Wanita berambut hitam panjang itu akhirnya membuka kedua mata dengan jelas, sembari menerima ocehan demi ocehan dari Ibu mertua, Arum lekas membuka koper dan mulai melipat bajunya ke dalam.
“Aku tidak sudi menerima menantu hama sepertimu!” Begitulah kata-kata terakhir dari Ibu mertua sebelum keluar dari kamarnya. Sementara Julvri membuntuti Ibunya untuk membujuk.Tidak berselang lama kemudian, bibi yang merupakan pembantu di rumah ini menghampiri Arum. Tetap berdiri di luar pintu kamar sembari menanyakan bagaimana kondisi Arum.“Apa Neng Arum tidak apa-apa? Nyonya besar tidak bermaksud begitu. Saya yakin ini demi kebaikan dirimu.”“Bibi ...”Pelan, bibir yang bergetar itu menyebut. Lantas menoleh ke belakang dengan ekspresi memelas. Terlihat arah tatapannya tidak tertuju pada bibi melainkan lantai, ada perasaan takut serta cemas dalam diri Arum. Setidaknya bibi merasakan kondisinya yang seperti itu.“Neng ... bibi dulu yakin kamu itu bangun pagi-pagi sekali. Kamu pintar masak, bebersih dan banyak hal lainnya yang dikerjakan oleh Ibu rumah tangga. Tapi sekarang sudah berubah mungkin karena sesuatu?” duga bibi.Arum menggelengkan kepala sembari memejamkan mata sejenak. Sedikit berpaling lalu mengatakan, “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir.”“Lagi pula aku sudah tidak berguna. Aku memang buka jodoh yang baik. Sudah dinikahi orang kaya saja sudah beruntung tapi malah aku yang tidak berguna dan jadi beban,” imbuhnya merendahkan diri sendiri.Setetes air mata terjatuh. Kedua tangannya yang mengepal itu kian bergetar cukup lama. Arum seolah merasa benar-benar bersalah padahal sama sekali bukan begitu. Alih-alih menangis, sejujurnya bibi yang ada di sana sudah tertipu dengan mata air buaya betina.Arum kemudian mengatakan sesuatu sambil membalikkan badan dan kembali merapikan pakaiannya yang sudah tertata rapi di dalam koper.“Aku mungkin akan segera diceraikan. Apalah aku yang hanya numpang satu atau dua malam di sini. Aku sangat sedih tapi apa boleh buat,” tutur Arum.“Neng Arum, nanti saya bantu deh biar Nyonya besar nggak akan marah lagi sama kamu, ya?” ujar bibi yang merasa kasihan.Kini tak hanya tangannya, punggung Arum pun mulai gemetar hebat. Bibi mengira Arum sedang menahan tangis namun sebenarnya Arum hanya sedang menahan tawanya. Ia tersenyam-senyum ketika memikirkan kebebasan yang akan di dapat setelah berhasil keluar dari jurang maut depan mata.'Aku sangat berterima kasih padamu, bi. Tapi aku tidak bisa berlama-lama di rumah ini. Andai kata aku bisa mengatakan alasanku dengan jujur ...' batin Arum.“Arum.” Suara yang tak asing memanggil namanya dengan lirih namun juga ketus.Arum sedikit terkejut, ia lantas berbalik badan dan menghadap orang yang telah berada di belakangnya. Di sana juga ada Julvri yang tersenyum pada Arum.“Duduklah sebentar, ada hal yang ingin aku bicarakan padamu.”“Ibu?”Tak yakin dengan apa yang hendak diucapkan, Arum melirik Julvri namun Julvri hanya menganggukkan kepala saja lalu pergi. Begitu juga dengan bibi. Mereka berdua meninggalkan Arum dan Ibu mertuanya di dalam kamar untuk berbicara sebentar.Lantas keduanya duduk berdampingan di sisi ranjang. Ibu mertuanya menundukkan kepala sambil bercerita sesaat sebelum pernikahan putranya terjadi.“Sebelum kalian berdua menikah, Ibu dan Ayah mertuamu ini pergi ke rumahmu dan bertemu dengan Ibumu. Ibu kandungmu mengatakan dirimu itu adalah perempuan baik-baik.”“Atas dasar apa ibu berpikir itu benar? Aku bisa saja berbohong,” ucapnya datar.“Kau benar. Terlepas dari semua yang diucapkan oleh ibumu, aku yakin ucapannya tulus. Itu terlihat jelas dari ekpresinya.”“Ibu mengatakan banyak hal baik tentangku saja membuatku terkejut. Tapi aku pikir tidaklah sesempurna itu.”