Ayudia meletakkan kalender kecil yang biasa ia pakai untuk mengingatkan hal-hal penting. Sudah memasuki bulan April. Perempuan itu lalu keluar kamar, menyantap nasi goreng yang sudah ia masak tadi.
Kini perempuan yang semakin terlihat anggun itu duduk sendirian di meja makan kecil. Ia sudah rapi dengan pakaian sekolahnya. Sudah lima hari Ayudia meninggali rumah kecil yang berada di sudut belakang pondok pesantren. Bersyukur karena Abah menerima usulannya untuk bertukar tempat dengan Ammar. Awalnya ia takut, namun setelah biasa, Ayudia menjadi betah dan nyaman.
Ia ingin hidup sendiri, bila memungkinkan, Ayudia ingin berpisah saja dengan suaminya yang bernama Ammar. Namun ia belum mengutarakan kemauannya pada Abah juga Umi. Ia sendiri bingung, jika benar itu terjadi maka akan sangat membuat Atuk dan Uti kaget. Ah entahlah, perempuan itu kini hanya ingin menikmati perannya dulu sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah.
Nasi goreng ludes, tak tersisa barang sebutir. Ayud
Tujuan menikah salah satunya memiliki keturunan. Bagi banyak pasangan, ketika menikah dan cepat dikaruniai anak adalah sebuah berkah yang amat membahagiakan. Namun, bagi sebagian kecilnya, anak menjadi penghambat karir mereka yang sedang cemerlang-cemerlangnya.Ada juga sebagian pasangan yang lama menikah masih belum juga dipercaya untuk mengemong buah hati. Banyak sekali cerita mengenai anak di dalam rumah tangga. Ela saja yang menikah lebih dulu, belum diberi keturunan. Ayudia bahkan baru dirasai sekali saja oleh Ammar.Ayudia menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bisikan s**** yang semakin gencar menancapkan ujaran kedzaliman."Astaghfirullah ... Ya Allah, kenapa harus hamba yang Engkau pilih, kenapa bukan Ela yang sudah dua tahun menikah? Kenapa harus hamba yang belum bisa membina rumah tangga dengan layak? Hiks ... hiks ..."Jika sedang gundah dan gusar, manusia seringkali menyalahkan takdir, bahkan kadang lupa siapa penguasa jagad raya sesungguhnya.
Ammar kembali ke rumah pukul tujuh, setelah semua anggota keluarga melakukan santap malam.Ammar lusuh dan kusut, ia juga meninggalkan semua aktivitas yang biasanya dilakukan. Sejak keluar dari tempat tinggal Ayudia, Ammar memilih menyendiri di bawah rumpunnya pohon bambu."Assalamualaikum." Seru Ammar kala kakinya memasuki rumah. Abah juga harus absen dari pengajian karena khawatir dengan Ammar dan Ayudia.Umi dan Abah berdiri menyambut putranya yang terlihat tak baik-baik saja."Walaikumsalam. Kenapa lusuh gitu, Am? Dia ndak marah lagi kan?"Ammar diam."Biar Ammar makan dulu saja, Mi.""Ya sudah, ayo ke belakang. Umi temani makan."Umi menyuguhkan piring yang sudah berisi nasi dan lauk pauk."Ini, dimakan dulu."Mencium aroma nasi di rumah, membuat perut Ammar mual. Nasi yang urung masuk ke mulut, sudah tertolak mentah-mentah. Ammar tak sanggup merasai nasi tersebut."Perut Ammar mual, Mi.""Loh,
Perempuan berkerudung navy lebar yang menutup surai hingga ke perut yang sedikit terlihat buncit. Ia tengah duduk di depan pagar besi yang menghadap sawah. Hamparan padi yang mulai menghijau menjadi titik fokusnya. Indah dan menyejukkan pandangan, namun keindahan yang terpampang nyata itu tak mampu menyegarkan hati Ayudia.Ayudia sudah berhasil melewati tiga bulan pertama kehamilannya dengan aman. Ia juga sudah hidup serumah dengan Ammar selama dua setengah bulan. Selama itu, mereka berpisah tempat tidur. Dan waktu yang cukup tersebut tak mampu membawa dua insan bertali pernikahan itu kunjung membaik.Di dalam rumah hanya ada keheningan, kesunyian dan kecanggungan. Meski sekarang Ammar sudah lebih baik, akan tetapi sikap itu belum mampu menggetarkan hati Ayudia.Awal-awal mereka tinggal bersama, Ayudia masih rela mendahului untuk selalu menegur dan menyapa. Membuka obrolan dan selalu menjaga sikap santun karena Ammar memanglah suaminya. Namun akhirnya, ia menyer
Benar saja, Ayudia mengandung dua janin. Kehamilan kembar mempersempit ruang gerak Ayudia, sehingga ia diminta untuk bedrest total. Penyakitnya mempunyai andil sebagai pencetus ia agar banyak istirahat. Ayudia dilarang mengerjakan pekerjaan rumah, mulai dari yang berat hingga ringan.Di dalam tubuhnya bersemayam dua nyawa lain. Tidak hanya dirinya saja. Ayudia harus makan lebih banyak, butuh asupan nutrisi yang lebih untuk tetap kuat. Tingkat stres juga sudah dibicarakan, dokter mewanti-wanti ia dan Ammar. Jika Ayudia sampai stres, tak menutup kemungkinan, ia akan mengalami anemia kembali.Jika sudah begitu, sangat rentan terjadi kelahiran dini. Maka, Ammar diminta untuk menjaga baik mood Ayudia.Kini Ayudia sudah diboyong kembali ke rumah Abah. Umi menugaskan dua santri untuk menemani Ayudia di rumah setiap harinya."Sudah, Mbak." Seru Via yang selesai mengulek sambal untuk rujakan.Ditemani Via dan Sera, Ayudia tengah makan rujak yang baru-baru i
