Bab 4 Si Pelakor Kena TipuBaiklah. Sepertinya Aku harus memulai aksiku. Sebelum mereka melangkah lebih jauh. Eh tepatnya sebelum uang Mas Gavin mengalir terlalu deras ke wanita tak punya malu tersebut. Melalui ponsel Mas Gavin, ku berhasil mendapatkan nomor perempuan itu.Sengaja Aku membeli kartu baru untuk, untuk melancarkan aksiku. Dengan santai ku hubungi nomor perempuan itu. "Hallooooo..!" "Ya halloo. Dari siapa ya?"
"Aaapaa maksudmu sebenarnya? Siapa kau? Jangan cari gara-gara denganku." Rona kemarahan membuat rupa wajahnya menjadi sedikit lebih lucu menurutku. Entah apa kini yang ada dalam benaknya. Sedangkan Aku, ku rasa tak perlu membuang-buang emosi untuk menghadapi makhluk seperti perempuan ini. Dengan santai dan tetap tersenyum, ku tatap matanya lekat-lekat. "Siapa yang mencari gara-gara denganmu. Aku hanya heran mendengar kau ngaku-ngaku istrinya si Gavin. Kepedean sekali kau." "Terus apa hubungannya denganmu? Jangan terlalu ikut campur masalah pribadi kami Karin." "Sebenarnya, Aku tidak berniat untuk mencampuri urusan asmara kalian. Tapi Aku hanya ingin sedikit menawarkan kerja sama denganmu. Kuharap kau tak menolak tawaranku." "Kerja sama? Kalau mau menawarka
Huuuuuh kenapa ya tiba-tiba Mas Gavin jadi sangat sensitif siang ini. Oooh Aku belum mengecek ponsel. Siapa Tahu ada problem dengan si Alwa kesayanganbya, Terkait kerja samaku dengannya tadi siang. Ya aku harus cepat bertindak, siapa tahu menyangkut diriku. Kubuka aplikasi chat mereka. Setelah kubuka, ternyata benar dugaanku. Perempuan itu ternyata merengek-rengek minta tambahan jatah pada suamiku. Hehe tapi tak apalah. Yang penting Aku dapat menikmati uangnya. "Pokoknya Aku tidak mau tahu Mas. Aku mau tambahan dua juta lagi. Uang kemaren sudah habis terpakai buat pengobatan ibuku. 
Bersyukur sekali rasanya bisa bertemu dengan Mas Gavin ini. Lelaki yang sangat royal kepadaku dan tidak segan-segan menuruti keinginanku. Posisinya bisa mengganti Mas Ferdi di sisi hidupku. Bagaimana tidak Mas Ferdi tahunya kerja, kerja dan kerja saja. Pulang paling-paling sebulan sekali. Itupun paling-paling hanya tiga hari. Untuk ikut dengannya Aku ogah . Siapa sih yang mau deket-deket sama keluarganya yang super duper usil itu. Mentang-mentang orang kaya. Ih jijik. Memang sih, setiap bulan kirimannya selalu datang untukku. Sebenarnya lebih dari cukup. Nominalnya bahkan lebih dari yang kuterima dari Mas Gavin. Memangnya hidup hanya cukup dengan materi?. Tapi bagaimanapun kebutuhanku juga banyak. Rencananya Aku mau membeli rumah lain atas namaku sendiri. Tanpa sepengetahuan Mas Ferdi. Sebetulnya kalau tidak karen
Rasanya sesak sekali ketika Mas Gavin mengataiku hanya menumpang di rumah ini. Terlebih lagi dia mengatakannya kepada wanita selingkuhannya. Menganggapku hanya makan minum saja di rumah ini. Tidak sadarkah ia, rumah ini di dapatkan dari perjuangan bersama-sama. Bahkan terkadang aku tak segan-segan membantu dengan uangku sendiri. Memang dia tidak tahu, bagaimana susahnya Aku mengatur keuangan yang minim itu. Seandainya dia mau jujur dengan pendapatannya, seandainya dia mengetahui bahwa uang yang dia berikan tidak mencukupi, seandainya saja dia mau meringankan bebanku, dengan membayar cicilan rumah misalnya, mungkin Aku tidak sepusing ini. Tapi sepertinya memang dianya yang tidak mau tahu. Buktinya setiap Aku mencoba membicarakan hal ini, pasti Akulah yang ia salahkan. Aku istri boroslah, tidak pandai mengatur keuanganlah. Lagi-lagi Aku yang salah. Boro-boro mau menambah keuangan. Malah uangnya lebih senang ia berikan kepada seling
Aku memutar otak agar rencanaku tidak bisa tercium oleh Mas Gavin. Karena jika tidak, bisa-bisa Aku yang akan terjebak. Aku memang harus memutar otak. Tidak terasa sudah dua bulan Aku menikmati setoran Alwa. Artinya Aku harus segera bertindak lebih. Besok adalah hari di mulainya liburan sekolah anak-anak. Aku berencana untuk mengajak mereka untuk liburan di rumah neneknya. "Mas besok anak-anak mulai memasuki hari libur semester lho mas!" "Mmmm iya Dek, kalau mereka libur emangnya kenapa?" "Kira-kira kita bawa mereka liburan kemana ya, Mas?" "Liburan? Dek, Dek. Kamu kira hidup ini mudah? Cari uang mudah? Terus kamu kira liburan itu harus? Sadar Dek! Sudah dua bulan ini, Mas ini lagi kena masalah soal keuangan Kamu seharusnya mengerti
Di rumah Ibuku bisnis online ku terus berlanjut. Walaupun pikiran kalut, tetapi uang harus tetap mengalir. Aku tidak boleh kalah dari si Gavin congkak tersebut. Dia tidak tahu kalau uang yang Aku hasilkan terkadang melebihi uang yang dia kasih ke Aku. Sedangkan uangnya sendiri sebagian besar ia habiskan untuk dirinya sendiri. Biarlah dia menganggapku bodoh tidak tahu apa-apa. Memangnya itu penting buat di pikirkan? Tentu saja tidak. Dari rumah Ibuku Aku terus memantau gerak gerik mereka. Pertama ku coba mengecek penyadap suara di kamar kami. Lalu terdengarlah pembicaraan-pembicaraan mereka. "Wah itu foto anak-anak ya, Mas. Mereka ganteng dan cantik-cantik. Mereka mirip sama Ayahnya. Beda jauh sama Ibu mereka." "Iya dong sayang, siapa dulu ayahnya. Apalagi kalau Mas punya anak dari kamu, pasti wajah mereka tambah
Di rumah orang tuaku, Aku menyusun strategi. Aku ingin menghubungi seseorang untuk mendukung keinginanku. Orang itu adalah Ferdi suaminya Alwa. Aku memang belum mengenal pria itu. Berbekal nomor ponselnya. Aku mengajaknya bertemu di suatu tempat. Awalnya dia menolak. Tapi setelah aku berhasil meyakinkannya, dia setuju. Untuk menemuinya, memang sedikit memakan waktu sih. Tapi tak apalah. "Bu hari ini Vina mau antar orderan. Agak jauh Bu." "Lhoo kamu mau antar sendiri, kenapa nggak dikirim saja, nak?" "Kebetulan yang pesen teman lama Bu. Jadi ya Vina mau antar sendirilah, sekalian mau silaturahmi. Vina titip anak-anak ya Bu. Oh ya Vina pake mobil Ayah ya, Bu!" "Yang penting kamu ha