Share

Chapter 02

Bangunan Pondok Pesantren Modern El Fikr berdiri di sebuah tanah yang cukup luas tepat di tengah-tengah kota, namun sekalipun letaknya yang berada di tengah perkotaan tidak mengurangi suasana kondusif untuk belajar, kota itu adalah sebuah kota yang baru berkembang dan dalam beberapa tahun belakangan ini saja mulai banyak dibangun ruko-ruko di pinggiran jalan besar, terutama jalan besar yang ada di tengah kota, berada di tengah-tengah kota di antara ruko-ruko itu, Pesantren Modern El Fikr tetap diminati banyak orang tua yang ingin memondokkan anaknya.

 

Dari pintu depan pesantren keluar dua orang, yang seorang lelaki setengah baya dengan memakai kemeja hitam dengan lis dua garis berwarna kuning di kedua lengannya. Kopiahnya pun berwarna hitam, perawakan wajahnya teduh dengan aura kewibawaan bagi siapa saja yang melihatnya.

 

Sementara itu yang seorang lagi adalah seorang pemuda yang usianya berkisar dua puluhan, memakai setelan koko hitam, sebuah sorban bercorak hitam putih tersampirkan di pundaknya, melingkar di lehernya.

 

"Jangan sungkan untuk sering-sering berkunjung kemari, Nak Reza. Aku senang kalau ada santri yang masih ingat dan mau bersilaturahmi ke pesantren ini, seperti kunjunganmu kali ini. Aku tak berharap kedatangan para santri yang sudah lulus itu membawa sesuatu untukku, bisa meluangkan waktu ke sini itu sudah membuatku senang," berkata seorang yang usianya setengah baya itu.

 

"Insya Allah, Kyai. Jika saya bertemu dengan sesama alumni akan saya sampaikan pesan dari Kyai." pemuda berbaju koko hitam yang bernama Reza Reinaldy itu mencium tangan Kyainya.

 

Reza memasuki mobil jeep merahnya, lantas mengucap salam kepada sang Kyai yang bernama Kyai Abbas Ya'qub, pimpinan dan pengasuh Pondok Pesantren Modern El Fikr.

 

Jeep merah melaju meninggalkan pesantren dan memasuki jalan raya di lepas tatapan teduh sang Kyai.

 

Langit siang itu sedikit mendung, awan hitam menaungi kota hingga terasa udara siang lebih sejuk dari biasanya, hembusan angin terasa lebih dingin, Reza membiarkan jendela kanan mobilnya tetap terbuka, membiarkan udara luar masuk.

 

Dia suka menghirup aroma kota ini, kota yang selama enam tahun telah menempanya menjadi seorang yang faqih dalam ilmu Agama Islam.

 

Baru beberapa bulan dia dan teman-teman seangkatannya dinyatakan lulus oleh pesantrennya, namun dalam beberapa bulan di rumah sudah membuatnya rindu suasana pesantrennya, itulah yang membuatnya mengunjungi kembali Pondok Pesantren Modern El Fikr untuk menemui Kyai Abbas Ya'qub.

 

===

 

Bukan sekali dua kali Arina menanyakan pada adik kembarnya Arini, apa yang menyebabkan sang adik kini berubah sikapnya.

 

Arini adalah seorang gadis yang periang, supel, ramah, namun kini dia menjadi seorang gadis yang pemurung dan pendiam, lebih sering mengurung diri di kamarnya, jarang keluar rumah lagi.

 

Di satu sisi perubahan itu membuat Arina senang, sebagai gadis desa rasanya kurang pantas jika sering keluar rumah dan pulang larut malam, hal itulah yang dulu sering dilakukan Arini, nasihat Arina maupun kedua orang tuanya hanya masuk kuping kanan dan keluar lagi dari kuping kanannya, tak sampai masuk ke dalam hati dan direnungi.

 

Arina sendiri tak tahu siapa saja teman-teman dekat Arini, selama ini yang dia tahu Arini jarang bergaul dengan teman sebaya di desanya, Desa Tirtamaya. Sebuah Desa yang masih asri sekalipun jaraknya cukup dekat dengan kota.

 

Teman-teman Arini rata-rata adalah orang kota, karena dia memang bersekolah SMAnya di kota. Walaupun tak banyak yang dekat dengannya di desa ini, tetapi keramah tamahannya pada para tetangga tetap membuatnya disukai banyak warga Desanya.

