Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu.“Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.”Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar sementara. Akan tetapi, ia menginginkan kita abadi, kemungkinan hanya maut yang akan memisahkan. Alangkah indahnya, hingga mataku sampai berkaca-kaca.“Alah, alah … sudah jangan terharu begitu. Masih ada aku. Gus. Jangan membuatku yang jomblo ini ngiri pada kalian,” ucap sahabatnya Mas Bagus. Aku semakin tersipu menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Bagus. Setelah Mas Bagus mengatakan semuanya, aku pamit ke belakang untuk
Aku masih ingat saat usiaku tujuh belas tahun, tepatnya kelas dua dahulu disebut SMA. Saat SMA, aku tinggal di panti asuhan karena ibu tidak sanggup lagi membiayai sekolahku. Saat aku bilang akan sekolah, ibu menangis dan bilang dengan suara gemetar,“Mbak, ibu tidak lagi bisa membiayai sekolahmu. Saat SMP saja, kalau kamu tidak pintar dan mendapatkan beasiswa, tidak bisa lulus. Kamu masih ingat waktu kelas dua dan adikmu harus rawat jalan karena flek paru-paru, bahkan hampir saja keluar dari sekolah karena uang beasiswa digunakan untuk berobat. Sekarang SMA juga jauh di kota. Ibu hanya bisa merestuimu,” ucap ibuku.Maka berangkatlah aku di panti asuhan walau sebenarnya, bukan anak yatim atau piatu. Apalagi, anak yatim piatu. Akan tetapi, demi selembar ijazah, tidak malu diriku masuk ke dalam panti asuhan. Aku tidak tahu hukumnya, yang terpenting ingin sekolah saja.Maka dari itu, meskipun hari-hariku sulit, tetap kujalani. Tuhanku mengijabah, yang sebelumnya aku hanya bisa membaca Al
“Mbak, saat aku bersama ayahmu, dia bilang pergi dari rumah setelah khitan. Kita bertemu di perantauan. Tahukah kamu, jika ibu tidak menikah dengan ayahmu, ibu tidak bisa pulang dari rumah pakdemu,” ucap ibu.Aku bingung sebenarnya dari keterangan ibu. Apa hubungannya pulang, dengan menikah? Baiklah, kita dengarkan kisah selengkapnya saja.“Jadi, dulu ibu dan ayahmu ketemu di Sumatera, di kampung trans. Ayahmu adalah pegawainya pakdemu. Kata Pakdemu, dia akan membiarkanku pulang dan bawa simbahmu, jika aku mau menikah,” ucapnya.Dia sudah bisa menghadapiku. Matanya sedikit sembab, bahkan hampir menjatuhkan buliran itu. aku memeluknya, hal yang paling jarang bahkan tidak pernah kulakukan. Tangisnya tumpah saat ini di pelukanku. Aku belum pernah melihat air mata wonder woman-ku ini, selama umurku. Ibuku, tidak pernah menangis. “Kalau tidak kuat, ceritanya bisa lain kali saja, Bu. Aku tidak buru-buru ingin mendengar,” ucapku.Demi Tuhan, aku melihat sisi rapuh dari wanita yang melahirka
Esok hari, tepatnya hari Jumat tanggal tujuh Agustus tahun 2009 ini, kami akan melangsungkan pernikahan ini. Semua kerabat sudah datang. Mereka berada di ruangan depan rumah ibuku. Sudah pukul enam pagi, penata rias sudah datang. Aku sudah mandi juga.Dengan baju kemben, penata rias mulai menta wajahku. Dengan sebuah doa, dimulailah wajahku dibersihkan. Semula, aku yakin akan kelancaran acara. Hingga pukul setengah sembilan, lelakiku itu tidak dapat dihubungi. Lelaki itu sungguh membuat jantungku berdebar begitu kencang. Aku sudah siap, dengan gaun putih yang dirias oleh sang penata rias.“Aduh, sebenarnya jadi nggak sih? Kenapa aku sangat takut?” gumamku.Hingga seseorang dari keluarganya datang terlebih dahulu dengan mini bus.“Akhirnya, kalian datang juga,” komentar salah satu keluarga.Aku juga lega, akan tetapi telingaku menangkap bahwa calon suamiku belum datang, malah pengiringnya terlebih dahulu yang datang. Dalam hati, kok bisa demikian? Aku hampir meledak karena marah.“Iya
