Share

Bab 5

Semburat berwarna jingga mulai membias di ufuk Barat. Semilir angin senja membelai lembut helai dedaunan yang menaungi Puti Tan.

Puti Tan mendesah lesu. Duduk bersandar di bawah sebatang pohon yang tegak menjulang di tepi sungai. Sebelah kakinya terlipat, menyokong lengannya yang sibuk bermain-main dengan sepotong ranting di ujung jari. Tatapannya kosong, menyusuri liku sungai. Arusnya yang tenang seakan enggan bermuara menuju laut lepas, sama seperti hati Puti Tan yang terasa berat untuk beranjak dari tempat duduknya.

“Puti Tan!”

Suara seseorang yang memanggil namanya tak digubris oleh Puti Tan.

“Aku mencarimu ke mana-mana. Syukurlah kau baik-baik saja. Ayo, pulang!”

Puti Tan memutar bola mata dengan malas, melirik sekilas pada sosok lelaki yang berjalan mendekatinya.

“Kembalilah, Kavland! Aku masih ingin di sini.”

Kavland menyembunyikan kekesalannya karena penolakan Puti Tan di balik seulas senyum ramah yang dipaksakan.

“Puti, Tuan Guru memintaku untuk mencarimu walau ke ujung dunia sekalipun. Setelah sekian lama berkelana, aku akhirnya berhasil menemukanmu. Lalu, haruskah aku pulang tanpa dirimu?” tanya Kavland, semakin memangkas jarak dengan Puti Tan. “Sudahlah … hentikan pencarianmu, Puti. Kuranji sudah mati.”

Puti Tan menoleh dengan tatapan sinis.

Menyadari pernyataannya dapat membahayakan dirinya, Kavland segera meralat ucapannya, “M–maksudku … Kuranji mungkin saja telah kehilangan nyawanya di hutan itu. Seandainya masih hidup, dia pasti sudah lama kembali ke padepokan. Bukankah dia tidak punya siapa-siapa selain Tuan Guru dan Puti?”

Alis Puti Tan mengerut.

Kavland buru-buru menambahkan, “T–tentu dia … juga memiliki kami … saudara seperguruannya. Dia … tidak mungkin melupakan kita semua bila memang masih hidup.”

Puti Tan bangkit. Ia membuang pandang pada sang raja siang yang kian menghilang di ujung bentang cakrawala senja.

“Pulanglah! Sampaikan pada ayahku, aku akan kembali setelah puas berpetualang.”

Kavland terkekeh sumbang. “Puti, Puti … aku bukan bocah kemarin sore yang bisa kau tipu. Kau … benar-benar berpetualang atau … masih gigih melacak jejak Kuranji?”

“Bukan urusanmu!”

Puti Tan paling tidak suka orang lain mencampuri urusannya, apalagi sampai mengatur hidupnya. Bahkan, ayahnya pun lebih sering mengalah padanya.

Muka Kavland merah padam. Nada bicara Puti Tan yang terdengar ketus menjatuhkan harga dirinya sebagai lelaki. Terlebih lagi lantaran kata-kata itu terucap hanya karena Puti Tan membela Kuranji. Darahnya mendidih.

Lima tahun lalu, ia pikir dengan menyingkirkan Kuranji dari Perguruan Pedang Emas, ia akan mengambil alih segenap perhatian dan kasih sayang Puti Tan. Ternyata jauh panggang dari api. Puti Tan justru lebih banyak menghabiskan waktu di luar padepokan.

“Maaf, Puti. Jika Puti tidak mau diajak pulang dengan cara baik-baik, jangan salahkan kami bila bertindak kasar.”

“Huh?”

Kening Puti Tan berkerut mendengar kata kami. Itu artinya Kavland tidak mencarinya seorang diri. Sebelum Puti Tan dapat mengusir keheranannya, Kavland memasukkan dua jari ke mulut, mengeluarkan siulan yang melengking tinggi.

Dalam hitungan detik, si mata licik beserta enam orang saudara seperguruannya telah mengepung Puti Tan, siap dalam posisi menyerang.

Menyadari posisinya tidak menguntungkan, Puti Tan melompat ke dahan pohon tempatnya tadi bersandar.

“Kau tidak akan bisa melarikan diri, Puti. Kami akan membawamu pulang dengan paksa, bagaimanapun caranya,” seru Kavland, menengadah seraya ikut melompat tinggi.

Ia sungguh berharap Puti Tan akan melunak dan bersikap kooperatif.

Alih-alih memenuhi permintaan Kavland, Puti Tan justru berpindah ke dahan pohon yang lain. Melihat target mereka berusaha untuk melarikan diri, si mata licik dan komplotannya bergerak cepat menyusul ketertinggalan mereka dari Puti Tan dan Kavland.

Swuush!

Kavland melancarkan serangan tangan kosong jarak jauh. Pukulannya menghantam dahan pohon yang menjadi incaran Puti Tan. Dalam sekejap dahan itu pun patah, memaksa Puti Tan untuk melompat turun, lalu melesat secepat mungkin begitu kakinya menjejak tanah.

Aksi kejar-kejaran disertai serangan tangan kosong tak terelakkan. Kavland yang berada di ketinggian merasa di atas angin. Pergerakannya lebih bebas sehingga ia dapat mengadang langkah Puti Tan.

Sekali lagi Puti Tan terkepung. Ia melempar pandang ke sekitar.

‘Argh, aku salah mengambil jalan,’ rutuk Puti Tan dalam hati.

