Semenjak ucapan dukun dan kalimat Julvi di malam yang sama, Arum dibuat kebingungan serta kebimbangan dalam hatinya yang kecil. Perasaan ragu dan menghindari sang suami perlahan sadar tindakannya semakin terlihat jelas dan membuat Julvri sendiri khawatir.
Membuat ia begitu paranoid sampai kesulitan mengendalikan diri. Meski begitu upayanya untuk pergi masih ingin dilakukan sampai kehidupannya akan benar-benar terjamin aman.Datanglah hari libur yang dibanggakan semua orang. Ibu dan ayah mertua akan pergi berjalan-jalan sendiri, sebut saja kencan di masa tua mereka. Ibu mertua menitipkan pesan pada Arum untuk membuatkan makan malam nanti. Arum yang hanya sekadar menantu tak berguna ini pun hanya bisa mengangguk dan menjawab iya.“Arum, tidak perlu dipaksa jika memang tidak bisa atau tidak ingin membuatkan makan malam. Nanti biar bibi saja, bibi juga belum juga pulang,” ucap Julvri menatap sedih seraya mengenggam punggung tangan Arum yang terdiam duduk di kursi sofa.“Tidak apa Julvri. Ini bukan masalah besar. Soal makan malam biar aku urus saja. Anggap saja ini hitungan bagi ibu agar aku memperbaiki kesalahanku,” ucap Arum tersenyum.'Ya, karena nanti aku akan membuat masakannya menjadi sangat asing,' lanjutnya membatin.“Arum, kamu begitu perhatian. Kalau begitu nanti aku akan membantu.”“Tidak perlu Julvri. Itu urusan seorang istri. Bukan seorang suami. Kamu perlu melakukan hal lain selayaknya seorang pria,” ujar Arum.“Bagaimana maksudmu?”“Yah, seperti berjalan-jalan dengan teman priamu?” pikir Arum sembari mengalihkan pandangan mata darinya.“Tidak mau,” ucap Julvri menolak.Senyum terukir jelas seraya ia meraih punggung tangan dan mengeluskannya ke pipi Julvri sendiri. Entah tindakan manja apa yang sebenarnya ia lakukan saat ini, namun Arum kesulitan bereaksi saking ketakutannya. Tangan Arum sempat bergetar namun senyum paksa itu sudah terlihat jelas.“Aku hanya ingin pergi denganmu. Berjalan denganmu, makan dengan dirimu dan melakukan segala hal bersama kamu seorang, istriku tercinta. Hanya kamu lah yang aku inginkan, itu saja,” ungkap Julvri menyipitkan mata, sembari menatap wajah istrinya yang kebingungan.“Dasar. Berhentilah bersikap romantis. Kita ini sedang di rumah, bibi juga masih ada di sini,” ucap Arum sedikit terganggu. Jika bisa melepaskan genggaman tangan Julvri, sudah sejak awal ia lakukan namun entah kenapa ia tidak bisa.***Waktu makan malam telah tiba. Menunggu kepulangan ibu dan ayah mertua, Arum masih asik di dapur untuk menyiapkan makan malam. Itu bukan karena kesenangnya dalam memasak lantaran karena hal lain.Berhubung bibi sedang ada urusan di ruangan lain, Arum memberikan 5 sendok garam pada makanan mewah yakni meatball spageti yang belum tersaji di atas piring itu. Secepatnya Arum mencampuradukkannya hingga tercampur rata.“Selamat datang kembali Tuan dan Nyonya.”Sepertinya mereka sudah datang, Arum segera menyajikan makanan tersebut di atas piring. Sembari dibantu bibi, mereka meletakkannya di meja makan. Begitu sampai, kedua orang tua Julvri pun tertegun diam menatap si menantu menggunakan celemek.“Arum, aku sangat bangga padamu yang menyajikan makanan ini. Terlihat sangat enak, mari kita makan bersama setelah kamu berganti pakaian,” ucap Ibu.