Home / Romansa / Kupu-kupu Kertas / Detik-detik Kematian

Share

Detik-detik Kematian

Author: Zenkodok
last update Last Updated: 2021-10-21 11:27:37

Detik-Detik Kematian

Dua hari kemudian, Axton hendak mengetuk pintu rumahnya. Tapi suara desahan dan lenguhan menelusup di indera pendengarannya. Apalagi ketika ia mendorong pintu itu, nyatanya tidak terkunci.

Suasana malam di rumahnya gelap. Namun erangan demi desahan itu makin jelas tergiang di pendengarannya. Ia mendekat dengan wajah menahan amarah.

"Dad," ucap Axton datar waktu menyalakan lampu dan mendapati Ayahnya bertelanjang dada dan sedang memangku seorang wanita tanpa busana. Terlihat menikmati menghisap buah dada wanita itu sementara tangan wanita itu meremas rambut Ayahnya.

"Kau..."

"Sudah pulang hm?"

Axton bergeming selama sesaat.

Sedangkan Otis di sela permainan panasnya mengulum diiringi desahan nikmat Clara, berkata lagi, "Kau tidak tahan hidup tanpa sepeser uang maka kau kembali pada Daddy." Ada senyum miring terbit di bibir Ayahnya. Lidah Ayahnya menelusuri puting wanita itu.

"Ah Otis..."

"Ya, honey. Sebut namaku. Aku menyukai desahanmu."

"Dan kau Aro. Kembalilah ke kamarmu. Keputusanmu sudah tepat untuk datang pada Daddy. Kebetulan Daddy belum menyingkirkan barang-barangmu." Otis selesai mengulum dan berlanjut mengemut kuping wanita itu.

"Hentikan Otis..." Wanita itu tertawa, tapi membuat Axton merasa muak.

Otis menghentikan sejenak aktifitasnya mencumbu dan menatap Axton, tapi jemarinya meraba buah dada wanita itu membuat wanita itu merebahkan kepala di pundak Otis, mendesah sambil memejam terlihat menikmati pijatan sensual Otis itu.

"Aku tahu kau akan memilih Daddy, Aro."

"Yeah," desis Axton. Tapi tatapannya tidak dapat terbaca.

"Dan kau terlihat baik-baik saja tanpa Mom, Dad."

Otis hanya tersenyum membalas ucapan Axton.

Setelah itu Axton melangkah ke atas. Menaiki undakan tangga satu per satu. Tapi matanya mengamati wanita itu. Menyimpannya baik-baik di memori. Rahangnya mengeras. Namun ketika ia telah tiba di pintu kamarnya, ia menoleh ke arah Thomas, salah satu bodyguard yang berjaga di pintu kamar ayahnya.

"Thomas..." Axton mendekati.

"Apa kau sudah tahu semua ini?" Thomas hanya diam.

"Jawab aku!" desis Axton menarik jas hitam Thomas. Namun hanya tatapan penuh prihatin yang diberikan Thomas pada Axton.

"Kau tahu semuanya," gumam Axton lemah, menghempaskan cekalannya pada Thomas.

"Jadi selama ini Dad berselingkuh dari Mom?"

Ia menutup mata sejenak. Dari dulu ia memang tahu bahwa ia adalah anak panti asuhan yang beruntung dibesarkan dalam kehangatan keluarga ini. Tepatnya ketika ia berusia 8 tahun. Awalnya ia enggan menyebut Wella dan Otis sebagai panggilan akrab orangtua, namun lama-kelamaan segalanya berjalan dengan semestinya.

Dan dulu seluruh orang mengetahui bahwa keluarga mereka sangat harmonis. Ayahnya begitu tulus mencintai Ibunya.

Tapi kejadian yang dialami Ibunya dua hari lalu, membuat Axton sulit memercayainya. Bahkan ia sementara ini bersama Ibunya menginap di rumah Fernandez. Dokter pun menyatakan bahwa Ibunya harus rutin diberi obat penenang jika kembali berteriak.

Entah bagaimana semua terjadi, depresi yang dialami Ibunya menjadi hal sulit disembuhkan. Hanya satu yang bisa membantunya sekaligus menjadi harapan Axton.

