Bukan hanya anaknya beruntung tidak jadi menikah denganku. Tapi aku lebih sangat beruntung karena tak jadi memiliki suami seperti anaknya. Tidak bisa kubayangkan hidup tanpa Ibu, yang sudah melahirkan dan membesarkanku.
Sampai kapan pun, tidak ada anak yang bisa membalas jasa ibu dan bapaknya. Meski dunia dan seisinya ia berikan.
Aku tidak akan pernah dibutakan oleh yang namanya cinta. Saat lelaki tak bisa menerima keluargaku terutama ibuku. Maka aku tidak akan melanjutkan hubungan itu. Untuk apa aku berbahagia di atas penderitaan ibu.
Mencari suami, bukan hanya melihat tampang, jabatan, dan uang. Tapi, harus yang ikhlas menyayangi dan menghormati ibu kita seperti ibunya sendiri.
Jika seorang lelaki berpikir, bahwa surganya ada pada ibunya sampai kapan pun, karena sang ibu lah, yang melahirkan dan membesarkannya. Lalu apa bedanya dengan wanita? Mereka juga dilahirkan dan dibesarkan oleh ibunya. Mereka juga dididik dan disekolahkan dengan hasil jerih payahnya. Jadi, jangan pernah berat sebelah terhadap orang tua.
Jika ibumu harus diperlakukan baik oleh istrimu. Maka, perlakukan baik jugalah mertuamu seperti ibu kandungmu sendiri. Karena semua ibu di dunia ini sama derajatnya. Dan semua ibu juga ingin yang terbaik untuk anaknya. Jika ia masih mampu bekerja, maka ia tak akan pernah menengadahkan tangan pada anak-anaknya.
"Kenapa toh, Nduk. Kamu minta mahar sebesar itu?" tanya ibu, membuatku tersadar dari lamunan.
Tangan keriputnya menyentuh tanganku lembut. Tangan ini, yang selalu membelaiku penuh dengan kash sayang. Tangan ini, yang dengan sabarnya menyuapiku saat aku masih kecil. Tangan ini, yang begitu ringannya bekerja keras, demi bisa menghidupkan dengan layak. Apa bisa aku membalas semua kebaikan yang diberikan oleh tangan ini?
Kuusap lembut, tangan keriput ibu, lalu menciumnya. Tak hentinya aku berdoa dan berterimakasih pada Tuhan karena memberiku seorang ibu dengan tangan baja.
"Ya, karena itu sesuai dengan jasa ibu padaku," jawabku, memejamkan mata sambil terus memegangi tangan ibu dan menaruhnya di pipi.
"Ibu, tidak pernah meminta apapun darimu. Yang penting hidupmu bahagia. Tidak kekurangan apapun, Nak!"
Aku tahu, Bu! Aku tahu, jika hanya kebahagiaanku lah yang ibu inginkan. Tapi aku, juga ingin kebahagiaan untuk ibu.
"Kalau ibu ingin melihatku bahagia. Maka aku lebih, lebih, lebih ingin melihat ibu bahagia."
"Ibu tahu, Nak. Tapi tidak dengan meminta mahar sebesar itu. Apa nanti kata orang? Pasti berita ini akan cepat menyebar luas. Setelah itu, laki-laki akan takut melamarmu. Ibu nggak mau kamu jadi perawan tua."
Itu pasti yang akan ditakutkan oleh seorang ibu. Melihat anaknya sudah berumur, tapi tak kunjung mendapatkan jodoh. Padahal, semua yang terjadi pada manusia, itu sudah menjadi kehendak tuhan.
"Bu, takdir ada di tangan Tuhan. Jangan takut dengan bayangan. Belum tentu semua yang didengar oleh para lelaki akan ditelan mentah-mentah. Bisa saja mereka mencari tahu mengapa sampai aku meminta mahar segitu besarnya."
Aku memang belum menceritakan pada ibu alasan mengapa meminta mahar begitu besar. Selama mendengar ucapan Bang Jali seminggu lalu, aku tidak mengatakan apapun pada ibu. Hanya tetangga yang bisa kupercaya saja yang mengetahuinya. Sementara mahar lima Milyar, mereka semua sama sekali tidak tahu. Itu murni rencanaku yang sudah kupikirkan selama berhari-hari.
