Share

Detik-detik Kematian

Detik-Detik Kematian

Dua hari kemudian, Axton hendak mengetuk pintu rumahnya. Tapi suara desahan dan lenguhan menelusup di indera pendengarannya. Apalagi ketika ia mendorong pintu itu, nyatanya tidak terkunci.

Suasana malam di rumahnya gelap. Namun erangan demi desahan itu makin jelas tergiang di pendengarannya. Ia mendekat dengan wajah menahan amarah.

"Dad," ucap Axton datar waktu menyalakan lampu dan mendapati Ayahnya bertelanjang dada dan sedang memangku seorang wanita tanpa busana. Terlihat menikmati menghisap buah dada wanita itu sementara tangan wanita itu meremas rambut Ayahnya.

"Kau..."

"Sudah pulang hm?"

Axton bergeming selama sesaat.

Sedangkan Otis di sela permainan panasnya mengulum diiringi desahan nikmat Clara, berkata lagi, "Kau tidak tahan hidup tanpa sepeser uang maka kau kembali pada Daddy." Ada senyum miring terbit di bibir Ayahnya. Lidah Ayahnya menelusuri puting wanita itu.

"Ah Otis..."

"Ya, honey. Sebut namaku. Aku menyukai desahanmu."

"Dan kau Aro. Kembalilah ke kamarmu. Keputusanmu sudah tepat untuk datang pada Daddy. Kebetulan Daddy belum menyingkirkan barang-barangmu." Otis selesai mengulum dan berlanjut mengemut kuping wanita itu.

"Hentikan Otis..." Wanita itu tertawa, tapi membuat Axton merasa muak.

Otis menghentikan sejenak aktifitasnya mencumbu dan menatap Axton, tapi jemarinya meraba buah dada wanita itu membuat wanita itu merebahkan kepala di pundak Otis, mendesah sambil memejam terlihat menikmati pijatan sensual Otis itu.

"Aku tahu kau akan memilih Daddy, Aro."

"Yeah," desis Axton. Tapi tatapannya tidak dapat terbaca.

"Dan kau terlihat baik-baik saja tanpa Mom, Dad."

Otis hanya tersenyum membalas ucapan Axton.

Setelah itu Axton melangkah ke atas. Menaiki undakan tangga satu per satu. Tapi matanya mengamati wanita itu. Menyimpannya baik-baik di memori. Rahangnya mengeras. Namun ketika ia telah tiba di pintu kamarnya, ia menoleh ke arah Thomas, salah satu bodyguard yang berjaga di pintu kamar ayahnya.

"Thomas..." Axton mendekati.

"Apa kau sudah tahu semua ini?" Thomas hanya diam.

"Jawab aku!" desis Axton menarik jas hitam Thomas. Namun hanya tatapan penuh prihatin yang diberikan Thomas pada Axton.

"Kau tahu semuanya," gumam Axton lemah, menghempaskan cekalannya pada Thomas.

"Jadi selama ini Dad berselingkuh dari Mom?"

Ia menutup mata sejenak. Dari dulu ia memang tahu bahwa ia adalah anak panti asuhan yang beruntung dibesarkan dalam kehangatan keluarga ini. Tepatnya ketika ia berusia 8 tahun. Awalnya ia enggan menyebut Wella dan Otis sebagai panggilan akrab orangtua, namun lama-kelamaan segalanya berjalan dengan semestinya.

Dan dulu seluruh orang mengetahui bahwa keluarga mereka sangat harmonis. Ayahnya begitu tulus mencintai Ibunya.

Tapi kejadian yang dialami Ibunya dua hari lalu, membuat Axton sulit memercayainya. Bahkan ia sementara ini bersama Ibunya menginap di rumah Fernandez. Dokter pun menyatakan bahwa Ibunya harus rutin diberi obat penenang jika kembali berteriak.

Entah bagaimana semua terjadi, depresi yang dialami Ibunya menjadi hal sulit disembuhkan. Hanya satu yang bisa membantunya sekaligus menjadi harapan Axton.

Ayahnya.

Dan tujuan Axton kembali adalah membujuk sang Ayah. Ingin menata kembali semua seperti semula. Berpikir mungkin Ayahnya hanya khilaf sesaat.

Tapi sepertinya ia salah besar. Ayahnya sungguh sadar akan semua yang diperbuatnya.

"Kakek anda adalah semua awal hal ini terjadi Tuan Ax." Lalu segala hal mulai diberitahukan Thomas pada Axton dan selama sesaat Axton hanya membatu mendengarkan.

"Jadi Dad hanya ingin balas dendam kepada Mom?" gumam Axton dingin usai berakhirnya cerita Thomas, juga tersadar dari kebekuannya.

"Jika seperti itu, maka aku akan menghentikan permainan balas dendam berakar itu Thomas."

"Tuan Ax apa yang anda lakukan?" kaget Thomas ketika Axton tiba-tiba merebut pistol di kantong jasnya. Menuruni tangga dengan cepat bertepatan dengan pulangnya sosok wanita sialan itu dari rumahnya yang sekarang telah berpakaian utuh, namun sangat minim bahan.

"Selamat malam Otis Bardrolf. Kuharap kau bisa tidur nyenyak sayang."

"Aku pasti akan memimpikanmu Clara Kincaid."

Sesaat mereka saling berpagutan lagi untuk ucapan perpisahan. Hingga di detik pintu itu tertutup, Otis terkejut menyaksikan Axton menodongkan pistol padanya dari jarak dekat. Terarah di kepalanya.

"Aro apa yang kau lakukan?" geram Otis.

"Turunkan senjata itu sekarang!"

"Bukankah Dad ingin mimpi indah bersama wanita itu?"

"Aro kau-"

DOR!!

