"Loh, lipstik itu bukan punya Ibu? Kamera juga bukan punya Pak Irawan?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan kebingungan.
"Bukan, Pak. Saya tidak suka lip cream warna merah menyala seperti ini." Marisa membuka penutup lipstik berbentuk cair itu dan menunjukkan kuasnya yang berwarna merah terang.
"Setahu saya, Mas Irawan juga tidak mempunyai kamera digital seperti itu tapi saya juga tidak tahu pasti," lanjut Marisa.
"O begitu. Berarti barang-barang itu milik penumpang."
"Penumpang? Ada penumpang di mobil suami saya?"
Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan tidak percaya, "Ibu tidak tahu? Saya kira Ibu sudah tahu karena ramai diberitakan media massa dan media sosial."
"Shit!" Rian menoleh ke kanan sambil mengumpat pelan.
"Apa yang harus terjadi, terjadilah," gumam Rian, pasrah. Setelah menarik napas perlahan dia kembali memasang wajah datar dan menghadapkannya ke depan.
"Memangnya siapa penumpang mobil suami saya, Pak? Perempuan?"
"Iya, perempuan. Dia seorang penyanyi kafe yang sedang naik daun karena cover lagunya disukai banyak orang. Mungkin Ibu pernah melihatnya di beberapa infotainment dan acara televisi."
"Pe-penyanyi itu?" Suara Marisa mulai gemetar. Dia tahu tentang seorang penyanyi kafe yang mendadak viral karena video covernya ditonton puluhan juta orang. Seorang penyanyi cantik dan suka berpenampilan seksi. Marisa tahu pasti ada sesuatu di antara mereka kalau bisa semobil di pagi hari. Mendadak tubuhnya menjadi lemas dan tidak lagi bisa duduk tegak.
"Iya," sahut Aiptu Rizal.
Suara polisi itu bernada prihatin. Dia menatap Marisa yang kini duduk bersandar di kursinya dengan raut wajah cemas. Polisi muda itu khawatir perempuan cantik yang wajahnya memucat itu mendadak pingsan mendengar kabar tak mengenakkan ini.
"Marisa," tegur Ryan. "kamu tidak apa-apa?"
Rian menoleh ke samping kiri. Dia bisa melihat bulu mata Marisa bergetar. Kelopak matanya pun mengerjap beberapa kali. Rian tahu hal itu Marisa lakukan untuk menahan air matanya jatuh membasahi pipi. Dengan tatapan prihatin Rian meletakkan tangannya di atas tangan Marisa yang berada di atas pangkuan. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Memberikan dukungan kepada sepupunya itu.
"A-apa-kah perempuan itu selamat, Pak?" Marisa mengabaikan pertanyaan Ryan dan kembali bertanya kepada Aiptu Rizal.
"Iya dia selamat. Dia juga di rawat di rumah sakit yang sama dengan suami Ibu," jawab Aiptu Rizal.
"Di-ra-wat di rumah sakit yang sa-sama? Ba-bagaimana kondisinya?" Marisa kembali bertanya meski dengan suara terbata-bata.
"Maaf, Bu untuk kondisinya saya tidak bisa menjawab. Itu wewenang dokter yang merawatnya."
Marisa mengangguk. Dia tampak masih ingin bertanya lagi, tetapi tak sedikit pun ada yang bisa terucap. Jadi dia kembali mengatupkan bibirnya yang sempat terbuka. Rasa syok menerima kabar tak terduga itu masih membayang di wajahnya.
Rian menatap lekat sepupunya yang tengah berjuang menahan kesedihan. Lalu, wajahnya berpaling dan menatap Aiptu Rizal, "Jadi kapan mobil adik sepupu saya itu bisa diambil, Pak?"
Aiptu Rizal mengangguk paham bahwa Rian mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia menyodorkan beberapa lembar foto. "Nanti saya kabari lagi ya, Pak. Untuk sementara itu saja barang yang bisa diambil. Cuma kalau mau lihat kondisi mobilnya dulu bisa cek ini. Saya rasa untuk sementara waktu foto-foto ini bisa mewakili rasa ingin tahu Bapak dan Ibu."
Rian mengambilnya dan setelah puas mengamati foto-foto itu dia mengembalikannya. Dia kembali melirik ke arah Marisa yang masih mematung tanpa suara. Wajah sepupunya itu masih menunjukkan rasa syok. "Baiklah kalau begitu, Pak. Kalau sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kami permisi pulang lebih dahulu."
Aiptu Rizal mengangguk dan bersalaman dengan Rian. Sebenarnya dia juga sempat mengulurkan tangannya ke Marisa tetapi segera menariknya karena melihat kondisi Marisa yang tampak linglung.
