Share

Masih Masalah Uang.

"Darimana kau, jam segini baru pulang?"

Aku terkejut karena tak mengira mas Darma masih di rumah. Bukannya tadi dia bilang mau ke rumah ibu, kok gak jadi, dari baju santai yang dia pakai aku bisa menebak kalau dia tak akan kemana-mana.

"Masih di sini mas, katanya mau menginap di rumah ibu?"

Aku melangkah menuju ke dapur, untuk mengambil air minum. Berjalan dari jalan depan membuatku haus.

"Tidak usah mengalihkan pembicaraan, Maya. Aku tanya kau dari mana?"

Aku meletakkan gelas bekas minumku, lalu menatap mas Darma. Sepertinya dia mau melampiaskan emosinya, kita lihat saja siapa yang menang?

Aku tak mengalihkan pembicaraan mas. Kan kau sendiri yang bilang, kalau mau ke rumah ibu. Aku keluar ya cari makan lah, kan di rumah tak ada makanan yang tersisa."

Aku menjawab dengan santai, membuat mas Darma menatap tajam. Sepertinya dia mulai kesal karena aku tak membawakan dia makanan.

"Aku tak tau kalau kau di rumah. Jadi tak ku belikan makanan, salah sendiri tadi bilang mau ke rumah ibu."

Kembali aku bicara dengan nada ketus. Agar mas Darma paham kalau aku tak mau di salahkan lagi.

"Kalau begitu beri mas uang untuk beli makanan. Mas juga lapar dari tadi belum makan."

Aku kembali menatap mas Darma. Dia seperti orang yang tak tau malu, memberi satu juta hanya pas untuk membeli token listrik, berani dia minta uang untuk makan.

"Uang apa yang mas minta? Sedangkan satu juta tadi, hanya cukup untuk mengisi token listrik. Maaf aku tak punya uang, kalau kau tak memberiku nafkah maka kita puasa."

Ucapku kembali dengan nada ketus. Dia pikir aku tetap diam jika di perdaya.

"Tak mungkin kau tak punya uang, May. Kemana uang yang selama ini aku kasih padamu?"

Aku tertawa, sepertinya suamiku memang cacat logika. Dia masih mempertanyakan uang yang dia kasih padaku.

"Mas bisa berhitung kan? Untuk token saja sudah satu juta. Coba pikir untuk bayar air, makan kita sebulan dan bensin mu, dari mana uangnya? Jangan lupa juga jatah ibu dan biaya kuliah adikmu."

Aku sudah muak, dengan terpaksa harus membuka semuanya. Biar dia paham kalau uang yang dia beri itu tak ada artinya sama sekali.

"Heran, baru memberi satu juta sudah mau di minta lagi. Kalau terpegang di tanganku boleh di minta, ini sudah terpakai untuk membeli listrik juga."

Aku meninggalkan mas Darma dia masih terlihat bingung. Mungkin baru sadar kalau uangnya tak mungkin cukup, untuk menutupi semua kebutuhan keluarganya.

Tring ...tring ....

Aku melihat ponsel yang berbunyi, sebagai tanda ada pangilan masuk. Ternyata Tante Maira yang menghubungi.

"Assalamu'alaikum, Tante Maira."

Aku segera menerima pangilan Tante Maira. Dia pasti ingin tau aku sudah sampai atau belum.

"Iya Tante, ini sudah di rumah kok. Terima kasih sudah di antar pulang."

Aku mengucapkan terima kasih, karena tadi di antar sampai depan. Sengaja tak sampai rumah, karena takut jika mas Darma dan ibunya melihat. Pasti mulutnya tak akan diam.

"Siapa yang menghubungi mu, May? Sepertinya aku pernah dengar nama itu?"

Aku tersenyum tipis tanpa menjawab pertanyaan mas Darma. Biar dia penasaran, aku tak perduli sama sekali.

"Mas tak kenal jadi tak perlu tau. Oya satu lagi, kalau mas tak bisa memberi nafkah, aku berencana cari kerja. Perut ini masih butuh di isi, jadi biar aku kerja lagi."

Mas Darma melotot, selama ini dia terlalu bangga pada jabatan dan gajinya. Dia sampai memintaku berhenti kerja, hanya demi menjaga gengsinya. Akhirnya beginilah dia tertimpa hutang.

"Apa mas tak setuju? Kalau begitu isi kebutuhan rumah. Maka aku akan tetap di rumah melayanimu 24 jam."

Aku tersenyum sinis, saat melihat wajah Mas Darma yang seperti tak ikhlas. Dia pasti semakin tak rela, kalau tau aku kerja dengan siapa?

"Kau mau kerja apaan sih May? Percuma, paling hanya jadi pembantu. Aku tak mau menanggung malu, karena punya istri pembantu."

Aku tertawa mendengar ucapan mas Darma. Sifat suka merendahkan orang menurun dari ibunya, dia tak sadar kalau semua orang sama di mata tuhan.

"Mas tak perlu cemas begitu. Aku akan mengaku janda jika ada yang bertanya, menurutku itu jauh lebih baik, daripada harus menjawab banyak pertanyaan."

Aku berjalan meninggalkan mas Darma. Aku rasa tawaran tante Maira baik untuk usahaku, usaha yang tak di ketahui oleh mas Darma.

"Semua terserah padamu, May. Ibu dan bapak mendukung saja, kami di sini hanya mengawasi, sedangkan kau yang bekerja keras hingga sampai seperti ini."

Itu adalah keputusan ibu dan bapak, saat aku beritahu tentang tawaran tante Maira.

"May, tolong pikirkan lagi soal mau bekerja. Aku tak mau ada yang melihat istriku bekerja, mau dimana meletakkan wajah jika ada yang bertanya."

Kembali aku harus mendengar omong kosong dari mas Darma. Dia bilang malu tapi tak bisa memberiku kehidupan yang layak, sekarang dia tak memberi uang lalu kami mau makan apa.

"Entahlah mas aku bingung dengan cara berpikir mu. Sekarang katakan besok kita makan apa? Sedang uang pun tak kau beri, selain uang token listrik."

Aku kembali menatap mas Darma. Dia hanya terdiam seolah tak berpikir apapun lagi. Aku masih belum tau, apa hasil pembicaraannya dengan ibu. Kalau bagus berarti aman, kalau tak bagus siap-siap di serang lagi.

"Sudah pulang kan dia? Mana suruh keluar? Ibu ingin tau apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa kau tak bisa memberi ibu uang bulan ini?"

YUK TERUS BACA DAN BERI ULASAN 🌟 5 NYA BIAR MAKIN SEMANGAT. JANGAN LUPA VOTED JUGA SEBAGAI DUKUNGAN UNTUK CERITA INI.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status