“Iya benar. Kau berkebalikan dengan semua yang pernah ibumu ucapkan, Arum!” ucapnya bernada tinggi.Arum tersentak kaget, antara merasa takut namun juga malu. Ia kemudian memalingkan wajah guna menghindari tatapan ibu mertua.“Kamu yang pekerja keras, selalu bangun pagi dan menyiapkan sarapan. Membantu ibumu berjualan bahkan membayar uang kuliah dari hasil kerjamu di luar, itu semua yang diucapkan oleh ibumu,” ungkapnya.“Aku sangat berterima kasih."”“Oh iya satu hal lagi. Ibumu pernah mengatakan kau itu bermulut kasar, hanya itu saja poin minusnya. Meskipun aku tidak pernah mendengarmu memaki,” tutur Ibu mertua.Ibu lantas beranjak dari sana, ia hendak pergi meninggalkan kamar karena merasa percakapan ini akan segera berakhir. Arum yang kebingungan dengan maksud pembicaraan ini pun meminta agar ibu menunggu sembari menanyakan sesuatu.“Ibu mertua bukankah tidak menyukai aku? Kalau begitu aku akan diusir 'kan?” tanya Arum seakan sedang panik.“Ha? Apa yang kamu bicarakan?” tanya Ibu tak mengerti dengan nada yang terdengar semakin tegas. “Aku berkata ingin mengusirmu itu hanya karena emosi sesaat. Tapi bukan berarti aku akan memaafkanmu begitu saja!” imbuhnya berteriak.Kemarahan Ibu mertua ternyata hanyalah emosi sesaat, tak pernah terpikirkan bahwa ini akan menjadikan Arum sebagai orang konyol yang berdiri di jalan buntu. Harapan telah sirna ketika setitik cahaya muncul, seakan gerhana datang menunjukkan kebohongan.“Ibu terlalu baik. Setelah semua yang aku lakukan dengan sengaja, di balik amarahnya beliau tetap menasehati dengan baik.”Sesak di dada, antara rasa haru dan takut yang saling berlawanan. Arum sempat bimbang ingin pergi namun kemudian rasa iba di hatinya tersingkir ketika mengingat ucapan dukun.“Tidak.”Sorot mata yang terlihat memelas sebelumnya berubah tegas. Sembari menatap depan dengan serius ia berucap, “Demi bertahan hidup, segalanya akan aku lakukan. Sekalipun membuatku dihina nantinya.”Hidup hanya sekali, begitu sadar ada yang aneh dengan suaminya, dalam sekejap wanita itu segera memutuskan untuk pergi. Namun tidak secara terburu-buru ataupun dengan paksaan, ia berencana membuat Juli menceraikan dirinya sehingga ia akan terhindar dari kecurigaan.Meskipun terbayang akan cukup mudah dijalankan rencananya, namun nyatanya tak sesuai dan selalu berakhir gagal karena beberapa hal. Setiap langkah Arum menyentuh lantai dingin ini pun, ia merasa lehernya telah dicekik.Tap!Arum berhenti berjalan tepat di daun pintu, ia melirik ke kiri dan mendapati seorang lelaki berpostur tubuh tinggi dan tegap. Rambut hitam yang disisir rapi tersenyum bahagia kepadanya.'Aku takut,' ucap Arum dalam benaknya.Senyuman yang biasa ia hadapi dan membalasnya dengan senyuman juga, kini telah berubah drastis. Seolah sedang menghadapi yang bukan manusia.“Arum, syukurlah ibu mengampuni dirimu. Ah, aku sempat takut karena aku harus pergi jauh darimu nanti,” tutur Julvri seraya mendekap istrinya dengan kelembutan. Sesekali ia mengelus kepala Arum.“Jangan dekati aku,” ucap Arum.“Arum?”“Eh? Ah! Bukan, bukan!” Sadar telah mengucapkan kalimat yang tak seharusnya, dalam keadaan panik ia meninggikan nada suara sembari melambaikan tangan, sebuah isyarat Arum salah bicara.Semenjak ucapan dukun dan kalimat Julvi di malam yang sama, Arum dibuat kebingungan serta kebimbangan dalam hatinya yang kecil. Perasaan ragu dan menghindari sang suami perlahan sadar tindakannya semakin terlihat jelas dan membuat Julvri sendiri khawatir. Membuat ia begitu paranoid sampai kesulitan mengendalikan diri. Meski begitu upayanya untuk pergi masih ingin dilakukan sampai kehidupannya akan benar-benar terjamin aman. Datanglah hari libur yang dibanggakan semua orang. Ibu dan ayah mertua akan pergi berjalan-jalan sendiri, sebut saja kencan di masa tua mereka. Ibu mertua menitipkan pesan pada Arum untuk membuatkan makan malam nanti. Arum yang hanya sekadar menantu tak berguna ini pun hanya bisa mengangguk dan menjawab iya. “Arum, tidak perlu dipaksa jika memang tidak bisa atau tidak ingin membuatkan makan malam. Nanti biar bibi saja, bibi juga belum juga pulang,” ucap Julvri menatap sedih seraya mengenggam punggung tangan Arum yang terdiam duduk di kursi sofa.“Tidak apa Julvr