Rian mengambil kotak di atas meja dan membawanya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya merangkul Marisa dan membawanya menuju pintu keluar.
"Mas … aku tidak mimpi, kan?" tanya Marisa dengan suara bergetar.
"Memangnya kenapa?"
"Mas Irawan selingkuh, kan?"
"Jangan berpikiran buruk dulu, Risa. Bisa saja suamimu ada keperluan dengan penyanyi itu."
"Keperluan apa? Mana mungkin kantornya di Malang tapi kecelakaannya di Mojokerto? Berdua dengan seorang perempuan pula!"
"Ya aku mana tahu keperluan suami kamu, Risa," elak Rian.
"Justru itu, Mas. Keperluan apalagi kalau tidak selingkuh?" Suara Risa yang naik beberapa oktaf membuat kepala-kepala di ruangan itu yang tadinya menunduk menjadi tengadah dan memperhatikan mereka.
"Pelankan suaramu, Risa. Kamu nggak malu jadi perhatian mereka?"
Marisa menengok ke kiri dan ke kanan. Dia melihat beberapa pasang mata tengah menatapnya dengan pandangan menyelidik. "Aku sudah kehilangan rasa malu, Mas. Aku juga sudah melupakan rasa sedih. Yang tertinggal di dadaku saat ini adalah rasa marah. Sangat marah hingga membuatku sesak dan sulit bernapas."
"Sabar Risa, jangan berpikir buruk dulu. Nanti di rumah sakit kita periksa satu per satu barang suamimu. Barangkali kita bisa menemukan jawaban yang kamu cari."
"Jawaban apa lagi, Mas? Apa namanya kalau bukan selingkuh? Bertemu diam-diam di kafe. Bepergian berdua … sampai kecelakaan pun berduaan."
"Ya itu kan kelihatannya, Ris. Siapa tahu kejadiannya tidak seperti itu." Rian mencoba menghibur Marisa, tetapi tanggapan sepupunya itu berbeda.
Marisa menatap nyalang ke arah Rian. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali seolah-olah tak percaya. Lalu suaranya kembali meninggi. "Kamu mau membela Mas Irawan? Jadi mentang-mentang kalian berjenis kelamin sama kamu lebih memilih melindungi kesalahannya dari pada membela adikmu ini! "
"Bukan begitu Marisa. Sabar dulu … dengarkan penjelasanku."
Marisa mengedikkan bahunya. Dia melepaskan diri dari rangkulan Rian dan berjalan cepat menuju pintu meninggalkan sepupunya itu. Rian terpaku sesaat. Dia tidak menduga reaksi Marisa akan secepat itu berubah. Mungkinkah karena dia terlalu sakit hati? Jadi meskipun belum ada bukti nyata tetapi nalurinya sebagai seorang istri membuatnya bisa merasakan perbuatan suaminya. Rian mengembuskan napas kasar dan berjalan cepat menyusul Marisa.
"Lho … kenapa kamu berhenti?" tanya Rian. Dia hampir menubruk Marisa yang berdiri di depannya.
Marisa tidak memedulikan pertanyaan Rian. Dia kembali melangkah tapi tidak terburu-buru seperti tadi. Rian melongo melihat perilaku Marisa. Rian tidak mengikuti langkah sepupunya itu dan hanya memperhatikannya dari tempatnya berdiri.
"Loh kenapa dia tidak langsung ke mobil?"
Alis mata Rian terangkat ketika dia melihat langkah kaki Marisa terayun ke sebelah kanan. Dia segera menyusul sepupunya itu yang sekarang hampir mendekati meja petugas. Di sana tampak seorang lelaki tinggi kurus berambut gondrong yang dikuncir ekor kuda sedang berbicara dengan petugas.
"... iya saya diminta menemui Aiptu Rizal." Rian sedikit terhenyak ketika telinganya menangkap sedikit ucapan lelaki itu.
"Mas Sandhy? Kamu Mas Sandhy, kan? Sedang apa di sini?"