Satu tembakan peluru namun sanggup merobohkan Otis begitu saja ke lantai. Darah segar seketika mengalir membentuk kumbangan. Axton hanya menatap datar sang Ayah yang telah tak bernyawa di dekat kakinya. Axton menarik pelatuk itu menembus kepala Otis, membantunya cepat menuju kematian dalam sekejap.

"Sekarang aku yang memegang fasilitas di rumah ini Dad. Mom akan pulang kembali dan kau tidak akan mendapat apapun lagi selain terkubur bersama tanah."

Thomas yang terlambat melerai lantas terdiam di belakang Axton, melihat kematian Otis Bardrolf.

"Tuan Ax."

Setelah itu Axton berbalik, memandang lurus Thomas yang menunduk penuh sesal.

"Maafkan saya Tuan Ax. Saya turut berduka atas apa yang menimpa anda."

"Aku akan memaafkanmu dengan satu syarat Thomas?"

Kepala Thomas terangkat, ia menatap Axton yang tengah menerawang ke depan.

"Kau harus membantuku membereskan wanita itu. Ia harus membayarnya karena telah melukai Mom begitu dalam."

Thomas menggeleng samar pada Axton.

Tapi dengan dingin Axton berkata, "Kita harus bertindak lebih cepat dari wanita itu Thomas. Kurasa kau tahu apa maksudku." Axton kemudian melirik mayat Ayahnya yang terkapar dengan mengenaskan itu. Bau amis darah menguar di ruangan itu.

Thomas ikut menatap tubuh Otis yang telah terbujur lemas dan kehabisan darah. Ia pun sadar ucapan dibalik kata-kata Axton dan sebagai pengabdi di keluarga ini Thomas pun patuh.

Lagipula dengan begini semua kesalahan akan berakhir.

***

Keesokkan harinya, Milly duduk bersila di sofa. Memerhatikan Clara yang memoleskan lipstik di bibir. Berkaca pada cermin kecil di tangannya. Ia kemudian melirik jam yang telah menunjukkan pukul sembilan malam.1

"Mom bisakah kau berhenti dari pekerjaan itu?" pinta Milly, bola matanya mengamati kegiatan Clara yang sibuk memonyongkan bibirnya.

"Aku bisa membantumu bekerja. Uangku menjadi kasir cukup untuk membiayai hidup kita Mom. Jika diatur lebih baik, semua akan baik-baik saja."

Seketika Clara berhenti, menyimpan cermin kacanya di tas. Lalu menoleh pada Milly dengan tatapan harap-harap cemas.

"Kau tetap memakai masker ketika bekerja bukan?"

"Ya," jawab Milly apa adanya.

Kelegaan langsung menghiasi wajah Clara dan sedetik membuat kernyitan memenuhi dahi Milly. "Bagus. Jangan biarkan siapapun melihat kecantikan wajahmu sayang."

Clara kemudian menangkup kedua pipi Milly. "Mommy tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."

"Untuk itu aku minta kau berhenti bekerja seperti ini Mom," tegas Milly menatap lurus Clara dan membuat Clara melepaskan tangkupannya. Menjauhkan tubuhnya. Lalu berdiri dan memegang tas bermereknya di tangan.

"Ya, Mommy akan berhenti sayang. Lagi pula malam ini Mommy tidak menemui klien, melainkan pria baik hati yang akan menjadi Daddymu."

"Apa?"

Binar kebahagiaan begitu jelas terpancar di bola mata Clara ketika Milly berdiri secara spontan. Ia memutar badan Clara menghadapnya, meneliti lebih lanjut ekspresi Clara jikalau ada kebohongan di sana.

Lalu dengan ragu ia bertanya, "Mom akan menikah?"

"Mm-hm. Lalu kita akan pindah di sebuah rumah baru lagi bersama pria yang sangat mencintai Mommy. Juga Mommy cintai sebenarnya." Clara tertawa malu, membuat Milly tidak kuasa memamerkan senyum senang.

"Kita akan melupakan kehidupan lama kita dan memulai kehidupan baru," lanjut Clara.

Detik selanjutnya Clara dibuat terkejut karena Milly tiba-tiba mendekapnya erat. Lalu tertawa kecil.

"Jadi siapa pria itu Mom?"

"Kau akan bertemu dengannya secepatnya sayang. Mommy akan mengenalkannya padamu."

"Malam ini Mommy ingin membahas perencanaan ke depannya bersamanya. Jadi Mommy perlu tampil memukau untuknya," sambung Clara lagi. Rengkuhan itu terurai. Ia lalu membelai pipi Milly dan mengedip. Setelahnya ia mengecup kening gadis yang telah ia anggap sebagai putrinya itu. Kemudian bergegas menuju pintu.

"Mommy pergi. Jaga baik-baik dirimu. Kunci rumah. Jangan membuka pintu pada orang asing kecuali untuk Bibi Rachel."

Rachel Leigh adalah wanita tua yang selama ini bertetangga dengannya. Juga mengetahui segala hal yang disembunyikan Clara.

Orang tua Clara bukan sosok figur yang baik dan telah lama hilang keberadaannya setelah menyerahkannya dirinya yang kala itu masih belia pada pria tua bangka tidak bertanggungjawab. Membuat Clara terdesak dan tidak punya pilihan. Dan setiap hari pula hanya ancaman demi ancaman yang didapatkannya seumur hidup.

Sampai kebebasan itu didapatnya setelah kematian pria tua bangka itu yang tidak lain adalah mertua Otis Bardrolf, kekasihnya.+

Milly berlari kemudian dengan wajah gembira. Ia memandang Clara dari jendela yang telah masuk ke sebuah mobil hitam yang cukup mewah. Lalu detik selanjutnya mobil itu telah hilang dari pandangannya.

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status