Pembunuhan
Axton duduk di sisi ranjang yang ditaburi mawar-mawar indah. Ia berada di sebuah hotel megah di Los Angeles. Sengaja wajahnya ia tutup menggunakan topeng silver. Ketika pintu terbuka, kepalanya langsung menoleh.
Clara Kincaid.
Wanita yang pernah dilihatnya bercumbu liar bersama Ayahnya. Lewat topengnya itu Axton mengamati penampilan wanita itu dari atas sampai bawah. Dress ketat yang sukses mempertontonkan keseluruhan lekuk tubuh. Juga hampir tidak bisa menutupi bokong.
“Kau suka honey?” Clara menggoda dengan suara merdunya.
Axton tidak menjawab hanya menyeringai.
Clara kemudian mendekatinya. Duduk di sebelahnya, memangku satu kakinya, menampakkan paha mulusnya. Axton sempat meliriknya sekilas tanpa minat.
Ia masih waras. Ia tidak suka dan tidak tertarik pada wanita berumur. Lagi pula saat ini ia sedang menyamar menjadi Otis Bardrolf.
Dan beruntung wanita itu tidak menyadarinya. Itu dikarenakan lampu yang sengaja dibiarkan remang-remang oleh Axton.
“Tunggu.” Clara mendekatkan wajahnya kepada Axton.
“Kau memakai topeng?”
Sebelum kecurigaan Clara muncul, Axton dengan cepat menarik wanita itu. “Oh,” Clara tertawa kemudian begitu berada di pangkuan Axton.
“Kau ingin menjadi sosok misterius untukku malam ini Otis?”
Lagi-lagi di dalam suasana remang-remang itu, sudut bibir Axton tertarik ke atas. Ia pura-pura memejam menikmati sentuhan Clara di pipinya, turun ke jambang tipisnya lalu lehernya.
“Malam ini ada banyak hal yang ingin aku bicarakan padamu Otis. Seperti janjimu,” bisik Clara serak.
“Ini tentang kita.” Kedua lengan Clara kemudian merangkul mesra leher Axton.
Wanita ini…
Axton tidak tahan ingin membunuhnya segera. Namun ia perlu untuk berusaha tidak buru-buru melakukannya. Mengulur waktu sejenak tidak ada salahnya.
“Hei, Otis. Kenapa kau menjadi sangat pendiam sekarang hm?” Jemari Clara meremas rambut Axton.
Detik selanjutnya Clara tertawa lagi ketika ia merasakan tangan itu membuka resleting dressnya di belakang. Dengan sukarela, ia turun dari pangkuan itu, menjatuhkan dressnya.
“Kau suka?” godanya lagi.
Axton hanya diam lalu menengadahkan tangannya dan tanpa ragu Clara menyambutnya. Kali ini berada di pangkuan Axton. Mengangkang dan sengaja menyentuhkan miliknya pada Axton.
“Kau… ingin melakukan pemanasan sebelum membicarakan hal serius padaku,” bisik Clara nakal, memegang kedua pipi Axton.
Dengan pelan Axton mengangguk, mengikuti arah pembicaraan Clara.
“Kau memang pria nakal Otis.”
Nakal?
Axton memang berniat menjadi anak nakal untuk sesaat. Kenakalan ini adalah wujud dari sosok Otis Bardrolf yang ia contoh pada malam itu, tepatnya di suasana kegelapan malam kala ia menemukannya dengan wanita itu.
Dan itu semua terekam jelas di benak Axton.
Kaitan bra Clara terbuka karena jemari Axton. Ia sengaja mengusap punggung wanita itu yang kini menjatuhkan dahi di pundaknya. Sementara jemari Clara hendak membuka kancing kemeja Axton tapi dicegah Axton.
“Kau kenapa Otis?”
Clara menatap bola mata Axton dari balik topeng sambil mengigit bibir merasakan jamahan tangan Axton yang menelusuri pahanya. Spontan mata Clara terpejam saat Axton membuat gerakan memutar di sekitar pahanya.
Tiba-tiba jemari Axton telah berada di ujung dalaman Clara, membuat Clara peka dan lekas melucutinya. Lalu kembali duduk di antara atas paha Axton. Tapi kali ini ia membelakangi lelaki itu.
“Oh, Otis… aku tidak tahu kau bertindak aneh malam ini. Rasanya tidak adil…” Nafas Clara memburu ketika tangan Axton mengelus perutnya.
Sangat kasar.
Seperti ada bekas luka di sana. Itu membuat Axton mengernyit sejenak.
Axton memajukan dagunya, bertumpu pada bahu Clara.
“Apa kau sedang mengalami masalah Otis? Bersuaralah…”
Axton hanya meniupkan nafas hangat di leher wanita itu, membuat Clara merasa geli. Tertawa kemudian.
“Baiklah. Aku tidak akan bertanya lagi. Kita akan selesaikan ini secepatnya hm…” Clara lalu meraih tangan Otis.
