Share

Chapter 03

Dering smartphone yang diletakkan di saku celananya mengagetkan Reza Reinaldy yang tengah fokus mengendarai jeep. 

[Ya Hallo, ada apa, Ma?] ujar Reza yang menggenggam smartphone di tangan kirinya, karena tangan kanan tetap memegang stir jeep merahnya.

[Lekas pulang, Re. Papamu masuk rumah sakit lagi. Susah dibilangin sih, masih bandel juga, Papamu makan apa yang jadi pantangan oleh dokter.] Suara perempuan yang ternyata adalah mamanya Reza. 

[Iya, Ma. Ini Reza sudah di jalan, mau pulang.]

Reza mematikan telpon, ditambahnya kecepatan laju jeepnya agar secepatnya keluar dari kota ini, lalu memasuki kotanya dan menuju rumah sakit tempat biasa Papanya dirawat selama ini. 

Pak Burhanuddin Alif, adalah seorang pemilik hotel bintang lima di kotanya, namun kesederhanaan yang jadi teladannya telah berbekas dalam diri Reza, sekalipun dia punya orang tua yang kaya raya tak lantas membuatnya jadi suka menghambur-hamburkan uang. Justru kekayaan itu semakin memacu Reza untuk banyak menuntut ilmu baik secara formal maupun informal. Reza punya dua orang adik, seorang lelaki dan yang paling bungsu seorang perempuan. Baik adiknya yang lelaki maupun yang perempuan juga tumbuh dan besar dalam didikan yang baik dari sang Ayah. 

Jalan yang saat ini dilaluinya terlihat lengang, Reza menambah laju kecepatan jeep merah. Namun secara tiba-tiba seorang gadis menyeberang jalan tanpa melihat ke kiri dan kanan, hal itu mengejutkan Reza, dia spontan menginjak rem namun kecepatan tinggi jeepnya membuat kecelakaan itu tak bisa dihindari. 

Tubuh gadis berbaju merah itu terpental beberapa meter setelah terkena hantaman jeep merah, Reza bergegas turun untuk melihat korban yang ditabraknya, di sekitar situ tak terlihat seorang pun, ada sedikit terlintas niatan untuk lari saja, tetapi hati kecilnya menolak, bagaimanapun dia haruslah bertanggung jawab. 

Tubuh yang tergeletak itu bersimbah darah yang keluar dari mulut dan hidungnya, tangan dan kakinya seperti mengejang, apakah gadis itu tengah sekarat? 

Reza langsung membopongnya dan membawanya masuk ke dalam jeep dan segera dia putar arah untuk menuju ke rumah sakit terdekat di kota ini. 

Setelah membayar biaya administrasi, tubuh bersimbah darah itu segera dibawa masuk ke dalam ruangan IGD. Reza segera menelpon polisi dan melaporkan kalau dirinya baru saja menabrak seseorang. 

Lewat pesan w******p Reza mengirim pesan pada Ibunya kalau dia akan terlambat pulang karena berada di rumah sakit akibat menabrak seseorang.

Beberapa menit kemudian seorang polisi memasuki ruangan rumah sakit. 

"Tuan Reza?" tanya polisi itu, di ruangan tunggu itu memang hanya ada Reza, Pak Polisi itu hanya ingin memastikan kalau yang menelpon tadi adalah orang yang duduk tersebut.

"Benar, Pak. Saya Reza Reinaldy, saat ini pasien sedang dalam perawatan di IGD," jawab Reza menyambut uluran tangan Pak Polisi yang mengajaknya bersalaman. 

"Kalau begitu sebaiknya Bapak ikut saya ke kantor polisi untuk membuat laporan." 

"Tapi, Pak. Apa tak sebaiknya saya menunggu sebentar, saya ingin tahu keadaan korban dulu, setelah itu saya akan ikut Bapak ke kantor polisi untuk membuat laporan." 

Baru saja Reza berkata-kata pada Pak Polisi, seorang dokter pria keluar, dia membuka masker yang dikenakannya dan berkata. "Mohon maaf, pasien korban tabrakan tak bisa kami selamatkan, sebelum kami mulai melakukan penanganan dia sudah menghembuskan napas terakhirnya."

Lemas sudah Reza kala itu, disatu sisi dia ditunggu Ibunya di rumah sakit karena Ayahnya kini kembali di rawat di sana, di sisi lain dia tak bisa meninggalkan begitu saja korban yang ditabraknya.

