"Sepertinya aku memang harus menemukan sendiri bukti hubungan antara Monika dengan Irawan," gumam Sandhy, sambil berjalan meninggalkan Marisa.Sandhy akhirnya memutuskan membongkar barang-barang Monika. Dia menyetujui saran Marisa setelah adik kelasnya itu menolak menceritakan temuannya pada barang-barang suaminya. Sejak mengetahui Monika berduaan bersama lelaki lain saat mengalami kecelakaan, benak Sandhy mulai sibuk berpikir. "Apakah mereka benar-benar dekat? Mengapa mereka bisa semobil ketika terjadi kecelakaan?"Sandhy bertanya kepada Marisa itu karena sebenarnya di hati kecilnya dia tidak siap. Ada ketakutan apabila ada kabar buruk yang dia terima. Namun, bagaimana pun juga sekarang dia sekarang harus menghadapinya. "Aku taruh mana tas yang kuambil dari kantor polisi itu, ya? Seingatku masih di dalam box penyimpanan motor." Sandhy segera berderap menuju parkiran sepeda motor. Sesampainya di motor warna hijau elektrik kesayangannya, Sandhy segera membuka bagasi. Dia mengangkat
"Kamu mau tahu kekuranganmu? Kamu itu mandul!" Marisa berlari tanpa arah tujuan. Baginya yang lebih penting adalah segera menjauh dari semua orang. Masih berlatih dengan jelas raut wajah Bu Santi ketika mengangkat telunjuk dan menudingnya mandul. Kata-kata mandul juga terus terngiang di benaknya sehingga dia menutup telinganya. Air mata yang terus mengalir membuat mata Marisa berkabut. Membuat dia tidak bisa melihat seseorang yang berada di depannya. Marisa menabrak orang itu dengan cukup keras. Tubuh berotot di balik baju yang dikenakannya membuat tubuh Marisa limbung. Dia pasti terjatuh Andai saja tidak ada sepasang tangan kokoh yang menggenggamnya. “Mbak… Mbak… Mbak gak apa-apa?” Pemilik tangan kokoh itu bertanya kepada Marisa dengan suara bernada khawatir. Ternyata dia jugalah orang yang telah ditabrak oleh Marisa. Marisa tidak segera menjawab. Dia merasa pusing entah karena harus berhenti mendadak setelah berlari atau sebab kepalanya terbentur tubuh berotot lelaki di depa
"Sabar, Bu…sabar. Suami ibu yang mana?" tanya salah satu perawat. Marisa belum pernah melihat perawat itu. Sepertinya giliran jaga yang baru. "Suami saya namanya Irawan. Di-dia korban kecelakaan di tol SUMO tadi pagi." "Sebentar saya lihat datanya dulu." "Suami saya biasanya di bilik sebelah kanan pojok itu. Ta-tapi barusan saya ke sana kok nggak ada." "Ooo yang itu. Maaf… yang masih koma itu ya, Bu?" "Iya, benar." "Tadi baru saja dibawa ke ruang ICU, Bu. Ibu bisa coba ke sana untuk bertanya. Tadi ada keluarganya yang ikut, kok." "Ada apa ini?" Seorang perawat pria datang dan bertanya kepada rekannya. "Ibu ini mencari suaminya yang di bilik pojok tadi. Terus aku bilang dibawa ke ICU." Perawat yang tadi bersama Marisa menjawab. "O iya benar Bu. Saya tadi yang mengantarnya. Ini baru saja kembali." Celana perawat pria itu melegakan hati Marisa. Dia tersenyum dan berpikir menerima kasih berulang kali sebelum berlalu dari hadapan kedua perawat itu. Marisa berjalan cepat
"Loh kamu? Bukannya kamu... Mbak yang tadi di masjid?" tanya lelaki yang mengenakan jas dokter. "Iya. Saya tadi menabrak dokter. Maaf, ya, Dok," jawab Marisa. Dia tertunduk malu ketika mengenali laki-laki yang ada di depannya. "Oo tidak apa-apa. Itu kan tidak merugikan. Jadi, Mbak ini keluarganya pasien yang bernama Irawan?" "Betul, Dok. Saya istrinya," jawab Marisa dengan suara pelan. Dokter yang duduk di depan Marisa itu mengangkat alisnya. Ada binar terkejut di tatapan matanya yang teduh. "Baik kalau begitu. Saya menelepon ibu saja karena saya juga memanggil pak kepada pasien." Marisa mengangguk mendengarkan kata-kata dokter yang duduk di depannya. "O ya sebelumnya perkenalkan, saya Dokter Harun. Dokter Spesialis Jantung yang menangani suami Anda." "Jantung?" Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "A-ada a-apa dengan jantung suami saya, Dok? Apa ada masalah dengan jantungnya?" Suara marah Marisa membuat Dokter Harun mengangkatnya dari berkas data rekam med
