Semburat berwarna jingga mulai membias di ufuk Barat. Semilir angin senja membelai lembut helai dedaunan yang menaungi Puti Tan.
Puti Tan mendesah lesu. Duduk bersandar di bawah sebatang pohon yang tegak menjulang di tepi sungai. Sebelah kakinya terlipat, menyokong lengannya yang sibuk bermain-main dengan sepotong ranting di ujung jari. Tatapannya kosong, menyusuri liku sungai. Arusnya yang tenang seakan enggan bermuara menuju laut lepas, sama seperti hati Puti Tan yang terasa berat untuk beranjak dari tempat duduknya.
“Puti Tan!”
Suara seseorang yang memanggil namanya tak digubris oleh Puti Tan.
“Aku mencarimu ke mana-mana. Syukurlah kau baik-baik saja. Ayo, pulang!”
Puti Tan memutar bola mata dengan malas, melirik sekilas pada sosok lelaki yang berjalan mendekatinya.
“Kembalilah, Kavland! Aku masih ingin di sini.”
Kavland menyembunyikan kekesalannya karena penolakan Puti Tan di balik seulas senyum ramah yang dipaksakan.
“Puti, Tuan Guru memintaku untuk mencarimu walau ke ujung dunia sekalipun. Setelah sekian lama berkelana, aku akhirnya berhasil menemukanmu. Lalu, haruskah aku pulang tanpa dirimu?” tanya Kavland, semakin memangkas jarak dengan Puti Tan. “Sudahlah … hentikan pencarianmu, Puti. Kuranji sudah mati.”
Puti Tan menoleh dengan tatapan sinis.
Menyadari pernyataannya dapat membahayakan dirinya, Kavland segera meralat ucapannya, “M–maksudku … Kuranji mungkin saja telah kehilangan nyawanya di hutan itu. Seandainya masih hidup, dia pasti sudah lama kembali ke padepokan. Bukankah dia tidak punya siapa-siapa selain Tuan Guru dan Puti?”
Alis Puti Tan mengerut.
Kavland buru-buru menambahkan, “T–tentu dia … juga memiliki kami … saudara seperguruannya. Dia … tidak mungkin melupakan kita semua bila memang masih hidup.”
Puti Tan bangkit. Ia membuang pandang pada sang raja siang yang kian menghilang di ujung bentang cakrawala senja.
“Pulanglah! Sampaikan pada ayahku, aku akan kembali setelah puas berpetualang.”
Kavland terkekeh sumbang. “Puti, Puti … aku bukan bocah kemarin sore yang bisa kau tipu. Kau … benar-benar berpetualang atau … masih gigih melacak jejak Kuranji?”
“Bukan urusanmu!”
Puti Tan paling tidak suka orang lain mencampuri urusannya, apalagi sampai mengatur hidupnya. Bahkan, ayahnya pun lebih sering mengalah padanya.
Muka Kavland merah padam. Nada bicara Puti Tan yang terdengar ketus menjatuhkan harga dirinya sebagai lelaki. Terlebih lagi lantaran kata-kata itu terucap hanya karena Puti Tan membela Kuranji. Darahnya mendidih.
Lima tahun lalu, ia pikir dengan menyingkirkan Kuranji dari Perguruan Pedang Emas, ia akan mengambil alih segenap perhatian dan kasih sayang Puti Tan. Ternyata jauh panggang dari api. Puti Tan justru lebih banyak menghabiskan waktu di luar padepokan.
“Maaf, Puti. Jika Puti tidak mau diajak pulang dengan cara baik-baik, jangan salahkan kami bila bertindak kasar.”
“Huh?”
Kening Puti Tan berkerut mendengar kata kami. Itu artinya Kavland tidak mencarinya seorang diri. Sebelum Puti Tan dapat mengusir keheranannya, Kavland memasukkan dua jari ke mulut, mengeluarkan siulan yang melengking tinggi.
Dalam hitungan detik, si mata licik beserta enam orang saudara seperguruannya telah mengepung Puti Tan, siap dalam posisi menyerang.
Menyadari posisinya tidak menguntungkan, Puti Tan melompat ke dahan pohon tempatnya tadi bersandar.
