Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya

Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya

By:  Meyyis  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
15Chapters
534views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Pernikahanku dan Mas Bagas memang dimulai dengan sebuah kesalahan. Tanpa restu ibu dan keluarga pria itu, kami tetap melaksanakan ijab kabul. Kini, suamiku berubah setelah aku menjadi perisainya dan mendampingi, bahkan dicaci keluarganya .... Bisakah aku bertahan? Ataukah sulitnya restu yang kami dapat sebenarnya sebuah pertanda bahwa kami tak bisa bersatu?

View More
Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
15 Chapters
BAB I
“Nduk, kamu yakin mengejar keponakanku? Kamu sudah mengenalnya dengan baik?” tanya pakde dari kekasihku.Aku menghela nafas bingung--masih meraba tentang perkataan pakdenya calon suamiku ini. Apakah ia dalam pihak kami, atau dalam pihak orang tua kekasihku yang tampak tidak setuju dengan hubungan kami? “Sudah sampai sini, Pakdhe. Itu juga yang ingin aku tanyakan. Dia tidak bisa dihubungi, padahal pernikahan kami kurang sebulan lagi,” lanjutku dengan cemas. Terlihat, pakdhe demikian juga aku panggil, kaget. Mungkin pikirnya, sudah sejauh itu? Karena pada kenyataannya memang kami tidak memberitahukan keluarganya sama sekali. Bahkan, calon suamiku itu menyerahkan semuanya padaku tentang semua pernak-pernik pernikahan kita ini. “Bagaimana bisa? Nah begitulah makanya aku tanya kamu. Kasihan kamunya jika sudah menjadi istrinya. Aku tahu siapa keponakanku, jadi tidak ada yang bisa aku katakan,” ucapnya. Kami terdiam, sampai sang istri menyajikan minuman dan makanan kecil. Kala itu, t
Read more
BAB II
“Katakan sekali lagi!” kesalnya sambil membentak.Aku kaget dengan bentakan itu. Air mataku hampir meleleh, akan tetapi kutahan saja. Calon suamiku pergi ke belakang, entah kemana? Kenapa ia menyerahkan tanggung jawab ini hanya kepadaku? Apakah hanya aku di sini yang ingin mendapatkan restu? Sebenarnya mereka orang tua siapa? “Kami sudah menghitung tanggal, Insya Allah akad pada tanggal tujuh Agustus,” ujarku. Ibunya membanting tangannya di dipan yang berukuran tidak lebih dari satu setengah meter itu. Ia duduk membelakangiku, dengan punggung kami yang saling beradu. Suara tangannya yang beradu dengan dipan kayu tersebut, membuat tubuhku bereaksi karena kaget. “Bagaimana bisa? Urusan mencari hari, mencari tanggal dan lainnya itu urusan pihak laki-laki. Bagaimana bisa kalian melangkah tanpa kami? Apa yang sebenarnya keluargamu pikirkan?” kesalnya. Aku beranikan diri menatap wajah tuanya yang kali ini bersama azan magrib berkumandang, tidak berhenti berbicara. Ia menyalahkan aku yan
Read more
BAB III
Langkah kakiku hanya mengikutinya saja. Walau sedikit terseok karena kakinya yang panjang sedangkan kakiku mungil. Jarak tinggi badan kami memang agak jauh. Ia bertinggi badan seratus tujuh puluh tujuh, sedangkan aku sangat mungil. Bahkan dengan anak kelas enam SD saja, terkadang masih tinggi anak kelas enam. Tinggi badanku hanya seratus empat puluh delapan sentimeter. “Kamu lihat? Itu kenapa tidak mau meminta restu dari mereka. Mereka semua tidak menganggapku ada. Aku hanya sampah bagi mereka,” kesalnya. Dari ucapannya, aku merasa tertohok. Rasanya keputusan yang benar kami ambil untuk hidup bersama. Semua orang tidak percaya padanya. Orang tuanya, Pakdenya dan semua teman-temannya juga bilang ia orang yang buruk. Lelakiku ini keras kepala, ucapannya juga sangat kasar. Akan tetapi, entah bagaimana ceritanya kepercayaanku padanya sangat penuh. Jika dikumpulkan, bahkan mega-mega yang membentuk awan di langit, masih kalah penuh dengan kepercayaanku untuknya. Aku memeluk pinggangnya,
Read more
BAB IV
Siang itu, Mas Bagus datang untuk menanyakan perihal kesiapan. Inilah kebahagiaan yang belum pernah kudapat sebelumnya. Ia datang membalut lukaku, kini menyembuhkanku. Itu yang ada dalam anganku. “Dik, bagaimana?” tanyanya. “Aku sudah bilang ibu, akan tetapi ….” Kepalaku tertunduk sangat dalam. Tidak tega mengatakan yang sebenarnya bahwa ibu sedikit meminta lebih, bahwa orang tuanya harus datang. “Tapi kenapa?” Kedua mataku tidak dapat memandang dua netra bening itu. Rasanya di dada demikian sesak. Dalam pikiran bahkan ingin menyerah. Kedua orang tua kami sama-sama tidak mau mengalah. “Ibu minta orang tua Mas datang,” ucapku. Akhirnya, suara lirih itu lepas juga dari tenggorokan. Beberapa detik, aku menunggu reaksinya. Dari ekor mataku, terlihat ia juga mulai frustrasi. “Dik, kita jalan sendiri saja, yuk,” ucapnya. Kaget, itu reaksi yang terjadi padaku pertama kali. Mengapa ia begitu? Aku sendiri juga tidak paham. Yang pasti, calon suamiku ini sama frustrasinya denganku.