"Nduk, manusia jaman sekarang, jarang yang mau mencari tahu kebenaran. Apa yang mereka dengar, itulah yang akan dipercaya," ucap Ibu mengingatkan.
"Bu, percaya saja dengan jalan hidup yang sudah diberikan Allah. Jika aku tidak menikah sampai ajal menjemput, maka itu sudah takdir Allah. Untuk apa dipusingkan."
"Amit-amit jabang bayi! Jauh-jauh, Nak! Jangan sampai kamu menjadi perawan tua seumur hidup!"
"Itu kan, cuma seandainya, Bu."
"Kamu, pun. Ada-ada saja meminta maharnya. Meskipun mereka kaya, mana mngkin mau memberi mahar sebesar itu!"
"Ya, percuma kaya tapi pelit, Bu. Mahar segitu aja nggak bisa dikasih!"
"Setelah ngasih kamu mahar segitu, mereka langsung jatuh miskin, Nduk!"
"Wong kaya kok bisa miskin toh, Bu!"
"Lah, mereka kan kayanya masih nanggung. Belun kaya banget. Jadi wajarlah."
"Ya, terserah ibu ajalah."
"Coba ngomong yang sebenarnya sama ibu, alasan kamu minta mahar segitu."
"Jadi, ceritanya begini ... "
Semua mengalir begitu saja dari bibirku. Ibu mengangguk-angguk sambil berseru, trilili lili lili lili ...
Hush! Bukan lagu burung Kutilang!
"Kalau begitu, seharusnya minta saja 50 Milyar! Enak saja, dia mau mendapatkan anak gadisku. Ibarat buah tinggal panen hasilnya, masih mau dia sengsarakan dengan ikut kerja mencari nafkah dengan alasan agar cepat punya rumah sendiri. Anakku dinikahi, bukan untuk disengsarakan hidupnya. Ibu saja yang melahirkan dan merawatmu dari kecil, selalu berusaha membahagiakanmu. Ini dia, sudah tinggal panen, mau ngajak susah. Kalau tau itu laki-laki berbicara begitu padamu. Pasti tadi langsung ibu, skak biar enyah dari muka bumi ini!" ucap ibu berapi-api. Selama ini, aku hanya melihat ibu yang lemah lembut. Baru kali ini sisi lainnya yang garang, seperti preman pasar menagih uang keamanan. Ternyata, lebih seram lagi emakku emosi ketimbang mereka.
"Sabar, Bu. Nanti kolesterolnya naik loh!"
"Ibu mana yang bisa sabar, jika anaknya akan dijadikan budak. Daripada punya suami begitu, lebih baik kamu menjadi perawan tua saja, Nak. Tak perlu memikirkan urusan rumah tangga. Tak perlu, mengurusi suami. Hidupmu pasti jauh lebih tenang."
"Iya, Bu. Iya. Kan pernikahannya memang batal!"
"Syukur alhamdulillah, Nak. Nanti kita bikin syukuran karena kamu nggak jadi menikah dengan lelaki seperti itu! Bila perlu, tujuh hari tuju malam. sebagai ucapan rasa syukur kita."
"Memang ada uang, untuk syukuran tujuh hari tujuh malam, Bu?"
"Enggak!"
