Share

Bab 4 Tidak Terima

Bukan hanya anaknya beruntung tidak jadi menikah denganku. Tapi aku lebih sangat beruntung karena tak jadi memiliki suami seperti anaknya. Tidak bisa kubayangkan hidup tanpa Ibu, yang sudah melahirkan dan membesarkanku.

Sampai kapan pun, tidak ada anak yang bisa membalas jasa ibu dan bapaknya. Meski dunia dan seisinya ia berikan.

Aku tidak akan pernah dibutakan oleh yang namanya cinta. Saat lelaki tak bisa menerima keluargaku terutama ibuku. Maka aku tidak akan melanjutkan hubungan itu. Untuk apa aku berbahagia di atas penderitaan ibu.

Mencari suami, bukan hanya melihat tampang, jabatan, dan uang. Tapi, harus yang ikhlas menyayangi dan menghormati ibu kita seperti ibunya sendiri.

Jika seorang lelaki berpikir, bahwa surganya ada pada ibunya sampai kapan pun, karena sang ibu lah, yang melahirkan dan membesarkannya. Lalu apa bedanya dengan wanita? Mereka juga dilahirkan dan dibesarkan oleh ibunya. Mereka juga dididik dan disekolahkan dengan hasil jerih payahnya. Jadi, jangan pernah berat sebelah terhadap orang tua.

Jika ibumu harus diperlakukan baik oleh istrimu. Maka, perlakukan baik jugalah mertuamu seperti ibu kandungmu sendiri. Karena semua ibu di dunia ini sama derajatnya. Dan semua ibu juga ingin yang terbaik untuk anaknya. Jika ia masih mampu bekerja, maka ia tak akan pernah menengadahkan tangan pada anak-anaknya.

"Kenapa toh, Nduk. Kamu minta mahar sebesar itu?" tanya ibu, membuatku tersadar dari lamunan.

Tangan keriputnya menyentuh tanganku lembut. Tangan ini, yang selalu membelaiku penuh dengan kash sayang. Tangan ini, yang dengan sabarnya menyuapiku saat aku masih kecil. Tangan ini, yang begitu ringannya bekerja keras, demi bisa menghidupkan dengan layak. Apa bisa aku membalas semua kebaikan yang diberikan oleh tangan ini?

Kuusap lembut, tangan keriput ibu, lalu menciumnya. Tak hentinya aku berdoa dan berterimakasih pada Tuhan karena memberiku seorang ibu dengan tangan baja.

"Ya, karena itu sesuai dengan jasa ibu padaku," jawabku, memejamkan mata sambil terus memegangi tangan ibu dan menaruhnya di pipi. 

"Ibu, tidak pernah meminta apapun darimu. Yang penting hidupmu bahagia. Tidak kekurangan apapun, Nak!"

Aku tahu, Bu! Aku tahu, jika hanya kebahagiaanku lah yang ibu inginkan. Tapi aku, juga ingin kebahagiaan untuk ibu.

"Kalau ibu ingin melihatku bahagia. Maka aku lebih, lebih, lebih ingin melihat ibu bahagia."

"Ibu tahu, Nak. Tapi tidak dengan meminta mahar sebesar itu. Apa nanti kata orang? Pasti berita ini akan cepat menyebar luas. Setelah itu, laki-laki akan takut melamarmu. Ibu nggak mau kamu jadi perawan tua."

Itu pasti yang akan ditakutkan oleh seorang ibu. Melihat anaknya sudah berumur, tapi tak kunjung mendapatkan jodoh. Padahal, semua yang terjadi pada manusia, itu sudah menjadi kehendak tuhan.

"Bu, takdir ada di tangan Tuhan. Jangan takut dengan bayangan. Belum tentu semua yang didengar oleh para lelaki akan ditelan mentah-mentah. Bisa saja mereka mencari tahu mengapa sampai aku meminta mahar segitu besarnya."

Aku memang belum menceritakan pada ibu alasan mengapa meminta mahar begitu besar. Selama mendengar ucapan Bang Jali seminggu lalu, aku tidak mengatakan apapun pada ibu. Hanya tetangga yang bisa kupercaya saja yang mengetahuinya. Sementara mahar lima Milyar, mereka semua sama sekali tidak tahu. Itu murni rencanaku yang sudah kupikirkan selama berhari-hari.

"Nduk, manusia jaman sekarang, jarang yang mau mencari tahu kebenaran. Apa yang mereka dengar, itulah yang akan dipercaya," ucap Ibu mengingatkan.

"Bu, percaya saja dengan jalan hidup yang sudah diberikan Allah. Jika aku tidak menikah sampai ajal menjemput, maka itu sudah takdir Allah. Untuk apa dipusingkan."

"Amit-amit jabang bayi! Jauh-jauh, Nak! Jangan sampai kamu menjadi perawan tua seumur hidup!"

"Itu kan, cuma seandainya, Bu."

"Kamu, pun. Ada-ada saja meminta maharnya. Meskipun mereka kaya, mana mngkin mau memberi mahar sebesar itu!"

"Ya, percuma kaya tapi pelit, Bu. Mahar segitu aja nggak bisa dikasih!"

"Setelah ngasih kamu mahar segitu, mereka langsung jatuh miskin, Nduk!"

"Wong kaya kok bisa miskin toh, Bu!"

"Lah, mereka kan kayanya masih nanggung. Belun kaya banget. Jadi wajarlah."

"Ya, terserah ibu ajalah."

"Coba ngomong yang sebenarnya sama ibu, alasan kamu minta mahar segitu."

"Jadi, ceritanya begini ... "

Semua mengalir begitu saja dari bibirku. Ibu mengangguk-angguk sambil berseru, trilili lili lili lili ... 

Hush! Bukan lagu burung Kutilang!

"Kalau begitu, seharusnya minta saja 50 Milyar! Enak saja, dia mau mendapatkan anak gadisku. Ibarat buah tinggal panen hasilnya, masih mau dia sengsarakan dengan ikut kerja mencari nafkah dengan alasan agar cepat punya rumah sendiri. Anakku dinikahi, bukan untuk disengsarakan hidupnya. Ibu saja yang melahirkan dan merawatmu dari kecil, selalu berusaha membahagiakanmu. Ini dia, sudah tinggal panen, mau ngajak susah. Kalau tau itu laki-laki berbicara begitu padamu. Pasti tadi langsung ibu, skak biar enyah dari muka bumi ini!" ucap ibu berapi-api. Selama ini, aku hanya melihat ibu yang lemah lembut. Baru kali ini sisi lainnya yang garang, seperti preman pasar menagih uang keamanan. Ternyata, lebih seram lagi emakku emosi ketimbang mereka.

"Sabar, Bu. Nanti kolesterolnya naik loh!"

"Ibu mana yang bisa sabar, jika anaknya akan dijadikan budak. Daripada punya suami begitu, lebih baik kamu menjadi perawan tua saja, Nak. Tak perlu memikirkan urusan rumah tangga. Tak perlu, mengurusi suami. Hidupmu pasti jauh lebih tenang."

"Iya, Bu. Iya. Kan pernikahannya memang batal!"

"Syukur alhamdulillah, Nak. Nanti kita bikin syukuran karena kamu nggak jadi menikah dengan lelaki seperti itu! Bila perlu, tujuh hari tuju malam. sebagai ucapan rasa syukur kita."

"Memang ada uang, untuk syukuran tujuh hari tujuh malam, Bu?"

"Enggak!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
hahahahaha Bu tadi marahin anak kq minta mahar banyak setelah tau ceritanya malah mau buat syukuran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status