Share

Bab 7 Siapa Pemilik Lipstik Merah?

"Loh, lipstik itu bukan punya Ibu? Kamera juga bukan punya Pak Irawan?" Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan kebingungan.

"Bukan, Pak. Saya tidak suka lip cream warna merah menyala seperti ini." Marisa membuka penutup lipstik berbentuk cair itu dan menunjukkan kuasnya yang berwarna merah terang. 

"Setahu saya, Mas Irawan juga tidak mempunyai kamera digital seperti itu tapi saya juga tidak tahu pasti," lanjut Marisa.

"O begitu. Berarti barang-barang itu milik penumpang." 

"Penumpang? Ada penumpang di mobil suami saya?" 

Aiptu Rizal menatap Marisa dengan pandangan tidak percaya, "Ibu tidak tahu? Saya kira Ibu sudah tahu karena ramai diberitakan media massa dan media sosial." 

"Shit!" Rian menoleh ke kanan sambil mengumpat pelan. 

"Apa yang harus terjadi, terjadilah," gumam Rian, pasrah. Setelah menarik napas perlahan dia kembali memasang wajah datar dan menghadapkannya ke depan.  

"Memangnya siapa penumpang mobil suami saya, Pak? Perempuan?"

"Iya, perempuan. Dia seorang penyanyi kafe yang sedang naik daun karena cover lagunya disukai banyak orang. Mungkin Ibu pernah melihatnya di beberapa infotainment dan acara televisi." 

"Pe-penyanyi itu?" Suara Marisa mulai gemetar. Dia tahu tentang seorang penyanyi kafe yang mendadak viral karena video covernya ditonton puluhan juta orang. Seorang penyanyi cantik dan suka berpenampilan seksi. Marisa tahu pasti ada sesuatu di antara mereka kalau bisa semobil di pagi hari. Mendadak tubuhnya menjadi lemas dan tidak lagi bisa duduk tegak. 

"Iya," sahut Aiptu Rizal. 

Suara polisi itu bernada prihatin. Dia menatap Marisa yang kini duduk bersandar di kursinya dengan raut wajah cemas. Polisi muda itu khawatir perempuan cantik yang wajahnya memucat itu mendadak pingsan mendengar kabar tak mengenakkan ini. 

"Marisa," tegur Ryan. "kamu tidak apa-apa?" 

Rian menoleh ke samping kiri. Dia bisa melihat bulu mata Marisa bergetar. Kelopak matanya pun mengerjap beberapa kali. Rian tahu hal itu Marisa lakukan untuk menahan air matanya jatuh membasahi pipi. Dengan tatapan prihatin Rian meletakkan tangannya di atas tangan Marisa yang berada di atas pangkuan. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. Memberikan dukungan kepada sepupunya itu. 

"A-apa-kah perempuan itu selamat, Pak?" Marisa mengabaikan pertanyaan Ryan dan kembali bertanya kepada Aiptu Rizal. 

"Iya dia selamat. Dia juga di rawat di rumah sakit yang sama dengan suami Ibu," jawab Aiptu Rizal. 

"Di-ra-wat di rumah sakit yang sa-sama? Ba-bagaimana kondisinya?" Marisa kembali bertanya meski dengan suara terbata-bata. 

"Maaf, Bu untuk kondisinya saya tidak bisa menjawab. Itu wewenang dokter yang merawatnya." 

Marisa mengangguk. Dia tampak masih ingin bertanya lagi, tetapi tak sedikit pun ada yang bisa terucap. Jadi dia kembali mengatupkan bibirnya yang sempat terbuka. Rasa syok menerima kabar tak terduga itu masih membayang di wajahnya. 

Rian menatap lekat sepupunya yang tengah berjuang menahan kesedihan. Lalu, wajahnya berpaling dan menatap Aiptu Rizal, "Jadi kapan mobil adik sepupu saya itu bisa diambil, Pak?" 

Aiptu Rizal mengangguk paham bahwa Rian mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia menyodorkan beberapa lembar foto. "Nanti saya kabari lagi ya, Pak. Untuk sementara itu saja barang yang bisa diambil. Cuma kalau mau lihat kondisi mobilnya dulu bisa cek ini. Saya rasa untuk sementara waktu foto-foto ini bisa mewakili rasa ingin tahu Bapak dan Ibu." 

Rian mengambilnya dan setelah puas mengamati foto-foto itu dia mengembalikannya. Dia kembali melirik ke arah Marisa yang masih mematung tanpa suara. Wajah sepupunya itu masih menunjukkan rasa syok. "Baiklah kalau begitu, Pak. Kalau sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kami permisi pulang lebih dahulu." 

Aiptu Rizal mengangguk dan bersalaman dengan Rian. Sebenarnya dia juga sempat mengulurkan tangannya ke Marisa tetapi segera menariknya karena melihat kondisi Marisa yang tampak linglung.  