Posisinya terjepit sekarang, sungguh tidak menguntungkan. Di belakangnya menganga lebar sebuah jurang dengan tebing yang curam. Sementara di hadapannya, Kavland dan yang lain terus melangkah maju, semakin memojokkan dirinya.

Kavland menyeringai sinis. “Menyerahlah, Puti! Demi kebaikan dirimu.”

Puti Tan memasang kuda-kuda dengan selendang emas di tangan.

“Aku tidak akan pulang sebelum menemukan Kuranji,” tolak Puti Tan. Tekadnya lebih kuat dari baja.

Kuranji!

Satu kata yang membuat Kavland kehilangan kontrol dirinya. Lelaki itu mengulurkan tangan disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Pada serangan pertama, ia langsung menggunakan jurus andalannya—Meragut Sukma. Sangat kentara bahwa dia tidak sedang ingin bermain-main.

Menyadari bahwa Kavland sungguh berniat untuk membawanya pulang, Puti Tan lebih waspada. Ia melompat. Namun, sebelum ia berhasil melangkahi Kavland, tubuhnya seakan tersedot, mengikuti arah tarikan Kavland. Puti Tan kalah cepat.

Ini tidak bisa dibiarkan. Aku tak sudi takluk di tangan Kavland.’

Puti Tan mengerahkan tenaga dalam ke kaki untuk dapat menjejak di permukaan tanah. Begitu berhasil tegak dengan keseimbangan penuh, ia menyalurkan tenaga dalam yang lebih besar. Perlahan kaki kanannya terangkat. Sementara tangannya menggenggam erat ujung selendang.

Seiring dengan tarikan Kavland yang kian terasa, Puti Tan mengentak bumi tanpa ragu. Permukaan tanah seketika bergelombang, seakan sesuatu yang liar bergerak cepat memburu Kavland.

“Ombak Pemecah Karang!”

Si mata licik dan rekannya serentak memekik kaget.

Pun sama halnya dengan Kavland. Lelaki itu segera melompat, menghindari hantaman bawah tanah yang dilancarkan oleh Puti Tan.

Ombak Pemecah Karang adalah satu-satunya jurus yang dapat melumpuhkan serangan maut dari jurus Meragut Sukma.

‘Sial! Kapan Puti Tan menguasai jurus itu?’ Kavland bersalto dua kali di udara sebelum akhirnya mendarat dengan sedikit oleng di atas sebuah dahan.

Bersamaan dengan itu, sebatang pohon yang tegak sejajar dengan posisi Kavland sebelumnya tercabut dari tanah, lalu terbang sejauh lima meter dalam kondisi layu.

Mengerikan!

Kavland meneguk ludah dengan kasar. Tak terbayang jika dia benar-benar menjadi korban serangan Puti Tan.

“Serang dia!” teriak Kavland, melompat turun seraya menghunus pedang.

Si mata licik dan keenam saudara seperguruannya merangsek maju secara bersamaan.

Puti Tan menyongsong serangan mereka dengan kibasan selendang. Sebagian dari mereka, dengan tingkat tenaga dalam yang lebih rendah, terpelanting laksana daun gugur tertiup angin.

Andai Puti Tan tidak mengerahkan kekuatan besar saat mengerahkan jurus Ombak Pemecah Karang, tidak sulit baginya untuk melumpuhkan enam orang yang menjadi kaki tangan Kavland dan Si mata licik.

Uhuk!

Puti Tan terbatuk. Segumpal darah segar muncrat ke tanah.

“Haha … Puti … Puti … kau terlalu bersemangat,” ejek Kavland. “Jurus Ombak Pemecah Karangmu memang ampuh melumpuhkan serangan Meragut Sukma dariku, tapi … sepertinya kau lupa … setelah menggunakan jurus itu, butuh waktu lebih lama untuk memulihkan tenaga dalammu.”

Saat hati dikuasai emosi dan perasaan tak menentu, otak tidak bisa berpikir dengan jernih. Puti Tan melupakan hal sepenting itu. Sekarang mau bagaimana lagi? Kekalahan berada di pelupuk mata.

Kibasan pedang terlihat sangat berambisi untuk mencincang lumat tubuh Puti Tan. Gadis itu berjumpalitan ke sana kemari, menghindari serangan beruntun dari Kavland dan kaki tangannya. Sapuan selendang emasnya tidak banyak membantu, akibat tenaga dalamnya yang terkuras habis kala menyerang balik Kavland dengan jurus Ombak Pemecah Karang.

Slash!

Puti Tan meringis, merasakan pedihnya luka sayatan pada lengan kanannya.

Kavland menyeringai penuh kemenangan. “Menyerahlah, Puti Tan! Dengan begitu kau tidak akan kehilangan nyawa.”

“Aku hidup atau mati, bukan urusanmu!”

“Kau benar-benar keras kepala!”

Kavland menyarungkan pedangnya, lalu kembali bersiap melancarkan jurus Meragut Sukma. Puti Tan telah kehabisan tenaga. Gadis itu tidak akan lagi mampu mematahkan serangannya.

Benar saja. Tak peduli sekuat apa pun Puti Tan mencoba melawan, tubuhnya yang melemah tetap saja tersedot maju.

“Hahaha … akhirnya kau sendiri yang menyerahkan diri ke dalam pelukanku, Puti Tan!”

Swush! Grep!

Sebuah bayangan hitam berkelebat cepat, menyambar tubuh Puti Tan yang mulai kehilangan kesadaran, sesaat sebelum jemari Kavland berhasil menjangkau gadis itu.

Kavland menggerung marah. “Lancang! Siapa kau? Berani merampas wanitaku!”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status