"Tolong hargai privasi kami atau kalian saya tuntut!" ancam Rian. Namun ancamannya itu dianggap angin lalu saja oleh para wartawan. Terbukti mereka tetap merangsek maju dan membombardir Marisa dengan segudang pertanyaan. Hal itu membuat Rian kembali berteriak, "Pak satpam tolong jauhkan mereka dari kami!"
Tiga orang satpam Rumah Sakit Citra Medika segera berlari mendekat setelah mendengar teriakan Rian untuk kedua kalinya. Mereka membantu Rian dan Marisa menjauh dari kepungan wartawan dan terus mengawalnya sampai ke mobil.
Setelah melihat Marisa mengenakan seat belt, Rian pun tancap gas meninggalkan halaman Rumah Sakit Citra Medika.
"I-itu ta-tadi apa, Mas?" Rian menoleh dan melihat tangan Marisa gemetar di atas tasnya.
"Sst … sudah tak apa-apa. Itu cuma wartawan yang lagi cari berita."
"Tapi berita apa? Kecelakaan kan bukan berita yang kudu di buat heboh."
Rian terdiam mendengar bantahan Marisa. Dia bingung harus menjelaskan mulai dari mana. Sebenarnya dia tahu alasan wartawan memburu Marisa. Sebelum sepupunya itu menelepon dia sudah mendengar berita kecelakaan itu, tetapi dirinya tidak menyangka korbannya adalah suami Marisa.
"Terus itu tadi ada yang tanya tentang seorang perempuan. Apa maksudnya? Perempuan siapa? Dan apa hubungannya dengan kecelakaan Mas Irawan?"
Rian semakin bingung mendapat cecaran pertanyaan Marisa. Dia tidak tahu harus bereaksi bagaimana?
"Kok diam, Mas?"
"Terus aku kudu gimana? Aku juga gak tahu jawaban pertanyaanmu tadi."
Wajah Marisa memerah. Bibirnya ditekuk. Dia tampak gusar dan semakin kesal karena tidak bisa melampiaskannya kepada seseorang.
"Sabar, Ris. Sebentar lagi kita sampai ke kantor polisi. Nanti kamu minta penjelasan saja dari pak polisi."
Marisa tidak menjawab perkataan Rian. Dia hanya terdiam sambil menatap jalanan dari kaca jendela di sampingnya. Rian membiarkan saja sikap Marisa. Dia tahu sepupunya itu masih merasa kesal.
Tiga puluh menit kemudian mobil SUV hitam milik Rian memasuki pelataran kantor polisi Mojokerto. Tidak banyak mobil yang terparkir di halaman membuat Rian tidak bingung mencari tempat parkir. Setelah mobil terparkir sempurna, Rian berkata, "Kamu sudah menelepon ibu dan mertuamu? Mereka harus tahu secepatnya tentang kejadian ini. Lalu, rencanamu bagaimana? Kamu dengar, kan tadi dokter bilang suamimu belum bisa dipindahkan? Jadi, hari ini kamu mau menginap di sini atau kembali ke Surabaya?
Marisa tertegun lalu buru-buru mengambil ponsel di dalam tasnya. "Hampir saja aku lupa, untung saja kamu ingatkan, Mas."
Marisa lalu menghubungi ibunya terlebih dahulu. Ibunya sangat terkejut dan awalnya memaksa untuk menyusul ke Mojokerto, tetapi dilarang oleh Marisa. Setelah itu Marisa menghubungi bapak mertuanya. Sengaja dia memilih meneleponnya, bukan saja karena hubungannya dengan ibu mertua kurang harmonis. Akan tetapi dia juga menghindari ibu mertuanya menjadi histeris. Biarlah itu menjadi tugas bapak mertua untuk menenangkan istrinya.
Setelah melihat Marisa menutup ponselnya, Rian mengajak Marisa turun dari mobil. Sejenak Rian berdiri terpaku di samping mobil. Dia sedikit gamang atas apa yang akan terjadi nanti. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Marisa tahu kejadian yang sebenarnya.
"Mas, kenapa diam saja? Ayuk cepat kita masuk. Aku gak mau ninggalin Mas Irawan terlalu lama." Marisa lalu berjalan cepat tanpa menunggu Rian. Hal itu membuat Rian pun segera menyusulnya.