“Kau tidak akan bisa melarikan diri, Puti. Kami akan membawamu pulang dengan paksa, bagaimanapun caranya,” seru Kavland, menengadah seraya ikut melompat tinggi.
Ia sungguh berharap Puti Tan akan melunak dan bersikap kooperatif.
Alih-alih memenuhi permintaan Kavland, Puti Tan justru berpindah ke dahan pohon yang lain. Melihat target mereka berusaha untuk melarikan diri, si mata licik dan komplotannya bergerak cepat menyusul ketertinggalan mereka dari Puti Tan dan Kavland.
Swuush!
Kavland melancarkan serangan tangan kosong jarak jauh. Pukulannya menghantam dahan pohon yang menjadi incaran Puti Tan. Dalam sekejap dahan itu pun patah, memaksa Puti Tan untuk melompat turun, lalu melesat secepat mungkin begitu kakinya menjejak tanah.
Aksi kejar-kejaran disertai serangan tangan kosong tak terelakkan. Kavland yang berada di ketinggian merasa di atas angin. Pergerakannya lebih bebas sehingga ia dapat mengadang langkah Puti Tan.
Sekali lagi Puti Tan terkepung. Ia melempar pandang ke sekitar.
‘Argh, aku salah mengambil jalan,’ rutuk Puti Tan dalam hati.
Posisinya terjepit sekarang, sungguh tidak menguntungkan. Di belakangnya menganga lebar sebuah jurang dengan tebing yang curam. Sementara di hadapannya, Kavland dan yang lain terus melangkah maju, semakin memojokkan dirinya.
Kavland menyeringai sinis. “Menyerahlah, Puti! Demi kebaikan dirimu.”
Puti Tan memasang kuda-kuda dengan selendang emas di tangan.
“Aku tidak akan pulang sebelum menemukan Kuranji,” tolak Puti Tan. Tekadnya lebih kuat dari baja.
Kuranji!
Satu kata yang membuat Kavland kehilangan kontrol dirinya. Lelaki itu mengulurkan tangan disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Pada serangan pertama, ia langsung menggunakan jurus andalannya—Meragut Sukma. Sangat kentara bahwa dia tidak sedang ingin bermain-main.
Menyadari bahwa Kavland sungguh berniat untuk membawanya pulang, Puti Tan lebih waspada. Ia melompat. Namun, sebelum ia berhasil melangkahi Kavland, tubuhnya seakan tersedot, mengikuti arah tarikan Kavland. Puti Tan kalah cepat.
‘Ini tidak bisa dibiarkan. Aku tak sudi takluk di tangan Kavland.’
Puti Tan mengerahkan tenaga dalam ke kaki untuk dapat menjejak di permukaan tanah. Begitu berhasil tegak dengan keseimbangan penuh, ia menyalurkan tenaga dalam yang lebih besar. Perlahan kaki kanannya terangkat. Sementara tangannya menggenggam erat ujung selendang.
Seiring dengan tarikan Kavland yang kian terasa, Puti Tan mengentak bumi tanpa ragu. Permukaan tanah seketika bergelombang, seakan sesuatu yang liar bergerak cepat memburu Kavland.
“Ombak Pemecah Karang!”
Si mata licik dan rekannya serentak memekik kaget.
Pun sama halnya dengan Kavland. Lelaki itu segera melompat, menghindari hantaman bawah tanah yang dilancarkan oleh Puti Tan.
Ombak Pemecah Karang adalah satu-satunya jurus yang dapat melumpuhkan serangan maut dari jurus Meragut Sukma.
‘Sial! Kapan Puti Tan menguasai jurus itu?’ Kavland bersalto dua kali di udara sebelum akhirnya mendarat dengan sedikit oleng di atas sebuah dahan.
Bersamaan dengan itu, sebatang pohon yang tegak sejajar dengan posisi Kavland sebelumnya tercabut dari tanah, lalu terbang sejauh lima meter dalam kondisi layu.
Mengerikan!
Kavland meneguk ludah dengan kasar. Tak terbayang jika dia benar-benar menjadi korban serangan Puti Tan.