Sejenak ia merasa aneh. Rasanya berbeda dari sebelumnya. Tapi ia menepis keganjalan itu dan menuntun menyentuh dadanya, lalu turun menelusuri inti dirinya.
“Kau bilang kau sangat suka bagian ini bukan?”
Clara sengaja mendesah menggoda Axton. Satu tangannya meremas rambut Axton. Matanya terpejam dan tubuhnya sengaja ia liuk-liukan dengan sensual.
“Kau sangat menjijikan.”
“Apa?” Clara terkejut mendengar suara asing itu. Satu hal yang ia tahu, lelaki yang bersamanya saat ini bukanlah Otis Bardrolf.
Sebelum sempat Clara berbalik tali telah melilit lehernya. Bola mata Clara keluar secara spontan. Tangannya pun memegang tali itu, ingin melepaskan. Mencoba berontak sekuat tenaga. “To..to…long.”
“Aku tidak dengar? Kau meminta tolong pada siapa hm?” desis Axton menyentak tali itu tanpa perasaan, membuat lingkaran itu makin ketat mencekik leher Clara. Makin menipiskan oksigen wanita itu.
“Ka…kau…”
Axton tersenyum miring waktu Clara dapat melihat wajahnya. Topengnya mendadak telah terlepas begitu saja. Itu karena tangan Clara tidak sengaja menyenggolnya akibat rontaan wanita itu.
“Senang bertemu denganmu, wanita jalang.”
Clara berusaha menggapai apapun untuk melukai Axton di nakas. Seperti yang diprediksi Axton, tas wanita itu pun tergelincir hingga isi di dalamnnya berserakan. Obat penenang tumpah dari sana, tapi Clara masih bersikeras melakukan perlawanan.
Tidak sadar benda yang diselipkan Thomas tadi-ketika menjemput-di dalam tasnya demi memenuhi rencana kematian wanita itu.
“Le… le…pas.”
“Kau ingin aku melepasmu?” Axton makin mencondongkan wajahnya di samping wajah Clara. Menoleh sekilas lalu melanjutkan, “Baiklah. Aku akan melepasmu.”
Setelah itu, dalam sekali sentak Axton mengencangkan belitan tali itu di leher Clara dua kali lipat dari sebelumnya hingga nafas Clara sukses kandas seketika. Rontaan berhenti dalam sekejap. Bola mata wanita itu tampak merangsek keluar. Mulutnya terbuka lebar. Dan Axton lekas berdiri, membiarkan tubuh Clara terkapar begitu saja di ranjang. Terlentang tanpa busana.
“Kau seharusnya berterima kasih padaku karena sekarang kau akhirnya bisa hidup bahagia bersama Otis Bardrolf, cinta sejatimu,” tukas Axton dingin, menatap jijik tubuh Clara.
Ia mengeluarkan sapu tangan dari kantong, lalu melap tangannya seakan habis memegang benda kotor. Kembali ia menatap wajah Clara yang telah menjadi mayat. Senyum miring tersungging di bibirnya.
“Dan kalian berdua… akan menyatu bersama di dalam tanah.”
Lalu detik berikutnya Axton telah keluar dari kamar itu. Sebab sisanya Thomas yang akan mengurus segalanya.
***
Bersambung
Gila kamu, Indira! protes Ava begitu Pak De tak terlihat lagi.Indira hanya menunduk dengan wajah merah padam, menahan malu dan jengah yang menerpa begitu birahinya mereda. Ava sadar, dirinyapun ikut bersalah dalam hal ini, terbawa suasana hingga terlarut dalam persetubuhan yang beresiko itu, tapi tetap saja…Kalau ketahuan Pak De gimana?! kalau kamu hamil?Aku suruh pacarku tanggung jawab, sahut Indira, lalu memalingkan muka.Angin berhembus masuk ke dalam studio, menghembuskan suatu perasaan yang aneh di dada Ava. Seharusnya ia merasa lega, namun perkataan Indira yang terakhir itu seperti seserpih perih yang menari pelan di permukaan hatinya.Ava, maaf… nggak seharusnya aku ngelakuin ini sama kamu… dan… umm… Indira terdiam, seperti hendak tak jadi melanjutkan kata-katanya.Terus apa?Yang tad
Apa istimewanya seorang mas-mas brewokan bernama Mustava Ibrahim? batin Indira berusaha memungkiri. Dewa dan mantan-mantannya yang lain jauh lebih tampan daripada pemuda itu!7 hari sudah berlalu, tapi Indira terus mencoba memahami teka-teki di hatinya sendiri, pun demikian hati wanita memang sulit dimengerti. Tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga si wanita itu sendiri. Kehadiran Ava dalam hidupnya benar-benar mengubah tone hidup-nya menjadi lebih berwarna. Berwarna seperti pelangi! Berwarna seperti lukisan! Marah, sedih, benci, bahagia, bercampur seperti palet-palet warna cat minyak yang dibaurkan ke dalam sanubarinya!Indira tertawa mengingat bagaimana ia pertama berjumpa Ava di air terjun, betapa tengik dan menyebalkannya anak itu! Huh! Tapi juga… remaja itu tersipu sendiri hingga pipinya perlahan bersemu.Dalam keheningan malam, Benak Indira kembali mengenang. Bagaimana saat Ava membelanya di Pub minggu lalu. Bagaimana saat Ava menampung isak tangisny