Ammar meninggalkan Ayudia usai mereka terjebak dalam pertengkaran yang tak berujung. Padahal ia sendiri yang menjadi sebab hubungannya dengan Ayudia selalu panas. Ammar belum meminta maaf atas tuduhannya, ia belum sepenuhnya percaya. Mana mungkin foto sejelas itu disebut oleh Ayudia adalah hasil editan.Ammar menerima empat bingkai foto yang Nur kirimkan melalui pesan WhatsApp. Sejak pertama Ammar menikahi Ayudia, memang Nur sering mengompori Ammar atas sifat Ayudia. Ammar percaya karena memang Nur memiliki seorang kakak yang berteman dengan Ayudia. Bahkan Nur juga menunjukkan foto sang kakak yang tengah berada di sungai guna mencuci baju bersama Ayudia dan beberapa gadis lain yang tentu saja Ammar tak kenali.Ammar kira kalau seorang teman sampai mencuci bersama merupakan teman akrab. Padahal itu saat kegiatan KKN. Sejak awal Ammar terlanjur percaya dengan Nur, sehingga tercipta kesan pertama yang buruk pada Ayudia. Sampai Ammar tak berpikir jernih, bukannya kalau tem
Ammar keluar dari ruang bersalin, begitu juga dengan Umi. Ayudia memilih untuk berjuang seorang diri. Bukan maksudnya sombong dan merasa kuat, namun ia lebih nyaman jika sendiri. Sebenarnya ia sangat ingin didampingi oleh Uti. Tapi Ayudia merasa kasihan jika Utinya harus datang ke kota yang jaraknya sangat jauh. Apalagi Atuk sudah mulai sering mengeluh sakit di bagian bagian pinggang dan lutut.Ayudia akan mempertaruhkan nyawanya demi sang buah hati, apapun yang akan terjadi asal anak-anak lahir selamat. Ia tak berhenti merapalkan do'a. Memohon pada sang Khaliq agar memberinya kemudahan. Akan tetapi, sampai menjelang terik kembali, tepatnya pukul lima lewat tujuh menit, Ayudia belum juga lengkap bukaannya.Tenaganya sudah habis terkuras oleh seribu kali lipat rasa sakit yang timbul akibat induksi. Ammar tak akan tahu sakitnya berjuang dengan jalan induksi.Pandangannya perlahan kabur, perawat yang menunggu mulai panik. Beberapa lainnya berlari menghambur ke luar
Ketika matahari memanggang jalanan berdebu, Ammar masih bergerak gelisah. Bersembunyi di bawah pohon beringin. Angin yang berhembus kencang tak mampu menyejukkan diri Ammar. Sudah lebih dari satu jam setengah Ammar menunggu teman Adam yang ia sendiri belum tahu namanya.Umi dan Abah pun sama gelisahnya dengan Ammar. Beberapa kali Umi melakukan panggilan telepon untuk menanyakan sudahkah ia dapatkan darah tersebut. Ammar menjawab belum. Ia ragu untuk mengungkap kebenaran bahwa bukan dirinya yang berhasil menyelamatkan Ayudia. Resah kembali bergelayut, Ammar tak ingin nama Adam membumbung tinggi di lisan Abah, Umi. Terutama Ayudia.Tiga puluh menit kemudian, Abah kembali menghubungi. Abah sempat memaki Ammar karena tak bergerak juga. Sebenarnya bukan memaki, namun kondisi Ammar yang tengah sensitif, menganggap usulan-usulan yang Abah lontarkan adalah sebuah ujaran kemarahan.Tak tahan bolak-balik di teror oleh Abah serta Umi. Akhirnya, Ammar mengaku juga. Mengatak
Gumpalan awan yang menghitam, mulai menyebar ke seluruh atap bumi. Menutup teriknya matahari siang itu. Mendung berselimut. Tak perlu kerja keras, awan yang dipenuhi uap tersebut, sudah tak mampu menampung butiran air yang menggumpal di dalamnya. Hujan ... membasahi gersangnya pepohonan kering.September 2021, bulan sembilan masih berada di musim kemarau. Hampir satu bulan lebih, Kampung Kipyuh tak mendapat hawa dingin dari derasnya hujan. Sepertinya daerah yang tengah terlewati pun lama tak terguyur hujan. Terbukti, petrichor mulai menusuk hidung, baunya masuk hingga ke dalam mobil.Mobil panther yang tadinya melaju kencang, perlahan mengurangi kecepatannya. Kaca depan mengembun, meski wiper aktif bergoyang ke kanan kiri, namun tetap saja, embun juga menembus ke bagian dalam. Menyulitkan sang pengemudi untuk melaju, sesekali ia harus mengelap pakai tisu yang ada di dashboard.Jika dilihat dari sebaran awan yang merata, Kampung Kipyuh sepertinya juga mendapat ja