Menyambut pagi hari yang begitu cerah, langit kebiruan tanpa awan, burung-burung berkicauan dan udara yang sejuk ini terasa seperti fana. Sesuatu yang seolah bukan berasal dari dunia ini. Seorang wanita muda yang melihat semua keindahan itu di balik jendela pun menghela napas panjang. “Apa yang sebenarnya aku lakukan di sini?”Dirinya bertanya-tanya apa saja yang sebenarnya ia lakukan. Ia merasa aneh entah sejak kapan. Mungkin saja karena perkataan dari dukun itu. Semakin dipikirkan semakin membuat resah saja. Wanita itu lantas menghela napas untuk yang kedua kalinya. “Ha ... baiklah. Aku jadi aneh sekarang,” pikir Arum seraya bersandar pada kusen jendela. “Arum?” panggil sang suami yang kemudian masuk ke dalam kamar. “Itu ternyata kamu. Kupikir siapa.”“Hari ini hari libur. Kamu mau pergi ke mana? Perlukah kita berjalan-jalan atau ke suatu tempat yang kamu inginkan?” tanya Julvri, duduk di tepian ranjang dan tersenyum.“Aku rasa tidak perlu.” Arum hanya menjawab singkat lantara
Sebuah ponsel bergetar cukup kencang, disertai dengan nada dering khusus ketika orang yang paling ia sukai sedang berusaha menghubunginya. Tertera sebuah nama "Arum." Dalam sekejap raut wajah pria yang tadinya murung berubah menjadi senang. “Tumben sekali.” Arum seharusnya bukanlah siapa-siapa bagi pria itu tapi ia memendam sebuah rasa kepadanya dan tidak pernah mengungkapkan perasaan itu sama sekali hingga orang terkasihnya menikahi pria lain.Eka, adalah pria yang sebelum ini dihubungi oleh Arum untuk dimintai bantuan. Tidak lain adalah agar dapat berakting, memperlihatkan seolah-olah Arum sudah melakukan hal memalukan sebelum pernikahannya dengan Julvri terjadi. Eka langusng setuju dan membantu. “Terima kasih, Eka. Berkatmu aku bisa segera terbebas darinya,” ucap Arum merasa sangat berterima kasih.“Sebenarnya apa yang kamu pikirkan sampai berani berakting di depan suamimu. Padahal dia terlihat tidak memiliki masalah apa pun,” pikirnya.“Ini aku lakukan demi bertahan hidup.”“Be
Datang juga akhirnya, yang telah lama ditunggu oleh wanita itu. Belum cukup lama mereka menikah dan harapan Arum akan segera terkabul usai Julvri memberikannya surat cerai. 'Tinggal di tanda tangan, beres.' Arum membatin girang. Namun ekspresi senangnya itu ia tahan sekuat tenaga di lubuk hatinya yang terdalam. Tak ingin menaruh rasa curiga, sehingga Arum pun kembali berakting layaknya wanita yang enggan diceraikan. “Tunggu sebentar, suamiku. Aku ... aku tahu aku salah,” ucap Arum dengan nada bergetar. Ia beranjak dari tempat duduknya lantas meraih ujung lengan jas Julvri yang hendak pergi begitu saja. Julvri menghentikan langkahnya dan berbalik badan sembari menatap Arum dengan sengit. Seketika tatapan tajam itu membuat Arum reflek menarik tangannya sendiri. Terkejut sekaligus takut, rupanya perasaan itu belumlah memudar. “Maafkan aku, Julvri. Aku tidak bermaksud ... begini, aku—”Julvri mengangkat jari ke depan bibir Arum, menghentikan istrinya bicara dan ia benar-benar ter