Taksi yang ditumpangi Ava dan Indira melaju di sepanjang Jl. By Pass, jalan besar yang sekilas mengingatkan Ava pada Ringroad di Jogja. Cahaya lampu jalan yang berwarna jingga berpendar di wajah Indira yang duduk di sampingnya.“Ava,” Indira memecah kebisuan.“Ya?”Gadis itu memandangi pipi Ava yang membiru terkena bogem. “Aku beneran nggak nyangka semuanya jadi kaya gini.”Ava tak langsung menjawab.“Yang tadi pagi juga…” Indira menyebut peristiwa di air terjun tadi pagi, di mana ia telah mengata-ngatai Ava sebagai teroris.Bisu menyelinap lagi di antara jarak yang memisahkan tempat duduk mereka. Ava menarik nafas panjang. “Kenapa sih, kamu?” tanya Ava.“Nggak tahu,” jawab Indira pelan. Sungguh, dirinya sendiri pun tidak tahu kenapa ia bisa membenci pemuda itu.Ava mendengus, nafasnya mengembun pada kaca mobil yang dingin. “Pasti gara-gara nam
Senja datang menjelang di Kuta yang semakin temaram. Matahari sudah menyembunyikan diri di balik horizon, menyisakan gradasi berwarna biru keunguan yang menyemburat dari balik kaki langit. Jalanan yang tadinya terik segera digantikan dengan riuh rendah dunia malam yang memenuhi setiap sudut jalan. Arus lalu lintas semakin padat merayap, dan trotoar mulai dipenuhi wisatawan asing yang baru pulang berselancar atau hendak keluar mengisi perut.Jalan Legian. Jika kalian kebetulan melancong ke Bali, sempatkanlah mengunjungi tempat ini. Lewat tengah malam, niscaya engkau akan mendapati klub-klub yang menyesaki kiri-dan kanan jalan seolah saling berlomba dan tak mau kalah dalam menarik perhatian setiap calon pengunjung, maka didentamkanlah musik sekeras-kerasnya dan dinyalakan lampu sorot sekilau-kilaunya. Jangan heran jika nanti engkau melihat bule-bule yang berjoget hingga trotoar di antara kemacetan yang berarak-arak.Seorang wanita dengan danda
Siang itu jalan menuju pantai tampak tidak sanggup lagi menampung volume kendaraan berplat luar kota yang semakin padat dari tahun ke tahun. Beberapa wisatawan asing melintas buru-buru di atas trotoar di kiri dan kanan jalan, menghindari panas matahari di balik baju-baju dan cinderamata yang dipajang bergantung-gantung pada art shop di pinggir jalan.Indira meliuk-liuk dengan skuter matic di antara kemacetan itu. Wajah blasterannya tampak berkerut-kerut melawan terik matahari. Siang itu benar-benar panas, angin yang berhembus juga angin yang benar-benar gersang, mengibarkan dress putih sepaha dan cardigans hitam yang dikenakannya untuk melawan terik.Indira melengguh kesal. Ia benar-benar kesal hari ini. Kesal kepada kemacetan ini, kesal kepada ayahnya, kesal pada Dewa, pacarnya yang tidak bisa dihubungi, kesal kepada semua! Terlebih lebih kepada mas-mas brewokan yang bernama Mustava Ibrahim itu.Sungguh, udara yang panas itu membuat kemarahan di dada Indira men
Hanyalah sesosok pohon beringin yang berdiri angkuh bak raksasa hijau di sekian sisa aroma kematian. Daunnya demikian merimbun, bertumpuk-tumpuk menghalangi jatuh cahaya ke puluhan orang yang berlalu di bawahnya. Ava berjalan dengan takut-takut, menghindari akar gantung yang menjuntai ke sampai tanah. Pohon Beringin itu nampak benar-benar wingit, apalagi dengan kain kotak-kotak hitam-putih yang dilingkarkan di sekelilingnya.Pagi itu hari Minggu, Galeri Pakde tentu tidak buka di hari Minggu. Maka Ava dan Kadek menyanggupi untuk menggantikan Pak De kerja bakti membersihkan areal Pura Dalem, yakni tempat peribadatan yang terletak di sekitar pekuburan untuk pemujaan alam kosmis demi menetralisir kekuatan positif dan negatif.Pekuburan itu nyaris tanpa nisan, karena prosesi pemakaman di tempat ini mengharuskan jenazah si Mati di lebur dalam api pralina [SUP](1)[/SUP] -dilebur oleh Sang Siwa, sehingga menyisakan bade [SUP](2)[/SUP] -sarkofagus w