Ayahnya.

Dan tujuan Axton kembali adalah membujuk sang Ayah. Ingin menata kembali semua seperti semula. Berpikir mungkin Ayahnya hanya khilaf sesaat.

Tapi sepertinya ia salah besar. Ayahnya sungguh sadar akan semua yang diperbuatnya.

"Kakek anda adalah semua awal hal ini terjadi Tuan Ax." Lalu segala hal mulai diberitahukan Thomas pada Axton dan selama sesaat Axton hanya membatu mendengarkan.

"Jadi Dad hanya ingin balas dendam kepada Mom?" gumam Axton dingin usai berakhirnya cerita Thomas, juga tersadar dari kebekuannya.

"Jika seperti itu, maka aku akan menghentikan permainan balas dendam berakar itu Thomas."

"Tuan Ax apa yang anda lakukan?" kaget Thomas ketika Axton tiba-tiba merebut pistol di kantong jasnya. Menuruni tangga dengan cepat bertepatan dengan pulangnya sosok wanita sialan itu dari rumahnya yang sekarang telah berpakaian utuh, namun sangat minim bahan.

"Selamat malam Otis Bardrolf. Kuharap kau bisa tidur nyenyak sayang."

"Aku pasti akan memimpikanmu Clara Kincaid."

Sesaat mereka saling berpagutan lagi untuk ucapan perpisahan. Hingga di detik pintu itu tertutup, Otis terkejut menyaksikan Axton menodongkan pistol padanya dari jarak dekat. Terarah di kepalanya.

"Aro apa yang kau lakukan?" geram Otis.

"Turunkan senjata itu sekarang!"

"Bukankah Dad ingin mimpi indah bersama wanita itu?"

"Aro kau-"

DOR!!

Satu tembakan peluru namun sanggup merobohkan Otis begitu saja ke lantai. Darah segar seketika mengalir membentuk kumbangan. Axton hanya menatap datar sang Ayah yang telah tak bernyawa di dekat kakinya. Axton menarik pelatuk itu menembus kepala Otis, membantunya cepat menuju kematian dalam sekejap.

"Sekarang aku yang memegang fasilitas di rumah ini Dad. Mom akan pulang kembali dan kau tidak akan mendapat apapun lagi selain terkubur bersama tanah."

Thomas yang terlambat melerai lantas terdiam di belakang Axton, melihat kematian Otis Bardrolf.

"Tuan Ax."

Setelah itu Axton berbalik, memandang lurus Thomas yang menunduk penuh sesal.

"Maafkan saya Tuan Ax. Saya turut berduka atas apa yang menimpa anda."

"Aku akan memaafkanmu dengan satu syarat Thomas?"

Kepala Thomas terangkat, ia menatap Axton yang tengah menerawang ke depan.

"Kau harus membantuku membereskan wanita itu. Ia harus membayarnya karena telah melukai Mom begitu dalam."

Thomas menggeleng samar pada Axton.

Tapi dengan dingin Axton berkata, "Kita harus bertindak lebih cepat dari wanita itu Thomas. Kurasa kau tahu apa maksudku." Axton kemudian melirik mayat Ayahnya yang terkapar dengan mengenaskan itu. Bau amis darah menguar di ruangan itu.

Thomas ikut menatap tubuh Otis yang telah terbujur lemas dan kehabisan darah. Ia pun sadar ucapan dibalik kata-kata Axton dan sebagai pengabdi di keluarga ini Thomas pun patuh.

Lagipula dengan begini semua kesalahan akan berakhir.

***

Keesokkan harinya, Milly duduk bersila di sofa. Memerhatikan Clara yang memoleskan lipstik di bibir. Berkaca pada cermin kecil di tangannya. Ia kemudian melirik jam yang telah menunjukkan pukul sembilan malam.1

"Mom bisakah kau berhenti dari pekerjaan itu?" pinta Milly, bola matanya mengamati kegiatan Clara yang sibuk memonyongkan bibirnya.

