"Aku belum nemu fotonya di g****e."
"Ada yang tahu akun medsosnya?"
Rasa dingin menjalari tengkuk Rian. Apa yang dia khawatirkan terjadi. "Sialan," umpatnya pelan.
"Mas … ada apa?" tanya Marisa yg merasakan ketegangan Rian.
"Tidak ada apa-apa. Terus jalan aja, Ris," jawab Rian. Tangannya merangkul bahu Marisa dan menggamitnya untuk berjalan cepat.
Meski merasa penasaran dengan sikap Rian yang berubah tegang dan gugup. Juga keheranan mendengar nama suaminya disebut-sebut oleh sekelompok orang tadi. Marisa menuruti permintaan Rian untuk melangkah lebih cepat. Lagi pula dia juga ingin secepatnya mendapat kejelasan tentang berita yang diperolehnya tadi pagi.
Marisa dan Rian masuk ke IGD dan segera mendekati meja perawat. "Maaf suster apa benar ada korban kecelakaan Tol SUMO yang dibawa ke mari? Namanya Irawan," tanya Rian.
"O iya benar. Tadi ada polisi yang menunggunya tapi baru saja kembali ke markas. Maaf bapak dan ibu ini siapa ya?"
"Saya kakak iparnya dan ini istrinya."
"O kalau begitu bapak bisa menghubungi nomor ini. Ini nomor Aiptu Rizal. Tadi beliau berpesan kalau istri dan keluarganya sudah datang diminta segera menghubungi nomornya ini."
"Baik, Suster." Rian mengambil kertas berisi nomor telepon yang disodorkan oleh salah satu perawat.
"Ja-jadi di mana suami saya, Suster? Ba-bagaimana kondisinya? Tolong jelaskan ke saya." Dengan suara bergetar Marisa yang dari tadi terdiam mulai bertanya.
Rian yang berdiri di samping Marisa menyadari sepupunya itu kembali merasa panik. Dia merangkul bahu Marisa dan mengelus perlahan punggungnya. "Tarik napas, Ris. Buang perlahan. Tenangkan dirimu."
"Iya, Bu. Ibu harus tenang. Nanti saya antar ke bilik suaminya," sahut salah satu perawat.
Marisa mengangguk dan menuruti perintah Rian. Dia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Marisa melakukannya berulang kali hingga dirinya merasa tenang.
"Saya sudah tenang, Suster, tolong tunjukkan di mana suami saya.
"Ada di bilik paling ujung, Bu. Tapi kalau Ibu mau bertanya tentang kondisi suaminya mari saya antar menemui dokter terlebih dahulu."
Marisa mengangguk. Meskipun ingin segera bertemu suaminya, tetapi dia lebih ingin bertemu dokter dan meminta penjelasan mengenai kondisi suaminya. Jadi, salah satu perawat mengantarnya menemui dokter yang bertugas menjaga IGD.
"Silakan duduk, Bu." Marisa mengangguk dan duduk di kursi depan seorang dokter. Sementara itu Rian berdiri di sebelahnya. Salah satu tangan sepupunya itu diletakkan di bahunya.
"Saya Dokter Ahmad salah satu dokter jaga IGD hari ini. Pasien Irawan datang sekitar empat jam lalu dengan kondisi tidak sadar. Beberapa luka di tubuhnya sudah kami rawat. Pemeriksaan luka dalam juga sudah dilakukan. Tinggal menunggu hasilnya. Hasil itu yang akan menentukan langkah kami selanjutnya."
"Ja-jadi sampai sekarang suami saya belum sadar, Dok?"
"Iya, belum."
Air mata mulai menetes kembali di kedua pipi Marisa. Dia membuka mulut tetapi satu patah kata pun tidak ada yang keluar dari bibirnya. Marisa sudah tidak sanggup lagi menahan emosinya dan menangis sesenggukan. Tangan Rian yang menepuk bahunya dengan gerakan ritmis pun juga tidak berhasil membuatnya tenang.
Melihat Marisa terguncang, Rian ganti bertanya, "Kalau begitu Dek Irawan tidak bisa dibawa ke Surabaya?"
"Iya. Belum bisa. Selain belum sadar, kondisi vitalnya juga belum stabil. Jadi sangat berbahaya kalau dipindahkan."
"Apakah bisa diprediksi kapan adik ipar saya itu bisa sadar, Dok?"
"Maaf hal itu sulit dilakukan. Yang bisa kita lakukan hanya menunggu dan menjaga tanda vital Pak Irawan tetap stabil."
