Share

Bab 5 Kondisi Irawan

"Aku belum nemu fotonya di g****e."

"Ada yang tahu akun medsosnya?"

Rasa dingin menjalari tengkuk Rian. Apa yang dia khawatirkan terjadi. "Sialan," umpatnya pelan. 

"Mas … ada apa?" tanya Marisa yg merasakan ketegangan Rian. 

"Tidak ada apa-apa. Terus jalan aja, Ris," jawab Rian. Tangannya merangkul bahu Marisa dan menggamitnya untuk berjalan cepat. 

Meski merasa penasaran dengan sikap Rian yang berubah tegang dan gugup. Juga keheranan mendengar nama suaminya disebut-sebut oleh sekelompok orang tadi. Marisa menuruti permintaan Rian untuk melangkah lebih cepat. Lagi pula dia juga ingin secepatnya mendapat kejelasan tentang berita yang diperolehnya tadi pagi.   

Marisa dan Rian masuk ke IGD dan segera mendekati meja perawat. "Maaf suster apa benar ada korban kecelakaan Tol SUMO yang dibawa ke mari? Namanya Irawan," tanya Rian.

"O iya benar. Tadi ada polisi yang menunggunya tapi baru saja kembali ke markas. Maaf bapak dan ibu ini siapa ya?" 

"Saya kakak iparnya dan ini istrinya."

"O kalau begitu bapak bisa menghubungi nomor ini. Ini nomor Aiptu Rizal. Tadi beliau berpesan kalau istri dan keluarganya sudah datang diminta segera menghubungi nomornya ini." 

"Baik, Suster." Rian mengambil kertas berisi nomor telepon yang disodorkan oleh salah satu perawat. 

"Ja-jadi di mana suami saya, Suster? Ba-bagaimana kondisinya? Tolong jelaskan ke saya." Dengan suara bergetar Marisa yang dari tadi terdiam mulai bertanya.  

Rian yang berdiri di samping Marisa menyadari sepupunya itu kembali merasa panik. Dia merangkul bahu Marisa dan mengelus perlahan punggungnya. "Tarik napas, Ris. Buang perlahan. Tenangkan dirimu." 

"Iya, Bu. Ibu harus tenang. Nanti saya antar ke bilik suaminya," sahut salah satu perawat.

Marisa mengangguk dan menuruti perintah Rian. Dia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Marisa melakukannya berulang kali hingga dirinya merasa tenang. 

"Saya sudah tenang, Suster, tolong tunjukkan di mana suami saya. 

"Ada di bilik paling ujung, Bu. Tapi kalau Ibu mau bertanya tentang kondisi suaminya mari saya antar menemui dokter terlebih dahulu." 

Marisa mengangguk. Meskipun ingin segera bertemu suaminya, tetapi dia lebih ingin bertemu dokter dan meminta penjelasan mengenai kondisi suaminya. Jadi, salah satu perawat mengantarnya menemui dokter yang bertugas menjaga IGD.

"Silakan duduk, Bu." Marisa mengangguk dan duduk di kursi depan seorang dokter. Sementara itu Rian berdiri di sebelahnya. Salah satu tangan sepupunya itu diletakkan di bahunya. 

"Saya Dokter Ahmad salah satu dokter jaga IGD hari ini. Pasien Irawan datang sekitar empat jam lalu dengan kondisi tidak sadar. Beberapa luka di tubuhnya sudah kami rawat. Pemeriksaan luka dalam juga sudah dilakukan. Tinggal menunggu hasilnya. Hasil itu yang akan menentukan langkah kami selanjutnya." 

"Ja-jadi sampai sekarang suami saya belum sadar, Dok?" 

"Iya, belum."

Air mata mulai menetes kembali di kedua pipi Marisa. Dia membuka mulut tetapi satu patah kata pun tidak ada yang keluar dari bibirnya. Marisa sudah tidak sanggup lagi menahan emosinya dan menangis sesenggukan. Tangan Rian yang menepuk bahunya dengan gerakan ritmis pun juga tidak berhasil membuatnya tenang. 

Melihat Marisa terguncang, Rian ganti bertanya, "Kalau begitu Dek Irawan tidak bisa dibawa ke Surabaya?" 