Dokter lalu menyerahkan tas milik korban pada Pak Polisi, dan Reza mengikuti Pak Polisi keluar untuk membuat laporan di kantor polisi. 

Di kantor polisi, tas milik korban dibuka dan isinya ditumpahkan di meja. Isinya hanya beberapa alat kosmetik, dompet dan sebuah pisau. Pak Polisi itu mengernyitkan keningnya. "Untuk apa dia membawa pisau ini?" 

Reza diam tak berkomentar karena dia sendiri tak tahu menahu dengan korban maupun isi tas korban. 

Dari dalam dompet ditemukan KTP korban yang ternyata beralamat di Desa Tirtamaya, tak jauh dari kota, Pak Polisi itu lalu mengutus dua orang anak buahnya berangkat ke rumah korban untuk memberitahukan keluarga korban kalau ada salah seorang kerabatnya meninggal karena tabrakan. 

"Kalau begitu sekarang kita kembali ke rumah sakit saja, sambil menunggu keluarga korban." Pak Polisi itu berkata sambil berjalan keluar dari kantor polisi, Reza mengikuti saja dari belakang dengan pikiran yang kalut. 

Tak butuh waktu lama, keluarga korban akhirnya datang. Arina masuk ke dalam ruangan IGD, ia ingin memastikan bahwa mayat yang kini terbaring dalam ruangan itu adalah memang benar adiknya Arini yang baru saja pergi meninggalkan rumah dengan sikap dinginnya. 

Tak kuasa membendung air matanya, Arina lantas keluar setelah memastikan memang itu adalah adiknya, dia tak kuasa melihat mayat sang adik yang berlumur darah. 

"Kalau begitu, Mbak bisa tunggu sebentar, dengan mobil jenazah nanti kami akan bawa jenazah adik Mbak." 

Akhirnya, setelah perundingan singkat, Reza dibolehkan pulang tetapi dengan kewajiban untuk mengganti biaya pemakaman jenazah Arini.

Sementara Arina yang datang ke rumah sakit hanya dengan menggunakan ojek akhirnya ikut pulang dengan naik ambulans jenazah.

Entah apa yang kini berkecamuk dalam hatinya, Arina hanya terdiam membisu sepanjang perjalanan pulang menuju Desa Tirtamaya.

Sesampainya jenazah Arini Darmawangsa di kediamannya. Disambut dengan jerit tangis ibunya yang tak kuasa menahan diri dari kesedihan yang datang begitu cepat tanpa diduga-duga.

Sementara Pak Baruna lebih bisa bersikap tegar, walau juga tampak matanya sedikit berkaca-kaca.

Beberapa warga desa yang sudah diberitahu sebelumnya akan kedatangan jenazah Arini sudah berkumpul di rumah Pak Baruna.

Dua orang warga bangkit ikut membantu menurunkan brankar jenazah Arini dari mobil ambulans dan lalu membawa jasadnya masuk dan meletakkan di ruangan tengah.

Ambulans jenazah kembali ke rumah sakit setelah menunaikan tugas mengantarkan jenazah Arini. Lalu memasuki halaman parkir rumah sakit dan memarkirkan mobil.

"Ndra, buka pintu belakang dan turunkan Brankarnya, ya." kata sang Sopir.

"Siap, Bos," jawab Hendra yang bertugas menemani sang Supir tadi mengantarkan jenazah Arini Darmawangsa ke Desa Tirtamaya.

Hendra turun dari mobil dan menuju ke bagian belakang, namun langkahnya terhenti saat dia mulai mengendus sesuatu, aroma yang menyengat dan mulai membuatnya merasa mual. Dia mencium bau bangkai yang seakan keluar dari bagian belakang mobil jenazah itu.

Perlahan dia membuka pintu dengan keberanian yang dipaksakan sekalipun saat itu jantungnya berdegup demikian kencang.

Tiba-tiba meloncatlah seekor kucing hitam saat pintu dibuka, kucing itu berlari cepat dan menghilang di gelapnya malam.

Brankar jenazah diturunkan lalu dibawanya ke gudang penyimpanannya.

Sepanjang jalan Hendra tak habis pikir dengan kejadian yang baru saja dialaminya itu, kenapa bisa tercium bau bangkai yang sangat menyengat dan membuat mual? Dan dari mana datangnya kucing hitam yang tahu-tahu muncul di belakang mobil jenazah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status