Marisa celingukan setelah sampai di dekat pintu masuk. Dia meragu karena ini pertama kalinya dirinya berurusan dengan polisi. Marisa juga tidak tahu harus menemui siapa. Dia lupa nama polisi yang meneleponnya. Di kertas yang diberikan perawat juga hanya ada nomor telepon dan tidak ada namanya.
Tengah dia membuka tas ingin mengambil ponsel ada yang memanggilnya, "Mbak, ada yang bisa dibantu?
Marisa mengangkat wajahnya dan menoleh. Dia baru sadar ternyata di sebelah kiri ada meja dengan dua orang polisi yang berjaga. Marisa mendekat, pada saat yang sama Rian sampai di sebelahnya.
"Anu itu, Pak, saya tadi diminta datang," jawab Marisa gugup.
"Oleh siapa, Mbak?"
Rian segera menyahut. "Adik saya ini istri dari korban kecelakaan di Tol SUMO tadi pagi. Barusan dia diminta datang ke sini lewat telepon."
Kedua polisi itu berpandangan. Untuk sesaat Marisa melihat ada percikan rasa kasihan di mata kedua polisi itu. Salah satunya yang lebih tua dan sedikit lebih gemuk berdiri dan berkata, "Mari saya antar, Mbak, tapi tolong tanda tangani dulu buku tamu ini."
Marisa menandatangani buku yang disodorkan petugas lainnya. Lalu dia mengikuti polisi yang sudah berdiri tadi memasuki kantor polisi. Rian menyusul di belakang Marisa. Polisi yang mengantarkan mereka itu kemudian berhenti di depan sebuah ruangan tertutup. Setelah mengetuk dia membuka pintu dan berkata kepada Marisa, "Itu yang dipojok kanan namanya Aiptu Rizal yang mengusut lakalantas di Tol SUMO."
"O iya saya baru ingat. Nama penelepon saya Aiptu Rizal. Terima kasih untuk bantuannya." Marisa mengangguk kepada polisi yang sudah mengantarnya.
Setelah polisi itu berlalu, Marisa dan Rian segera memasuki ruangan. Mereka lantas menuju meja Aiptu Rizal yang sekarang sudah berdiri.
"Silakan Pak, Bu. Saya Aiptu Rizal. Apakah benar Ibu adalah Ibu Marisa istri Pak Irawan?" tanya petugas itu.
"Iya, betul. Dan ini Rian, kakak sepupu saya. Ada apa saya diminta datang ke mari, Pak?"
"Silakan duduk dulu. Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan sekaligus saya akan menyerahkan beberapa barang Pak Irawan yang bisa dibawa pulang lebih dahulu."
Marisa mengangguk dan segera duduk di depan petugas. Setelah melihat kedua tamunya sudah duduk, Aiptu Rizal kemudian menceritakan tentang perkiraan kronologis kecelakaan berdasarkan penyidikan.
"Mobil Pak Irawan untuk sementara kami amankan. Sedangkan ini bisa dibawa pulang, Bu."
"Ini apa Pak?" tanya Marisa, ketika menerima sebuah kotak berukuran cukup besar yang berisi beraneka barang.
"Itu barang-barang Pak Irawan yang bisa dibawa pulang."
Marisa memeriksa kotak lalu mengangkat sebuah kamera dan lipstik. "Tapi kedua barang ini bukan milik suami saya."
