Share

Bab 7. Lara Humaira

***

Sementara itu di rumah Andri tampak putrinya yang bernama Nayla sedang tersenyum manis menyambut kekasihnya yang dari fakultas ekonomi di kampus yang sama dengannya.

Namun sebelum Zian Bintoro-nama kekasih Nayla itu menghampiri Nayla, matanya melongok kearah kebun belakang rumah Andri.

"Nyari apa sih, Yang?" tanya Nayla kesal karena ia tahu kekasihnya pasti mencari keberadaan Maira.

"Maira ada?" Nayla mencebikkan bibirnya kesal karena Zian selalu saja menanyakan Maira saat ke rumahnya.

"Aku di sini lho, Yang! Ngapain kamu tanya pembantuku?"

"Ada apa tidak?" tanya Zian dingin.

"Gak ada, dia jualan. Udah ah! Jangan bahas dia lagi. Menjadikan mood kita buruk. Lebih baik kamu duduk dulu, aku ambilin kudapan."

"Yang buat Maira?" Nayla kesal karena Zian dari tadi hanya bertanya Maira-Maira melulu.

"Ya iyalah, namanya juga pembantu. Ya tugasnya masakin semuanya buat kita. Bentar, ya?" Zian mengangguk tersenyum karena disaat ia ke rumah Nayla selalu bisa menikmati makanan buatan Maira-mahasiswi hukum pencuri hatinya.

***

~Taman Kota~

'Dia tampak ceria sekali, berbanding terbalik dengan kakaknya yang kaku itu. Eh, tunggu? Kakak? Tunggu! Tadi gadis kecil ini bukannya memanggil dia 'Pa'? Itu artinya, pria kaku itu Papanya? Rasanya tak mungkin,' gumam hati Maira tak percaya melihat dua orang yang beda karakter itu ternyata ayah dan anak. Raditya mengubah ekspresi wajahnya saat Maira menatapnya.

'Aku harus segera pergi dari kedua orang ini sebelum mata Papanya itu membun*hku,' batin Maira setelah melihat pria galak itu terus menatapnya tajam.

Namun pikiran Maira seperti berpikir lagi. 'Aku seperti pernah melihat wajah Aira, tapi dimana ya? Ah, lupakan, Mai! Kamu harus segera pergi sebelum penjaganya menelanmu hidup-hidup.'

"Maaf, Aira ... Kakak harus pulang. Banyak pekerjaan di rumah," ucap Maira lembut namun hatinya kalut karena tadi pagi sudah bersilat lidah dengan Om-nya gegara tadi malam menginap di rumah Feni tanpa ijin.

"Oh? Eh! Akak cantik, jangan meyamun! Emm ... Aiya boyeh cium kakak gak? Kakak ciyoknya enyak." Maira tersenyum kaku.

'Gadis kecil yang aneh, dia suka cilokku tapi minta cium pipiku,' batin Maira gemas pada Aira. Maira mengangguk dan memberikan pipi kanannya.

Cup!

"Makacih, Kak."

"Sama-sama." Maira mengusap rambut gadis kecil itu lembut. Usapan yang selalu ia rindukan dari Ibunya.

'Ibu ... Maira rindu!' jerit Maira dalam hati. 'Kapan Ibu telpon Maira?' Ia ingin sekali menelpon Ibunya, namun hanya sebatas keinginan karena Ibunya melarang menelponnya duluan. Mata Maira sudah berembun.

"Berapa?" Maira mengernyitkan dahi mendapati pria galak itu bertanya singkat, padat, tapi tak jelas. Ia segera menegakkan badannya dan mengusap kelopak matanya.

"Maaf ... Maksud ba---, Kakak apa ya yang berapa?" Hati Maira yang bercampur aduk rasanya saat meneriakkan kata rindu yang belum terobati itu bertanya kebingungan, lalu berdiri dan hendak beranjak kesepeda bututnya.

