***"Sudah, Maira." Maira membuka pintu disampingnya tanpa merespon perkataan Raditya."Terima kasih kamu telah jadi sahabat yang baik buat aku selama ini, Fen. Ini mungkin yang terakhir kita bertemu sebagai sahabat," ucap Maira sebelum melangkah keluar. Feni tercengang. Tak ada angin tak ada badai kenapa Maira memutuskan persahabatannya? Ia hanya memandang lesu punggung Maira yang mulai menjauh. Apa ini, Tuhan? Tak berapa lama Maira berbalik dan menghampiri pintu mobil Raditya yang masih terbuka."Mai, kamu kembali." Feni tersenyum bahagia. "Ayo naik. Sudah kubilang hujannya masih deras. Ayo sini!" Feni tersenyum saat Maira melongak ke pintu yang masih terbuka."Ini jaket mahal Mas kamu!" Maira meletakkan jaket Raditya dan kembali berjalan menerobos air hujan. Raditya dan Feni dibuat tercengang oleh tingkah Maira."Mas! Apa kamu kenal Maira sebelum ini? Dari tadi ia tak mau merespon kamu sama sekali! Selama 3 tahun bersahabat dengannya dia tak pernah melakukan ini padaku. Ini pasti k
***Zian sudah tak kuat lagi mendengar nestapa Maira. Dengan cepat ia merangkul gadis itu. Ia tak peduli kondisi Maira yang basah kuyup. Kaos oversize yang Maira kenakan sudah menempel dengan badannya karena dilem oleh air hujan yang terus saja mengguyur bumi. Kini pakaiannya juga basah. Tapi masa bodoh. Dalam otaknya ia hanya ingin membuat gadis itu tenang."Siapa orang yang telah menghina kamu seperti itu? Katakan padaku, Mai!" ucap Zian dengan nada yang ditekan penuh amarah. Selama ini dia mengikuti Maira dan menjadi pengagum rahasianya, ia tak pernah menemukan Maira bersama pria manapun. Ia tak pernah menemukan Maira berada di tempat terkutuk itu. Ia akan menghabisi orang yang tega menuduh Maira dengan tuduhan yang tak pernah dilakukannya."Katakan, Mai!" Suara Zian melembut saat menyadari Maira tertunduk diam didadanya."Kakaknya Feni ..." ucap Maira tanpa disadari.Jemari kanan Zian yang memeluk pundak Maira mengepal. Dalam hati ia bersumpah akan membuat perhitungan dengan abang
"Jangan, Om! Tolong lepaskan saya!" rintih Maira dengan lengan menahan sakit karena dari tadi pria yang lebih matang dari gadis SMA itu menggenggam tangannya begitu kencang."Tak apa, Humaira! Om akan melakukannya secara halus dan pelan-pelan. Tenang saja, ya." Maira menggeleng cepat dengan tatapan mata yang minta dikasihani."Tidak! jangan, Om! Aku mohon!" Suara Maira bergetar.Tes!Buliran bening lolos dengan begitu derasnya dari pelupuk mata Maira dalam gelapnya ruangan itu membuat dadanya sesak. Gadis yang baru kemarin menerima ijazah SMA-nya itu sangat takut pada pria yang biasanya menjadi tamu Ibunya.Pria itu menggandeng Maira dengan paksa ke kamar sewa yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Maira pun semakin kaget dan takut saat pria yang tak ia ketahui namanya itu tiba-tiba mematikan lampu karena geram melihat gadis remaja itu memohon."Tidak akan ada kesempatan lepas pagi ini, Humaira! Aku sudah menunggu lama untuk saat ini!" geramnya sambil melepas kancing seragam Maira."Ti
*** (Assalamualaikum, Mai!) sapa ibu Maira di seberang. "Ibu! Tolong Maira! Om tamu Ibu membawa aku ke kamar sewa." Dengan suara lirih yang bergetar Maira sangat berharap Ibunya datang menyelamatkan kesuciannya yang selama ini ia jaga. (Iya, Mai! Ibu akan segera ke sana!) Ibu Maira langsung menutup sambungan ponselnya. "Ibu ...," panggil Maira di sela-sela Isak tangisnya. Di luar, Om itu masih saja mengoceh yang entah bicara apa, Maira sudah tak peduli pada ucapan dan tangan atau badan pria menjij*kkan itu, yang tak berhenti berulah pada pintu. Maira begitu muak saat ingat lelaki yang ia benci dalam diamnya itu melecehkan dirinya. Saat ia membawa Ibunya pergi saja rasanya sudah muak dan ingin menggampar apalagi saat ini dirinya langsung yang kena sentuhan tangan dan bibir yang tak punya ad*b itu. 