"Baik, Dok. Kalau begitu sekarang kami bisa melihat pasien, kan?"
"Silakan, tapi tolong diusahakan Ibu tidak histeris, ya. Meskipun Pak Irawan itu sedang tidak sadar tetapi tetap bisa menangkap suara orang-orang terdekatnya." Pesan dokter sambil melirik Marisa yang duduk sambil menangis.
Rian mengangguk mewakili Marisa yang masih syok. "Terima kasih, Dok. Mohon bantuannya untuk kesembuhan adik ipar saya."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Rian menggamit lengan Marissa dan membimbingnya menuju bilik paling pojok sebelah kanan yang ditunjukkan oleh perawat. Sesampainya di bilik yang ditutupi tirai pemisah dengan bilik di sebelahnya, Rian menahan lengan Marisa yang terburu-buru ingin masuk.
"Ingat pesan dokter tadi, tenangkan dirimu lebih dahulu demi kebaikan suamimu. Tarik napas panjang terus buang perlahan baru kamu masuk."
Marisa mengangguk. Dia menuruti saran Rian. Setelah merasa dirinya sedikit lebih tenang Marisa membuka tirai. Namun, mentalnya kembali terguncang ketika melihat pemandangan di dalam bilik perawatan.
Marisa melangkah masuk sambil membekap mulutnya ketika melihat suaminya yang berbaring di kasur. Awalnya mata perempuan berambut hitam lurus itu terbelalak ngeri. Lalu mata hazelnya segera meredup melihat kelopak mata suaminya terkatup rapat. Tatapan seperti elang yang selama ini disukainya sekarang tidak terlihat lagi. Bahkan tubuh gagah Irawan saat ini terbaring tak berdaya dengan aneka peralatan medis menempel di tubuhnya.
"Mas," bisik Marisa. Hanya itu yang sanggup bibirnya keluarkan. Dia mendekati kasur dan akhirnya kepalanya tersungkur di atas lengan kanan suaminya yang tidak ditempeli peralatan medis.
Rian membiarkan Marisa menangis. Dia hanya berdiri di sebelah sepupunya itu sampai tangan kanannya masuk ke saku jaket. Barulah dia menyadari kertas yang tadi disodorkan perawat.
"Ris, kamu tadi diminta telpon polisi, kan?" Rian mengingatkan. "Coba telepon dulu barangkali ada hal penting."
Marisa mengangguk dan menerima kertas yang disodorkan Rian. Dia keluar dari bilik untuk menelpon. Beberapa saat kemudian dia kembali dan berkata, "Aku diminta datang ke kantor polisi, Mas. Ada beberapa barang Mas Irawan yang harus kuambil."
"Oke aku antar. Sudah dikasih tahu alamatnya, kan?"
Marisa mengangguk. Mereka kemudian berjalan menuju pintu keluar. Baru saja menutup pintu IGD dan melangkah ke arah parkiran, sekelompok orang sebagian membawa kamera dan alat perekam mendekat.
"Ibu istri Pak Irawan, kan? Minta komentarnya untuk peristiwa ini."
"Tolong komentarnya tentang kecelakaan, Bu."
"Apa ibu kenal dengan perempuan itu?"
Mata Marisa terbelalak dengan serbuan sekelompok orang yang ternyata adalah para wartawan. Sebaliknya Rian meradang melihat ulah mereka. Dia berteriak, "Apa-apaan ini? Kalian tidak boleh seenaknya mengganggu privasi orang."
"Bu sebentar saja … apa komentarnya?"
Tangan Rian sibuk melindungi Marisa dari jepretan kamera para wartawan sambil berteriak, "Pak satpaaam … tolong bantu usir mereka."
