Share

Bab 8. Sepupu Rasa Pembantu

***

Setiba Maira di halaman rumah Andri-adik dari ibu Maira, mata Maira melihat Nayla-adik sepupunya dan pacarnya tengah ngobrol di teras. Maira mengerem sepedanya dan memasuki halaman rumah Om-nya dengan menuntunnya pelan-pelan ke belakang. Andri menyediakan sebuah kamar kecil dibelakang rumah mewahnya untuk Maira.

"Maira!" teriak pacar Nayla dan mendekat pada Maira.

Deg!

"Ya Tuhan, kenapa lelaki itu memanggilku? Bisa habis aku kena marah Nayla nanti," gumam Maira lirih. Maira pura-pura tak mendengar dan terus saja menuntun sepedanya.

"Maira! Tolong berhenti!" Mendengar kata 'tolong', Maira reflek menghentikan sepedanya.

'Aduh bagaimana ini?' Maira bingung saat melirik lelaki itu menghampiri Maira dan disusul langkah Nayla dari belakang lelaki itu.

"Ciloknya masih?" tanyanya setelah sampai di dekatnya.

"Habis, Mas." Dia tertawa kecil mendengar jawaban Maira.

"Kenapa panggil aku 'Mas', hmm? Bukankah sudah aku katakan kita satu kampus?" Maira diam saja, dia lebih takut reaksi Nayla yang sudah memelototinya.

"Kamu lupa lagi namaku?" Maira hanya menggeleng tanpa suara.

Dalam hati Maira terus merutuki dirinya yang berhenti saat dipanggil Zian. Lara yang ia rasa barusan pasti akan tambah perih karena sepupunya sudah menatap tajam penuh kebencian.

'Tuhan ... Aku tak mau lagi bertengkar dengan Nayla!'

"Lalu siapa namaku, hmm?" Maira menelan salivanya dengan susah payah mendengar pertanyaan Zian. Ah, rasanya tenggorokannya berpasir kali ini.

'Tuhan ... kenapa dia harus mananyaiku pertanyaan macam itu?' batin Maira ingin menangis saat melirik Nayla dengan pandangan membun*hnya.

"Siapa, Maira?" Kekasih Nayla mengulangi pertanyaannya.

"Maaf, saya lupa," jawab Maira bohong. Sebenarnya Maira tahu siapa nama kekasih Nayla ini. Seantero universitas negeri di kotaku ini pasti tahu nama Zian Bintoro. Mahasiswa berprestasi yang santun dan menawan. Sahabat Maira-Feni yang kaya raya saja sering curhat pada Maira bahwa ia mengagumi dan mencintai Zian.

Kepopuleran Zian sebagai mantan ketua BEM yang tampan dan kegemilangan prestasi akademiknya menjadikannya most wanted idaman semua siswi seluruh angkatan. Tapi karena Zian sudah memilih Nayla sebagai pacarnya, Feni pilih menjomblo sampai sekarang. Maira menghembuskan napasnya pelan.

"Oke, kamu terlalu fokus jualan, hingga tak pernah mengingat namaku, ya? Biar aku kenalan lagi, ya! Aku Zian Bintoro. Panggil saja Zi." Maira mengangguk, mau mengulurkan tangan, tapi urung saat melihat sepupunya yang berkacak pinggang dibelakang Zian.

'Tuhan! Andai bisa berteleportasi, pindahkan aku ke kamar sekarang juga!' harap Maira dengan pandangan penuh kecemasan.

Maira menelan saliva dengan susah payah demi dilihat mata Nayla yang terlihat merah dan tangannya memilin dagu yang dimaju-mundurkan. Maira mengartikan itu sebagai kode supaya dia pergi. Entah itu benar atau salah. Yang jelas Maira ingin segera berlalu dari kedua orang disampingnya itu.

Maira mengangguk pelan dan tak menyambut tangan Zian yang sudah terulur.

"Maaf, saya masih banyak pekerjaan." Maira kembali menuntun sepeda bututnya meninggalkan Zian yang memandang punggung Maira dengan pandangan kecewa.

'Kenapa susah sekali dekat sama kamu, Mai?' Mata Zian tak rela melepas pandangan dari Maira yang semakin menjauh. Sejak masa ospek hingga saat ini Zian masih saja menaruh rasa pada Maira, bahkan tumbuh semakin besar saat tahu bahwa Maira gadis yang berbeda dimata Zian. Selama hampir 3 tahun ini ia tak pernah melihat Maira berjalan dengan seorang cowok pun. Ia sering menjumpai mahasiswi hukum itu berjualan cilok di taman. Menambah kekaguman dihati Zian.

'Kasih aku kesempatan, Mai!' batin Zian penuh harap. Mata Zian kini memandang Maira yang menyandarkan sepedanya lalu mengangkat gerobak ciloknya.

Pikiran Maira tidak fokus. Pikiran gadis itu melayang pada kekasih sepupunya yang pernah ke kelasnya dan mengajaknya berkenalan. Beberapa kali juga pria itu menjumpainya dan membeli ciloknya saat joging di taman saat sore hari.

"Auwww!" pekik Maira saat gerobak ditangannya menindih jempol kakinya.

"Tuhan ... Lengkap sudah keapesanku hari ini!" gumam Maira pada dirinya sendiri. Wajahnya meringis menahan rasa sakit di jempol kakinya yang tertindih gerobak.

"Ada apa, Mai?" tanya Zian setibanya di samping Maira dan langsung mengangkat gerobak yang menindih jempol kaki kanannya. Disaat itulah Maira menarik kakinya. Wajahnya masih meringis.

"Berdarah, Mai." Suara Zian terdengar cemas.

"Gak apa, Zian. Aku baik. Maaf, aku harus ke dalam." Maira berusaha menahan rasa nyeri dan perih dijempolnya yang lecet dan berdarah, sambil berjalan biasa ke kamarnya yang sangat sederhana dan menutup pintunya. Ia berdiri dibalik pintu sambil menatap darah segar yang masih mengalir di jempolnya. Ia ingin segera mencuci kakinya dan mengobati lukanya. Namun ia urungkan niat itu saat matanya yang mengintip melalui jendela mendapati Nayla mendekat pada Zian.

"Maaf, Zian. Aku belum mengucapkan terima kasih," gumam Maira pelan.

"Sayang, kenapa lagi itu pembantuku?" tanya Nayla dengan nada kesalnya.

Deg!

Sudah kesekian kali telinga Maira mendengar kata pembantu dari mulut Nayla. Maira menghela napas dan mengusap-usap dadanya yang terasa nyeri. Sebegitu rendahnya sepupunya itu menganggapnya pembantu. Sabar Maira!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status