"Iya. Belum bisa. Selain belum sadar, kondisi vitalnya juga belum stabil. Jadi sangat berbahaya kalau dipindahkan."   

"Apakah bisa diprediksi kapan adik ipar saya itu bisa sadar, Dok?"

"Maaf hal itu sulit dilakukan. Yang bisa kita lakukan hanya menunggu dan menjaga tanda vital Pak Irawan tetap stabil." 

"Baik, Dok. Kalau begitu sekarang kami bisa melihat pasien, kan?"

"Silakan, tapi tolong diusahakan Ibu tidak histeris, ya. Meskipun Pak Irawan itu sedang tidak sadar tetapi tetap bisa menangkap suara orang-orang terdekatnya." Pesan dokter sambil melirik Marisa yang duduk sambil menangis. 

Rian mengangguk mewakili Marisa yang masih syok. "Terima kasih, Dok. Mohon bantuannya untuk kesembuhan adik ipar saya." 

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Rian menggamit lengan Marissa dan membimbingnya menuju bilik paling pojok sebelah kanan yang ditunjukkan oleh perawat. Sesampainya di bilik yang ditutupi tirai pemisah dengan bilik di sebelahnya, Rian menahan lengan Marisa yang terburu-buru ingin masuk. 

"Ingat pesan dokter tadi, tenangkan dirimu lebih dahulu demi kebaikan suamimu. Tarik napas panjang terus buang perlahan baru kamu masuk." 

Marisa mengangguk. Dia menuruti saran Rian. Setelah merasa dirinya sedikit lebih tenang Marisa membuka tirai. Namun, mentalnya kembali terguncang ketika melihat pemandangan di dalam bilik perawatan. 

Marisa melangkah masuk sambil membekap mulutnya ketika melihat suaminya yang berbaring di kasur. Awalnya mata perempuan berambut hitam lurus itu terbelalak ngeri. Lalu mata hazelnya segera meredup melihat kelopak mata suaminya terkatup rapat. Tatapan seperti elang yang selama ini disukainya sekarang tidak terlihat lagi. Bahkan tubuh gagah Irawan saat ini terbaring tak berdaya dengan aneka peralatan medis menempel di tubuhnya.

"Mas," bisik Marisa. Hanya itu yang sanggup bibirnya keluarkan. Dia mendekati kasur dan akhirnya kepalanya tersungkur di atas lengan kanan suaminya yang tidak ditempeli peralatan medis. 

Rian membiarkan Marisa menangis. Dia hanya berdiri di sebelah sepupunya itu sampai tangan kanannya masuk ke saku jaket. Barulah dia menyadari kertas yang tadi disodorkan perawat.

"Ris, kamu tadi diminta telpon polisi, kan?" Rian mengingatkan. "Coba telepon dulu barangkali ada hal penting."

Marisa mengangguk dan menerima kertas yang disodorkan Rian. Dia keluar dari bilik untuk menelpon. Beberapa saat kemudian dia kembali dan berkata, "Aku diminta datang ke kantor polisi, Mas. Ada beberapa barang Mas Irawan yang harus kuambil."  

"Oke aku antar. Sudah dikasih tahu alamatnya, kan?" 

Marisa mengangguk. Mereka kemudian berjalan menuju pintu keluar. Baru saja menutup pintu IGD dan melangkah ke arah parkiran, sekelompok orang sebagian membawa kamera dan alat perekam mendekat. 

"Ibu istri Pak Irawan, kan? Minta komentarnya untuk peristiwa ini." 

"Tolong komentarnya tentang kecelakaan, Bu." 

"Apa ibu kenal dengan perempuan itu?" 

Mata Marisa terbelalak dengan serbuan sekelompok orang yang ternyata adalah para wartawan. Sebaliknya Rian meradang melihat ulah mereka. Dia berteriak, "Apa-apaan ini? Kalian tidak boleh seenaknya mengganggu privasi orang." 

"Bu sebentar saja … apa komentarnya?" 

Tangan Rian sibuk melindungi Marisa dari jepretan kamera para wartawan sambil berteriak, "Pak satpaaam … tolong bantu usir mereka." 

Komen (5)
goodnovel comment avatar
bestrahma73
Makin seru thor
goodnovel comment avatar
D'naya
Kasihan Marisa
goodnovel comment avatar
Silver Girl
karma bohong in istri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status