Pancaran netra Kuranji tajam menusuk. Sementara jari-jari kokohnya mencengkeram dan memelintir pergelangan tangan lelaki yang bersikap kurang ajar terhadap Puti Tan.“Akh!”“Aakh!”“Aaakh!”Semakin kuat pelintiran Kuranji, bertambah keras pula raung kesakitan yang meledak dari mulut nakal lelaki itu.Tiga temannya lekas menghambur, menyerang Kuranji. Mereka melompat dan menerjang Kuranji.Kuranji berputar tanpa melepas cengkeramannya seraya menyongsong terjangan lawan dengan tendangan pula. Ketika dua telapak kaki beradu, lawan Kuranji terbang sejauh lima meter. Dua lainnya terpaksa menarik mundur serangan, lantaran Kuranji menjadikan rekan mereka sebagai tameng, dengan memelintir tangan lelaki itu ke belakang sembari menempelkan punggung sang pengganggu ke dadanya.“Saudara-saudara, dengarkan aku!” ujar lelaki yang dilempar terbang oleh Kuranji. “Tangkap mereka! Kalian akan kaya jika berhasil menangkap mereka.”Namun, orang-orang yang berada di ruangan itu tidak mudah untuk diprovoka
“Hahaha … kita kaya! Kaya!” “Hahaha ….” Tawa kemenangan saling bersambut melihat penderitaan Kuranji. Sekali lagi Kuranji menjadi korban bulan-bulanan. Kali ini bukan oleh saudara seperguruannya, melainkan sekelompok masyarakat yang silau akan kilau gulden. Empat utas tali membelit pinggangnya dan menariknya dari arah yang saling berlawanan. Kuranji menahan tarikan tali dari dua sisi. Sungguh pinggangnya terasa mau putus. Namun, tak peduli sekuat apa pun Kuranji melilitkan tali itu pada kedua lengannya serta menariknya, dua lelaki yang berada di ujung tali itu juga mati-matian mempertahankan senjata mereka. Drap! Drap! Entakan kaki berlari kencang gegas menderap ke arah Kuranji. Lelaki yang berada paling depan, menunjuk tepat ke wajah Kuranji, berkata lantang dengan nada geram, “Ini dia orangnya! Tidak salah lagi. Aku ingat betul pakaian yang dikenakannya saat melarikan kuda milikku.” “Kalau begitu, tunggu apa lagi? Dia harus membayar tunai perbuatan buruknya.” “Seret dia!”
“Mampus kau!”Mata telanjang orang awam tidak dapat membedakan apakah si Kumis Berantakan berlari atau meluncur di atas permukaan tanah saat melancarkan serangan mautnya.Saking cepatnya gerakan lelaki itu, tubuhnya tampak seperti sebuah bayangan yang melesat ke depan. Angin yang dihasilkan dari gerakan tersebut menjadikan tanaman kecil yang dilaluinya laksana helaian ilalang yang diterpa angin kencang.Namun, tidak demikian halnya bagi penglihatan Kuranji. Ia dapat melihat dengan jelas serangan si Kumis Berantakan yang datang kepadanya.“Lumayan.” Kuranji berkelit ke kiri.Serangan si Kumis Berantakan menghantam udara kosong. Di saat bersamaan, Kuranji menangkap lengan lawan yang terentang lurus.Si Kumis Berantakan bergerak cepat, mengarahkan punggungnya pada Kuranji, lalu menyikut dada Kuranji. Kuranji terus berkelit dan menangkis.Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!Suara pukulan dan tendangan yang saling beradu mengusir gerombolan burung yang berlindung dari terik mentari untuk terbang menja
Melompat dan bertengger dari satu pohon ke pohon lainnya di sekitar penginapan, tatapan tajam Kuranji jeli mengawasi setiap jendela di lantai dua yang masih terbuka. Kelompok berbeda dari sekumpulan pria memeriksa kamar yang mereka masuki. Tak segan-segan mereka juga menyeret paksa menghuninya. “Ke mana pemilik penginapan itu membawa Puti?” Tidak satu pun dari wanita, yang diseret keluar, memiliki wajah mirip dengan Puti Tan. Sayang, suara jeritan tak lagi terdengar. Kuranji sangat yakin bahwa suara yang dia dengar sebelumnya merupakan lengkingan Puti Tan. “Jalan! Cepat! Jangan manja hanya karena sebuah luka kecil!” Pria muda, berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dengan tompel besar di pelipis kirinya, mendorong Puti Tan hingga gadis itu nyaris tersungkur. Kedua tangannya terikat. Mulutnya juga disumpal dengan ikat kepala hitam yang disimpul erat ke belakang. Semenjak kehilangan kekuatan akibat pertarungannya dengan Kavland, kemalangan demi kemalangan terus menghampiri Puti Tan