“Iya ibu.”Membayangkan dirinya akan dihina setelah tahu masakan yang dibuat terlalu asin, Arum tersenyum senang seolah surat cerai dari pengadilan akan segera datang. Bayangannya terhadap kebebasan sudah di luar nalar, entah Arum masih waras atau tidak.“Aku akan makan setelah ibu dan ayah lalu suamiku memakannya lebih dulu.”“Ya ampun kamu ini punya etika yang terlalu sopan. Meskipun sebagai istri, tapi kamu bukan pembantu yang harus menunggu kami makan. Tapi baiklah, aku akan mencobanya.”Ibu mertua tersenyum bahagia mendapati sang menantu sesuai harapan. Arum pun juga begitu, ia terlihat sangat girang di belakang sembari menunggu reaksi buruk dari Ibu mertua.“Silahkan dimakan.”“Baiklah.”Baru saja mencicip satu suapan dari setengah sendok, ibu mertua terdiam hening dalam beberapa saat lalu setelah itu ia menjatuhkan sendok yang digenggamannya.“Ibu?” panggil Arum sembari berpura-pura gelisah.“Makanan ini terlalu asin,” ungkap sang ibu mertua dengan ekspresi yang sudah ditebak. Keningnya mengerut lantas menatap tajam Arum dengan ekspresi menakutkan.“Apa? Maafkan aku, bu! Maafkan aku!”Terkejut, Arum langsung duduk bersimpuh di hadapannya. Sekujur tubuh Arum gemetaran, wajahnya pun memucat seketika. Ia berulang kali meminta maaf dengan nada meninggi namun tidak berani menatap mata ibu mertuanya itu.“Masakannya asin ya? Ya sudah, kita pesan makan saja. Lagi pula Arum juga sedang belajar,” ujar Ayah mertua membela sang menantu.Brak!“Hah?! Semudah itu kau mengatakannya, lidahku terasa geli saat mencoba masakannya yang seperti sampah itu!” pekik Ibu mertua sambil menggebrak meja.Kemudian menunjuk Arum dengan tatapan yang belum berubah, ia berkata, “Istrimu ini benar-benar tidak berguna. Selain bangun kesiangan dia juga tidak bisa memasak.”“Ibu, manusia tidaklah sesempurna itu,” ucap Julvri membela juga.“Tidak! Kau jangan membelanya lagi! Lalu memangnya kalian sudah mencoba masakan Arum, hah?! Buktinya saat tahu makanan ini asin saat aku coba, kalian jadi tidak jadi makan 'kan?!” sindir ibu yang berteriak seperti iblis.“Maafkan aku, bu! Aku memang tidak bisa memasak, maafkanlah aku!” pekik Arum tetap menundukkan kepala dan bersimpuh.“Hei, bibi! Kau yang membantunya masak 'kan? Kenapa kau tidak memeriksa masakannya lebih dulu?” amuk Ibu pada bibi.“Tidak, tidak. Ini bukan salah bibi. Yang masak hanya aku seorang, bu. jadi jangan salahkan bibi. Bibi tidak tahu apa-apa,” ucap Arum menggelengkan kepala.“Aduh, jangan marah-marah. Kita semua butuh waktu untuk belajar, jadi tenangkan dirimu ya,” ucap Ayah mertua.“Ibu terlalu sensitif. Aku mohon padamu, bu. Maafkanlah istriku, Arum,” sahut Julvri membujuk.Melihat ibu yang begitu marah, Arum segera menyiapkan segelas air putih. Ia berniat memberikannya agar rasa asin itu tidak selamanya melekat di lidah, namun Arum sengaja mengandung kakinya sendiri hingga ia pun terjatuh dan menumpahkan air putih itu ke pakaian ibu.“Ah, ma-maafkan aku ... Ibu,” ucap Arum terbata-bata.Bukannya mereda justru semakin marah. Ya beginilah sifat asli ibu mertua. Arum sengaja memanas-manasinya agar hinaan itu terus terdengar. Ekspresi Arum di luar nampak sangat ketakutan bahkan kedua mata Arum mulai berkaca-kaca. Namun percayalah bahwa Arum saat ini sedang tertawa dalam batin.Dalam benaknya wanita pandai berakting layaknya seorang aktris itu berharap, 'Teruslah hina aku, ibu. Hinalah aku sampai ibu memaksa suamiku untuk segera menceraikan diriku yang tidak berguna ini ya.'