 

Arina Darmawangsa dan Arini Darmawangsa adalah dua gadis kakak beradik yang terlahir kembar, hanya berselang sebentar, Arina terlahir lebih dulu lalu diikuti adiknya, Arini.

 

Bapak mereka memang bukanlah aparat desa, namun cukup disegani karena memiliki sawah yang luas dan peternakan juga. 

 

Baruna Hadi Darmawangsa, itulah nama lengkapnya, lahir dan besar di Desa Tirtamaya, namun mengenyam pendidikan di perguruan tinggi di kota lain, setelah lulus dan meraih gelar insinyur dia memilih mengabdikan dirinya di desa kelahirannya.

 

Istrinya Nuryani Ismawati, adalah teman kuliahnya dulu, juga memiliki basic keluarga petani, maka tak masalah baginya saat sang suami mengajaknya untuk tinggal dan menetap di desa. 

 

Mereka berdua hanya dikaruniai dua orang putri kembar. Tahun demi tahun tak terasa berlalu, usaha mereka bertani dan mengelola peternakan semakin maju, seiring bertumbuhnya kedua putrinya menjadi dua orang gadis yang sama cantik dan berbudi baik. 

 

Andai keduanya dipakaikan pakaian yang sama, tentu akan sulit membedakan mana yang Arina dan mana yang Arini. Satu satunya pembeda adalah Arina memiliki sebuah tahi lalat kecil di pipi kanannya di bawah kelopak mata kanan. Ditambah lagi Arina kini mengenakan kacamata minus setengah. 

 

Arina tengah menonton acara televisi sore itu, ketika dilihatnya Arini sudah berdandan dan terlihat siap untuk keluar rumah.

 

"Mau ke mana, Dik?" tanya Arina mengecilkan volume suara televisi. 

 

"Ke kota, Mbak." jawab Arini singkat tanpa menoleh, diraihnya sepatunya yang tersusun di rak sepatu, lalu memakainya. 

 

"Maksud Mbak kamu mau ke rumah siapa? Jadi kalau Bapak atau Ibu tanya Mbak kan bisa jawab." Arina bangkit dan berjalan mendekati adik kembarnya. 

 

Arina masih diam saja tak menjawab, setelah mengenakan sepatu dia melangkah ke arah pintu untuk beranjak keluar. 

 

"Dik!" Secara reflek Arina meraih tangan adiknya, dia sedikit kesal dengan sikap cuek Arini, sikap yang sangat tidak biasa dari Arini. 

 

"Apaan sih, Mbak! Kepo banget!" Arini membentak Arina. Lalu menarik tangannya dengan kuat hingga terlepas, lalu lanjut membuka pintu keluar rumah. 

 

Arina hanya bisa mengelus dada dengan sikap keras sang adik. Dia menarik napas panjang dan dihembuskannya kembali untuk melepaskan rasa kesal yang menyusup di hatinya, dia lalu kembali ke kursinya dan kembali larut dengan acara televisi yang tadi ditontonnya. 

 

Arini berjalan cepat menyusuri jalan desa, beberapa orang warga desa yang berpapasan dengannya di jalan dan menegurnya dijawab sekedarnya saja, Arini seperti tengah terburu waktu untuk menemui seseorang. 

 

Tak ada yang tahu kalau saat itu kedua kelopak mata Arini berkaca-kaca, nyaris tumpah menjadi tangis yang sekuat tenaga berusaha ditahankan agar tak sampai menetes di pipinya. 

 

Entah siapa yang ingin ditemui oleh Arini saat itu, tetapi sepertinya seseorang itu begitu mempengaruhi Arini, semua perubahan sikap Arini akhir-akhir ini jelaslah terkait erat dengan orang tersebut. 

 

Semakin jauh kaki Arini melangkah, hatinya terasa semakin kalut. Di langit mendung semakin tebal, hembusan angin kencang menerpa rambut hitamnya yang berkilau indah itu.

 

Arini sudah keluar dari Desa Tirtamaya, di atas trotoar berdebu dia terus melangkah cepat, sedang pandangan matanya terasa kosong. Pandangan mata keputus asaan yang begitu dalam, yang bercampur dengan amarah yang terpendam, amarah yang hanya dia sendiri yang tahu dan rasakan, bahkan kepada kakaknya sendiri Arina dia tak mau menceritakan apa yang kini dia rasakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status