Gosip Semua makanan yang tadi sempat kami persiapkan, sudah dibagikan ke tetangga. Karena tamu, keburu pergi padahal belum sempat menikmati hidangan yang kami sediakan. Mungkin mereka terlanjur kenyang mendengar mahar, yang kukatakan. Hingga tak sempat lagi mengisi perutnya. Tidak apa, semua masih bisa kusedekahkan pada tetangga. Meskipun tak jadi syukuran tujuh hari tujuh malamnya. "Wes, gagal mangan degeng kita! (udah,gagal makan daging kita)" celetuk Bi Parni sambil membungkus jajanan ke dalam plastik untuk ia bawa pulang. "Halah, ora popo. Seng penting, dino iki kita intok panganan gratis. Mangan dageng pun, yo harus eneng salam tempel. (Halah, nggak papa. Yang penting hari ini kita dapat makanan gratis. Makan Daging pun, ya harus ada salam tempel)." sahut Bude Yati, mencomot kue bolu dan melahapnya. "Iyo, juga yo!" ** Para tetangga sudah pada pulang ke rumah masing-masing. Saatnya aku meluruskan pinggang, yang sedikit bengkok karena kebanyakan duduk. Ibu juga sudah masuk
Salah sangka "Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya." Mendengar ucapanku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep. Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu. "Ka-kamu! Sejak kapan di situ?" tanya Bu Samini tergagap "Sudah dari tadi, Bu. Ayo, lanjutkan gosipnya. Aku kan juga pengen nggosip. Biar pun masih muda, jiwa tuaku meronta, saat ada yang bergosip. Pengen ikut nimbrung gitu," jawabku, terus memperhatikan mereka dengan serius. Sengaja ingin membuat mereka jantungan. Biar mereka kapok, dan tak lagi menceritakan orang lain di belakangnya. Ya, meskipun itu mustahil. Sudah p
"Heh, Rani! Kamu beneran batal nikah sama Bang Jali?" tanya Sinta, tetangga Bang Jali sekaligus teman satu kerjaan denganku. Dari main ke rumahnya, juga lah yang membuatku mengenal lelaki itu. Kami sedang makan siang di kantin. Kebetulan sudah jam istirahat. Tadi pagi, sebelum masuk kerja, kami tidak bertemu. Jadi mungkin Sinta memendam pertanyaannya ini. Dan begitu ada kesempatan, dia langsung bertanya. "He'eh ... " jawabku mengangguk sambil melahap lontong sayur. Perut udah keroncongan, kalau nggak cepat diisi, bisa demo cacingnya. "Denger-denger, kamu minta mahar 10M ya?" tanyanya lagi semakin serius. Sampai lupa untuk makan. Padahal makanan yang dipesannya sudah ada di depan mata.u "He'eh ... " jawabku lagi, singkat. Menurutku, ini adalah bahasan yang tak penting. Jadi malas untuk bicara panjang lebar. Apalagi dalam kondisi perut minta diisi. "Hmmm, emang dasar nggak tau diri banget kamu! Pantas aja batal. Permintaanmu nggak masuk akal!" gerutunya, memukul lenganku. Belum t
Sudah jam lima sore, para pekerja pabrik Mabel, mulai membubarkan diri. Termasuk aku. "Memang kamu tega, Ran! Masa aku lagi makan, main tinggal aja!" gerutu Sinta saat kami bertemu di jalan menuju parkiran. "Habis, kalau deket kamu, kewarasanku ikut menghilang! Pengennya itu, ngania-ya orang aja!" sahutku terus melangkahkan kaki cepat. "Ck! Kayak baru kenal aku aja kamu ini!" "Karena udah kenal lama, makanya aku was-was kalau udah dekat kamu. Takut ketularan!" "Hissh! Emang kamu pikir, aku virus apa? Eh, ngomong-ngomong, aku nebeng ya! sepeda motorku tadi pagi mogok. Jadi, nggak bisa dibawa. Perginya aja tadi aku diantar sama bapak, naik sepeda ontel," rayunya sambil mengedipkan mata. "Iya, ya udah ayo!" Aku menaiki sepeda motor dan diikuti olehnya yang duduk di jog belakang. "Tapi, antar sampe rumah ya. Jangan diturunin di jalan." "Iya! Gampang. Jangan lupa uang bensinnya!" selorohku, sambil melajukan sepeda motor. Hanya dia harta satu-satunya yang kupunya. Motor butut hasi
