***
Sementara itu di rumah Andri tampak putrinya yang bernama Nayla sedang tersenyum manis menyambut kekasihnya yang dari fakultas ekonomi di kampus yang sama dengannya.
Namun sebelum Zian Bintoro-nama kekasih Nayla itu menghampiri Nayla, matanya melongok kearah kebun belakang rumah Andri.
"Nyari apa sih, Yang?" tanya Nayla kesal karena ia tahu kekasihnya pasti mencari keberadaan Maira.
"Maira ada?" Nayla mencebikkan bibirnya kesal karena Zian selalu saja menanyakan Maira saat ke rumahnya.
"Aku di sini lho, Yang! Ngapain kamu tanya pembantuku?"
"Ada apa tidak?" tanya Zian dingin.
"Gak ada, dia jualan. Udah ah! Jangan bahas dia lagi. Menjadikan mood kita buruk. Lebih baik kamu duduk dulu, aku ambilin kudapan."
"Yang buat Maira?" Nayla kesal karena Zian dari tadi hanya bertanya Maira-Maira melulu.
"Ya iyalah, namanya juga pembantu. Ya tugasnya masakin semuanya buat kita. Bentar, ya?" Zian mengangguk tersenyum karena disaat ia ke rumah Nayla selalu bisa menikmati makanan buatan Maira-mahasiswi hukum pencuri hatinya.
***
~Taman Kota~
'Dia tampak ceria sekali, berbanding terbalik dengan kakaknya yang kaku itu. Eh, tunggu? Kakak? Tunggu! Tadi gadis kecil ini bukannya memanggil dia 'Pa'? Itu artinya, pria kaku itu Papanya? Rasanya tak mungkin,' gumam hati Maira tak percaya melihat dua orang yang beda karakter itu ternyata ayah dan anak. Raditya mengubah ekspresi wajahnya saat Maira menatapnya.
'Aku harus segera pergi dari kedua orang ini sebelum mata Papanya itu membun*hku,' batin Maira setelah melihat pria galak itu terus menatapnya tajam.
Namun pikiran Maira seperti berpikir lagi. 'Aku seperti pernah melihat wajah Aira, tapi dimana ya? Ah, lupakan, Mai! Kamu harus segera pergi sebelum penjaganya menelanmu hidup-hidup.'
"Maaf, Aira ... Kakak harus pulang. Banyak pekerjaan di rumah," ucap Maira lembut namun hatinya kalut karena tadi pagi sudah bersilat lidah dengan Om-nya gegara tadi malam menginap di rumah Feni tanpa ijin.
"Oh? Eh! Akak cantik, jangan meyamun! Emm ... Aiya boyeh cium kakak gak? Kakak ciyoknya enyak." Maira tersenyum kaku.
'Gadis kecil yang aneh, dia suka cilokku tapi minta cium pipiku,' batin Maira gemas pada Aira. Maira mengangguk dan memberikan pipi kanannya.
Cup!
"Makacih, Kak."
"Sama-sama." Maira mengusap rambut gadis kecil itu lembut. Usapan yang selalu ia rindukan dari Ibunya.
'Ibu ... Maira rindu!' jerit Maira dalam hati. 'Kapan Ibu telpon Maira?' Ia ingin sekali menelpon Ibunya, namun hanya sebatas keinginan karena Ibunya melarang menelponnya duluan. Mata Maira sudah berembun.
"Berapa?" Maira mengernyitkan dahi mendapati pria galak itu bertanya singkat, padat, tapi tak jelas. Ia segera menegakkan badannya dan mengusap kelopak matanya.
"Maaf ... Maksud ba---, Kakak apa ya yang berapa?" Hati Maira yang bercampur aduk rasanya saat meneriakkan kata rindu yang belum terobati itu bertanya kebingungan, lalu berdiri dan hendak beranjak kesepeda bututnya.
'Tak usah ditanggapi, Mai! Orang yang gak jelas!' perintah hati Maira.
"Berapa cilok dan permennya?" Maira menghela napas. Mencoba bersabar dan menahan diri dengan pertanyaan yang terdengar mengejek ditelinga Maira.
"Cilok yang mana, Pak?" tanya Maira dengan ketus. Rasanya ia ingin memaki pria tak penting yang mengganggunya itu. Tak tahu orang lagi rindu malah diganggu!
"Cilok yang dipesan putri saya esok, biar saya bayar sekarang. Besok biar diambil oleh sopir saya kesini." Maira tersenyum getir. Mengangguk-angguk. Lalu memakai topinya lagi.
'Ya ya! Namanya juga orang kaya,' imbuh hatinya dongkol.
"Bayarnya besok saja. Maaf, saya harus pulang."
"Jangan belagu, gadis penjual cilok!" seru Raditya kesal. Ia tak tahu mengapa ia begitu kesal saat penjual cilok yang baru berkenalan dengan putrinya itu tak menggubrisnya.
Maira menegakkan sepeda bututnya dan mengayuhnya. Tak memedulikan ucapan dan tatapan Raditya yang tajam menusuk kalbunya. Ingin rasanya segera lenyap dari manusia kaku seperti pria itu.
