Share

Dua Tahun Diselingkuhi

Bab 4

Mereka berdua sudah tidak terlihat lagi, aku terlalu larut dalam lamunan. Pintu rumahnya juga terkunci dengan rapat. Semua itu hanya khayalanku saja, tidak tahu apa yang mereka lakukan di dalam.

Aku tidak ingin gegabah, bodohnya aku karena tadi tidak sempat mengabadikan momen itu. Setidaknya itu bisa aku jadikan bahan untuk mempermalukan wanita itu.

Bagaimana mungkin aku mengingat untuk menyimpan bukti, hatiku saja begitu perih melihat dengan mata kepala sendiri apa yang selama ini Mas Hasbi sembunyikan.

Di mataku dia lelaki alim, romantis dan sangat penyayang. Tapi ternyata dibalik sikapnya dia sama dengan lelaki lain di luaran, bajing*n!

Aku tidak terima ini, Mas. Aku akan membuatmu berlutut dan menyesali apa yang sudah kamu lakukan padaku.

Lututku rasanya masih lemas tapi aku harus segera pergi dari sini. Setidaknya sudah kukantongi alamat rumahnya. Aku bersumpah akan membuat lont* itu malu, di depan keluarga dan teman-temannya.

Apa Mbak Tyas tahu kalau wanita yang dekat dengannya itu sudah menggoda suamiku?

Aku bertanya-tanya. Nanti aku akan mengorek informasi soal wanita bernama Vivi itu dari Mbak Tyas.

***

[Mas, aku sudah di rumah. Kamu di mana? Masih di rumah Mbak Tyas?]

Pesan yang kukirim pada Mas Hasbi.

Ting!

Ternyata dia membalas pesan dengan cepat.

[Aku sedang dijalan menuju rumah.]

Baguslah, jadi dia tidak berlama-lama di tempat wanita murahan itu.

Sambil menunggunya pulang aku memutuskan untuk mandi. Tidak etis jika aku harus mengamuk dan menyiksa wanita itu seperti dalam lamunan.

Aku wanita berkelas, bukan levelku membasmi pelakor dengan cara kekerasan. Lebih baik membuatnya mundur dengan cara elegan, rasanya tidak rela mengotori tanganku dengan menyentuh wanita rendahan seperti dia.

Kamu itu cantik, Ambar. Bahkan lebih cantik dari wanita itu, kamu harus bisa memikat kembali suamimu. Kalau wanita lain saja bisa membuat Mas Hasbi terpesona, kenapa aku sebagai istrinya tidak bisa melakukan itu.

Bermonolog di depan cermin sambil merias wajah dengan makeup tipis.

Bukankah memang harus indah dipandang jika dihadapan suami? Ya, mungkin itu jarang aku lakukan karena Mas Hasbi selalu mengatakan jika dia menyukai aku tanpa riasan apapun.

Aku tidak yakin wanita itu mengandung anak Mas Hasbi, bisa saja dia hamil oleh lelaki dan tapi meminta tanggung jawab pada suamiku. Mas Hasbi itu 'kan orangnya sangat polos dan bisa saja dibodohi 

Aku terus bergumam sibuk dengan pikiran sendiri. Masih menanamkan pikiran positif meski hatiku sebenarnya berontak.

Saat mendengar deru suara mobil, dengan cepat aku melangkah keluar untuk menyambutnya.

Cklek!

Kutarik pintu untuk menyambut kedatangan Mas Hasbi.

Senyum yang menghiasi wajahku langsung luntur saat melihat sosok yang membuat darahku mendidih kini berdiri di hadapanku. Dia tidak datang sendiri tapi dengan seorang balita berusia satu tahun di gendongannya.

"Apa-apaan ini?" Batinku menjerit, tangan sudah mengepal kuat.

Aku masih terpaku untuk beberapa saat hingga Mas Hasbi bersuara.

"Kita bicara di dalam." Raut wajah lelaki terlihat serius.

Kami sudah duduk di ruang tengah. Mas Hasbi terlihat beberapa kali menarik nafas panjang, aku diam saja. 

"Aku buatkan minum dulu," ucapku lalu bangkit. Bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa untuk sekarang, aku ingin tahu apakah Mas Hasbi akan mengatakan kejujuran atau menyembunyikannya.

Saat kembali ke ruang tamu, mereka sama-sama terdiam. Tidak ada obrolan sama sekali, hanya terdengar celotehan riang dari anak yang digendong wanita itu. Aku bahkan tidak sudi menyebut namanya.

"Mbak ini yang kemarin ada di rumah Mbak Tyas ya? Temannya Mbak Tyas?" Aku memecah keheningan mencoba basa-basi meski rasanya tidak sudi.

Dia menunduk, tidak menjawab dengan ucapan tapi malah menggelengkan kepala.

"Dia bukan teman Mbak Tyas," ujar Mas Hasbi.

"Lalu siapa? Teman kamu?" tanyaku.

Kamu beruntung karena aku bersikap tenang, Mas. Mungkin jika wanita lain yang ada di posisi ini pasti sudah mengamuk.

"Dia … istriku."

Deg!

Rasanya seperti disambar petir di siang bolong, lututku lemas, dadaku bergemuruh. Air mata yang dari tadi mencoba kutahan akhirnya jebol juga.

Aku kira Mas Hasbi dan wanita itu tidak sampai menikah, aku pikir mereka ada dalam hubungan yang haram. Tapi ternyata dugaanku salah.