Assalamualaikum, salam kenal teman-teman ... Saya Ardhya. Semoga kalian suka dengan cerita yang saya tulis. Mohon berikan bintang lima dan komen ya. Terima kasih 🙏
"Marisa? Iya aku Sandhyawan." "Kamu … terlihat sedikit berbeda, Mas." Marisa melangkah perlahan mendekati lelaki yang disapanya itu. "Kamu juga, Risa." "Tapi dalam artian bagus, kok," lanjut Sandhy dengan cepat. Dia tidak ingin Marisa salah paham dengan kata-katanya. Marisa tersenyum. Meski terlihat lebih kurus dan ada beberapa kerut samar di dahinya, tetapi wajah tampan Sandhy masih tersisa. "Sudah lama, ya, kita tidak bertemu?""Iya. Sekitar sepuluh tahun ya, Risa?""Dua belas tahun sejak Mas Sandhy lulus SMA lebih dulu.""O iya betul. Kamu pasti sudah menikah, Ris. Berapa anakmu? Apa itu suami kamu?" Tatapan Sandhy terarah ke belakang punggung Marisa. Rian yang berdiri di belakang Marisa dengan kotak di tangannya balik menatap lelaki yang sedang mengobrol dengan sepupunya itu. Dia mengamati penampilan lelaki yang tampak seperti seniman itu dari atas sampai ke bawah. "O bukan. Ini kakak sepupuku. Mas Rian, kenalkan ini Mas Sandhy kakak kelasku waktu SMA," jawab Marisa, sambil
"Kamu kok tanya seperti itu, sih, Ris?" "Jawab aja, Mas. Enggak perlu berbelit-belit!" sergah Marisa. Rian berdiri dari kursi dan berjalan mondar mandir di depan Marisa. Lelaki bertubuh sedikit berotot itu mendengkus. Tangannya mengacak-acak rambutnya yang hitam tebal. Gestur tubuhnya jelas menunjukkan kata-kata Marisa yang sedikit kasar itu mengganggu hatinya.Kalau menuruti kata hati, Rian pasti segera memilih pulang kembali ke Surabaya dan membiarkan Marisa sendirian. Namun, logika mengalahkan perasaannya. Marisa butuh teman dan saat ini hanya dia yang bisa menemaninya. Emosi Marisa sekarang ini sedang tidak stabil dan dia butuh pelampiasan. Tentu saja Rian yang berada di dekatnya adalah sasaran yang empuk untuk menumpahkan kekesalan Marisa.Beberapa menit kemudian setelah mengatur napas dan mondar-mandir mengitari kamar hotel, Rian mulai tenang. Kemudian dia kembali duduk di hadapan Marisa. Dia menatap tajam Marisa sebelum berkata, "Aku abaikan kata-katamu yang menyalahkan aku.
"Marisa … Marisa … ada apa? Kenapa kamu berteriak? Marisaaa …." Rian yang baru sampai di depan pintu kamar hotel menjadi panik ketika mendengar teriakan Marisa. Dia menggedor pintu sambil memanggil nama Marisa. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam kamar. Rian semakin gelisah ketika sepupunya itu tidak juga membuka pintu kamar meski sudah digedor berulang kali. Merasa tak sabar, akhirnya Rian berlari menuju lift dan kembali ke lantai bawah. "Tolong … tolong buka kamar adik saya di kamar 510. Saya tadi keluar sebentar dan ketika balik ke kamar saya mendengar dia berteriak. Saya sudah gedor pintu dan memanggil namanya, tapi tidak ada reaksi. Tolong cepetan!" Resepsionis yang mendengar suara panik Rian segera bertindak cepat. Dia menghubungi housekeeping dan memintanya menuju kamar Marisa. Sementara Rian ditemani seorang satpam juga bergegas kembali ke kamar Marisa. Mereka berdua datang bersamaan dengan dua orang housekeeper. Petugas housekeeper laki-laki segera membuka pin
"Ayolah … Mas, kenapa kamu berdiri saja di situ? Apa kamu nggak pengen mendekati aku?" "Ini sudah hampir jam tujuh. Kita harus segera kembali ke Surabaya." "Sebentar lagi, Mas. Aku masih pengen di sini. Bisa berduaan dengan kamu selama beberapa hari itu sulit, loh. Makanya lingerie merah ini sengaja aku beli khusus untuk ketemu kamu, Mas. Lihat aku dong, Mas. Apa penampilanku ini tidak menggodamu?" Irawan menghentikan aktivitas berkemasnya dan menoleh ke ujung kasur. Di sandaran kasur ada beberapa bantal yang sengaja ditumpuk. Tampak seorang perempuan bertubuh sintal bersandar di tumpukan bantal itu. Rambut hitamnya sengaja diangkat dan dibiarkan tergerai di bantal untuk memperlihatkan leher jenjangnya. "Sini, dong, Mas," Perempuan itu kembali merayu. Dia membiarkan salah satu tali lingerie merahnya melorot hampir ke siku. Ulahnya itu dia lakukan dengan sengaja untuk mengumbar bahu mulusnya.Irawan menghembuskan napas dengan keras. Jakunnya naik turun melihat pemandangan itu.