Sekalipun amplop tebal yang berisikan sejumlah uang disodorkan, hati nenek yang merupakan seorang dukun tak pernah goyah. Ia tidak menolak secara terang-terangan melainkan menyatakan bahwa dirinya tidak ada niatan untuk memeras Arum seperti ini. Tetapi, Arum merasa sangat berterima kasih pada dukun lantaran telah memberinya sebuah peringatan. Bagi dukun itu hanya sekadar peringatan kecil tapi bagi Arum itu adalah peringatan terbesar dengan tanda bahaya semakin dekat. “Sudahlah, terima saja. Anggap ini kebaikanku padamu yang sudah nenek tolong,” ucapnya bersikukuh.“Terserah Nyonya muda saja.”Matanya masih sembab namun ekspresi bahagia yang barusan tiba-tiba saja lenyap dalam sekejap. Ia menghela napas panjang sembari memalingkan wajah seolah memiliki masalah lain. Dukun sadar akan hal tersebut dan kemudian bertanya.“Apakah ada masalah?”“Aku hanya memikirkan bagaimana aku ke depannya setelah diceraikan oleh suamiku nanti. Mahkota berharga milikku sudah direnggutnya dalam satu mala
Keluarga Arum, terdiri dari seorang Ayah, Ibu, dirinya dan seorang adik laki-laki yang tinggal di kampung halaman. Sejak kecil mereka semua hidup berbahagia hingga suatu kejadian membuat Ayahnya berubah sikap. Itu terjadi tepat setelah ia di pecat dari pekerjaan karena tertuduh telah menyebarkan informasi perusahaan.Setiap kali pulang entah dari mana, bau tak sedap tercium dari tubuh sang Ayah. Minuman-minuman keras yang tak berkhasiat lah asal dari bau tak sedap itu.Namun hal itu tak berlangsung cukup lama, Ayahnya mendadak kembali bangkit dan kembali menghidupi keluarga entah dari ia mendapatkan sejumlah uang yang bernilai besar. “Ayah pulang!”Ekspresi bahagia terpancar jelas di raut wajah sang Ayah, hal tersebut membuat Arum sangat senang. Tapi tidak dengan Ibunya. Ia menaruh rasa curiga terhadap suaminya sendiri karena hasil uang yang tidak diketahuinya itu.“Dari mana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?”“Ini dari pekerjaan baruku. Ayo terima uang ini, dan jajankan itu pada p
“Hati-hati!” Bruk! Saat ia melangkah tanpa melihat, dan tersandung, beruntung ia diselamatkan oleh sosok pria yang murah senyum. Entah itu keajaiban atau mungkin takdir yang indah, begitulah yang wanita itu pikirkan saat berjumpa dengannya.Sekilas mengingat kenangan lama semasa kuliah, Arum lantas menggelengkan kepala dan berharap dalam batin agar dapat pergi jauh dari pria mengerikan ini. “Aku sudah lama mengincarmu. Tidak, bukan kamu melainkan hartamu!” seru Arum yang terus menangis. Sekujur tubuhnya bergetar, kedua tangan Arum pun terus mendorong tubuh Julvri agar menjauhkan diri dirinya. “Harta ... ku?” “Ya! Makanya itu aku ingin meminta cerai!”“Cerai ketika kamu berpikir bahwa aku akan melakukan sesuatu hal buruk kepadamu?”“Ya! Aku tidak benar-benar mencintaimu. Aku hanya mengincar harta dan segalanya yang kamu punya,” ungkap Arum setengah jujur. Arum Kusuma Pramesti dikenal oleh banyak orang sebagai wanita materialistis. Ia memandang pria dari ukuran harta dan seberapa
Julvri sempat mengatakan bahwa Arum harus mengetahuinya secara langsung begitu sampai ke lokasi, tempat di mana pasar malam terakhir diadakan. Itu berhubungan dengan dukun yang selama ini telah meramalkan nasib Arum. Meskipun begitu, entah mengapa kata-kata dari dukun kerap kali diingat olehnya dalam benak sampai membuat Arum tidak bisa fokus. Lalu keadaan keluarga ini masih belum cukup jelas, tak terlihat ada kedua orang tua Julvri dalam rumah, nampaknya mereka sudah lama pergi. “Neng, mau ke mana pergi sepagi ini?” tanya bibi pembantu.Arum mengenakan pakaian tergolong biasa, baju berlengan pendek dan berkancing serta rok panjang berwarna hitam. Tidak biasanya ia mengenakan pakaian serapi dan sesopan itu, namun kecantikannya sungguh tidak pernah luntur terkait apa pun pakaiannya.“Bibi, maafkan aku. Tempo hari aku melakukan hal memalukan. Tapi sekarang tidak akan lagi,” ucap Arum tulus seraya mengambil stopmap coklat dan rantang tiga tingkat di atas meja. “Sejak kapan Neng Arum m