Share

Kunkungan Pernikahan Suami Psikopat
Kunkungan Pernikahan Suami Psikopat
Author: Ndaka

Ramalan Seusai Pernikahan

Pernikahan adalah hal yang paling membahagiakan bagi setiap pasangan. Tak terkecuali dengan Arum dan Julvri yang saling mengikat janji suci di hadapan banyak saksi. Senyum merekah manis bak kelopak bunga yang tumbuh cantik, wajah sang pengantin pun terlihat begitu berkilau.

Seharusnya begitu. Iya, seharusnya seperti itu. Setelah menikah mereka akan hidup bahagia. Itu adalah harapan terbesar Arum sebagai seorang wanita biasa yang menikah dengan sosok lelaki sukses dan kaya raya. Hingga ucapan sang dukun membuat hati Arum bergetar.

“Suami kamu bukanlah orang yang baik. Suatu saat pasti, dia akan membunuhmu.”

***

Kali pertama berjumpa dengannya adalah ketika berada di halaman parkir sebuah universitas. Arum dan Julvri saling bertukar tatap satu sama lain di tengah kerumunan para mahasiswa. Awalnya hanya berupa ketidaksengajaan namun lama-lama keduanya ingin saling berjumpa kembali.

Saling mengetahui latar belakang, kelebihan serta kekurangan masing-masing. Kedua insan itu pun mulai berhubungan menjadi pasangan kekasih, seminggu setelah merasa cocok satu sama lain mereka memutuskan untuk segera menikah.

Sekarang lelaki itu, Julvri Vandam telah menjadi seorang pendiri serta pemimpin perusahaan dalam bidang game. Tidak hanya itu ia juga memiliki usaha-usaha lain yang membuat kekayaannya semakin berlimpah.

'Jika dia tidak kaya, maka mana mungkin aku menikahinya,' batin Arum kegirangan.

Arum Kusuma Pramesti, wanita muda yang memiliki keluarga tergolong biasa bahkan bisa dikatakan keluarganya miskin. Saat kuliah saja ia hanya merampungkan pendidikan selama satu tahun saja.

Berhubung ia sudah menikah dengan orang kaya, jadi ia takkan melanjutkan kuliah yang akan membuatnya semakin pusing. Bebas, adalah sebutan yang cocok untuk Arum.

Pasar Malam.

Hari ini Arum mengajak Julvri untuk pergi ke tempat yang biasa ramai, bukan restoran apalagi mall. Ia sekadar ingin mengenang masa kecilnya dengan pergi ke pasar malam. Di mana ada banyak dagangan makanan, pakaian bahkan permainan untuk anak-anak.

Situasi di suatu jalan itu sangatlah ramai tak terkira. Julvri sedikit merasa resah, serta bingung mengapa istrinya ingin datang ke tempat seperti ini.

“Jika ingin berjalan-jalan di malam hari. Bukankah wisata seperti taman atau sejenisnya akan jauh lebih baik?” pikir Julvri.

“Sehari setelah kita berdua menikah, aku ingin datang kemari karena merasa rindu saja.”

“Oh, begitu.”

“Terakhir kali aku datang saat Ayah masih ada, mungkin saat aku masih berusia 8 tahun,” ungkap Arum mengumbar senyum selagi menggandeng lengan suaminya dengan mesra.

“Ya sudah kalau maumu begitu. Istriku memang unik,” ucap Julvri lantas tersenyum.

“Sayang bolehkah aku meminta kentang goreng di sana?” tanya Arum menunjuk dengan menatap dagangan itu dengan mata berbinar-binar.

“Bo-boleh.” Julvri sempat ragu. “Tapi terlalu ramai. Kamu menunggu saja di dekat sini ya. Aku akan segera membelikannya. Jadi jangan ke mana-mana,” imbuh Julvri.

“Iya, baiklah.”

Sayangnya Arum bukan tipe wanita penurut. Meskipun telah diperintah oleh sang suami untuk tidak ke mana-mana, justru Arum melakukan hal sebaliknya. Ia berjalan-jalan di bagian belakang yang tidak tersorot lampu besar. Lantaran ia ingin melihat banyak hal dari kejauhan.

Srak!

Tidak lama Arum berjalan beberapa langkah, tangannya tidak sengaja meraih kain yang tergantung.

“Apa ini?”

Penasaran dengan apa yang ada di baliknya, Arum membuka kain itu dan mendapati sebuah ruangan kecil yang gelap. Hanya ada beberapa lilin yang menggantung serta seorang nenek tua yang duduk di depan meja dengan mata terpejam.