"Suami sakit kok malah keluyuran! Sama lelaki lain pula. Istri macam apa kamu!" Marisa menoleh mencari sumber suara bentakan itu. Matanya bersirobok dengan mata nyalang seorang perempuan paruh baya model berpakaian terbaru dengan rambut disanggul. Marisa melangkah mendekat dan mengulurkan tangan ingin memberi salam perempuan yang berdandan ala sosialita itu. "Ma, kapan datang?" sapa Marisa dengan santunan.Namun, sopan santun Marisa tidak ada artinya. Perempuan paruh baya yang dia panggil Mama itu menepis tangan Marisa, "Tak perlu bekerja sok baik.""Bu!" tegur seorang lelaki dengan rambut sudah memutih semuanya yang berdiri agak jauh di belakang perempuan itu. Marisa menoleh lalu menemui lelaki itu. "Pa," sapanya. Kali ini tangannya tidak ditepis sehingga Marisa bisa mencium tangan lelaki yang dipanggilnya papa itu. "Sudah lama, Pa?" "Tidak, kok. Kami baru saja datang," jawab bapak mertua Marisa. "Dan menemukan anak kesayangan kami ditelantarkan oleh istrinya," sergah ibu mertu
"Bohong? Untuk apa saya bohong? Gak ada untungnya! Kalau Tante tidak percaya ya terserah aja. Tapi kalau mau buktikan omongan saya, Tante bisa tanya ke petugas di kantor polisi. Tante bisa minta penjelasan ke mereka, waktu kecelakaan Irawan ditemukan bersama siapa? Pasti mereka akan menjawab bersama selingkuhannya!" "Tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin seperti itu!" "Tidak mungkin? Itu kan kata Tante. Kalau kata netizen beda lagi. Coba Tante cari berita infotainment yang lagi viral hari ini tentang kecelakaan itu." "Nah, kan, udah jelas kamu bohong. Mana ada kecelakaan masuk infotainment," ucap Bu Santi dengan nada tinggi. Wajah Bu Santi terlihat lega dan dia ganti mencibir Rian yang dianggapnya bohong “Bapak, Ibu tadi kan, saya sudah meminta kalian untuk tenang! Kenapa masih ribut? Ah sudahlah… saya panggil satpam saja!” Perawat tadi kembali menghampiri Rian dan Bu Santi. Sekali lagi dia melarang mereka membuat kerubutan. Namun, melihat kata-katanya diabaikan oleh Rian dan
"Mas Rian kok gitu, sih." Marisa memprotes ucapan sarkastik dari Rian. "Gitu gimana? Mas gak merasa gimana-gimana, kok. Kamu aja yang baper," sahut Rian dengan nada sedikit ketus. Marisa terdiam mendengar omelan Rian. Dia tidak mau menanggapi Rian yang sedang emosi. Marisa hanya menatap Rian dengan pandangan kesal. Melihat Marisa tidak menanggapi kekesalannya, Rian melanjutkan bertanya, "Terus kamu ke mari mau apa? Bukan mau ngomelin aku lagi, kan?" Marisa masih menatap Rian dengan tatapan kesal tanpa membalasnya. Dia sadar kakak sepupunya berhak marah. Jadi, Marisa mencoba tenang. Dia menarik napas sebelum kembali berbicara, "Maafkan Risa, Mas. Mungkin Risa tadi memang sudah keterlaluan. Tidak seharusnya Risa marah kepada Mas Rian yang sudah banyak membantu." Rian terdiam mendengarkan permintaan maaf Marisa. Dia mendengar ketulusan dalam nada suara adik sepupunya itu. Membuat Rian pun tidak tega terus memarahi Marisa. "Iya, gak apa-apa. Mas ngerti." Marisa tersenyum mendenga
"Konyol sekali pertanyaanmu itu, Ris. Untuk apa aku bercanda buat hal yang menyedihkan ini?" Sandhy menjawab dengan kesal. "Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud bikin kamu kesal. Soalnya aku gak nyangka aja." Marisa menunduk dan tangannya memainkan tisu yang ada di meja. "Gak nyangka kalau aku punya istri tukang selingkuh? Gak nyangka kalau istriku itu pelakor yang mengganggu rumah tangga kamu, gitu?!" Suara Sandhy naik beberapa oktaf ketika mengatakan hal itu. Marisa tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Sandhy. Perlahan air mata menetes di kedua belah pipinya. Marisa tahu nada suara Sandhy yang tinggi itu bukan karena memarahinya. "Sama Risa, aku sendiri pun sampai sekarang belum percaya. Tapi aku bisa apa? Mau menyangkal juga percuma, toh dia ditemukan semobil berdua dengan lelaki lain. Tepatnya dengan suami orang lain." Ada kepedihan dalam suara Sandhy ketika dia melanjutkan perkataannya. "Andai waktu bisa kuputar, pasti aku tidak akan izinkan istriku pergi hari itu. Namu