“ARUM!!!! MULAI SEKARANG, KAU HARUS BELAJAR MASAK DARI BIBI! TIDAK BOLEH KELUAR RUMAH SEBELUM KAU BISA MELAKUKANNYA!”Emosi membludak bak muntahan gunung meletus keluar, hal yang diharapkan Arum untuk segera diusir nyatanya malah akan dikurung dalam rumah.Kehadiran seorang lelaki adalah pendamping bagi seorang wanita dan begitu juga dengan sebaliknya. Akan tetapi pasutri yang terikat pernikahan suci selama setengah tahun ini memiliki persepsi berbeda dari lainnya. Mereka memiliki sisi buruk yang tak terbayangkan serta sisi baik tak terduga. "Aku ... akan mati." Pikiran Arum hanya tertuju pada kematian saja. Dirinya berpikir ini sudah berakhir hingga beberapa petugas kepolisian menerobos masuk ke dalam rumah sembari menodongkan senjata. “Angkat tanganmu!” Luka lecet, lebam, bekas tusukan, darah terus mengalir di bagian lukanya, bahkan bekas luka jeratan tali masih terlihat. Tidak hanya itu, luka di hati pun sudah terpampang jelas di hadapan mereka. Arum sudah lemas dan tak sanggup bergerak di sisa napasnya yang sedikit. “Gawat! Orang ini tidak mau berhenti!”“Biar saya yang melakukannya!” seru seorang lelaki berpakaian jas coklat muda. Lelaki itu bergegas menghampiri lalu mem
“Ah!” Arum terbangun dalam keadaan tubuh basah berkeringat dingin. Wajahnya memucat, pupil matanya pun bergetar kuat dengan mengingat semua hal buruk yang ia pikir sedang terjadi saat ini. Namun ternyata Arum salah, begitu kesadarannya pulih dan mendapati dirinya berada di atas ranjang, ia mulai merasa tenang dan lega.“Syukurlah,” ucap Arum. “Ada apa, Arum?” Sampai melupakan sosok lelaki yang membuat Arum bermimpi buruk itu bertanya. Julvri yang telah membuka mata, lantas meraih wajah Arum dan memberinya kecupan pagi.Perasaan gelisah kembali hadir, seolah kabur hitam mengitari sekeliling tubuh mereka. Merinding tanpa bisa berekspresi lebih selain terdiam merasa takut.“Arum?” Sekali lagi sang suami memanggil dan bertanya apa masalahnya. “Ada apa?”“Julvri ... aku hanya kembali bermimpi buruk.” Perlahan Arum berucap sembari menyentuh punggung tangan kekar itu. “Mimpi buruk? Apakah itu tentang aku?”Awalnya Arum terkejut, dengan mata terbelalak dan mulut sedikit menganga, nyaris
Semilir angin membawa pergi dedaunan gugur, beterbangan bagai sehelai bulu yang ringan dan entah ke mana perginya mereka kala angin terus menggerakkannya. Sejenak suasana terasa tenang, Arum merasa begitu memejamkan mata maka dirinya akan cepat terlelap. “Julvri, apa kamu benar-benar akan membunuhku?” Dari sekian banyaknya pertanyaan, hanya kalimat itu yang terlontar dari bibir tipisnya. Sosok lelaki yang hadir berada di sampingnya itu hanya bisa terdiam dengan mulut setengah terbuka seakan hendak mengatakan sesuatu tapi tertahan. Setelah beberapa saat lelaki itu melengos dan kembali menghadap arah depan sambil menggandeng tangan sang istri dengan kuat."Ada apa dengan Julvri?" batin Arum bertanya-tanya dalam kebingungan. Sebab tak pernah merasa bahwa Julvri akan bersikap begini karena ini adalah pertama kalinya. Rasa bimbang ataupun bingung, resah dan gelisah. Entah apa yang sebenarnya Julvri pikirkan. “Tidak menjawab itu artinya benar. Lalu kenapa nggak lakukan saja sekarang? Aku