Rian mengambil kotak di atas meja dan membawanya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya merangkul Marisa dan membawanya menuju pintu keluar. 

"Mas … aku tidak mimpi, kan?" tanya Marisa dengan suara bergetar. 

"Memangnya kenapa?" 

"Mas Irawan selingkuh, kan?" 

"Jangan berpikiran buruk dulu, Risa. Bisa saja suamimu ada keperluan dengan penyanyi itu." 

"Keperluan apa? Mana mungkin kantornya di Malang tapi kecelakaannya di Mojokerto? Berdua dengan seorang perempuan pula!" 

"Ya aku mana tahu keperluan suami kamu, Risa," elak Rian.  

"Justru itu, Mas. Keperluan apalagi kalau tidak selingkuh?" Suara Risa yang naik beberapa oktaf membuat kepala-kepala di ruangan itu yang tadinya menunduk menjadi tengadah dan memperhatikan mereka.  

"Pelankan suaramu, Risa. Kamu nggak malu jadi perhatian mereka?" 

Marisa menengok ke kiri dan ke kanan. Dia melihat beberapa pasang mata tengah menatapnya dengan pandangan menyelidik. "Aku sudah kehilangan rasa malu, Mas. Aku juga sudah melupakan rasa sedih. Yang tertinggal di dadaku saat ini adalah rasa marah. Sangat marah hingga membuatku sesak dan sulit bernapas." 

"Sabar Risa, jangan berpikir buruk dulu. Nanti di rumah sakit kita periksa satu per satu barang suamimu. Barangkali kita bisa menemukan jawaban yang kamu cari." 

"Jawaban apa lagi, Mas? Apa namanya kalau bukan selingkuh? Bertemu diam-diam di kafe. Bepergian berdua … sampai kecelakaan pun berduaan." 

"Ya itu kan kelihatannya, Ris. Siapa tahu kejadiannya tidak seperti itu." Rian mencoba menghibur Marisa, tetapi tanggapan sepupunya itu berbeda.  

Marisa menatap nyalang ke arah Rian. Dia menggelengkan kepalanya berulang kali seolah-olah tak percaya. Lalu suaranya kembali meninggi. "Kamu mau membela Mas Irawan? Jadi mentang-mentang kalian berjenis kelamin sama kamu lebih memilih melindungi kesalahannya dari pada membela adikmu ini! "

"Bukan begitu Marisa. Sabar dulu … dengarkan penjelasanku." 

Marisa mengedikkan bahunya. Dia melepaskan diri dari rangkulan Rian dan berjalan cepat menuju pintu meninggalkan sepupunya itu. Rian terpaku sesaat. Dia tidak menduga reaksi Marisa akan secepat itu berubah. Mungkinkah karena dia terlalu sakit hati? Jadi meskipun belum ada bukti nyata tetapi nalurinya sebagai seorang istri membuatnya bisa merasakan perbuatan suaminya. Rian mengembuskan napas kasar dan berjalan cepat menyusul Marisa. 

"Lho … kenapa kamu berhenti?" tanya Rian. Dia hampir menubruk Marisa yang berdiri di depannya. 

Marisa tidak memedulikan pertanyaan Rian. Dia kembali melangkah tapi tidak terburu-buru seperti tadi. Rian melongo melihat perilaku Marisa. Rian tidak mengikuti langkah sepupunya itu dan hanya memperhatikannya dari tempatnya berdiri. 

"Loh kenapa dia tidak langsung ke mobil?" 

Alis mata Rian terangkat ketika dia melihat langkah kaki Marisa terayun ke sebelah kanan. Dia segera menyusul sepupunya itu yang sekarang hampir mendekati meja petugas. Di sana tampak seorang lelaki tinggi kurus berambut gondrong yang dikuncir ekor kuda sedang berbicara dengan petugas. 

"... iya saya diminta menemui Aiptu Rizal." Rian sedikit terhenyak ketika telinganya menangkap sedikit ucapan lelaki itu.  

"Mas Sandhy? Kamu Mas Sandhy, kan? Sedang apa di sini?"   

Ardhya Rahma

Assalamualaikum, salam kenal teman-teman ... Saya Ardhya. Semoga kalian suka dengan cerita yang saya tulis. Mohon berikan bintang lima dan komen ya. Terima kasih 🙏

| 3
Komen (12)
goodnovel comment avatar
Neneng Enur Nurhayati
duh emosi sipat marissa....pingsan mulu
goodnovel comment avatar
Yunior
kok malah sebel sama Rian, biarlah semua terkuak. Kasihan Marisa dibohongi suaminya terus
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
banyak banget tokohnya. si lemot marisa g guna
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status