Saat sudah berada di persimpangan jalan. Entah dari mana datangnya. Mantan calon ibu mertua sudah berdiri seperti tugu selamat datang di situ. Mau tak mau, aku harus tetap melewatinya karena tak ada jalan lain. Mau terbang, nggak mungkin. Sayap pesawat mahal. Mana dandannya sangat cetar lagi. Sama persis seperti yang dibilang Sinta. Kayak toko emas berjalan. Kepalanya memang ditutupi hijab. Tapi hijab tersebut ia ikat ke leher sampai mencekik. Mungkin tujuannya agar semua orang tau kalau dia memakai emas sebesar rantai kapal. Bukannya iri. Tapi itu kelihatan norak. Banyak, kok orang yang lebih kaya, tapi pakai perhiasan tidak terlalu mencolok seperti itu. "Gimana, udah dapat lelaki yang mau kasih mahar lima Milyar belum?" tanyanya sewot. Ternyata Ibu Bang Jali, pendendam juga. Untung di sini hanya ada tiga orang. Jadi, tidak terlalu malu saat jadi pusat perhatian. Dengan sangat terpaksa kuda besiku ini kuhentikan. Kalau nggak dijawab, nanti katanya nggak sopan. Diajak ngomong oran
Sudah dua minggu, semenjak kejadian aku gagal menikah karena mahar. Para tetangga sudah sedikit meredup mulutnya menceritakan tentangku. Suasana desa hampir sembuh dari virus mahar Lima Milyar.Terkadang, memang ada yang masih membahasnya. Tapi hanya beberapa orang saja. Itu pun, mereka yang tak menyukaiku. Seperti Bu Samini, Bi Atun, dan Bi Badriah.Kalau Bu Samini tidak menyukaiku, karena dulu pernah ada lelaki yang dikejar oleh anaknya. Tapi lelaki itu malah, balik mengejarku. Meskipun Si Putri anak Bu Samini adalah calon bidan. Lelaki itu tetap tak menyukainya. Alasannya karena ia pernah melihat si Putri, kayak perangko. Nempel sana, nempel sini.Sedangkan Bi Atun, dia tidak menyukaiku karena cemburu pada ibu saat masih muda dulu. Ibu yang pada masanya menjadi kembang desa, membuat Bi Atun merasa marah karena tak pernah dilirik oleh pria. Setiap ada lelaki yang mendekati Bi Atun, ternyata tujuannya hanya demi bisa mengenal. ibu. Karena rumah mereka berdekatan, jadi Bi Atun selalu
Pov Bang Jali.Gara-gara mahar lima milyar, yang diajukan oleh Rani, aku jadi gagal menikah. Bukan hanya gagal saja. Tapi malunya luar biasa.Setiap ada yang bertanya, kapan pernikahannya digelar, maka aku akan mengatakannya gagal. Mereka semua yang mendengar hanya tertawa. Tak ada yang simpati satu orang pun padaku. Aku sangat dendam pada Rani. Pokoknya, harus bisa mencari pengganti yang lebih dari dia. Emang dia pikir, dia siapa. Menolak secara halus Jali Si guru PNS, yang sudah terjamin masa depannya. Hanya buruh pabrik aja sombongnya luar biasa.Apa susahnya, sih menuruti apa kata suami jika sudah menikah nanti? Kan dia juga yang bakal untung karena nantinya akan masuk surga.Sekarang ini, banyak sekali wanita durhaka pada suaminya. Selalu aja membangkang dengan yang diperintahkan oleh suami."Memangnya, apa alasan Rani minta mahar sebesar itu?" tanya Pak Tanto, guru olahraga. Hari ini, jam istirahat sekolah. Dan kami sedang duduk santai di dalam kantor.Guru satu ini, juga sudah
Acara lamaran Putri pun tiba. Aku sudah dandan secetar mungkin. Biar nggak dikatain pucat karena menghadiri lamaran mantan. Maklum, di sana isinya banyak orang-orang julid. Jadi harus bisa terlihat wah. Biar mereka nggak bisa menghina. "Ayo kita berangkat, Ti," ajakku, pada Murti yang juga sudah siap. Semua gadis di desa ini diundang oleh Putri dan Bu Samini. Alasannya agar ada yang mendampingi Putri. Padahal kami tau, jika tujuan mereka hanya untuk pamer mantu."Walah, cantik banget toh, Ran! Nanti Bang PNS, malah gagal move on, dan pokusnya sama kamu lagi! Nggak fokus sama calonnya," goda Murti yang juga udah berdandan kayak bintang pantura."Ck! Biar mereka semua tau. Kalau aku itu, udah move on. Nanti kalau pucet, apa kata dunia? Udah yukk, jalan. Keburu ketinggalan."***Aku dan Murti duduk berdampingan dengan calon pengantin wanita. Ini semua adalah ide Bi Atun. Katanya, biar semakin tegar menghadapi kenyataan. Begini kalau ada manusia julid. Maunya menyiksa. Padahal aku biasa