“Nduk, kamu yakin mengejar keponakanku? Kamu sudah mengenalnya dengan baik?” tanya pakde dari kekasihku.Aku menghela nafas bingung--masih meraba tentang perkataan pakdenya calon suamiku ini. Apakah ia dalam pihak kami, atau dalam pihak orang tua kekasihku yang tampak tidak setuju dengan hubungan kami? “Sudah sampai sini, Pakdhe. Itu juga yang ingin aku tanyakan. Dia tidak bisa dihubungi, padahal pernikahan kami kurang sebulan lagi,” lanjutku dengan cemas. Terlihat, pakdhe demikian juga aku panggil, kaget. Mungkin pikirnya, sudah sejauh itu? Karena pada kenyataannya memang kami tidak memberitahukan keluarganya sama sekali. Bahkan, calon suamiku itu menyerahkan semuanya padaku tentang semua pernak-pernik pernikahan kita ini. “Bagaimana bisa? Nah begitulah makanya aku tanya kamu. Kasihan kamunya jika sudah menjadi istrinya. Aku tahu siapa keponakanku, jadi tidak ada yang bisa aku katakan,” ucapnya. Kami terdiam, sampai sang istri menyajikan minuman dan makanan kecil. Kala itu, t
“Katakan sekali lagi!” kesalnya sambil membentak.Aku kaget dengan bentakan itu. Air mataku hampir meleleh, akan tetapi kutahan saja. Calon suamiku pergi ke belakang, entah kemana? Kenapa ia menyerahkan tanggung jawab ini hanya kepadaku? Apakah hanya aku di sini yang ingin mendapatkan restu? Sebenarnya mereka orang tua siapa? “Kami sudah menghitung tanggal, Insya Allah akad pada tanggal tujuh Agustus,” ujarku. Ibunya membanting tangannya di dipan yang berukuran tidak lebih dari satu setengah meter itu. Ia duduk membelakangiku, dengan punggung kami yang saling beradu. Suara tangannya yang beradu dengan dipan kayu tersebut, membuat tubuhku bereaksi karena kaget. “Bagaimana bisa? Urusan mencari hari, mencari tanggal dan lainnya itu urusan pihak laki-laki. Bagaimana bisa kalian melangkah tanpa kami? Apa yang sebenarnya keluargamu pikirkan?” kesalnya. Aku beranikan diri menatap wajah tuanya yang kali ini bersama azan magrib berkumandang, tidak berhenti berbicara. Ia menyalahkan aku yan
Langkah kakiku hanya mengikutinya saja. Walau sedikit terseok karena kakinya yang panjang sedangkan kakiku mungil. Jarak tinggi badan kami memang agak jauh. Ia bertinggi badan seratus tujuh puluh tujuh, sedangkan aku sangat mungil. Bahkan dengan anak kelas enam SD saja, terkadang masih tinggi anak kelas enam. Tinggi badanku hanya seratus empat puluh delapan sentimeter. “Kamu lihat? Itu kenapa tidak mau meminta restu dari mereka. Mereka semua tidak menganggapku ada. Aku hanya sampah bagi mereka,” kesalnya. Dari ucapannya, aku merasa tertohok. Rasanya keputusan yang benar kami ambil untuk hidup bersama. Semua orang tidak percaya padanya. Orang tuanya, Pakdenya dan semua teman-temannya juga bilang ia orang yang buruk. Lelakiku ini keras kepala, ucapannya juga sangat kasar. Akan tetapi, entah bagaimana ceritanya kepercayaanku padanya sangat penuh. Jika dikumpulkan, bahkan mega-mega yang membentuk awan di langit, masih kalah penuh dengan kepercayaanku untuknya. Aku memeluk pinggangnya,
Siang itu, Mas Bagus datang untuk menanyakan perihal kesiapan. Inilah kebahagiaan yang belum pernah kudapat sebelumnya. Ia datang membalut lukaku, kini menyembuhkanku. Itu yang ada dalam anganku. “Dik, bagaimana?” tanyanya. “Aku sudah bilang ibu, akan tetapi ….” Kepalaku tertunduk sangat dalam. Tidak tega mengatakan yang sebenarnya bahwa ibu sedikit meminta lebih, bahwa orang tuanya harus datang. “Tapi kenapa?” Kedua mataku tidak dapat memandang dua netra bening itu. Rasanya di dada demikian sesak. Dalam pikiran bahkan ingin menyerah. Kedua orang tua kami sama-sama tidak mau mengalah. “Ibu minta orang tua Mas datang,” ucapku. Akhirnya, suara lirih itu lepas juga dari tenggorokan. Beberapa detik, aku menunggu reaksinya. Dari ekor mataku, terlihat ia juga mulai frustrasi. “Dik, kita jalan sendiri saja, yuk,” ucapnya. Kaget, itu reaksi yang terjadi padaku pertama kali. Mengapa ia begitu? Aku sendiri juga tidak paham. Yang pasti, calon suamiku ini sama frustrasinya denganku.