Share

Chapter 07

Ketika ketiganya sudah keluar dari area makam, barulah Darno memberanikan bertanya kepada pada Jaka, apakah dia melihat juga kalau jenazah Arini panjangnya bisa pas dengan panjang makam yang mereka gali. 

"Kupikir cuma aku saja yang melihatnya, rupanya kamu juga, Dar? Aku nggak mau bilang pada kalian berdua karena khawatir kalian akan menanggap aku halu. Makanya aku memilih diam saja dari tadi."

Kata-kata Jaka menguatkan apa yang telah dilihat sendiri oleh mata kepala Darno. Dengan ekspresi kemenangan dia berkata kepada Eko. "Nah kan, apa kubilang. Aku nggak mungkin salah lihat."

Eko tak menjawab, dia hanya diam tanpa reaksi. Tetapi di dalam kepalanya jadi berkecamuk berbagai pertanyaan dan dugaan terkait meninggalnya Arini.

===

Semua warga yang tadi mengantarkan jenazah Arini ke peristirahatan terakhirnya tidak langsung pulang ke rumah masing-masing, tetapi kembali ke rumah Pak Baruna karena malam itu juga akan dilaksanakan tahlilan malam pertama, kirim doa untuk almarhumah.

"As salaamu 'alaikum." seorang pemuda yang terlihat asing datang ke kediaman rumah Pak Baruna.

"W* 'alaikumus salaam," berbarengan jamaah takziah menjawab.

Pemuda itu duduk di salah satu kursi yang disediakan di bagian teras rumah Pak Baruna. 

Acara tahlilan malam itu berlangsung khidmat. Seusai acara tahlil sebagian besar pulang ke rumahnya masing-masing. Yang masih berada di rumah Pak Baruna tak lain hanya yang tinggalnya tidak jauh dari rumah Pak Baruna. 

Arina membereskan gelas-gelas dan piring yang sebagian masih berisi kue-kue, saat itulah matanya yang menatap keluar tertuju pada pemuda asing yang ikut menghadiri acara tahlil di rumahnya. Arini mengenali pemuda itu, dia tentu saja masih ingat walaupun baru pertama kali bertemu dengannya. Dan malam ini adalah pertemuan keduanya dengan pemuda asing itu.

Arina membawa masuk gelas dan piring ke dapur, lalu dia kembali keluar untuk menemui pemuda itu.

"Mas Reza, ya?" tanya Arina sekedar ingin lebih memastikan saja kalau pemuda yang ada dihadapannya kini adalah Reza Reinaldy, yang telah menabrak adiknya Arini hingga meninggal selama dalam perawatan di ruangan IGD.

"Ya, saya Reza Reinaldy. Saya yang bertanggung jawab atas meninggalnya adik Mbak," jawab Reza, dia tersenyum dan mengulurkan tangan, Arina menerima uluran tangan dari Reza.

"Dari tadi Mas Reza di sini?" tanya Arina. Dia menarik sebuah kursi dan duduk menghadap ke arah Reza.

"Sejak acara tahlilannya baru mau dimulai."

Reza meraih tas yang diletakkan di sebelah kursi yang didudukinya. Dibuka dan diambilnya sebuah amplop tebal yang berisi uang santunan yang dijanjikannya.

"Mohon diterima ya, Mbak. Mudah-mudahan bisa membantu meringankan untuk acara tahlilnya. Kalau uang ini dirasa masih kurang, hubungi saya saja, nanti saya akan tambah lagi."

Arina menerima uang yang diberikan oleh Reza. "Terima kasih loh, Mas. Mas mau datang menghadiri acara tahlilan ini saja sudah cukup membuktikan kalau Mas memang punya itikad baik untuk bertanggung jawab. Ini uangnya saya terima, mudah-mudahan cukup sampai acara tahlil malam ketujuh nanti."

"Kalau begitu, saya pamit, Mbak. Sudah larut malam. Insya Allah besok malam saya akan hadir lagi dalam acara malam tahlil yang kedua."

Arina mengangguk, dia melepas kepergian Reza dengan tatapan sarat makna. "Gak nyangka, ternyata dia bertanggung jawab dan cukup santun."

Arina masuk kembali ke dalam rumah. Di teras masih terlihat Bapaknya yang sedang ngobrol dengan beberapa orang tetangganya, di antara mereka terlihat pula ustadz Jamaksari dan Mbah Raji.