“Maaf permisi aku masuk tanpa tahu ini adalah sebuah tempat. Boleh aku tahu tentang tempat ini?” tanya Arum berwaspada.

“Boleh saja.” Perlahan nenek itu membuka kedua matanya lalu mengayunkan tangan tanda isyarat agar Arum mendekat.

“Di sini adalah tempat yang jarang banyak orang dapat menjangkaunya. Wanita muda sepertimu bisa datang ke sini pasti ada hal yang ingin kau ketahui,” tutur nenek itu.

“Kau pasti dukun. Aku tidak tertarik.” Di luar dugaan Arum kehilangan minat, ia berniat untuk segera pergi namun nenek itu kembali memanggil.

“Hei, Nyonya muda. Aku harap dukun ini bisa mengatakan sebuah rahasia kecil yang akan terjadi dalam hidupmu.”

Tentu saja kalimat itu adalah sebuah rayuan belaka. Arum sudah sering berjumpa dengan banyak orang seperti itu dan ia merasa letih.

Arum sejenak menghela napas, kembali ia berbalik badan dan menghadapnya lalu mendekat sembari mengulurkan telapak tangan.

“Baiklah, karena aku sempat tidak sopan padamu maka aku akan membiarkanmu membaca garis tanganku. Ini yang sering kalian lakukan bukan?”

Arum kemudian merogoh isi tasnya, dan mengambil beberapa lembar uang bernilai tinggi yang kemudian diserahkan pada nenek itu di atas meja.

“Itu tidak perlu. Karena aku sudah melihatnya.”

Nenek itu menunjukkan seringai lebar dengan tanpa gigi yang tak terlihat satu pun. Sesaat udara yang masuk ke dalam tempat kecil ini terasa sangat menyengat dingin hingga membuat Arum bergidik.

“Apa? Jadi tidak perlu—”

“Nyonya muda berhati-hatilah. Suamimu bukanlah orang baik, suatu saat pasti dia akan membunuhmu,” ungkap sang dukun.

Seketika hening sesaat, selang beberapa detik, dengan kesal Arum mengambil uangnya kembali sambil berkata, “Dasar penipu. Aku yang bodoh karena telah memberimu kesempatan, nek.”

Setelah itu ia pergi meninggalkan tempat yang tak seharusnya ia kunjungi. Sementara nenek si ahli perdukunan tersebut hanya tertawa dengan senyum lebar.

Menggumamkan sesuatu, “Siapa yang butuh uang? Nyonya muda, aku berbaik hati memberimu peringatan, kelak kau akan mengerti.”

***

Raut wajah sudah tak terkontrol. Begitu Julvri kembali pun, Arum tampak emosional sekali malam ini.

“Ugh! Menyebalkan!” gerutu Arum.

“Ada apa? Aku terlalu lama ya?” tanya Julvri merasa bersalah.

“Tidak! Ayo pulang!” teriak Arum.

Siapa pun tidak ada yang mengetahui seberapa berat takdir itu ditanggung olehnya nanti. Beban di pundak akan terasa berat ketika rahasia kecil berubah menjadi besar hingga tak terbendung.

Malam sudah begitu larut, kentang goreng yang dimintanya pun tidak dimakan. Arum memilih untuk langsung masuk ke dalam kamar dan berbaring sambil memejamkan mata. Sedikit demi sedikit kekesalannya perlahan hilang, ia sudah menjadi lebih rileks.

“Istrimu kenapa?” tanya Ibu Julvri.

“Mungkin ada masalah dengan ini?” pikir Julvri sambil mengangkat bungkusan.

“Baunya kentang. Untuk apa membeli makanan murah itu?” tukas sang Ibu.

“Ibu, ini kentang kesukaan istriku.”

***

Kriet ...

Perlahan pintu kamar terbuka, Julvri masuk ke dalam dan menutup pintu itu kembali dengan sangat pelan. Melihat sang istri sudah tertidur pulas, Julvri tersenyum senang.

Sembari mengelus ujung rambut istrinya, Julvri berucap dengan suara lirih namun tegas, “Aku tidak mau istriku banyak bergerak. Ah ... mungkinkah aku harus mengawetkan tubuhnya agar tetap diam di tempat?”

Julvri saat itu tidak tahu bahwa sebetulnya Arum belum benar-benar tertidur. Ia hanya sekadar memejamkan mata sebab merasa tenang bila melakukan itu guna meredam amarahnya yang sempat membesar.

Mga Comments (11)
goodnovel comment avatar
Megarita
alamak seram kli bah ...
goodnovel comment avatar
Sun fatayati
deg degan bacanya...
goodnovel comment avatar
Nanda Utami
kepo dengan kelanjutanya, semangat arum
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status