“Lalu kamu akan melakukan apa setelah menemukan sesuatu di laptopku?” Bagai disambar petir di siang bolong, Arum tersentak kaget mendapat pertanyaan yang jelas adalah sebuah sindiran. Arum mengubah posisinya menjadi duduk, sekali lagi terkejut, ia menatap tajam pada Julvri seolah sedang berbalik menghakimi.Julvri lantas bangkit dan berkata, “Ayo katakan sesuatu. Jangan sampai aku dibuat penasaran.” Di lain sisi ia merasa ada seseorang yang memperhatikan mereka. Spontan Arum menoleh ke arah pintu yang terdapat celah sedikit. “Julvri, pintunya tidak ditutup?” tanyanya sembari berusaha mengalihkan pembicaraan. “Ah, benar. Aku melupakannya,” ucap Julvri. Di celah pintu terbuka, Arum melihat sosok siluet familiar. Ia pun turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu dan membukanya.“Bibi Elli?” Rasanya tak pernah habis keterkejutan Arum dalam hidupnya. Ia dikagetkan oleh bibinya sendiri yang ternyata mengintip.“Ikut aku sebentar, rum.” Begitulah bibi memanggil, lalu Arum hanya mengi
Bibi Ella dan Elli adalah kembar seiras, yah, meskipun dari sifat mereka berbanding terbalik. Bibi Ella orang yang lembut sedangkan bibi Elli orangnya galak. Lalu sekarang bibi Elli berhadapan dengannya, dan entah kenapa seperti sedang marah. “Aku tidak berharap kamu mengerti ucapanku, Arum. Tapi kupikir sebaiknya ...,”“Bibi membicarakan apa?” Seolah tak ingin membahas sesuatu hal buruk itu, Arum kembali melanjutkan jahitannya yang belum selesai. Mulai dari pakaian hingga ke taplak meja, dengan sangat giat Arum mengerjakannya sepenuh hati hingga kembali sempurna seperti sedia kala. Sementara ia merasakan punggungnya dingin akibat tatapan tajam dari bibi Elli. “Aku belum selesai bicara,” katanya.Arum menelan ludah, bibir bawahnya sedikit tergigit. Setelah selesai menjahit, ia lantas menoleh ke belakang. Arum sangat terkejut akan tatapan yang dirasa semakin tajam dan menakutkan itu. “Iya, baiklah. Aku akan mendengarkannya tapi tentang apa? Bibi Elli selalu bicara setengah-setenga
Suasana di kampung halaman yang terasa lebih sejuk membuat Arum merasa rileks sejenak. Saat ini ia sedang membantu nenek menjahit pakaian yang sedikit rusak dengan cara manual. Nenek tampak sehat dengan kegesitan yang ia gunakan tuk menjahit. Sungguh hebat. “Arum, jujurlah pada nenekmu ini tentang satu hal.”Nenek memulai percakapan yang sejujurnya terdengar seolah Arum menyembunyikan sesuatu. Arum pun menghentikan gerakan tangannya terkejut. “Iya, nek. Kenapa?”“Ibumu sudah tiada dan aku ingin tahu bagaimana keadaan Ayahmu.” Rasa terkejut kembali bertambah, Arum sepenuhnya bungkam karena tak mengira bahwa nenek tidak mengetahui kabar tentang Ayahnya.“Ayahku ...,” Arum menggumam. Pikirannya mulai kalut dalam kebingungan, ia bimbang apakah perlu menceritakan yang sebenarnya atau tidak lantaran ibunya sendiri pun sengaja tidak memberitahukan hal tersebut. "Kenapa Ibu menyembunyikan hal ini? Kejadiannya sudah cukup lama. Apa aku perlu menceritakannya?" batin Arum yang memiliki bany