“Serang dia!” teriak Kavland, melompat turun seraya menghunus pedang.
Si mata licik dan keenam saudara seperguruannya merangsek maju secara bersamaan.
Puti Tan menyongsong serangan mereka dengan kibasan selendang. Sebagian dari mereka, dengan tingkat tenaga dalam yang lebih rendah, terpelanting laksana daun gugur tertiup angin.
Andai Puti Tan tidak mengerahkan kekuatan besar saat mengerahkan jurus Ombak Pemecah Karang, tidak sulit baginya untuk melumpuhkan enam orang yang menjadi kaki tangan Kavland dan Si mata licik.
Uhuk!
Puti Tan terbatuk. Segumpal darah segar muncrat ke tanah.
“Haha … Puti … Puti … kau terlalu bersemangat,” ejek Kavland. “Jurus Ombak Pemecah Karangmu memang ampuh melumpuhkan serangan Meragut Sukma dariku, tapi … sepertinya kau lupa … setelah menggunakan jurus itu, butuh waktu lebih lama untuk memulihkan tenaga dalammu.”
Saat hati dikuasai emosi dan perasaan tak menentu, otak tidak bisa berpikir dengan jernih. Puti Tan melupakan hal sepenting itu. Sekarang mau bagaimana lagi? Kekalahan berada di pelupuk mata.
Kibasan pedang terlihat sangat berambisi untuk mencincang lumat tubuh Puti Tan. Gadis itu berjumpalitan ke sana kemari, menghindari serangan beruntun dari Kavland dan kaki tangannya. Sapuan selendang emasnya tidak banyak membantu, akibat tenaga dalamnya yang terkuras habis kala menyerang balik Kavland dengan jurus Ombak Pemecah Karang.
Slash!
Puti Tan meringis, merasakan pedihnya luka sayatan pada lengan kanannya.
Kavland menyeringai penuh kemenangan. “Menyerahlah, Puti Tan! Dengan begitu kau tidak akan kehilangan nyawa.”
“Aku hidup atau mati, bukan urusanmu!”
“Kau benar-benar keras kepala!”
Kavland menyarungkan pedangnya, lalu kembali bersiap melancarkan jurus Meragut Sukma. Puti Tan telah kehabisan tenaga. Gadis itu tidak akan lagi mampu mematahkan serangannya.
Benar saja. Tak peduli sekuat apa pun Puti Tan mencoba melawan, tubuhnya yang melemah tetap saja tersedot maju.
“Hahaha … akhirnya kau sendiri yang menyerahkan diri ke dalam pelukanku, Puti Tan!”
Swush! Grep!
Sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, menyambar tubuh Puti Tan yang mulai kehilangan kesadaran, sesaat sebelum jemari Kavland berhasil menjangkau gadis itu.
Kavland menggerung marah. “Lancang! Siapa kau? Berani merampas wanitaku!”
“Jangan bergerak! Aku akan mengobatimu.” Kuranji menahan Puti Tan yang berniat untuk bangkit setelah siuman. “Aku—” “Kau terluka dan pingsan.” “Siapa kamu? Di mana ini?” “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Kau aman di sini,” sahut Kuranji, meraih lengan Puti Tan. Saat wanita itu tidak sadarkan diri, ia mengumpulkan ramuan herbal dan menghaluskannya. “Aku ingin duduk.” Melihat raut canggung yang membias pada wajah cantik Puti Tan, Kuranji akhirnya membantu gadis itu untuk duduk dan bersandar pada dinding kayu yang berlubang. Ya. Kuranji beruntung menemukan pondok terbengkalai, bekas per
