Share

Drama Orang Ketiga

Menyambut pagi hari yang begitu cerah, langit kebiruan tanpa awan, burung-burung berkicauan dan udara yang sejuk ini terasa seperti fana. Sesuatu yang seolah bukan berasal dari dunia ini. Seorang wanita muda yang melihat semua keindahan itu di balik jendela pun menghela napas panjang.

“Apa yang sebenarnya aku lakukan di sini?”

Dirinya bertanya-tanya apa saja yang sebenarnya ia lakukan. Ia merasa aneh entah sejak kapan. Mungkin saja karena perkataan dari dukun itu. Semakin dipikirkan semakin membuat resah saja. Wanita itu lantas menghela napas untuk yang kedua kalinya.

“Ha ... baiklah. Aku jadi aneh sekarang,” pikir Arum seraya bersandar pada kusen jendela.

“Arum?” panggil sang suami yang kemudian masuk ke dalam kamar.

“Itu ternyata kamu. Kupikir siapa.”

“Hari ini hari libur. Kamu mau pergi ke mana? Perlukah kita berjalan-jalan atau ke suatu tempat yang kamu inginkan?” tanya Julvri, duduk di tepian ranjang dan tersenyum.

“Aku rasa tidak perlu.”

Arum hanya menjawab singkat lantaran tak berani mengambil keputusan. Hingga ibu mertua pun datang, setelah dua minggu dihukum tak keluar rumah akhirnya ibu mencabut larangan keluar rumah dan menyarankan pasutri itu untuk pergi berlibur sehari.

Entah kenapa Arum merasa itu seperti perintah bukan saran biasa. Memikirkan akan pergi ke mana saja bersama suami itu memang membuatnya senang, tetapi yang tidak membuatnya senang adalah karena kekhawatiran Arum terhadap Julvri yang memiliki sikap aneh sejak itu.

“Tapi—”

“Pergilah. Ini sebuah kesempatan.”

“Baiklah, ibu. Kalau begitu nanti aku minta ditemani makan malam saja,” ucap Arum memalingkan wajah.

Dan begitulah yang terjadi. Pada akhirnya Arum tidak bisa menolak kebaikan ibu. Malam pun telah tiba. Di mana langit telah menggelap dengan taburan bintang di atasnya, pemandangan yang sungguh menakjubkan.

“Arum? Apa yang sejak tadi kamu lihat?” tanya Julvri yang heran pada istrinya, lantaran sejak tadi Arum terus-menerus menengadah ke langit sambil bergumam sesuatu.

“Oh, aku hanya sedang berdo'a.”

Klap!

Setelah masuk ke dalam mobil, ditutuplah pintunya dengan rapat. Kemudian mereka pergi menuju ke sebuah restoran untuk makan malam. Meskipun Arum sedikit enggan, terlihat ia sengaja memaksakan dirinya untuk tetap tersenyum di hadapan suami tercinta.

'Hanya dugaan tapi aku sudah merasakan firasat buruk,' batin Arum seraya melirik Julvri.

“Hei jangan melihatku seperti itu saat aku sedang menyetir. Aku jadi grogi nih,” tutur Julvri sekilas melirik ke arahnya.

“Ma-maafkan aku. Aku nggak ada maksud ...” sahutnya terbata-bata.

“Aku tampan ya? Sampai kamu lihat seperti itu,” ujar Julvri.

“Itu benar sih. Tapi bukan itu yang membuatku ... ah, fokuslah menyetir sayang. Tenang saja aku tidak akan menatapmu lagi,” ucap Arum menyembunyikan wajah memerahnya.

Restoran bintang lima yang tiada tanding dalam segala hal baik di luar maupun dalam. Semua makanan berkualitas berkumpul dan menumpuk dalam menu, sesuai pilihan tentunya mana saja bisa ia dapatkan namun perut Arum justru terasa mulas begitu membuka buku menunya.

“Wah, ada apa ini?” gumam Arum mulai gugup.

“Arum. Sudah memilih?” Julvri bertanya.

“Be-belum. Aku ke toilet sebentar, ya,” jawab Arum gagap sembari menyodorkan menu itu padanya.

Lantas Arum segera beranjak dari kursi dan lekas menuju ke kamar belakang sesegera mungkin. Khawatir perutnya semakin bermasalah, itulah yang membuat Arum sedikit terburu-buru pergi. Namun anehnya setelah sampai ke sana, mual atau mulesnya perut sudah hilang entah ke mana.