'Tenangkan dirimu, Mai!' hibur hati Maira namun matanya berkehendak lain.
Tes! Meneteslah air mata yang sedari tadi ingin keluar.
"Dia orang yang baru lihat aku saja menghina aku! Seburuk itukah aku, Tuhan? Orang yang punya banyak uang memang tak punya perasaan. Aku memang gadis kecil dan terbuang. Bapak saja aku tak punya. Aku memang hanya orang yang terlahir tanpa diharapkan. Aku memang orang yang tak diinginkan. Ibu ... maira rindu Ibu ... kapan Ibu nyusul Maira kesini. Sekarang tak ada seorangpun yang menyayangi Maira. Tak ada yang membela Maira. Bahkan Om dan Tante malu karena telah menampung Maira di rumahnya," ujar Maira tergugu dalam tangisnya.
Walaupun tak ada yang mendengarkan duka laranya, tapi Maira tak bisa menahannya lebih lama lagi. Ia berhenti sejenak dan mengambil tisu didalam tas yang menempel di pinggangnya. Ia mengeluarkan ingus yang membuat hidungnya terasa panas dan buntu.
"Lupakan kejadian ini Maira! Kamu harus menghadapi kenyataan ini. Kuatkan aku, ya Allah, ya Tuhanku ..." Maira meneruskan kayuhan sepedanya dengan cepat. Dibawanya luka hatinya dalam kayuhan sepedanya berharap agar hilang ditelan angin dan berganti dengan senyum ceria seperti senyum cerianya Aira tadi.
'Ah! Mana mungkin. Sekali sikecil, aku akan tetap jadi si kecil.' Kini tangis tanpa suara, hanya diwakili oleh tetesan air mata yang langsung dikeringkan oleh angin jalan yang diterpanya.
"Hidup ini menyesakkan, Tuhan! Dihina dan direndahkan. Dipandang sebelah mata! Dihindari dan dilabeli anak haram. Sekarang aku tanya, apa ada anak yang menginginkan terlahir tanpa Ayah? Jujur dari lubuk hati yang terdalam, jika boleh memilih, lebih baik jiwa raga ini tak pernah melihat dunia jika harus terbebani dengan cap anak haram ..." teriak Maira tanpa memedulikan dirinya dilihat oleh orang yang kebetulan lewat.
"Kalau tak ada Ibu, aku ingin menyerah, Tuhan ... Namun demi Ibu aku akan berusaha berjuang melanjutkan hidup walaupun dengan jutaan lara dihatiku." Gadis tak berayah itu kembali mengayuh sepedanya.
***
***Zian sudah tak kuat lagi mendengar nestapa Maira. Dengan cepat ia merangkul gadis itu. Ia tak peduli kondisi Maira yang basah kuyup. Kaos oversize yang Maira kenakan sudah menempel dengan badannya karena dilem oleh air hujan yang terus saja mengguyur bumi. Kini pakaiannya juga basah. Tapi masa bodoh. Dalam otaknya ia hanya ingin membuat gadis itu tenang."Siapa orang yang telah menghina kamu seperti itu? Katakan padaku, Mai!" ucap Zian dengan nada yang ditekan penuh amarah. Selama ini dia mengikuti Maira dan menjadi pengagum rahasianya, ia tak pernah menemukan Maira bersama pria manapun. Ia tak pernah menemukan Maira berada di tempat terkutuk itu. Ia akan menghabisi orang yang tega menuduh Maira dengan tuduhan yang tak pernah dilakukannya."Katakan, Mai!" Suara Zian melembut saat menyadari Maira tertunduk diam didadanya."Kakaknya Feni ..." ucap Maira tanpa disadari.Jemari kanan Zian yang memeluk pundak Maira mengepal. Dalam hati ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan abang
***"Sudah, Maira." Maira membuka pintu disampingnya tanpa merespon perkataan Raditya."Terima kasih kamu telah jadi sahabat yang baik buat aku selama ini, Fen. Ini mungkin yang terakhir kita bertemu sebagai sahabat," ucap Maira sebelum melangkah keluar. Feni tercengang. Tak ada angin tak ada badai kenapa Maira memutuskan persahabatannya? Ia hanya memandang lesu punggung Maira yang mulai menjauh. Apa ini, Tuhan? Tak berapa lama Maira berbalik dan menghampiri pintu mobil Raditya yang masih terbuka."Mai, kamu kembali." Feni tersenyum bahagia. "Ayo naik. Sudah kubilang hujannya masih deras. Ayo sini!" Feni tersenyum saat Maira melongak ke pintu yang masih terbuka."Ini jaket mahal Mas kamu!" Maira meletakkan jaket Raditya dan kembali berjalan menerobos air hujan. Raditya dan Feni dibuat tercengang oleh tingkah Maira."Mas! Apa kamu kenal Maira sebelum ini? Dari tadi ia tak mau merespon kamu sama sekali! Selama 3 tahun bersahabat dengannya dia tak pernah melakukan