Share

Chapter 05

Darno mencoba mendorong dengan bantuan bahunya, tetap sama saja hasilnya. Daun pintu tetap tak membuka atau bergeser.

"Jangan bercanda dong, Dar. Hari semakin gelap nih!" protes Eko.

"Siapa juga yang mau bercanda, coba saja sendiri nih, pintunya memang keras tak mau membuka." Darno lantas menjauh dari pintu, berganti Eko yang kini mendekat dan berusaha menarik gagang pintu gudang.

Mata Eko membelalak, seakan tak percaya maka dicobanya beberapa kali mendorong pintu gudang untuk meyakinkan kalau memang pintu tersebut tak mau dibuka.

"Sialan betul, mana hari makin gelap tapi malah pintu gudang ini seakan tak mau membuka." Kemarahan dan kekesalan menguasai diri Eko, Darno diam saja sambil tersenyum mengejek melihat temannya yang kesal itu.

Eko mundur beberapa langkah dan bersiap untuk mendobrak pintu tersebut dengan menabrakkan dirinya ke arah pintu.

Eko berlari ke arah pintu dengan cepat. Tiba-tiba tanpa diduga ternyata pintu gudang di area pemakaman itu terbuka dengan sendirinya, teriakan Darno yang mencoba menahan Eko untuk berhenti jelas terlambat, tubuhnya yang seharusnya menabrak pintu kini malah terus melaju ke dalam gudang dengan limbung lalu jatuh.

Nyaris saja kepalanya terbelah kalau saja dia tak menahan tubuhnya dengan kedua siku, ujung besi pacul yang runcing hampir-hampir menancap di keningnya, seketika itu juga keringat dingin mengucuri kening dan menetes di sekitar pipi. Eko bangkit perlahan, wajahnya memucat.

"Kenapa, Ko? Wajahmu pucat begitu seperti habis melihat setan saja." Darno mengamati perubahan di wajah Eko.

Dia masuk ke dalam lalu mengambil tiga buah pacul dan meletakkannya di luar. Kemudian diambilnya sebuah lampu petromak tua, diperiksanya bahan bakar yang berupa minyak tanah yang ternyata terisi penuh, Mbah Raji memang rajin mengisi bahan bakar petromak sampai penuh, berjaga-jaga untuk kondisi atau keadaan darurat sehingga bisa langsung digunakan, Darno hanya tinggal menyalakannya saja.

Eko masih terdiam tak menjawab pertanyaan Darno tadi, tetapi dia mengambil dua pacul dan langsung berjalan makin ke dalam pemakaman. Darno sendiri mengikuti di belakang, di tangan kirinya membawa pacul sedang di tangan kanannya membawa petromak yang sudah menyala terang.

"Lama betul kalian, hampir-hampir aku pulang." Jaka menumpahkan kekesalannya akibat menunggu Darno dan Eko yang lama ditunggunya dan baru tiba, dia melirik jam tangannya, waktu sudah pukul enam lewat tiga puluh menit. Setengah jam lagi adzan maghrib berkumandang. 

"Kita gali sekarang apa nanti saja bakda maghrib?" tanya Eko. 

"Sekarang lah. Kalau kita pulang dan ditanya Pak RT. Kita bisa diomeli kalau meninggalkan makam belum sama sekali menggali, sekalipun dapat setengahnya toh sisanya bisa kita lanjutkan bakda maghrib." Jaka menimpali.

Ketiga pemuda Desa Tirtamaya itu mulai sibuk menggali tanah yang sudah ditentukan oleh Mbah Raji. Jaka yang memilih tepatnya di mana lokasi lubang kubur itu akan digali. 

Langit semakin mendung, udara kian terasa dingin. Baik Darno, Eko dan Jaka tak terlalu merasakan dinginnya udara sore itu karena derasnya keringat yang mengucur dari tubuh mereka masing-masing.

"Sial." Darno mendesah pelan, hal itu menarik perhatian Jaka dan Eko. 

"Kenapa?" tanya Jaka. 

"Tuh. Lihat saja sendiri." 

Jaka berbalik untuk melihat apa yang membuat temannya menghentikan pekerjaannya menggali tanah. 

"Waduuh. Lekas tutup lagi, Dar. Ngundang bolo koen!" Jaka menepuk keras pundak temannya.

Rupanya pacul Darno mengenai kain kafan dari makam yang ada di sebelah lubang yang kini mereka gali. Kafan itu sudah rapuh dan warnanya nyaris hitam, dan dari robekan kain kafan itu jelas terlihat tulang dari tengkorak bagian kepala yang retak akibat terkena pacul.

