Share

Lemah Tak Berdaya

“Suamimu akan membunuhmu.”

Kata demi kata yang diucapkan oleh nenek dukun itu terngiang-ngiang dalam benaknya. Malam ketika ingin meredakan amarah, tiba-tiba saja mendengar Julvri mengucapkan hal tak masuk akal.

'Apa katanya?' batin Arum dengan masih memejamkan mata.

“Istriku terlalu berisik tapi pesonanya sungguh luar biasa. Aku berharap dia hanya akan dipandang dan disentuh olehku saja. Tidak boleh ada orang lain di antara kami,” tuturnya.

Dipikir bagaimanapun perkataan Julvri terdengar seperti obsesinya pada sang istri. Arum pun sadar ada yang salah dengan suaminya itu tapi ia tak harus menanggapinya seperti apa dan kalimat dukun tersebut pula terus teringat setiap detik.

Kecemasannya itu berlanjut hingga matahari telah terbit. Ia sengaja terlambat bangun sampai suaminya keluar dari kamar terlebih dahulu, lantas Arum mulai memikirkan suatu cara.

“Perkataannya tidak normal. Itu tidak seperti Julvri yang aku kenal. Dia orang baik dan begitu pengertian padaku, dia menghormati wanita dan senyumnya aku yakin bukan palsu,” ucap Arum menyakinkan diri.

Tak peduli seberapa besar keinginannya tuk percaya, namun tidak dengan tubuh Arum. Ia terdiam dengan tubuh gemetar takut, sekujur tubuhnya telah merasakan hasrat obesesi sang suami yang tidak normal sama sekali. Seolah sedang meregang nyawa, leher pun terasa sedang dicekik.

“Aku tersiksa. Aku tidak mau mati begitu saja. Apa-apaan dia ... aku bukan makanan yang bisa diawetkan, aku bukan boneka yang hanya bisa dipandang atau disentuh. Aku manusia,” gumam Arum dengan mata berkaca-kaca.

Tok! Tok!

“Arum, istriku! Apa kamu sudah bangun?” Suara suami memanggil sembari mengetuk pintu kamar.

“Kenapa dia harus mengetuk pintu kamar? Apa dia tahu kalau aku—”

“Arum?” panggilnya sekali lagi.

Arum menggelengkan kepala, menyingkirkan pikiran yang tidak berguna. Lekas ia menjawab panggilan suami dengan mesra sembari membukakan pintu sebelum berganti pakaian.

“Maaf, aku baru bangun sayangku,” ucap Arum tersenyum manis seraya mengintip di celah pintu yang ia buka.

Julvri membalas senyum dengan wajah merona. “Untung saja aku yang memanggilmu Arum. Kau terlalu cantik dan seksi sekarang,” ucapnya.

“Ah, bisa saja. Aku hanya mengenakan baju tidur yang sedikit terbuka. Lagi pula kita berdua suami istri, kemarin kita sekamar. Jadi buat apa mengetuk lebih dulu?”

Walau senyum terukir jelas di wajah Arum, namun kenyataannya ia sedang khawatir. Setiap kali ia melihat wajah Julvri, perkataan dukun itu pun juga akan langsung teringat di kepalanya. Seolah sebuah peringatan terus-menerus muncul.

***

Sudah pukul 8 pagi, dan Arum baru saja turun dari lantai dua di kamarnya. Ia melihat sekeluarga telah berkumpul di meja makan. Ada Ibu dan Ayah mertua serta Julvri yang merupakan suami Arum.

'Aku jadi percaya dengan ucapan dukun. Ugh, kalau begini terus nasibku yang buruk akan menghampiri lebih cepat. Aku tidak mau mati sia-sia karena suami yang tidak waras,' gerutu Arum dalam batin.

Ia berpikir untuk langsung keluar dari rumah ini secepatnya, tapi jika tiba-tiba meminta tinggal di rumah orang tua sendiri maka mereka akan menaruh rasa curiga. Sehingga Arum memilih cara lain.

“Selamat pagi, Ibu, Ayah dan Julvri.”

Tak lupa ia memberi salam pagi sembari melangkah turun ke anak tangga terakhir. Sudah jelas ia mencapai anak tangga itu dengan mulus namun Arum sengaja mendorong tubuhnya sendiri ke depan sehingga ia terjatuh di tempat.

BRUK!

“Ah ... sakit,” keluhnya. Seketika membuat sekeluarga terkejut.

“Arum! Apa yang terjadi?” Panik, Julvri lekas menghampiri.

“Tidak apa-apa. Aku hanya tersandung kakiku sendiri lalu terjatuh. Maafkan aku, aku merasa tidak enak badan,” ucap Arum sedikit tertawa.

“Ya ampun, istri macam apa kamu ini? Sudah bangun terlambat, jatuh pula di tangga. Fisikmu benar-benar sangat lemah,” cibir sang Ibu mertua. Mulut yang galak ketika bicara itu benar-benar sesuai harapan Arum.