"Tolong hargai privasi kami atau kalian saya tuntut!" ancam Rian. Namun ancamannya itu dianggap angin lalu saja oleh para wartawan. Terbukti mereka tetap merangsek maju dan membombardir Marisa dengan segudang pertanyaan. Hal itu membuat Rian kembali berteriak, "Pak satpam tolong jauhkan mereka dari kami!" Tiga orang satpam Rumah Sakit Citra Medika segera berlari mendekat setelah mendengar teriakan Rian untuk kedua kalinya. Mereka membantu Rian dan Marisa menjauh dari kepungan wartawan dan terus mengawalnya sampai ke mobil. Setelah melihat Marisa mengenakan seat belt, Rian pun tancap gas meninggalkan halaman Rumah Sakit Citra Medika. "I-itu ta-tadi apa, Mas?" Rian menoleh dan melihat tangan Marisa gemetar di atas tasnya. "Sst … sudah tak apa-apa. Itu cuma wartawan yang lagi cari berita." "Tapi berita apa? Kecelakaan kan bukan berita yang kudu di buat heboh." Rian terdiam mendengar bantahan Marisa. Dia bingung harus menjelaskan mulai dari mana. Sebenarnya dia tahu alasan wartaw
"Loh, lipstik itu bukan punya Ibu? Kamera juga bukan punya Pak Irawan?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan kebingungan. "Bukan, Pak. Saya tidak suka lip cream warna merah menyala seperti ini." Marisa membuka penutup lipstik berbentuk cair itu dan menunjukkan kuasnya yang berwarna merah terang. "Setahu saya, Mas Irawan juga tidak mempunyai kamera digital seperti itu tapi saya juga tidak tahu pasti," lanjut Marisa. "O begitu. Berarti barang-barang itu milik penumpang." "Penumpang? Ada penumpang di mobil suami saya?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan tidak percaya, "Ibu tidak tahu? Saya kira Ibu sudah tahu karena ramai diberitakan media massa dan media sosial." "Shit!" Rian menoleh ke kanan sambil mengumpat pelan. "Apa yang harus terjadi, terjadilah," gumam Rian, pasrah. Setelah menarik napas perlahan dia kembali memasang wajah datar dan menghadapkannya ke depan. "Memangnya siapa penumpang mobil suami saya, Pak? Perempuan?" "Iya, perempuan. Dia seorang p
"Marisa? Iya aku Sandhyawan." "Kamu … terlihat sedikit berbeda, Mas." Marisa melangkah perlahan mendekati lelaki yang disapanya itu. "Kamu juga, Risa." "Tapi dalam artian bagus, kok," lanjut Sandhy dengan cepat. Dia tidak ingin Marisa salah paham dengan kata-katanya. Marisa tersenyum. Meski terlihat lebih kurus dan ada beberapa kerut samar di dahinya, tetapi wajah tampan Sandhy masih tersisa. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu?""Iya. Sekitar sepuluh tahun ya, Risa?""Dua belas tahun sejak Mas Sandhy lulus SMA lebih dulu.""O iya betul. Kamu pasti sudah menikah, Ris. Berapa anakmu? Apa itu suami kamu?" Tatapan Sandhy terarah ke belakang punggung Marisa. Rian yang berdiri di belakang Marisa dengan kotak di tangannya balik menatap lelaki yang sedang mengobrol dengan sepupunya itu. Dia mengamati penampilan lelaki yang tampak seperti seniman itu dari atas sampai ke bawah. "O bukan. Ini kakak sepupuku. Mas Rian, kenalkan ini Mas Sandhy kakak kelasku waktu SMA," jawab Marisa, sambil
"Kamu kok tanya seperti itu, sih, Ris?" "Jawab aja, Mas. Enggak perlu berbelit-belit!" sergah Marisa. Rian berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir di depan Marisa. Lelaki bertubuh sedikit berotot itu mendengkus. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang hitam tebal. Gestur tubuhnya jelas menunjukkan kata-kata Marisa yang sedikit kasar itu mengganggu hatinya.Kalau menuruti kata hati, Rian pasti segera memilih pulang kembali ke Surabaya dan membiarkan Marisa sendirian. Namun, logika mengalahkan perasaannya. Marisa butuh teman dan saat ini hanya dia yang bisa menemaninya. Emosi Marisa sekarang ini sedang tidak stabil dan dia butuh pelampiasan. Tentu saja Rian yang berada di dekatnya adalah sasaran yang empuk untuk menumpahkan kekesalan Marisa.Beberapa menit kemudian setelah mengatur napas dan mondar-mandir mengitari kamar hotel, Rian mulai tenang. Kemudian dia kembali duduk di hadapan Marisa. Dia menatap tajam Marisa sebelum berkata, "Aku abaikan kata-katamu yang menyalahkan aku.