ini padaku. Ini pasti k
***Mata Maira merah menahan amarah. Hidungnya kembang kempis dengan deru napas yang naik turun. Namun ia hanya mampu diam dan menunduk. Ia tak mau mengotori mulutnya dengan kata-kata kasar pada pria angkuh dan galak itu. Andai ia bukan kakaknya Feni ia pilih berlari pulang.Hati Maira yang baru saja tertawa melihat tingkah adiknya kini harus tersulut emosi lagi karena abangnya.'Mulut pedasnya itu! Ah! Tapi apa salahnya? Dia mengatakan hal yang benar kan? Memang aku ini hanya penjual cilok. Sabar, Mai! Kenapa harus tersinggung coba?' Dalam kepalanya yang masih menunduk, Maira mencoba menjerang senyumnya meski sulit untuk menguatkan hatinya."Mas Radit gak boleh gitu! Meskipun ia penjual cilok, tapi cantik kan?" ujar Feni untuk mencairkan ketegangan yang semakin menguar.Glek!Raditya menelan salivanya. Memang tidak salah yang dikatakan adiknya. Memang dari tadi pagi ia sudah terpesona pada gadis penjual cilok ini. Ah! Takdir yang manis! Ia bahkan lebih manis dari Aina-mantan istrinya
***Maira tak menghiraukan pandangan Feni yang dari tadi meliriknya. Ia lebih mengkhawatirkan pandangan Nayla yang tak ada dibalik mobil."Pulanglah! Kasihan Nayla sudah menunggu," jawab Maira lirih tapi penuh penekanan membuat Zian kecewa karena jawaban gadis itu tak nyambung dari pertanyaannya. Zian melengos sambil mengusap dadanya. Kecewa? Sudah pasti! Mengapa gadis disampingnya ini selalu menutup diri darinya. Sabar, Zi!Namun saat dirinya ingat aksi nekatnya di mall tadi, seulas senyum tipis menghiasi wajah tampannya.Ia tak mau putus asa. Tak ada perjuangan yang sia-sia. Zian menguatkan tekadnya. Keinginan yang lama ia pendam, bisa dekat dengan Annisa Humaira, mahasiswi pekerja keras yang dari awal melihatnya langsung mencuri hatinya. Satu-satunya gadis acuh dan tak mengindahkan keberadaannya. Jika sampai dirinya melanjutkan studinya ke Amerika dan ia belum juga bisa mengungkapkan cintanya pada Maira ia akan sangat menyesal. 'Aku harus segera mengungkapkan cintaku!'"Aku tunggu
***~Kediaman Hanni~"Ayo, Mas! Buruan telpon adikmu!" titah Hanni pada Raditya yang baru selesai mandi."Iya-iya, Ibukku tersayang ..." Raditya meraih ponselnya disamping MacBook-nya. Baru menyalakan layar ponselnya, sudah berdering duluan.Raditya melirik Ibunya sembari tersenyum. "Pucuk dicinta ulam pun tiba. Nih, bocah telpon!" Raditya menggeser gagang telpon warna hijau dan wajahnya berubah menjadi serius dan sedikit menegang. Hanni jadi ikut cemas."Share lok! Mas akan jemput kamu!" Tak berapa lama ia memutus panggilannya."Motornya mogok, Buk! Aku akan jemput dia!" Hanni mengangguk cepat dan menoleh kearah Aira yang kini bermain dengan ART-nya."He'em, buruan jemput, Mas! Kasihan adekmu. Mana mendung gelap begini.""Siap, Bu komandan!" Hanni sedikit tersenyum mendengar kekonyolan Raditya. Sudah punya anak juga masih saja bisa menggoda Ibunya.Raditya menaruh ponselnya kesakunya setelah mendapat pesan Wh*tsApp lokasi keberadaan Feni dan temannya.'Mana tega aku biarin Feni susah
*** Maira kembali gusar saat merasakan deru napas yang naik turun teratur menyapu sela-sela rambutnya, membuat bulu kuduknya merinding. Hatinya berkecamuk berbagai rasa. Darahnya mengalir dengan begitu derasnya. Ingin marah tapi kenapa tak bisa? Ingin menangis tapi kenapa tak lagi meneteskan air mata? Zian memejamkan matanya merasakan setiap sentuhan tangannya dikepala Maira. Aroma shampo dirambut mahasiswi jurusan hukum yang lama dicintainya dalam diam itu menguar dan masuk dalam indra penciumannya. Menenangkan pikirannya. Namun tidak dengan degup jantungnya yang seperti genderang ditabuh sangat cepat membuat darahnya memanas dan mengalir deras. Berbagai rasa membuncah didadanya. 'Ya Tuhan, kenapa dia tak melepasku?' batin Maira mulai was-was lagi. Dalam perasaannya yang semakin membuncah, Zian sadar tak boleh melewati batasan. Ia ingin menjaga gadis yang dicintainya itu tanpa merusaknya. Ia membuka matanya dan melepaskan pelukannya. Ditatapnya Maira dengan tatapan yang dalam, d