Runduih Ameh seakan menyatu dengan sarungnya. Berulang kali Puti Tan mencoba menariknya, tetapi pedang itu tidak bergerak sama sekali. Dengan wajah cemberut, Puti Tan mengembalikan pedang itu kepada Kuranji. “Ini, kukembalikan,” kata Puti Tan, menjejalkan Runduih Ameh ke tangan Kuranji. “Pedang ini hanya mengenali tuannya.” Kuranji menyeringai canggung. “Memang belum pernah ada orang lain yang menyentuhnya.” Melihat ekspresi bersalah Kuranji, Puti Tan merasa tidak enak hati dan berusaha menghiburnya. “Hei, Kuranji! Kamu beruntung! Cepat cabut! Aku ingin melihatnya. Pasti pedang itu luar biasa sampai-sampai ia tak mengizinkan orang lain untuk menjamahnya.” Seberkas cahaya menyilaukan memancar ketika Kuranji menarik gagang pedang. Puti Tan menyipitkan mata. Ia baru membuka lebar matanya tatkala bias sinar dari pedang Kuranji perlahan memudar. Tangan Puti Tan terulur, ingin merasakan kehalusan ukiran yang menghiasi gagang dan permukaan pedang milik Kuranji. “Runduih Ameh! Kuranji,
Lawan merangsek maju. Pedangnya membelah udara laksana busur panah. Ujung pedang yang tajam mengarah tepat ke jantung Kuranji. Kuranji berkelit dengan mencondongkan badan ke belakang. Mata pedang lawan menebas udara kosong, hanya beberapa senti di atas badan Kuranji. Sebuah tebasan kini mengarah ke kaki Kuranji. Kuranji melompat. Selama beberapa waktu Kuranji hanya terus bertahan, membuat lawan merasa diremehkan. “Pengecut! Lawan aku! Jangan terus menghindar!” “Baik. Kau yang minta.” Swuush! Embusan angin mengiring helaian daun yang meluncur deras dari genggaman Kuranji. Seketika lawan sibuk memapas daun-daun yang telah menjelma bagai helaian timah itu. Sehelai daun berhasil menggores lengan kanan atas lawan. Tatapan matanya berkilat marah. Ia tidak terima Kuranji berhasil melukainya hanya dengan sehelai daun. “Keluarkan pedangmu, Pengecut!” “Tidak perlu!” Kuranji tidak akan pernah menggunakan pedangnya jika tidak terpaksa. Penolakan Kuranji semakin membakar kemarahan di dad
Matahari sepenggalan naik. Kuranji dan Puti Tan telah meninggalkan hutan, memasuki sebuah perkampungan. Suasana tampak lengang. Rutinitas pagi yang biasanya penuh dengan hiruk pikuk petani tidak terlihat sama sekali. Perkampungan itu seperti sebuah desa mati yang diselimuti kabut horor. “Kuranji, apa yang telah terjadi dengan kampung ini? Lihat!” Kuranji mengedarkan pandangan. Jalan kecil yang mereka lalui menyimpan keanehan. Bakul dan cangkul berceceran. Bahkan, bungkusan bekal makanan memamerkan isinya yang berhamburan. “Aku juga tidak tahu.” Mereka terus berjalan, memperhatikan segala kejanggalan yang ada dengan tatapan awas. “Tunggu, Kuranji!” Puti Tan menahan langkah Kuranji kala netra cokelat terangnya mendarat pada sebuah pekarangan rumah panggung. “Pintu rumah itu sampai lepas dan berserakan di halaman.” Puti Tan menunjuk daun pintu kayu yang tergeletak di atas rerumputan. “Itu juga. Menurut kamu … ini … penjarahan kampung?” Netra kelam Kuranji mengikuti ke mana pun jar
“Ampun! Ampun!” “Cepat ikat mereka semua!” Bugh! Jerit kesakitan saling bersambut dengan perintah bernada sangar dan tendangan. Bahkan, tak jarang diiringi pula dengan hantaman senjata tumpul. Sekumpulan lelaki muda, berusia di bawah empat puluh tahun, tak kuasa melawan keganasan sekelompok pria bertopeng. Siapa pun yang berani memberontak akan berakhir dengan babak belur. Kedua tangan mereka diikat ke belakang, dipaksa melangkah mengikuti perintah gerombolan penjahat itu. Drap! Drap! Terdengar derap langkah kuda berlari kencang. Debu jalanan berterbangan ketika kuda-kuda itu berhenti dengan kaki depan terangkat tinggi. “Naikkan mereka!” perintah lelaki bertopeng yang berada di posisi paling depan. Para penduduk kampung itu pun dilempar ke atas kuda dalam posisi menelungkup, melintang di depan sang joki. Kedua kaki mereka juga diikat, disusul dengan mata yang ditutup rapat. Dua orang dari pemuda kampung itu mencuri kesempatan untuk melarikan diri di saat gerombolan penjahat
