"Apa? Kok bisa anakku mengenal kamu?" Bu Santi sudah mengganti nama panggilannya kepada Sandhy menjadi kamu. Berarti dia tak lagi berpura-pura melindungi Sandhy seperti tadi. Tatapan wanita itu mengamati Sandhy dari atas ke bawah dan ke atas lagi. Dia sayang tak percaya anaknya bisa mengenal seseorang seperti lelaki ini. Orang yang berpenampilan nyentrik layaknya seorang seniman. Tangan Sandhy mengepal di samping tubuhnya. Dia menatap dengan tatapan meremehkan dan senyum sinis dari Bu Santi. Baru kali ini ada orang yang menyepelekannya. Membuat dia kesal dan ingin membalas agar orang itu tidak membatasinya lagi. "O tidak, Bu. Anak Ibu tidak mengenal saya," jawab Sandhy dengan nada sopan yang dibuat-buat."Lho, gimana, sih. Tadi katanya kamu punya urusan dengan anak saya. Kok sekarang kamu bilang tidak kenal dengan anak saya?" cecar Bu Santi yang mulai kesal dengan Sandhy.Pak Hartawan yang sedari tadi hanya diam dan mengamati percakapan istri dan teman-temannya itu mulai tertarik.
"Dok! Jangan diam saja. Bagaimana hasil pemeriksaan suami saya? Skalanya berapa? Tolong katakan sekarang, Dok!" tuntut Marisa.Dokter menatap Marisa dengan sorot prihatin. "Sabar ya, Bu. Ini hanya salah satu cara saja untuk mengetahui kondisi pasien. Jadi bukan satu-satunya jalan. Masih ada beberapa tes lain yang bisa dilakukan.""Iya … iya … terus gimana hasilnya, Dok?" sergah Marisa. Mungkin bagi orang lain terdengar tidak sopan memotong pembicaraan dokter begitu saja. Namun, Marisa tidak butuh basa-basi. Dia benar-benar sudah tidak sabar mengetahui hasil pemeriksaan suaminya. "Hasil pemeriksaannya menunjukkan angka enam, Bu." "Enam? Berarti kondisi suami saya enggak bagus, ya, Dok? Angkanya mendekati tiga." Marisa seketika merasa lemas. Dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Isak lirih terdengar dari sela-sela tangannya. "Seperti saya bilang tadi, Bu. Angka itu bukan satu-satunya penentu kondisi pasien Irawan. Namun, kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan lebih
"Sepertinya aku memang harus menemukan sendiri bukti hubungan antara Monika dengan Irawan," gumam Sandhy, sambil berjalan meninggalkan Marisa.Sandhy akhirnya memutuskan membongkar barang-barang Monika. Dia menyetujui saran Marisa setelah adik kelasnya itu menolak menceritakan temuannya pada barang-barang suaminya. Sejak mengetahui Monika berduaan bersama lelaki lain saat mengalami kecelakaan, benak Sandhy mulai sibuk berpikir. "Apakah mereka benar-benar dekat? Mengapa mereka bisa semobil ketika terjadi kecelakaan?"Sandhy bertanya kepada Marisa itu karena sebenarnya di hati kecilnya dia tidak siap. Ada ketakutan apabila ada kabar buruk yang dia terima. Namun, bagaimana pun juga sekarang dia sekarang harus menghadapinya. "Aku taruh mana tas yang kuambil dari kantor polisi itu, ya? Seingatku masih di dalam box penyimpanan motor." Sandhy segera berderap menuju parkiran sepeda motor. Sesampainya di motor warna hijau elektrik kesayangannya, Sandhy segera membuka bagasi. Dia mengangkat
"Kamu mau tahu kekuranganmu? Kamu itu mandul!" Marisa berlari tanpa arah tujuan. Baginya yang lebih penting adalah segera menjauh dari semua orang. Masih berlatih dengan jelas raut wajah Bu Santi ketika mengangkat telunjuk dan menudingnya mandul. Kata-kata mandul juga terus terngiang di benaknya sehingga dia menutup telinganya. Air mata yang terus mengalir membuat mata Marisa berkabut. Membuat dia tidak bisa melihat seseorang yang berada di depannya. Marisa menabrak orang itu dengan cukup keras. Tubuh berotot di balik baju yang dikenakannya membuat tubuh Marisa limbung. Dia pasti terjatuh Andai saja tidak ada sepasang tangan kokoh yang menggenggamnya. “Mbak… Mbak… Mbak gak apa-apa?” Pemilik tangan kokoh itu bertanya kepada Marisa dengan suara bernada khawatir. Ternyata dia jugalah orang yang telah ditabrak oleh Marisa. Marisa tidak segera menjawab. Dia merasa pusing entah karena harus berhenti mendadak setelah berlari atau sebab kepalanya terbentur tubuh berotot lelaki di depa