"Aku bisa membantumu bekerja. Uangku menjadi kasir cukup untuk membiayai hidup kita Mom. Jika diatur lebih baik, semua akan baik-baik saja."

Seketika Clara berhenti, menyimpan cermin kacanya di tas. Lalu menoleh pada Milly dengan tatapan harap-harap cemas.

"Kau tetap memakai masker ketika bekerja bukan?"

"Ya," jawab Milly apa adanya.

Kelegaan langsung menghiasi wajah Clara dan sedetik membuat kernyitan memenuhi dahi Milly. "Bagus. Jangan biarkan siapapun melihat kecantikan wajahmu sayang."

Clara kemudian menangkup kedua pipi Milly. "Mommy tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."

"Untuk itu aku minta kau berhenti bekerja seperti ini Mom," tegas Milly menatap lurus Clara dan membuat Clara melepaskan tangkupannya. Menjauhkan tubuhnya. Lalu berdiri dan memegang tas bermereknya di tangan.

"Ya, Mommy akan berhenti sayang. Lagi pula malam ini Mommy tidak menemui klien, melainkan pria baik hati yang akan menjadi Daddymu."

"Apa?"

Binar kebahagiaan begitu jelas terpancar di bola mata Clara ketika Milly berdiri secara spontan. Ia memutar badan Clara menghadapnya, meneliti lebih lanjut ekspresi Clara jikalau ada kebohongan di sana.

Lalu dengan ragu ia bertanya, "Mom akan menikah?"

"Mm-hm. Lalu kita akan pindah di sebuah rumah baru lagi bersama pria yang sangat mencintai Mommy. Juga Mommy cintai sebenarnya." Clara tertawa malu, membuat Milly tidak kuasa memamerkan senyum senang.

"Kita akan melupakan kehidupan lama kita dan memulai kehidupan baru," lanjut Clara.

Detik selanjutnya Clara dibuat terkejut karena Milly tiba-tiba mendekapnya erat. Lalu tertawa kecil.

"Jadi siapa pria itu Mom?"

"Kau akan bertemu dengannya secepatnya sayang. Mommy akan mengenalkannya padamu."

"Malam ini Mommy ingin membahas perencanaan ke depannya bersamanya. Jadi Mommy perlu tampil memukau untuknya," sambung Clara lagi. Rengkuhan itu terurai. Ia lalu membelai pipi Milly dan mengedip. Setelahnya ia mengecup kening gadis yang telah ia anggap sebagai putrinya itu. Kemudian bergegas menuju pintu.

"Mommy pergi. Jaga baik-baik dirimu. Kunci rumah. Jangan membuka pintu pada orang asing kecuali untuk Bibi Rachel."

Rachel Leigh adalah wanita tua yang selama ini bertetangga dengannya. Juga mengetahui segala hal yang disembunyikan Clara.

Orang tua Clara bukan sosok figur yang baik dan telah lama hilang keberadaannya setelah menyerahkannya dirinya yang kala itu masih belia pada pria tua bangka tidak bertanggungjawab. Membuat Clara terdesak dan tidak punya pilihan. Dan setiap hari pula hanya ancaman demi ancaman yang didapatkannya seumur hidup.

Sampai kebebasan itu didapatnya setelah kematian pria tua bangka itu yang tidak lain adalah mertua Otis Bardrolf, kekasihnya.+

Milly berlari kemudian dengan wajah gembira. Ia memandang Clara dari jendela yang telah masuk ke sebuah mobil hitam yang cukup mewah. Lalu detik selanjutnya mobil itu telah hilang dari pandangannya.

***

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kupu-kupu Kertas   Berhenti berharap

    Gila kamu, Indira!” protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…“Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?”“Aku suruh pacarku tanggung jawab,” sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.“Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm…” Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.“Terus apa?”“Yang tad

  • Kupu-kupu Kertas   On The Night Like This

    Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny

  • Kupu-kupu Kertas   Samsara

    Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam

  • Kupu-kupu Kertas   Streets without signs

    Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda

  • Kupu-kupu Kertas   The pain caver

    Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men

  • Kupu-kupu Kertas   Menyewa braya

    Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api –pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status