Read more
BAB V
“Bu ... tidak mungkin saya harus gagal lagi ‘kan? Sepertinya, Mas Bagus serius dengan saya. Kenapa tidak?” ucapku mantap walau sebenarnya lebih karena ingin menenangkan diri saja.Andai ibu tahu hatiku, kali ini ada lebih banyak keraguan. Sebenarnya, Allah sudah menunjukkan berbagai hal yang membuatku ragu untuk melanjutkan. Akan tetapi, sesuatu yang lain ingin kutunjukkan bahwa yang mereka katakan aku tidak laku, aku pembawa sial itu tidak benar. “Baiklah jika begitu. Bagus suruh ke sini, kita pikirkan bagaimana caranya,” ucapnya. Bagai mendapat durian runtuh. Akhirnya, satu pintu dari ibuku terbuka. Aku merasa bahagia, bahkan seandainya sekarang memiliki ponsel, mungkin akan langsung menghubunginya. Bahagianya lebih dari mendapatkan setumpuk berlian. Aku bangkit setelah membersihkan sisa sayur yang sudah ada. Setelah membuang sampah, maka langsung membersihkan tangan dan kaki. Aku mirip orang gila sekarang. Aku berlari kecil, berputar dan menjatuhkan diri. Hatiku terasa meledak
Read more
BAB VI
“Han ... bangun! Jangan seperti ini,” ucapku. Sebenarnya, aku trenyuh, tetapi mau bagaimana lagi? Semua sudah berlalu. Janji adalah janji.Tanganku lantas menariknya pria itu agar bangun. Ini memalukan. Bahkan, beberapa menyaksikan kami dari kejauhan. Aku menoleh ke kanan dan melirik ke rumah tetangga yang juga menyaksikan peristiwa ini. Duh, malu rasanya. Ini bukan drama Korea atau drama China, Bosku!Aku berhasil membuatnya bangun. Mataku, memberanikan diri untuk menatap mata sembabnya. Lelaki itu, yang selama setahun ini menjadi temanku. Ia bahkan selalu ada untukku. Kenapa baru sekarang? Aku pernah berharap padanya, akan tetapi aku kubur karena tidak ingin kecewa lagi. Hanya dia yang menemani saat-saat paling sulit ketika Mas Dwi meninggalkanku. Bukan, lebih tepatnya aku yang tidak mau bersamanya, ketika tahu bahwa ia hanya memanfaatkanku saja. “Aku benar-benar minta maaf, Han. Aku menyesal tidak menyadari sebelumnya. Han, aku sudah janji dengannya, tidak mungkin mengingkarinya
Read more
BAB VII
Ibu lantas mengangguk. Ia pun membuang ingus yang mungkin sudah penuh karena menangis. Aku tersenyum, mengantarkan wanita yang paling hebat itu ke belakang dan membawakan keranjang belanjaan yang berisi beberapa lauk dari pasar. Setelah mencuci ikan, memasaknya. Ibu sudah bersiap untuk istirahat sebentar sebelum nantinya akan aktivitas merawat sayuran lagi. Setelah itu, kami berbincang tentang pernikahan. Meskipun sederhana, kami tetap akan membuat pelaminan. “Bu, tidak usah menyewa pelaminan. Itu akan membutuhkan biaya banyak,” ucapku. Ibu menoleh, ketika aku mengatakan itu. Matanya berkaca-kaca. Sekilas, aku memandang mata wanita tua ini berkaca-kaca. Kutahu, pasti hatinya sakit. Aku masih muda, ini pertama kali untukku. Akan tetapi, pernikahan ini harus sederhana. Bukan mewah intinya. Aku hanya ingin menikah untuk memberi tahu orang-orang, bahwa aku bukan pembawa sial. Atau bahasa kasarnya tidak laku. “Tidak apa-apa. Sederhana saja. Kamu daftar dulu pernikahan kalian. Setela
Read more