"Sabar, Bu…sabar. Suami ibu yang mana?" tanya salah satu perawat. Marisa belum pernah melihat perawat itu. Sepertinya giliran jaga yang baru. "Suami saya namanya Irawan. Di-dia korban kecelakaan di tol SUMO tadi pagi." "Sebentar saya lihat datanya dulu." "Suami saya biasanya di bilik sebelah kanan pojok itu. Ta-tapi barusan saya ke sana kok nggak ada." "Ooo yang itu. Maaf… yang masih koma itu ya, Bu?" "Iya, benar." "Tadi baru saja dibawa ke ruang ICU, Bu. Ibu bisa coba ke sana untuk bertanya. Tadi ada keluarganya yang ikut, kok." "Ada apa ini?" Seorang perawat pria datang dan bertanya kepada rekannya. "Ibu ini mencari suaminya yang di bilik pojok tadi. Terus aku bilang dibawa ke ICU." Perawat yang tadi bersama Marisa menjawab. "O iya benar Bu. Saya tadi yang mengantarnya. Ini baru saja kembali." Celana perawat pria itu melegakan hati Marisa. Dia tersenyum dan berpikir menerima kasih berulang kali sebelum berlalu dari hadapan kedua perawat itu. Marisa berjalan cepat
"Loh kamu? Bukannya kamu... Mbak yang tadi di masjid?" tanya lelaki yang mengenakan jas dokter. "Iya. Saya tadi menabrak dokter. Maaf, ya, Dok," jawab Marisa. Dia tertunduk malu ketika mengenali laki-laki yang ada di depannya. "Oo tidak apa-apa. Itu kan tidak merugikan. Jadi, Mbak ini keluarganya pasien yang bernama Irawan?" "Betul, Dok. Saya istrinya," jawab Marisa dengan suara pelan. Dokter yang duduk di depan Marisa itu mengangkat alisnya. Ada binar terkejut di tatapan matanya yang teduh. "Baik kalau begitu. Saya menelepon ibu saja karena saya juga memanggil pak kepada pasien." Marisa mengangguk mendengarkan kata-kata dokter yang duduk di depannya. "O ya sebelumnya perkenalkan, saya Dokter Harun. Dokter Spesialis Jantung yang menangani suami Anda." "Jantung?" Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "A-ada a-apa dengan jantung suami saya, Dok? Apa ada masalah dengan jantungnya?" Suara marah Marisa membuat Dokter Harun mengangkatnya dari berkas data rekam med
"Kenapa kembali, Pa? Ada yang ketinggalan?" Marisa mengangkat wajahnya dan menengok ke pintu masuk ke ruang tunggu ICU yang berada di sebelah kiri. Matanya seketika membulat ketika melihat sosok yang dia kenal sejak lama tetapi baru dipertemukan kembali. Mereka bertemu kembali sejak sebuah peristiwa membuat mereka sama-sama menjadi orang yang dikhianati. "Kamu? Ada apa ke sini Mas Sandhy?" tanya Marisa dengan nada menyelidik. Marisa takut Sandhy sengaja menyusulnya. Dia juga merasa tidak nyaman dengan kedatangan Sandhy. Bagaimanapun juga dia sendirian menjaga Irawan. Jadi, dia tidak ingin kedatangan Sandhy disalahartikan oleh ibu mertuanya. Mentalnya sudah lelah dipersalahkan terus menerus oleh Bu Santi. "Istriku dirawat di sini," jawab Sandhy singkat. Dia melangkah memasuki ruang tunggu ICU. "Apa?" Mata Marisa seakan-akan ingin melompat keluar ketika mendengar jawaban Sandhy. Dia tidak menyangka suaminya akan berada dalam satu ruangan yang sama dengan istri Sandhy. Apakah takdi
"Bu… Bu Marisa… bangun, Bu." Marisa tersentak ketika ada seseorang yang memanggil namanya sambil mengguncang lengannya. Semalam dia tidur di kursi dalam posisi duduk. Hanya kakinya saja yang dia luruskan ke lantai. Sebenarnya bukan posisi yang enak, tapi dia juga merasa tidak nyaman kalau harus tidur di tempat umum dengan posisi bergelung. "A-apa? Ada apa suster? Kenapa dengan suami saya?" Marisa panik ketika membuka mata dan melihat orang yang membangunnya itu adalah salah satu perawat ICU. "Tenang...tenang Bu. Istighfar. Tidak ada apa-apa Bu dengan Pak Irawan. Hanya saja ini ada resep dari Dokter Harun. Dia minta segera ditebus. Jadi Ibu saya bangunkan." Suster mencetak satu lembar resep yang segera diterima oleh Marisa. "Ooo begitu. Ini jam berapa ya? Dokter Harun pagi-pagi sudah visite?" tanya Marisa setelah membaca resep. Menjelang Subuh, Bu. “O iya … iya saya ke apotik sekarang.” Marisa segera mengenakan sandal jepitnya dan berdiri. Dia melirik Sandhy di kursi sebrang yang