===

Mobil jeep merah itu memasuki halaman rumah yang berukuran cukup luas, setelah seseorang yang kira-kira berusia setengah baya membukakan pintu gerbang. Dari dalam jeep Reza dapat melihat seorang pemuda sebayanya tengah memegang sebuah kitab kuning tebal, duduk di teras. Mengenakan baju koko muslim putih dengan sarung hitam.

Jeep berhenti tepat di depan teras. Reza turun dan mengucap salam pada pemuda itu.

"W* 'alaikumus salaam warohmatullaah. Kukira kamu mau menginap di sana, Re."

"Ya nggak lah, Fan. Kan sudah kubilang kalau aku hanya ingin menghadiri tahlilannya saja, sekalian aku memberikan santunan sebagai bentuk tanggung jawabku."

Pemuda berbaju koko muslim itu adalah Nofandy, teman Reza saat sama-sama menjadi santri di Ponpes Modern El Fikr. Reza memang berencana setidaknya selama seminggu ini untuk menginap di rumah Nofandy.

"Lantas bagaimana tanggapan dari keluargamu?" tanya Fandy.

"Sayangnya aku belum sempat untuk berbincang-bincang dengan orang tuanya, tadi kulihat bapaknya sedang ngobrol dengan para tamu lainnya. Yang menemuiku adalah kakaknya, saudari kembar dari almarhumah."

"Cepat atau lambat kamu harus bicara pada orang tuanya, Re. Menjelaskan kronologi sebenarnya, sekalipun aku yakin kalau bapaknya sudah mendengar dari kakaknya almarhumah. Tak ada salahnya beliau mendengar sendiri dari kamu."

"Oh ya, Fan. Saat usai tahlil, sebelum kakaknya yang bernama Arina mendatangiku. Aku sempat mendengar ada beberapa warga yang berbincang dengan berbisik-bisik, tetapi cukup jelas kudengar. Mereka berkata bahwa saat pengumuman jenazah Arini, ditemukan adanya keganjilan-keganjilan. Yang jadi kekhawatiran mereka adalah kalau ruh Arini gentayangan karena mati penasaran."

"Hahaha ... Kamu ini kan santri, kenapa ngomongnya kayak gitu sih."

"Lho, apa salahnya? Aku hanya mengatakan apa yang kudengar saja." Reza membela diri.

"Ya mestinya kata-kata mereka itu tak perlu jadi perhatianmu, itu kan kepercayaan yang berkembang di masyarakat umum, namun pada realitanya dari apa yang kita pelajari di pesantren, hal itu nggak mungkin."

"Kalau itu aku paham, Fan. Bukan masalah perbincangan itu yang menjadi pikiran dan kekhawatiranku, tetapi kalau apa yang diperbincangkan itu berkembang luas di masyarakat Desa Tirtamaya, yang kukhawatirkan justru apa yang nantinya akan menimpa pada keluarga Pak Baruna Darmawangsa dan keluarganya, termasuk pada makam Arini nantinya."

Nofandy mengerutkan keningnya, dia merenungkan apa yang baru saja dikatakan oleh sahabatnya itu, memang tak mungkin Reza percaya pada mitos yang umum terjadi di masyarakat, tetapi akibat dari mitos itu bisa berbahaya.

"Kamu benar, memang kalau didiamkan sampai tersebar luas bisa mengundang bahaya, menjadi fitnah bagi keluarga Pak Baruna Darmawangsa. Tetapi kamu juga tidak bisa begitu saja menyampaikan hal ini pada keluarga mereka. Ini masalah yang sangat sensitif sekali." 

Reza melirik jam di tanganmu, waktu menunjukan pukul sebelas malam. "Sudahlah, aku mau istirahat dulu, kita bisa ngobrolin ini besok lagi, aku sangat lelah, Fan."

"Oke lah. Kamu duluan saja kalau mau istirahat, aku masih ingin di sini."

Reza bangkit dari duduknya, membuka pintu dan masuk ke dalam. Reza ingat kalau dia belum menunaikan sholat isya. Maka sebelum ke kamar dia menuju ke dapur, untuk mengambil air wudhu.

Entah mengapa, udara di dapur terasa lebih dingin dibandingkan di ruang tengah. Dan perasaan Reza secara spontan tidak nyaman, dia merasa seperti sedang diawasi.

Belum sempat Reza membuka kran air untuk berwudhu, secara samar didengarnya ada suara orang menangis. Tak jelas dari mana asal suara tangisan itu, yang pasti itu adalah suara tangisan seorang perempuan.

Tiba-tiba Reza merasakan bulu kuduknya berdiri, perlahan dia menoleh ke belakang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
santi
enah lo didatengi kan ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status