"Loh, lipstik itu bukan punya Ibu? Kamera juga bukan punya Pak Irawan?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan kebingungan. "Bukan, Pak. Saya tidak suka lip cream warna merah menyala seperti ini." Marisa membuka penutup lipstik berbentuk cair itu dan menunjukkan kuasnya yang berwarna merah terang. "Setahu saya, Mas Irawan juga tidak mempunyai kamera digital seperti itu tapi saya juga tidak tahu pasti," lanjut Marisa. "O begitu. Berarti barang-barang itu milik penumpang." "Penumpang? Ada penumpang di mobil suami saya?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan tidak percaya, "Ibu tidak tahu? Saya kira Ibu sudah tahu karena ramai diberitakan media massa dan media sosial." "Shit!" Rian menoleh ke kanan sambil mengumpat pelan. "Apa yang harus terjadi, terjadilah," gumam Rian, pasrah. Setelah menarik napas perlahan dia kembali memasang wajah datar dan menghadapkannya ke depan. "Memangnya siapa penumpang mobil suami saya, Pak? Perempuan?" "Iya, perempuan. Dia seorang p
"Marisa? Iya aku Sandhyawan." "Kamu … terlihat sedikit berbeda, Mas." Marisa melangkah perlahan mendekati lelaki yang disapanya itu. "Kamu juga, Risa." "Tapi dalam artian bagus, kok," lanjut Sandhy dengan cepat. Dia tidak ingin Marisa salah paham dengan kata-katanya. Marisa tersenyum. Meski terlihat lebih kurus dan ada beberapa kerut samar di dahinya, tetapi wajah tampan Sandhy masih tersisa. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu?""Iya. Sekitar sepuluh tahun ya, Risa?""Dua belas tahun sejak Mas Sandhy lulus SMA lebih dulu.""O iya betul. Kamu pasti sudah menikah, Ris. Berapa anakmu? Apa itu suami kamu?" Tatapan Sandhy terarah ke belakang punggung Marisa. Rian yang berdiri di belakang Marisa dengan kotak di tangannya balik menatap lelaki yang sedang mengobrol dengan sepupunya itu. Dia mengamati penampilan lelaki yang tampak seperti seniman itu dari atas sampai ke bawah. "O bukan. Ini kakak sepupuku. Mas Rian, kenalkan ini Mas Sandhy kakak kelasku waktu SMA," jawab Marisa, sambil
"Kamu kok tanya seperti itu, sih, Ris?" "Jawab aja, Mas. Enggak perlu berbelit-belit!" sergah Marisa. Rian berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir di depan Marisa. Lelaki bertubuh sedikit berotot itu mendengkus. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang hitam tebal. Gestur tubuhnya jelas menunjukkan kata-kata Marisa yang sedikit kasar itu mengganggu hatinya.Kalau menuruti kata hati, Rian pasti segera memilih pulang kembali ke Surabaya dan membiarkan Marisa sendirian. Namun, logika mengalahkan perasaannya. Marisa butuh teman dan saat ini hanya dia yang bisa menemaninya. Emosi Marisa sekarang ini sedang tidak stabil dan dia butuh pelampiasan. Tentu saja Rian yang berada di dekatnya adalah sasaran yang empuk untuk menumpahkan kekesalan Marisa.Beberapa menit kemudian setelah mengatur napas dan mondar-mandir mengitari kamar hotel, Rian mulai tenang. Kemudian dia kembali duduk di hadapan Marisa. Dia menatap tajam Marisa sebelum berkata, "Aku abaikan kata-katamu yang menyalahkan aku.
"Marisa … Marisa … ada apa? Kenapa kamu berteriak? Marisaaa …." Rian yang baru sampai di depan pintu kamar hotel menjadi panik ketika mendengar teriakan Marisa. Dia menggedor pintu sambil memanggil nama Marisa. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar. Rian semakin gelisah ketika sepupunya itu tidak juga membuka pintu kamar meski sudah digedor berulang kali. Merasa tak sabar, akhirnya Rian berlari menuju lift dan kembali ke lantai bawah. "Tolong … tolong buka kamar adik saya di kamar 510. Saya tadi keluar sebentar dan ketika balik ke kamar saya mendengar dia berteriak. Saya sudah gedor pintu dan memanggil namanya, tapi tidak ada reaksi. Tolong cepetan!" Resepsionis yang mendengar suara panik Rian segera bertindak cepat. Dia menghubungi housekeeping dan memintanya menuju kamar Marisa. Sementara Rian ditemani seorang satpam juga bergegas kembali ke kamar Marisa. Mereka berdua datang bersamaan dengan dua orang housekeeper. Petugas housekeeper laki-laki segera membuka pin
"Ayolah … Mas, kenapa kamu berdiri saja di situ? Apa kamu nggak pengen mendekati aku?" "Ini sudah hampir jam tujuh. Kita harus segera kembali ke Surabaya." "Sebentar lagi, Mas. Aku masih pengen di sini. Bisa berduaan dengan kamu selama beberapa hari itu sulit, loh. Makanya lingerie merah ini sengaja aku beli khusus untuk ketemu kamu, Mas. Lihat aku dong, Mas. Apa penampilanku ini tidak menggodamu?" Irawan menghentikan aktivitas berkemasnya dan menoleh ke ujung kasur. Di sandaran kasur ada beberapa bantal yang sengaja ditumpuk. Tampak seorang perempuan bertubuh sintal bersandar di tumpukan bantal itu. Rambut hitamnya sengaja diangkat dan dibiarkan tergerai di bantal untuk memperlihatkan leher jenjangnya. "Sini, dong, Mas," Perempuan itu kembali merayu. Dia membiarkan salah satu tali lingerie merahnya melorot hampir ke siku. Ulahnya itu dia lakukan dengan sengaja untuk mengumbar bahu mulusnya.Irawan menghembuskan napas dengan keras. Jakunnya naik turun melihat pemandangan itu.