Tak kenal maka tak sayang. Apa yang dilihat dan didengar belum tentu kenyataan yang sebenarnya, bahkan seringkali malah bermuara pada kekeliruan. Menghakimi tanpa menyelidiki kebenaran dengan teliti, sungguh merupakan sebuah vonis yang dapat membunuh mental korbannya.“Hei, hei!” Puti Tan keluar dari balik punggung Kuranji. “Rimba raya ini ciptaan Tuhan. Hanya karena kalian biasa berburu di sini, bukan berarti tempat ini mutlak menjadi hak milik kalian. Lagi pula ….”Puti Tan berjalan mondar-mandir seraya memindai penampilan sepasang pendekar itu. “Setahu aku ya … Perguruan Tapak Harimau cukup jauh dari sini.”“Kau … mengenal kami?” tanya sang lelaki, dengan alis terangkat tinggi.“Ya enggaklah. Aku cuma menebak.”“Jangan memancing emosiku, Nisanak! Aku tak peduli kamu seorang perempuan, jika kamu membuatku marah!”Rupanya sang pria termasuk tipe manusia yang tidak terlalu pandai dalam mengontrol emosi.“Yeee, kamu saja yang bersumbu pendek.”“Kamu—”“Kenapa?! Mau bertarung? Ayo!” tan
“K–kenapa Runduih Ameh bertingkah aneh?” Kuranji berkata dengan terbata-bata seraya mendorong Runduih Ameh.Tenaga yang ia salurkan melalui kedua tangannya tak mampu membuat pedang pusaka itu bergerak maju. Senjata sakti tersebut justru seakan terdorong ke belakang.“Mustahil! Apa yang salah dengan senjataku?”Kirai tak kalah syok, menyaksikan sepasang kerambit miliknya berhenti bergerak dan hanya melayang-layang di udara.Saat Kuranji dan Kirai masih terhipnotis oleh keganjilan yang sedang berlangsung, senjata mereka mendadak mengeluarkan pendar cahaya pelangi yang saling menggulung.Kuranji terpaksa melepaskan tangannya dari gagang Runduih Ameh lantaran pedang tersebut bergerak liar, seolah-olah berontak, meminta lepas dari cengkeraman tuannya.Shuut! Shuut! Shuut!Runduih Ameh dan sepasang kerambit itu serentak melesat terbang menuju satu titik.Kuranji dan Kirai berlari memburu senjata mereka.Ting! Ting! Ting!Tak lama kemudian terdengar bunyi berdenting keras.Tab!Sebuah pedang
Blam!Runduih Ameh menancap pada mata kanan si naga hitam.Makhluk jadi-jadian milik Pendekar Sabuk Maut itu pun menggelinjang liar dengan mulut yang menganga lebar.Runduih Ameh masih terus bergerak, memberikan dorongan kuat hingga si naga hitam terlempar jatuh dan kembali ke bentuk aslinya begitu menyentuh tanah.Jruuung!Swuut!Runduih Ameh melesat balik kepada tuannya.Pendekar Sabuk Maut muntah darah. Ia melotot, tak percaya.“K–kau … s–siapa kau sebenarnya, h–hah?!” tanya Pendekar Sabut Maut sembari membungkuk, memegang dada.Kuranji mengelus pedang pusakanya. Menatap dingin pada Pendekar Sabuk Maut, ia menjawab acuh tak acuh, “Kau tak layak berkenalan denganku.”“B–bang … akh! Uhuk!”Umpatan Pendekar Sabuk Maut tercekat di tenggorokan, berganti dengan rintih kesakitan yang disusul dengan batuk darah.Di sisi lain, beberapa meter dari tempat Kuranji berdiri, Mahzar tampak kewalahan mengimbangi kelebat pedang milik lawannya.Cresh!Senjata milik Pendekar Pedang Kilat berhasil men
Set! Set!Kardit Masiak melesat cepat, terlihat seperti kelebat bayangan hitam yang melintas dengan kecepatan cahaya, berpindah dari satu sisi hutan ke sudut lainnya.Sesaat ia berhenti, memindai kegelapan sekitar dengan netra elangnya. Mendengar suara gerakan yang mencurigakan dari arah belakang, lelaki itu berbalik. ‘Hmm, itu pasti mereka.’Bergegas ia melesat, mendatangi sumber suara tersebut.“Sial! Tidak ada siapa-siapa,” gerutu Kardit Masiak, memperhatikan belukar di hadapannya. “Aku yakin tadi mendengar gerakan dari arah sini.”Netra tajamnya memicing, mengawasi kerimbunan semak yang bergoyang-goyang. Saat ia hendak mengayun langkah untuk memeriksanya, seekor ayam hutan terbang menghambur, mengagetkan dirinya.“Sial! Aku tertipu.” Kardit Masiak berbalik pergi.Beberapa menit sebelum Kardit Masiak tiba di tempat itu …Grep!Hop!Kuranji menyambar pinggang Puti Tan, membawa gadis itu melompat ke dalam lubang.Begitu kaki mereka menjejak tanah, pintu belukar itu pun menutup dengan