"Jangan bercanda, Mas!"

"Maaf." Dia menunduk tidak berani menatapku.

"Hahaha … untuk apa minat maaf? Aku tidak ingin mendengar kata maaf, aku ingin penjelasan!"

"Aku dan Nafisha sudah dua tahun menikah."

Hatiku terasa ditusuk ribuan jarum. Rasanya nafasku sudah mulai sesak, pandangan buram oleh air mata.

"Dua tahun? Kamu menyembunyikan ini selama dua tahun? Dimana hatimu, Mas. Tega kamu melakukan ini padaku!" Tidak bisa lagi menahan emosi, aku berteriak. Menghujamnya dengan pukulan tapi dia tetap diam.

"Mbak–"

Tatapan tajamku kini mengarah pada wanita itu. Beraninya dia memanggilku.

"Pergi! Pergi dari rumahku!" teriakku.

"Ambar …."

"Diam, Mas. Aku menerimanya masuk sebagai tamu bukan madu!"

Tubuhku langsung merosot ke lantai setelah melihat Mas Hasbi dan wanita itu keluar dari rumah.

Tidak bisa lagi menahan sesak dalam dada, aku menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli omongan tetangga yang mendengar teriakanku.

Argh! Bajing*n kamu, Mas!

Kemarahan membuat tenaga terisi penuh, semua foto pernikahan yang terpanjang langsung aku copot dan lempar hingga menghantam dinding.

Prang!

Pyar!

Kesetiaanku selama ini kau balas dengan ini, Mas? Dimana hatimu, dimana otakmu? Kamu tidak tahu diri, selama ini aku membantu kamu merintis usaha dari bawah dan sekarang kamu malah membawa wanita lain!

Kamu pikir aku akan diam diperlakukan seperti ini? Aku akan membuat kalian hancur!

Ku tendangan dengan keras vas yang berada di dekat jendela hingga membentur kaca dan membuatnya pecah.

Aku tidak peduli, hatiku sakit!

Sikap lembut yang rencananya akan kulakukan tidak pedulikan lagi.

Melampiaskan amarah setidaknya membuatku bisa sedikit waras. Apa yang diakuinya sungguh diluar dugaanku. Aku tidak menyangka dia akan bermain sejauh itu.

"Ambar, kamu kenapa?"

Bukan tidak mendengar, rasanya tenggorokanku tercekat sulit untuk bicara. Hanya air mata yang terus mengalir deras.

Bu Lia langsung memelukku, aku hanya diam dengan tubuh yang bergetar di dalam pelukannya. Mungkin ia tahu saat ini aku tidak sedang baik-baik saja.

"Mas Hasbi … Mas Hasbi selingkuh. Dia tega, Bu. Dua tahun dia bermain di belakangku." Semua itu mengalir begitu saja dari mulutku setelah tadi sulit untuk bicara.

"Astagfirullah. Ya Allah … kenapa Hasbi tega sekali."

Aku memejamkan mata saat merasa kepala ini berputar lalu semuanya jadi gelap.

***

"Sayang."

Sayup-sayup aku bisa mendengar suara dan juga sentuhan lembut di pipi.

Kepalaku masih pening dan berat. Rasanya sulit untuk membuka mata.

"Bagaimana perasaan kamu?"

Itu suara Mas Hasbi.

Langsung ku paksakan untuk membuka mata. Pertama kali yang kutangkap adalah wajah cemasnya.

"Perasaan? Kamu bertanya soal perasaan aku, Mas? Kamu sehat?" Aku malah balik bertanya dengan tatapan sengit.

"Maaf, aku benar-benar–"

"Apa, kamu ingin mengatakan khilaf? Iya? Mana ada khilaf bertahun-tahun, memang kamu saja yang tidak cukup dengan satu wanita! Kamu pikir kamu siapa? Kamu punya apa sampai berani memiliki dua istri, apa kamu mampu adil dan menafkahi keduanya?"

Mas Hasbi terlihat mengurut pangkal hidungnya. Jika sudah seperti ini kutebak jika dia sedang emosi tapi sebisa mungkin menahannya.

Dia tidak pantas untuk emosi dan marah karena di sini aku yang tersakiti. Bukan dia!

"Sayang, mas bisa jelaskan. Semua ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan."

Dia mencoba menyentuh tanganku tapi dengan cepat kutepis.

"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu, Mas!"

Dia tertegun, tangannya melayang di udara.

"Kenapa masih di sini, cepat bereskan semua barang-barang kamu dan pergi dari rumahku. Dan satu lagi … jangan pernah bawa semua fasilitas yang ayahku berikan."

Mas Hasbi kaget, ia pasti tidak menyangka aku akan seperti ini. Selama ini aku memang royal padanya tapi semua yang pernah aku dan ayahku berikan akan kuminta kembali. Salahnya karena sudah berani menghancurkan hatiku.

"Sayang .. tolong jangan seperti ini. Mas minta maaf."

Aku menyeringai.

"Apa maafmu itu bisa menyembuhkan luka di hatiku? Apa maafmu itu bisa mengembalikan waktumu yang terpakai saat kamu bersama dengan wanita itu?"

Mas Hasbi terdiam.

"Tidak bisa 'kan? Kalau begitu cepat pergi sebelum kamu menyesal."

"Tenangkan dulu pikiranmu, setelah itu aku akan kembali. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikan kamu."

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status