'Bagus! Jika Ibu mertua tidak suka denganku, maka mungkin aku akan diusir!' jeritnya membatin sembari membayangkan harapan itu terwujud.

“Lalu aku akan bertahan hidup,” imbuhnya tanpa sadar langsung bertutur kata di depan sang suami.

“Arum? Bicara apa?” tanya Julvri bingung, ia hendak menggendong Arum namun Arum mengangkat tangannya tanda menolak.

“Ah, bukan apa-apa sayang. Aku bisa berdiri sendiri,” ucapnya dengan suara lirih dan berwajah memelas seraya melirik Ibu di meja makan.

Awalnya Ibu mertua menghina Arum, tapi entah mengapa ekspresinya berbeda saat melihat Arum berpura-pura kesakitan. Tidak lama saat Arum berupaya beranjak dari lantai di sana, Ibu menghampiri mereka.

“Julvri! Istrimu sedang butuh bantuan tapi kamu malah diam saja. Dasar tidak peka!” teriak sang Ibu.

“I-ibu?”

“Nah ayo nak Arum. Sepertinya pinggulmu kesakitan, mungkin karena malam pertama kalian yang terlalu lama dan keasikan jadinya seperti ini 'kan?” ujar sang Ibu penuh perhatian, ia bahkan membantu Arum berjalan.

Arum terdiam sambil menerima bantuan dari Ibu mertua. Ia pikir Ibu akan memarahinya lagi tapi ternyata malah tidak. Dalam beberapa saat ia bengong tak memahami yang sedang terjadi.

“Ibu membantuku?” Arum menoleh, bertanya.

“Bicara apa sih. Ayo sarapan dulu!” jawab Ibu yang masih ketus.

Harapan agar dapat diusir dari keluar, telah gagal total karena salah perhitungan. Berpikir bahwa berpura-pura lemah dan sengaja bermalas-malasan akan membuat dirinya dibenci sekeluarga namun ternyata malah dikasihani. Entah Arum merasa ini sebuah keberuntungan besar atau justru sebaliknya.

'Kenapa malah dibantu ya?' batinnya bertanya-tanya.

“Arum, menantuku. Aku harap kau tidak mengulangi kesalahan ini lagi. Sebagai istri kau harus bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan. Walaupun di sini ada pembantu, tapi kuharap kau melakukan kewajibanmu,” tutur Ibu dengan tegas.

Itu sebuah peringatan, jika melakukan kesalahan lagi maka tiada ampun baginya. Dan bagi Arum, hal tersebut adalah sebuah kesempatan. Di pagi berikutnya ia kembali melakukan hal yang sama.

BRAKK!

Pada pukul 9 pagi, Ibu datang mendobrak pintu dengan mengamuk. Raut wajah berurat mengisyaratkan amarahnya yang meluap-luap sambil berteriak keras.

“ARUM!!!!! DASAR ISTRI PEMALAS! KAMU INGIN TIDUR SAMPAI KAPAN HAH?!”

Jeritan Ibu mertua bahkan melebihi jeritan Ibu kandung Arum sendiri. Seolah surga telah datang menghampiri, sedikit lagi kebebasan akan tercapai. Arum tersenyum sebentar lantas beranjak dari kasur dengan pandangan mata kosong.

Memperlihatkan seolah-olah Arum baru saja bangun tidur, ia menggosok kedua matanya dan kemudian bertanya, “Ada apa, Ibu?”

“Ada apa katamu?! Lihat jam sekarang!” pekik Ibu mertua.

Ibu mertua lantas melempar jam tangan milik Julvri yang baru saja diambilnya ke arah kasur lalu menyeret sebuah koper yang terletak di dalam lemari kamar dan membawanya ke hadapan Arum.

“Pergi dari rumah ini, dasar wanita tak berguna. Aku membiarkan anakku menikah dengan kekasihnya karena berharap wanita itu pandai segala hal. Tapi jangankan melakukan sesuatu yang mencerminkan seorang istri, kau bahkan bangun terlalu siang seperti kerbau!”

Ocehan itu seolah dirindukan. Diam-diam Arum tersenyum mengangguk kesenangan. Semakin marah sang Ibu semakin kuat pula alasan mereka mengusir dirinya.

“Kebebasan ada padaku,” ucap Arum menyeringai.

“A-apa?! Kau malah—!” Melihatnya tersenyum, jelas membuat Ibu mertua makin jengkel.

“Ibu, tenanglah aku mohon!” seru Julvri.

“Istrimu itu kerbau atau manusia sih? Masa' bangun jam 9. Itu sudah terlalu siang!”

Tapi kesenangan Arum telah berakhir di sini saat Julvri datang di waktu yang tidak tepat. Akankah kali ini pun rencana Arum gagal?

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Megarita
ya ampun itu ibu mertua apa srigala sih?!?
goodnovel comment avatar
Zetha Salvatore
Duh Arum, ngakak aku baca bab ini haha
goodnovel comment avatar
Its Me
Ya gimana ya, karena parno omongan dukun jadi runyam
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status