'Oh, Tuhan! Apa salahku yang tak punya Ayah ini? Aku hanya mengandalkan tangan seorang Ibu. Disaat gadis seusiaku datang ke sekolah diantar oleh Ayahnya, aku merasa iri. Kepala ini tak
***Maira bergumam sendu sambil melambaikan tangan pada sang Ibu yang semakin jauh dibelakang bus yang Maira tumpangi.'Tuhan ... Di tempat kelahiranku saja aku bagai orang asing. Bagaimana dengan tempat yang baru? Kejutan apakah yang akan Kau berikan untukku nanti? Sebenarnya aku tak ingin pergi, tapi demi melaksanakan permintaan Ibu, aku terpaksa mengembara di tempat asing.Om Andri? Aku belum pernah bertemu dengannya. Apakah dia akan menyayangi aku seperti ibu? Semoga saja, Tuhan ...' Maira melempar pandangannya kearah jalan yang dilalui bus-nya. Lara yang tiada bertepi, sampai kapankah ini berakhir?"Ibu ... Baru berpisah berapa menit saja Maira sudah sangat rindu. Apakah Maira bisa bertahan di tepat Om Andri nanti? Apakah Om Andri akan menyayangi aku sebaik Ibu? Ibu ... Maira ingin pulang lagi, tapi Maira juga gak mau jadi korban pel*cehan lagi. Itu sangat mengerikan."Tes!Air mata dari alam bawah sadar Maira menetes dan dalam mimpinya ia berteriak ketakutan karena dipukuli Om A
*** "Terima kasih, Fen! Kamu sahabat terbaik aku," ucap Maira ditengah perjalanannya menuju pasar tradisional yang tak jauh dari rumah Feni. Kaos lengan panjang dan celana plisket yang Maira kenakan tak mampu menahan hawa dingin dari sapuan angin yang terasa begitu menusuk kulit. 'Brrr!' bibir Maira bergetar. Giginya saling bergemelutuk. Matanya fokus menatap jalanan yang diterangi oleh lampu putih disepanjang pinggirnya. Ini pertama kalinya ia belanja sepagi itu. "Hidup harus terus berlanjut, Mai! Angin dingin ini tak boleh mengalahkan kamu!" cicit Maira memberi semangat pada dirinya sendiri. "Tuh kan? Pasar sudah sangat ramai ...," gumam Maira sambil memarkirkan sepedanya. Lalu mengubah posisi tas selempangnya ke depan sebagai bentuk kewaspadaan dari tangan jahat. Ia menuju toko sembako untuk membeli bahan cilok. Selanjutnya ia menuju penjual plastik dan terakhir ke penjual snak kiloan dan memesan beberapa snak. 'Alhamdulillah, kalau masih pagi buta begini belum terlalu antri .
*** "Kangguru ...," jawab Aira kegirangan sambil melepas satu tangannya yang berpegangan pada setang sepeda dan mengangkat-angkatnya diudarw karena berhasil menjawab pertanyaan sang Ayah. "Hayo-hayo Bandung ...." "Terima kasih telah memberiku malaikat kecil ini, Tuhan." Raditya tersenyum simpul mendengarkan Aira menyanyi lagi dengan lantangnya. Tak bisa dipungkiri bakat Mamanya menurun padanya. Banyak orang yang melambaikan tangan ikut tersenyum pada pasangan ayah dan anak itu. Ya, dengan adanya Aira, Raditya terhibur dan tak terlalu ambil pusing dengan kesendiriannya. Aira selalu bisa menjadi alasan mengapa ia tak jajan di luar sana dan menjadi alasan agar ia cepat pulang. Ia harus bisa menjadi orang tua tunggal yang terbaik untuk Aira. Tak terasa sepeda Raditya sudah masuk ke area taman yang tampak asri dan luas. "Pa, Aiya pengen ciyok itu ..." Raditya menurunkan Aira yang menunjuk penjual cilok yang dikerubungi pembeli dan menyandarkan sepeda lipatnya di dekat bangku taman. "
*** "Oke, aku maafkan. Tadi malaikat kecil ini udah pesen dulu. Ini yang kedua. Berapa totalnya?" "5 ribu, P-pa-k, eh-- Kak ..." ucap Maira menggantung, tampak ragu dan takut. Raditya menahan tawa, demi dilihat si penjual cilok itu seperti ketakutan tak berani menatap matanya yang dari tadi terpaku pada gadis itu. 'Aku galak, ya? Hahaha,' batin Raditya tertawa. "Semua?" Raditya menaikkan alisnya. "Yang pertama saya niatkan sodaqoh." Raditya mengulum senyum tipisnya, tak ingin terlihat rasa bangganya pada gadis itu. Raditya mengeluarkan selembar uang berwarna merah dan ditaruh diatas gerobak Maira. "Kembaliannya, Pak! Eh, Kak!" Raditya yang sudah berjalan meninggalkan Maira. "Dasar orang kaya sombong!" Maira ngedumel sambil mengambil kembalian untuk pria yang tak mau dipanggil bapak itu. Setelah selesai mengambil sejumlah kembalian, dia menghadang langkah Raditya. "Ini kembaliannya, Pak." Napas Maira terengah-engah. Raditya memandangnya cukup lama. 'Gadis yang menggemaskan. Mu