Tanpa menunggu lagi Darno langsung menutup kembali batok kepala tengkorak itu dengan kain kafan yang sudah robek dan menghitam. Lalu ditimbuni dengan tanah sehingga tertutup kembali. Keringat dingin mengucuri kening Darno, jantungnya berdebar kencang, dia sangat takut kalau-kalau ada akibat dari perbuatannya tadi yang sebenarnya tak dia sengaja itu. 

Tanah yang mereka gali sudah cukup dalam untuk ukuran menimbun jenazah. Bakda maghrib nanti mereka tak perlu lagi melanjutkan penggalian, tinggal memasukkan jenazah dan menimbunnya saja. 

"Adzan maghrib sudah berkumandang. Langit sudah mulai gelap. Ayo kita pulang dulu dan mengabarkan pada Pak RT kalau tugas kita sudah selesai."

Eko dan Jaka kemudian naik dan melemparkan pacul mereka masing-masing ke atas. 

"Jangan taruh semua pacul di atas, Ko. Sisakan satu di dalam lubang kuburnya. Itu pesan Mbah Raji tadi padaku." Darno lah yang akhirnya melemparkan cangkulnya sendiri kembali ke dalam lubang kubur. 

"Kakehan mitos koen." celetuk Eko. Eko memang yang paling menentang kalau bicara segala sesuatu yang dianggapnya sebagai mitos dan cerita isapan jempol semata. 

"Dikandani kok mbantah. Kesusulan pocong modar, cuk!" Darno berkata dengan nada tinggi, dia seakan tak terima kata-katanya disepelekan, lagi pula yang dia bilang barusan bukan kata-katanya sendiri, tapi pesan dari Mbah Raji.

Eko hendak membalas kata-kata Darno, dia berbalik namun tak sepatah katapun yang terucap dan keluar dari mulutnya, dia kembali berbalik dan berjalan lebih cepat. Untunglah Jaka yang berjalan di tengah membawa petromak yang digunakan untuk menerangi saat menggali tadi, jadi buat Eko maupun Darno cahaya yang berpendar di sekitar mereka sudah cukup untuk menerangi.

Suara adzan maghrib sudah selesai dan berhenti, sementara Eko berjalan semakin cepat, lebih mirip berlari kecil dibandingkan berjalan. Baik Jaka maupun Darno cukup heran juga melihat tingkah aneh Eko tersebut. 

Akhirnya mereka keluar juga dari area pemakaman Desa Tirtamaya. Mereka terus berjalan menuju rumah Pak Baruna, bukan ke rumah Mbah Raji, lagi pula siapa tahu Mbah Raji justru sudah lebih dahulu berada di rumahnya Pak Baruna. 

"Bagaimana pekerjaan kalian, Dar?" tanya Pak RT kepada Darno setelah ketiga pemuda itu sampai di rumah Pak Baruna. Rupanya Pak RT sengaja menunggu ketiga pemuda tersebut. 

"Sudah siap, Pak RT. Lubangnya sudah kami gali seukuran yang Pak RT perintahkan." Yang menjawab adalah Jaka.

Sementara Eko langsung menuju meja yang terdapat gelas-gelas dan teko berisi air putih di dalamnya. Dia menuang air dari teko ke gelas dan meneguknya hingga habis. 

Pak RT lalu mengajak ketiga pemuda itu untuk menuju musholla desa, untuk menunaikan sholat maghrib. Suara amiin dari jamaah terdengar kuat dan serentak, rupanya mereka terlambat dan sholat maghrib berjamaah telah didirikan. 

Pak RT lalu menuju tempat wudhu diikuti Jaka, sedang Eko dan Darno menunggu gilirannya di luar, tempat wudhu hanya ada dua pancuran saja, yang artinya Eko dan Darno harus mengalah menunggu giliran. 

"Kamu kenapa tadi, Ko. Mukamu pucat dan jalanmu kayak dikejar setan gitu, ada yang kamu lihat kah?" 

"Asu koen, Dar. Gara-gara cocotmu ngomongin pocong, saat aku berbalik ke belakang tadi di pemakaman aku melihat pocong yang kafannya sudah menghitam. Hiii ...." Eko merinding, terbayang kembali sosok yang tadi dilihatnya di makam. 

Darno jelas kaget, dia pun jadi ikutan merinding, untung dia tak berbalik untuk ikut melihat apa yang sudah dilihat oleh Jaka.

"Jangan-jangan itu pocong yang tadi tengkorak kepalanya kena pacul olehku," gumam Darno. 

Pak RT dan Jaka selesai wudhu lalu masuk ke musholla, bergegas Darno dan Eko mengambil wudhu, mereka wudhu terburu-buru, rasa takut mulai menyusup dalam diri keduanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status