'Tak usah ditanggapi, Mai! Orang yang gak jelas!' perintah hati Maira.

"Berapa cilok dan permennya?" Maira menghela napas. Mencoba bersabar dan menahan diri dengan pertanyaan yang terdengar mengejek ditelinga Maira.

"Cilok yang mana, Pak?" tanya Maira dengan ketus. Rasanya ia ingin memaki pria tak penting yang mengganggunya itu. Tak tahu orang lagi rindu malah diganggu!

"Cilok yang dipesan putri saya esok, biar saya bayar sekarang. Besok biar diambil oleh sopir saya kesini." Maira tersenyum getir. Mengangguk-angguk. Lalu memakai topinya lagi.

'Ya ya! Namanya juga orang kaya,' imbuh hatinya dongkol.

"Bayarnya besok saja. Maaf, saya harus pulang."

"Jangan belagu, gadis penjual cilok!" seru Raditya kesal. Ia tak tahu mengapa ia begitu kesal saat penjual cilok yang baru berkenalan dengan putrinya itu tak menggubrisnya.

Maira menegakkan sepeda bututnya dan mengayuhnya. Tak memedulikan ucapan dan tatapan Raditya yang tajam menusuk kalbunya. Ingin rasanya segera lenyap dari manusia kaku seperti pria itu.

'Tenangkan dirimu, Mai!' hibur hati Maira namun matanya berkehendak lain.

Tes! Meneteslah air mata yang sedari tadi ingin keluar.

"Dia orang yang baru lihat aku saja menghina aku! Seburuk itukah aku, Tuhan? Orang yang punya banyak uang memang tak punya perasaan. Aku memang gadis kecil dan terbuang. Bapak saja aku tak punya. Aku memang hanya orang yang terlahir tanpa diharapkan. Aku memang orang yang tak diinginkan. Ibu ... maira rindu Ibu ... kapan Ibu nyusul Maira kesini. Sekarang tak ada seorangpun yang menyayangi Maira. Tak ada yang membela Maira. Bahkan Om dan Tante malu karena telah menampung Maira di rumahnya," ujar Maira tergugu dalam tangisnya.

Walaupun tak ada yang mendengarkan duka laranya, tapi Maira tak bisa menahannya lebih lama lagi. Ia berhenti sejenak dan mengambil tisu didalam tas yang menempel di pinggangnya. Ia mengeluarkan ingus yang membuat hidungnya terasa panas dan buntu.

"Lupakan kejadian ini Maira! Kamu harus menghadapi kenyataan ini. Kuatkan aku, ya Allah, ya Tuhanku ..." Maira meneruskan kayuhan sepedanya dengan cepat. Dibawanya luka hatinya dalam kayuhan sepedanya berharap agar hilang ditelan angin dan berganti dengan senyum ceria seperti senyum cerianya Aira tadi.

'Ah! Mana mungkin. Sekali sikecil, aku akan tetap jadi si kecil.' Kini tangis tanpa suara, hanya diwakili oleh tetesan air mata yang langsung dikeringkan oleh angin jalan yang diterpanya.

"Hidup ini menyesakkan, Tuhan! Dihina dan direndahkan. Dipandang sebelah mata! Dihindari dan dilabeli anak haram. Sekarang aku tanya, apa ada anak yang menginginkan terlahir tanpa Ayah? Jujur dari lubuk hati yang terdalam, jika boleh memilih, lebih baik jiwa raga ini tak pernah melihat dunia jika harus terbebani dengan cap anak haram ..." teriak Maira tanpa memedulikan dirinya dilihat oleh orang yang kebetulan lewat.

"Kalau tak ada Ibu, aku ingin menyerah, Tuhan ... Namun demi Ibu aku akan berusaha berjuang melanjutkan hidup walaupun dengan jutaan lara dihatiku." Gadis tak berayah itu kembali mengayuh sepedanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status