“Gugup? Tidak, mungkin aku saking takutnya jadi seperti ini.”

Sejenak ia bersandar di dinding seraya membuka layar ponsel, ia menekan tombol kontak nomor seseorang yang dikenalinya.

[“Halo? Ini kamu ya Arum? Nggak nyangka bakal ditelpon.”]

“Hei, maaf menganggu. Aku butuh bantuanmu, bisa datang ke alamat yang akan aku kirimkan?” sahut Arum lantas tersenyum senang.

Selang beberapa saat kemudian, Arum keluar dari sana dan kembali ke tempat di mana ia duduk bersama suami. Wajah Julvri hari ini memang terlihat lebih tampan dari biasanya. Sesaat Arum berpikir ini mungkin karena lampu yang terang dalam restoran.

Sembari tersenyum ia duduk di kursinya lagi. Lantas berkata, “Kamu memesankannya untukku ya? Senangnya.”

Melihat ada makanan kesukaannya yang mana inti dari masakan itu terdapat kentang, tentu membuat Arum sangat senang. Julvri membalas senyum dengan senyum yang biasa ia lakukan.

Arum terkejut diam sampai kesulitan berekspresi ataupun berkata-kata. Bukan karena ketampanannya melainkan karena rasa takut saat mengingat ucapan Julvri yang ambigu pada hari itu.

'Padahal dia suamiku. Walau pernah mengatakan hal yang ambigu, namun bukan berarti dia benar-benar akan melakukannya. Tapi kenapa aku malah lebih mempercayai dukun itu dibandingkan suamiku sendiri?' Arum membatin, memikirkan kebingungannya sendiri.

Di tengah kegiatan makan malam ini, mereka kedatangan seorang lelaki yang usianya tak jauh dari Julvri, ia menatap tajam Arum dengan sebuah arti tertentu.

“Jelaskan apa maksudnya ini semua? Aku tidak mengira bahwa dirimu telah menikah setelah aku melayanimu dengan puas sewaktu itu.”

Julvri yang ikut mendengar orang ini berbicara melantur, lantas menyahut omongannya dengan kesal.

“Dia istriku. Apa kau tidak salah mengenali seseorang? Karena istriku tidak seperti apa yang kau bicarakan.”

“Betapa malangnya suamimu ini. Sebelum pernikahan, aku lah yang merenggut miliknya lebih dulu. Jadi ... kau akan bagaimana?” tukas pria itu dan menyeringai sinis.

Sedangkan Arum hanya terdiam dengan menunjukkan raut wajah gelisah tak karuan. Ia menghindari tatapan dari Julvri dan kemudian menundukkan kepala sedalam-dalamnya seakan ucapan pria asing ini benar dan ia merasa sangat bersalah.

“Arum, aku yakin kamu tidak seperti itu. Cepat katakan bahwa itu semua tidak benar,” pinta Julvri dengan berwajah cemas.

Sayangnya Arum tidak berani mengatakan sepatah kata pun, hal tersebut membuat Julvri sangat terkejut. Entah seberapa besar hubungan di antara Arum dengan lelaki itu, Julvri justru lebih terganggu dengan raut wajah Arum yang seolah membenarkan semuanya.

Wajah Julvri tampak jelas sekali ia sedang marah, tatapannya setajam bilah pisau. Kapan saja ujung pisau itu akan menusuk jantung Arum, namun entah ada apa ia lebih memilih menahan diri lantas pergi meninggalkan Arum dengan lelaki asing di sana.

Arum yang tidak mengerti akan sikap Julvri hari itu, juga merasa sangat terkejut. Ia tak menyangka Julvri tidak begitu banyak bicara saat setelah mendengar semua ucapan lelaki ini.

“Apa dengan begini cukup?” tanya lelaki itu pada Arum.

Arum kemudian menganggukkan kepala. Berkata, “Iya sudah. Dengan begini, dia pasti akan segera menceraikan aku.”

“Sebenarnya untuk apa kamu melakukan ini semua? Suamimu terlihat sangat baik, dia bahkan menahan amarah di depan banyak orang. Tidak seperti kita yang sengaja berterus-terang.”

“Aku melakukan ini demi bertahan hidup,” ungkap Arum serius, ia beranjak dari kursi dan menatap lelaki itu dengan tajam.

“Terima kasih sudah membantuku, Eka.” Setelah itu ia lantas menyunggingkan senyum.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status