"Kenapa kembali, Pa? Ada yang ketinggalan?" Marisa mengangkat wajahnya dan menengok ke pintu masuk ke ruang tunggu ICU yang berada di sebelah kiri. Matanya seketika membulat ketika melihat sosok yang dia kenal sejak lama tetapi baru dipertemukan kembali. Mereka bertemu kembali sejak sebuah peristiwa membuat mereka sama-sama menjadi orang yang dikhianati. "Kamu? Ada apa ke sini Mas Sandhy?" tanya Marisa dengan nada menyelidik. Marisa takut Sandhy sengaja menyusulnya. Dia juga merasa tidak nyaman dengan kedatangan Sandhy. Bagaimanapun juga dia sendirian menjaga Irawan. Jadi, dia tidak ingin kedatangan Sandhy disalahartikan oleh ibu mertuanya. Mentalnya sudah lelah dipersalahkan terus menerus oleh Bu Santi. "Istriku dirawat di sini," jawab Sandhy singkat. Dia melangkah memasuki ruang tunggu ICU. "Apa?" Mata Marisa seakan-akan ingin melompat keluar ketika mendengar jawaban Sandhy. Dia tidak menyangka suaminya akan berada dalam satu ruangan yang sama dengan istri Sandhy. Apakah takdi
"Bu… Bu Marisa… bangun, Bu." Marisa tersentak ketika ada seseorang yang memanggil namanya sambil mengguncang lengannya. Semalam dia tidur di kursi dalam posisi duduk. Hanya kakinya saja yang dia luruskan ke lantai. Sebenarnya bukan posisi yang enak, tapi dia juga merasa tidak nyaman kalau harus tidur di tempat umum dengan posisi bergelung. "A-apa? Ada apa suster? Kenapa dengan suami saya?" Marisa panik ketika membuka mata dan melihat orang yang membangunnya itu adalah salah satu perawat ICU. "Tenang...tenang Bu. Istighfar. Tidak ada apa-apa Bu dengan Pak Irawan. Hanya saja ini ada resep dari Dokter Harun. Dia minta segera ditebus. Jadi Ibu saya bangunkan." Suster mencetak satu lembar resep yang segera diterima oleh Marisa. "Ooo begitu. Ini jam berapa ya? Dokter Harun pagi-pagi sudah visite?" tanya Marisa setelah membaca resep. Menjelang Subuh, Bu. “O iya … iya saya ke apotik sekarang.” Marisa segera mengenakan sandal jepitnya dan berdiri. Dia melirik Sandhy di kursi sebrang yang
"Marisa! Kamu kemana lagi, sih! Katanya mau jaga suami tapi kok keluyuran aja kerjamu!" Marisa kaget ketika baru saja memasuki ruang tunggu ICU sudah dibentak oleh ibu mertuanya. Dia tidak menyangka sepagi ini kedua mertuanya sudah duduk di kursi depan pintu kaca ICU. Matanya otomatis melirik ke kiri ke kursi di seberang kursi mereka. Dia mengembuskan napas lega ketika melihat Sandhy sudah tidak berada di sana. Dia khawatir Bu Santi akan salah paham kalau melihat Sandhy tidur di kursi itu. "Risa nggak keluyuran, Ma. Barusan Risa mandi terus sarapan di kantin dan beli ini." Marisa mengangkat kantong plastik berisi 4 botol air mineral ukuran 600ml. "Kamu tuh, ya, selalu aja punya jawaban buat ngeles." "Risa nggak ngeles, Ma. Mama bisa tanya ke suster tadi Risa pamit ke mana.""Ah sudahlah. Mama capek ngomong sama kamu. Selalu aja bikin Mama kesal!" "Sudahlah, Ma. Kamu itu pagi-pagi sudah marah-marah, nanti kamu kena tegur perawat lagi!" Pak Hartawan mengingatkan Bu Santi untuk t
"Sudahlah, Ma. Kenapa marah-marah lagi, sih." Pak Hartawan menegur Bu Santi."Papa gak ngeliat apa? Itu menantu kesayangan Papa berduaan dengan lelaki lain?" "Heh! Tante… jangan seenaknya sendiri kalau ngomong! Yang berduaan itu siapa?" Sandhy meradang mendengar tuduhan ngawur dari Bu Santi. "Loh itu kan jelas. Situ duduk, menantu saya berdiri di sebelah kursi. Kamu ke sini kan juga pasti mau ketemu dia!" Marisa menatap nanar Bu Santi. Bibirnya terkatup rapat dan tangannya terkepal di samping. Kalau tidak ingat Bu Santi adalah ibu mertuanya, pasti dia sudah melabraknya. Mulut tajam seperti itu tidak boleh dibiarkan. Namun, hal itu tidak dilakukannya, karena takut dicap sebagai menantu durhaka. "Bukan begitu, Ma. Saya berdiri karena baru keluar dari dalam ruangan ICU. Tadi saya menyeka tubuh Mas Irawan. Perawat yang meminta saya melakukannya. Nah, pas saya keluar ada Mas Sandhy duduk di kursi ini. Kami baru saja ngobrol waktu Mama dan Papa masuk." Marisa mencoba menjelaskan kejadia