"Marisa … Marisa … ada apa? Kenapa kamu berteriak? Marisaaa …." Rian yang baru sampai di depan pintu kamar hotel menjadi panik ketika mendengar teriakan Marisa. Dia menggedor pintu sambil memanggil nama Marisa. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar. Rian semakin gelisah ketika sepupunya itu tidak juga membuka pintu kamar meski sudah digedor berulang kali. Merasa tak sabar, akhirnya Rian berlari menuju lift dan kembali ke lantai bawah. "Tolong … tolong buka kamar adik saya di kamar 510. Saya tadi keluar sebentar dan ketika balik ke kamar saya mendengar dia berteriak. Saya sudah gedor pintu dan memanggil namanya, tapi tidak ada reaksi. Tolong cepetan!" Resepsionis yang mendengar suara panik Rian segera bertindak cepat. Dia menghubungi housekeeping dan memintanya menuju kamar Marisa. Sementara Rian ditemani seorang satpam juga bergegas kembali ke kamar Marisa. Mereka berdua datang bersamaan dengan dua orang housekeeper. Petugas housekeeper laki-laki segera membuka pin
"Ayolah … Mas, kenapa kamu berdiri saja di situ? Apa kamu nggak pengen mendekati aku?" "Ini sudah hampir jam tujuh. Kita harus segera kembali ke Surabaya." "Sebentar lagi, Mas. Aku masih pengen di sini. Bisa berduaan dengan kamu selama beberapa hari itu sulit, loh. Makanya lingerie merah ini sengaja aku beli khusus untuk ketemu kamu, Mas. Lihat aku dong, Mas. Apa penampilanku ini tidak menggodamu?" Irawan menghentikan aktivitas berkemasnya dan menoleh ke ujung kasur. Di sandaran kasur ada beberapa bantal yang sengaja ditumpuk. Tampak seorang perempuan bertubuh sintal bersandar di tumpukan bantal itu. Rambut hitamnya sengaja diangkat dan dibiarkan tergerai di bantal untuk memperlihatkan leher jenjangnya. "Sini, dong, Mas," Perempuan itu kembali merayu. Dia membiarkan salah satu tali lingerie merahnya melorot hampir ke siku. Ulahnya itu dia lakukan dengan sengaja untuk mengumbar bahu mulusnya.Irawan menghembuskan napas dengan keras. Jakunnya naik turun melihat pemandangan itu.
"Suami sakit kok malah keluyuran! Sama lelaki lain pula. Istri macam apa kamu!" Marisa menoleh mencari sumber suara bentakan itu. Matanya bersirobok dengan mata nyalang seorang perempuan paruh baya model berpakaian terbaru dengan rambut disanggul. Marisa melangkah mendekat dan mengulurkan tangan ingin memberi salam perempuan yang berdandan ala sosialita itu. "Ma, kapan datang?" sapa Marisa dengan santunan.Namun, sopan santun Marisa tidak ada artinya. Perempuan paruh baya yang dia panggil Mama itu menepis tangan Marisa, "Tak perlu bekerja sok baik.""Bu!" tegur seorang lelaki dengan rambut sudah memutih semuanya yang berdiri agak jauh di belakang perempuan itu. Marisa menoleh lalu menemui lelaki itu. "Pa," sapanya. Kali ini tangannya tidak ditepis sehingga Marisa bisa mencium tangan lelaki yang dipanggilnya papa itu. "Sudah lama, Pa?" "Tidak, kok. Kami baru saja datang," jawab bapak mertua Marisa. "Dan menemukan anak kesayangan kami ditelantarkan oleh istrinya," sergah ibu mertu
"Bohong? Untuk apa saya bohong? Gak ada untungnya! Kalau Tante tidak percaya ya terserah aja. Tapi kalau mau buktikan omongan saya, Tante bisa tanya ke petugas di kantor polisi. Tante bisa minta penjelasan ke mereka, waktu kecelakaan Irawan ditemukan bersama siapa? Pasti mereka akan menjawab bersama selingkuhannya!" "Tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin seperti itu!" "Tidak mungkin? Itu kan kata Tante. Kalau kata netizen beda lagi. Coba Tante cari berita infotainment yang lagi viral hari ini tentang kecelakaan itu." "Nah, kan, udah jelas kamu bohong. Mana ada kecelakaan masuk infotainment," ucap Bu Santi dengan nada tinggi. Wajah Bu Santi terlihat lega dan dia ganti mencibir Rian yang dianggapnya bohong “Bapak, Ibu tadi kan, saya sudah meminta kalian untuk tenang! Kenapa masih ribut? Ah sudahlah… saya panggil satpam saja!” Perawat tadi kembali menghampiri Rian dan Bu Santi. Sekali lagi dia melarang mereka membuat kerubutan. Namun, melihat kata-katanya diabaikan oleh Rian dan