Share

Bab 6 Salah Sangka

Salah sangka

"Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya."

Mendengar ucapanku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep.

Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu.

"Ka-kamu! Sejak kapan di situ?" tanya Bu Samini tergagap

"Sudah dari tadi, Bu. Ayo, lanjutkan gosipnya. Aku kan juga pengen nggosip. Biar pun masih muda, jiwa tuaku meronta, saat ada yang bergosip. Pengen ikut nimbrung gitu," jawabku, terus memperhatikan mereka dengan serius.

Sengaja ingin membuat mereka jantungan. Biar mereka kapok, dan tak lagi menceritakan orang lain di belakangnya. Ya, meskipun itu mustahil. Sudah pasti, kalau ada orang di hadapannya, mereka akan membicarakan yang baik.

"Gosip apa?" tanya Bi Badriah lupa ingatan. Ia sudah berdiri, meskipun pinggangnya encok akibat terjatuh. 

"Ya, gosip yang kalian bicarakan tadi."

"Mbak Juni, total belanjaanku berapa?" tanya Bi Atun pada pemilik warung Ia mencoba melarikan diri. 

Seperti pencuri yang ketahuan warga, para ibu-ibunya julid tersebut menjadi salah tingkah dan mencoba lari dari kenyataan.

"Mau kemana, Bi Atun? Belum siap ini loh gosipnya. Ini loh, wong seng ora ayu tapi kemayu, sudah ada di depan mata. Yuk, kita ngerumpi bersama."

"Heheh, Bibi lagi sibuk, Ran! Mau masak untuk bekal Lek Tuhi ke ladang. Pamit dulu ya!"

Bi Badriah dan Bu Samini, juga mengikuti langkah seribu Bi Atun. Tanpa permisi, mereka lari terbirit-birit. Emang kalian pikir, aku Jin Iprit!

"Kasihan kamu, Ran! Jadi bahan gosipan satu kampung, gara-gara mahar."

"Ya, biarkan saja Bude. Mereka kan nggak tahu alasan sebenarnya kenapa aku minta mahar segede itu."

"Lah, opo toh alasannya?" tanya Bude Juni kepo.

"Panjang kalau diceritakan, Bude. Biarlah hanya waktu yang dapat menjawabnya."

"Hmmm. Senengane kok nggawe penasaran toh, Ran! (Senangnya kok bikin penasaran toh, Ran!). Jadi, kalian resmi batal nikah?"

"Iya, Bude. Mungkin memang belum jodoh. Aku ra popo."

"Mudah-mudahan lah, Ran. Jodohmu nggak akan susah. Karena biasanya, kalau sekali gagal tunangan, pasti susah dapat jodoh. Tu kayak Mas Paino, dulu waktu mudanya banyak yang antre. Tapi cuma satu wanita yang berhasil mendapatkan hatinya, Yaitu Sulastri. Pas udah tunangan, Mas Paino tertarik lagi dengan wanita lain bernama Asri, terus dia  memutuskan pertunangnnya. Si Sulastri sakit hati, terus pergi dari kampung ini. Akhirnya, Mas Paino dan Asri juga nggak jadi menikah gara-gara Asri ketahuan selingkuh dengan lelaki lain. Akhirnya, sampai saat ini Mas Paino tidak mendapatkan jodoh. Padahal usianya sudah 50tahun."

"Itu berarti, Pak Paino kuwalat sama Bu Sulastri. Makanya nggak dapat jodoh. Kalau aku, kan beda ceritanya Bude."

"Tapi sama aja, Ran. Sama-sama gagal!"

"Percaya sama yang maha Kuasa aja lah, Bude."

"Sak karepmu lah! Yang penting Bude udah ingatkan."

"Nggeh, Bude."

Hari gini, mitos kok dipercaya. Biar sajalah, mereka dengan kepercayaannya dan aku dengan kepercayaanku.

"Berapa semuanya, Bude?" tanyaku pada semua belanjaan yang sudah kukumpulkan.