Entah dari mana datangnya, sesosok lelaki berlumuran darah seakan jatuh dari langit, terempas tepat di depan Puti Tan.Grep!Kuranji menarik mundur Puti Tan dan menyembunyikan gadis itu di belakang punggungnya.‘Tumben Puti Tan syok. Bukankah dulu dia sudah terbiasa melihat pemandangan seperti ini?’ Kuranji membatin tak percaya pada reaksi yang ditunjukkan oleh Puti Tan.Kuranji mungkin lupa bahwa waktu dan keadaan dapat mengubah seseorang. Lima tahun bukan waktu yang lama, tetapi juga tidak bisa dibilang singkat. Banyak hal yang dapat terjadi selama kurun waktu tersebut, termasuk kemungkinan terjadinya perubahan perilaku, kebiasaan, dan sifat seseorang.“Cepat periksa dia!” desak Puti Tan, menekan Kuranji untuk berjongkok.Kuranji memeriksa denyut nadi lelaki tersebut.“Bagaimana? Dia … tewas?”“Mn.”Setelah mampu menguasai diri dari rasa terkejutnya, Puti Tan ikut berjongkok di samping Kuranji. Ia mengamati tubuh kaku yang berlumuran darah itu dengan saksama. Saat ia menoleh pada Ku
“Uh! Tempat apa ini?” Puti Tan menutup hidung. Sementara Kuranji hanya menahan napas. “Tidak usah banyak cingcong! Masuk!” Si Kumis Berantakan, yang sedari awal selalu menentang Kuranji dan Puti Tan, menendang pantat Kuranji, masuk ke sebuah rumah berdinding bambu. Bukan. Bangunan itu tidak terlihat seperti rumah, melainkan sebuah kandang. Lantainya berupa tanah kering yang retak dilanda kemarau. Pada beberapa titik bahkan ditutupi oleh sisa kotoran hewan yang telah mengering, menguarkan aroma tidak sedap. Nyaris saja Kuranji tersungkur akibat tendangan tak terduga tersebut. Untungnya ia cepat menguasai keseimbangan. Dua pengawal lainnya menyeret paksa Puti Tan untuk masuk ke kandang. Puti Tan menepis tangan mereka. “Aku bisa jalan sendiri!” Dengan terpaksa dan menggerutu, Puti Tan menyusul Kuranji, masuk ke kandang sambil menutup hidung dengan jari telunjuk. Si Kumis Berantakan mengunci pintu kandang tersebut dengan palang kayu, lalu merantainya erat-erat. “Kalian,” tunjuk Si
“Datuk, tidak baik menakut-nakuti tamu yang singgah di kampung kita,” tegur lelaki berkopiah. “Nanti tidak ada lagi yang berani datang ke sini. Kita juga yang rugi.”“Siapa yang menakut-nakuti? Tadi kau sendiri yang mengatakan kampung kita sedang tidak aman. Kau menjilat ludah yang terbuang? Tidak jijik?”“Ehem!” Kuranji mendeham untuk menengahi perdebatan dua pengunjung kedai itu. “Kalau boleh tahu, ada kasus apa sampai warga di kampung ini merasa terancam?”Lelaki berkopiah menggerakkan jari telunjuk. Kuranji pun mencondongkan badan ke depan.“Apa kalian berdua tidak mendengar kejadian tragis sore ini?”“Ah, itu ….”“Kalian tahu?”“Sekilas. Tidak tahu pasti detailnya.”“Lelaki yang tewas itu adalah korban keempat dalam dua minggu terakhir. Sementara yang dilaporkan hilang, tidak tahu pasti berapa jumlahnya.” Ekspresi lelaki berkopiah itu tampak lebih serius saat melanjutkan ceritanya. “Dan tetua kampung kami, dia … pemimpin yang jujur dan setia menapak di jalan yang lurus. Tak disan