadi malam kejadiannya, tapi sudah secepat kilat menyambar, telinga para warga.

Ah, masa bodoh. Ternyata benar yang dikatakan ibu. Jika, orang zaman sekarang, hanya percaya dengan yang mereka dengar tanpa mencari tahu kebenarannya.

Tapi aku tak peduli. Toh dari zaman penjajahan Belanda hingga saat ini, para bujangan di kampungku tak ada yang tertarik padaku. Karena menurut mereka, aku adalah gadis miskin. Mereka tak tahu aja, biar miskin begini, keluargaku tak punya uang. Eh, maksudnya Hutang!

Lirikan-lirikan mata manusia julid terus saja mengikutiku hingga sampai di depan rumah. Bahkan ada yang terang-terangan berbisik saat aku melewatinya.

"Assalamu'alaikum, Bu! Ini, sayurnya." teriakku begitu sampai ruang tamu. Tapi ibu tak kutemukan  di seluruh penjuru ruangan. Hingga ... 

'Bugh!'

"Rasakan ini! punya mulut itu, harus dijaga. Jangan sampai kujadikan bibir geprek!" teriak ibu dari luar dapur. 

Apa yang sedang terjadi? Aku harus segera berlari. Pasti Ibu sedang bertengkar dengan tetangga, jambak-jambakan, tendang-tendangan, karena tak terima putrinya yang paling cantik ini diolok-olok mereka.

"Ibu! Sudah, jangan bertengkar lagi. Aku tidak apa dan sudah terbiasa diolok-olok mereka!" teriakku, ngos-ngosan karena berusaha secepat kilat berlari menemuinya. Dan ternyata, apa yang ibu lakukan sungguh di luar dugaan.

Wanita renta yang kukira lemah, ternyata sedang memegangi kepala Kambing. Ia berusaha melakban mulut kambing tersebut dengan kesusahan. Suara hentakan kaki kambing meronta, membuat gaduh, seperti orang yang sedang bertengkar.

"Kamu kenapa, Nduk?" tanya ibu polos. Tangannya masih memegangi kambing tersebut. Sementara wajahnya seperti orang kebingungan.

"Nduk! Kenapa kamu teriak-teriak?" tanyanya lagi karena tak mendapatkan jawaban dariku.

Duh, Ibu. Ada aja tingkah lakunya. Pake kambing dilakban segala mulutnya. 

Sudah berprasangka buruk terhadap tetangga. Ternyata ibu, melakukan hal yang tak terduga.

"Hish, ini sayurannya udah Rani, beli. Kok malah main peluk-pelukan sama kambing sih!" ucapku kesal meninggalkan ibu yang masih memegangi kambingnya. 

"Embeekkkk ... "

Tak lama ibu masuk dan duduk di hadapanku.

"Kenapa kambingnya ibu lakban mulutnya?" tanyaku masih kesal dengan ulahnya.

Ada-ada saja. Masa kambing sampai dilakban. Kalau nggak bisa makan gimana? Kan kasihan. Bukannya moto kambing adalah Hidup untuk makan? Makanya jarang sekali aku melihat mulut kambing tidak mengunyah. Kecuali tidur. 

"Iya, habis ibu emosi. Entah kambing siapa pagi-pagi di lepas liarkan. Kut-ang ibu yang baru aja selesai dibilas, dan ditinggal sebentar, langsung digondol dan dikunyah. Karena nggak bisa ditelen, eh langsung ditinggalkan begitu aja. Mana udah bolong-bolong kena giginya lagi! Makanya dia harus tanggung jawab!"

Aku hanya bisa menepuk jidat. Jangan ditiru kelakukan ibuku, saudara-saudara!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 71

    Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 70

    Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 69

    "Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 68

    Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 67

    Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se

  • Kuminta Mahar 5 Milyar dari Calon Suamiku yang Sombong   Bab 66

    Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status