Share

Bab 9. Perhatian Dua Pria Tampan

***

"Kakinya berdarah," jawab Zian lalu berbalik pergi. Maira yang dari tadi mengintip dari jendela membuka kamar dan hendak mencuci kakinya di kran yang tak jauh dari kamarnya supaya tak ada kuman dan cepat kering lukanya.

Betapa kagetnya Maira saat mendapati Zian duduk di kursi kecil yang biasa Maira duduki saat membuat dagangan. "Z-zi-ann??" 

"Duduklah, Mai. Aku akan mengobati lukamu." Zian mengangkat tubuhnya dan memberikan tempat yang barusan didudukinya.

"Saya sudah gak apa-apa, kok." Maira menolak halus demi mendapati Nayla yang sudah berdiri didepan Maira dan menyilangkan kedua tangannya didepan dada dengan pandangan tak suka.

"Nanti kalau gak segera diobati akan infeksi," cetus Zian.

"Iyakah? Gak semengerikan itu lah, Sayang. Toh hanya luka lecet doang," cicit Nayla.

"Iya, besok juga kering kok, Zian. Pergilah dan teruskan apel kamu." Maira hendak masuk ke kamar tapi Zian berdiri didepannya.

"Annisa Humaira! Kapan sih kamu peduli pada dirimu sendiri? Kalau kamu acuh pada dirimu sendiri, terserah! Tapi, tolong kasih kesempatan orang lain untuk peduli sama kamu!" Suara Zian meninggi.

Deg!

'Ngomong apa sih si Zian?' Maira menunduk diam.

"Duduk!" suara Zian yang begitu tegas membuat bulu kuduk Maira merinding dan mau tak mau menurutinya duduk.

Dia menuangkan cairan refanol dikapas lalu ditempelkan di jempol kaki Maira yang lecet.

"Auw!" teriak Maira reflek saat merasakan perih dan dingin dijempolnya. Di ulanginya sekali lagi.

"Auww."

"Tahan sebentar, perih sebentar saja kok." Suara menyeramkan Zian hilang dan yang terluncur barusan suara yang sangat lembut. Ah! Baru pertama kalinya Maira mendengar suara pria selembut itu.

Maira menggeleng cepat, dan melirik Nayla masih berdiri terpaku dengan pandangan tak sukanya.

"Maafkan aku, Nay," batin Maira menyesal telah terluka dan mengganggu kencan Nayla dan Zian. Mata sayu Maira memohon maaf pada Nayla atas sikap Zian padanya. Nayla menggerak-gerakkan bibirnya kekanan dan kekiri. Wajahnya tampak gusar melihat Zian yang kini meneteskan obat merah.

"Gak usah aku plester, ya. Biar luka cepat kering. Ini, nanti 2 jam sekali kamu tetesi obat merah ini." Maira menerima obat merah yang diberikan Zian.

'Kenapa tak dilepas-lepas kalau niat ngasih?' omel Maira dalam hati saat obat merah yang disodirkan padanya tak kunjung ia lepas.

Akhirnya Maira melepaskan jari-jarinya yang dari tadi menarik obat merah dari jari-jari Zian yang kuat.

Zian tertawa kecil sambil melirik Maira. "Maaf ... tadi becanda. Ini." Maira ragu untuk mengambil obat merah itu. Akhirnya dengan gemasnya Zian sendiri yang meletakkan ditangan kanan Maira.

"Jangan lupa pesanku tadi." Maira yang menunduk, mengangguk.

"Ayo, Yang. Kita nonton. Sudah hampir sore ini. Filmnya udah mau mulai," cicit Nayla yang dari tadi memandang Maira tak suka.

"Mau ikut?" Bukannya merespon ucapan Nayla, Zian malah menawari Maira yang hanya memberi jawaban dengan gelengan kepalanya. Zian semakin gemas dibuatnya. Ingin mencubit pipi gadis yang bersemu merah didepannya itu. Iih!

"Dia itu masih banyak pekerjaannya, Yang. Ayo buruan, aku juga mau belanja sekalian." Nayla menarik lengan Zian tak tahan dengan Zian yang terus memberi perhatian pada Maira.

Sebelum berdiri, Zian menatap Maira sejurus lamanya membuat Maira risih. Namun dirinya tak mau menarik kesimpulan apapun bahkan tatapan Zian. Dimata Maira semua pria itu br*ngsek. Mereka bagaikan lebah yang tertarik pada bunga yang segar dan mengisapnya setelah itu mencampakkannya.

"Aku pasti bau keringat ya seharian ini." Maira mencium ketiaknya yang tertutup lengan kaos berwarna biru laut itu untuk mengalihkan perasaannya yang bertengger banyak persangkaan.

'Tuhan ... Nayla menjadikanku sepupu rasa pembantu. Serendah itu aku dimatanya, tapi apa hakku melarangnya. Nayla salah tempat kalau membenci aku karena Zian. Mana mungkin pria sepopuler Zian melirik padaku. Bahkan aku ini tak pantas untuk lelaki manapun. Aku sudah cukup bersyukur bisa kuliah dan berdagang. Hidupku terlalu rumit untuk mengenal cinta. Jangan sampai hal yang terjadi pada Ibu menimpaku," gumam Maira mengeluarkan semua gundah dalam hatinya. Udara yang diraup hidungnya barusan dihembuskan dengan keras.

Air mata yang sudah menumpuk dipelupuk mata Maira segera diusap kasar dengan tangan mungilnya. Ia menghembuskan napas kasar. Disaat gadis seusianya menikmati masa mudanya, gadis rendah tak berayah seperti dirinya harus membanting tulang untuk bisa bertahan dengan kerasnya kehidupan.

"Ugh!" Maira mendengus. "Aku gak boleh mengeluh. Aku harus semangat!"

Maira menatap luka dijempol kakinya yang tak lagi perih. Ia ingat belum sempat mengucapkan terima kasih pada Zian.

"Walaupun aku membenci pria, tapi ijinkan aku berterima kasih, Zi ...," cicit Maira lirih karena ia tahu pria itu tak mendengarnya. "Semoga kamu bahagia bersama Nayla," imbuhnya dengan suara sendu mengiringi ekor matanya yang menatap jejak mobil Zian yang tak kelihatan.

**

Sepulang dari taman Raditya langsung mengajak malaikat kecilnya pulang. Pikirannya tak mau mampir ke tempat lain karena dari tadi ia selalu terbayang-bayang kejadian di taman barusan. Gadis penjual cilok bernama Maira sepertinya berhasil menguasai pikiran Raditya yang lama tak mau mengenal wanita.

Feni yang baru keluar kamar setelah nonton drakor mendapati Raditya yang sedang menemani Aira bermain boneka barbie tampak melamun. Feni heran sampai kapan mas kesayangannya itu akan jadi pelamun seperti itu. Sejak perpisahannya dengan Aina-Mamanya Aira, kakaknya itu menjadi pendiam dan lebih galak.

'Maira ... Apa kita bisa bertemu lagi? Ah, rasanya tak sabar menunggu besok,' batin Raditya dengan pandangan kosongnya.

"Mas!" Feni menepuk kedua bahu kakaknya hingga duda beranak satu itu tersentak menoleh kebelakang.

"Apaan sih, Fen?" tanya Raditya kesal karena diganggu saat sedang asyik-asyiknya membayangkan Maira-gadis penjual cilok tadi pagi.

"Baiknya mas Radit cepet cari pasangan deh! Kasihan tuh hati nanti mengeras jika terlalu lama dianggurin."

"Kamu kira hati Mas ini apa?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status