"30 ribu." Aku menyerahkan uang pas, lalu berjalan kembali pulang. 

Saat berpapasan dengan para tetangga, pandangan mereka jadi agak aneh padaku. Apa karena gosip mahar 5 Milyar sudah menyebar luas di kampung ini? 

Padahal baru tadi malam kejadiannya, tapi sudah secepat kilat menyambar, telinga para warga.

Ah, masa bodoh. Ternyata benar yang dikatakan ibu. Jika, orang zaman sekarang, hanya percaya dengan yang mereka dengar tanpa mencari tahu kebenarannya.

Tapi aku tak peduli. Toh dari zaman penjajahan Belanda hingga saat ini, para bujangan di kampungku tak ada yang tertarik padaku. Karena menurut mereka, aku adalah gadis miskin. Mereka tak tahu aja, biar miskin begini, keluargaku tak punya uang. Eh, maksudnya Hutang!

Lirikan-lirikan mata manusia julid terus saja mengikutiku hingga sampai di depan rumah. Bahkan ada yang terang-terangan berbisik saat aku melewatinya.

"Assalamu'alaikum, Bu! Ini, sayurnya." teriakku begitu sampai ruang tamu. Tapi ibu tak kutemukan  di seluruh penjuru ruangan. Hingga ... 

'Bugh!'

"Rasakan ini! punya mulut itu, harus dijaga. Jangan sampai kujadikan bibir geprek!" teriak ibu dari luar dapur. 

Apa yang sedang terjadi? Aku harus segera berlari. Pasti Ibu sedang bertengkar dengan tetangga, jambak-jambakan, tendang-tendangan, karena tak terima putrinya yang paling cantik ini diolok-olok mereka.

"Ibu! Sudah, jangan bertengkar lagi. Aku tidak apa dan sudah terbiasa diolok-olok mereka!" teriakku, ngos-ngosan karena berusaha secepat kilat berlari menemuinya. Dan ternyata, apa yang ibu lakukan sungguh di luar dugaan.

Wanita renta yang kukira lemah, ternyata sedang memegangi kepala Kambing. Ia berusaha melakban mulut kambing tersebut dengan kesusahan. Suara hentakan kaki kambing meronta, membuat gaduh, seperti orang yang sedang bertengkar.

"Kamu kenapa, Nduk?" tanya ibu polos. Tangannya masih memegangi kambing tersebut. Sementara wajahnya seperti orang kebingungan.

"Nduk! Kenapa kamu teriak-teriak?" tanyanya lagi karena tak mendapatkan jawaban dariku.

Duh, Ibu. Ada aja tingkah lakunya. Pake kambing dilakban segala mulutnya. 

Sudah berprasangka buruk terhadap tetangga. Ternyata ibu, melakukan hal yang tak terduga.

"Hish, ini sayurannya udah Rani, beli. Kok malah main peluk-pelukan sama kambing sih!" ucapku kesal meninggalkan ibu yang masih memegangi kambingnya. 

"Embeekkkk ... "

Tak lama ibu masuk dan duduk di hadapanku.

"Kenapa kambingnya ibu lakban mulutnya?" tanyaku masih kesal dengan ulahnya.

Ada-ada saja. Masa kambing sampai dilakban. Kalau nggak bisa makan gimana? Kan kasihan. Bukannya moto kambing adalah Hidup untuk makan? Makanya jarang sekali aku melihat mulut kambing tidak mengunyah. Kecuali tidur. 

"Iya, habis ibu emosi. Entah kambing siapa pagi-pagi di lepas liarkan. Kut-ang ibu yang baru aja selesai dibilas, dan ditinggal sebentar, langsung digondol dan dikunyah. Karena nggak bisa ditelen, eh langsung ditinggalkan begitu aja. Mana udah bolong-bolong kena giginya lagi! Makanya dia harus tanggung jawab!"

Aku hanya bisa menepuk jidat. Jangan ditiru kelakukan ibuku, saudara-saudara!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status