"Suami sakit kok malah keluyuran! Sama lelaki lain pula. Istri macam apa kamu!" Marisa menoleh mencari sumber suara bentakan itu. Matanya bersirobok dengan mata nyalang seorang perempuan paruh baya model berpakaian terbaru dengan rambut disanggul. Marisa melangkah mendekat dan mengulurkan tangan ingin memberi salam perempuan yang berdandan ala sosialita itu. "Ma, kapan datang?" sapa Marisa dengan santunan.Namun, sopan santun Marisa tidak ada artinya. Perempuan paruh baya yang dia panggil Mama itu menepis tangan Marisa, "Tak perlu bekerja sok baik.""Bu!" tegur seorang lelaki dengan rambut sudah memutih semuanya yang berdiri agak jauh di belakang perempuan itu. Marisa menoleh lalu menemui lelaki itu. "Pa," sapanya. Kali ini tangannya tidak ditepis sehingga Marisa bisa mencium tangan lelaki yang dipanggilnya papa itu. "Sudah lama, Pa?" "Tidak, kok. Kami baru saja datang," jawab bapak mertua Marisa. "Dan menemukan anak kesayangan kami ditelantarkan oleh istrinya," sergah ibu mertu
"Bohong? Untuk apa saya bohong? Gak ada untungnya! Kalau Tante tidak percaya ya terserah aja. Tapi kalau mau buktikan omongan saya, Tante bisa tanya ke petugas di kantor polisi. Tante bisa minta penjelasan ke mereka, waktu kecelakaan Irawan ditemukan bersama siapa? Pasti mereka akan menjawab bersama selingkuhannya!" "Tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin seperti itu!" "Tidak mungkin? Itu kan kata Tante. Kalau kata netizen beda lagi. Coba Tante cari berita infotainment yang lagi viral hari ini tentang kecelakaan itu." "Nah, kan, udah jelas kamu bohong. Mana ada kecelakaan masuk infotainment," ucap Bu Santi dengan nada tinggi. Wajah Bu Santi terlihat lega dan dia ganti mencibir Rian yang dianggapnya bohong “Bapak, Ibu tadi kan, saya sudah meminta kalian untuk tenang! Kenapa masih ribut? Ah sudahlah… saya panggil satpam saja!” Perawat tadi kembali menghampiri Rian dan Bu Santi. Sekali lagi dia melarang mereka membuat kerubutan. Namun, melihat kata-katanya diabaikan oleh Rian dan
"Mas Rian kok gitu, sih." Marisa memprotes ucapan sarkastik dari Rian. "Gitu gimana? Mas gak merasa gimana-gimana, kok. Kamu aja yang baper," sahut Rian dengan nada sedikit ketus. Marisa terdiam mendengar omelan Rian. Dia tidak mau menanggapi Rian yang sedang emosi. Marisa hanya menatap Rian dengan pandangan kesal. Melihat Marisa tidak menanggapi kekesalannya, Rian melanjutkan bertanya, "Terus kamu ke mari mau apa? Bukan mau ngomelin aku lagi, kan?" Marisa masih menatap Rian dengan tatapan kesal tanpa membalasnya. Dia sadar kakak sepupunya berhak marah. Jadi, Marisa mencoba tenang. Dia menarik napas sebelum kembali berbicara, "Maafkan Risa, Mas. Mungkin Risa tadi memang sudah keterlaluan. Tidak seharusnya Risa marah kepada Mas Rian yang sudah banyak membantu." Rian terdiam mendengarkan permintaan maaf Marisa. Dia mendengar ketulusan dalam nada suara adik sepupunya itu. Membuat Rian pun tidak tega terus memarahi Marisa. "Iya, gak apa-apa. Mas ngerti." Marisa tersenyum mendenga