BAB VIII
Meskipun aku tidak membenci ayahku, akan tetapi sampai hari ini merasa sakit karena tahu bahwa aku sebenarnya bukan anak pertama. Ada dua kakak dari pernikahan terdahulu yang keberadaannya baru kami ketahui karena kakak tiriku yang pertama itu, perempuan dan akan menikah. Jadi keluarga pertama, mencari bapak. Aku memejamkan mata. Drama apa yang terjadi dalam hidup. Mengapa? Keluargaku penuh dengan misteri. Aku sangka, bahwa orang tuaku baik-baik saja. Akan tetapi, ternyata demikian. Sungguh, ini mirip dengan film. Aku tertawa menertawakan diriku sendiri. Ibuku? Dulu dibohongi bapak. Apakah ini sebuah karma? Kami disambut baik oleh kakak tiriku. Aku memang berhubungan baik dengan mereka. Selain itu, mereka juga ingin sebenarnya memberikan aku pekerjaan agar dapat hidup lebih layak. Sebagai gambaran, kakak tiriku yang laki-laki memang pekerja keras. Terutama dengan istrinya yang sangat getol dengan usaha. Ia pedagang ikan pindang yang sudah bisa disebut juragan karena memilih masak se
Read more
BAB IX
“Mas!""Kenapa?" tanyanya kecewa."Aku … kalau sudah menikah, bukan hanya itu yang kamu punya. Tapi semuanya,” ucapku lirih.Bagas terlihat semakin kecewa. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu takut. Sebenarnya, bukan karena takut dosa, akan tetapi takut sengsara. Berapa contoh yang memberikan dirinya, menyerahkan dirinya sebelum menikah, ditinggalkan oleh lelakinya dengan biadab. Aku tidak mau begitu.*****Aku lantas ke rumah Pak lik karena ayahku tinggal di sana. Akan tetapi, di rumah itu tidak ada siapa pun. hingga kami memilih ke rumah Pakde yang tentu saja ada istrinya di rumah. Benar saja, aku disambut oleh wanita seumuran ibuku, akan tetapi wajahnya lebih terlihat bersih karena jarang terkena sinar matahari. “Kapan kalian sampai?” tanyanya. “Dari kemarin Bude, karena hujan maka saya tunda ke sini,” ucapku. “Kenapa tidak mampir ke sini dulu?” tany suara dari luar. Kami sepakat untuk menoleh bagai sebuah paduan, akan tetapi tanpa dipandu. Itu adalah
Read more
Bab X
Aku tersenyum, suamiku memang nyentrik. Mas kawin, seharusnya akan dibawa bersama lamaran. Aku lupa, lamaran itu tidak pernah ada. Kita sudah membahas, bahwa tidak apa-apa aku tidak dilamar asalkan sah secara agama dan negara. Bagiku sudah cukup. Kali ini aku cukup terharu karena dia menyediakan mas kawin ini. “Terima kasih,” ucapku. “Kamu tahu, mengapa aku memilih mas kawin ini yang berbeda dari biasanya?” tanya dia. Aku hanya tersenyum saja menantikan penjelasan darinya. Lelakiku ini meraih tanganku. Tangannya yang penuh dengan lem itu menyentuh kulit tanganku sehingga menempel di telapak tanganku. Aku semakin tersipu. “Dengarlah, ini berarti. Sekarang kita tidak punya apa-apa, tandanya dengan uang pecahan dua puluh lima rupiah ini, sampai nanti kita kaya raya, tandanya uang pecahan seratus ribu ini, bersama.” Alangkah indahnya filosofi itu. Semoga menjadi doa. Aku aminkan perkataannya. Lelakiku itu, sungguh mencintaiku. Ia menginginkan bahwa hubungan ini tidak hanya sekedar s
Read more
DMCA.com Protection Status